07 December 2014

Mourinho, Einstein, dan sepak bola defensif

Jose Mourinho meninggalkan lapangan Stadium of Light hari itu dengan wajah kecewa.

“Pertandingan yang keras, cukup sulit,” ujarnya pada wartawan yang mewawancarainya. Hari itu, 29 November 2014, Chelsea, pemuncak sementara klasemen Premier League, ditahan imbang tanpa gol oleh tuan rumah Sunderland asuhan Gus Poyet.

Mou pantas kecewa. Diego Costa, gelandang andalannya, bermain buruk di laga ini. Ia beruntung tak diusir wasit Kevin Friend karena tekel tanpa ampunnya ke kaki bek The Black Cats, John O’Shea. The Special One – julukannya – memutuskan untuk mengganti sang pengatur serangan berpaspor Spanyol itu dengan Oscar pada 15 menit terakhir laga.

Taktik tim  pada pertandingan ini sangat manjur untuk meredam lini serang Chelsea yang digalang Didier Drogba. Gelandang Lee Cattermole bukan saja sukses dalam membayang-bayangi Cesc Fabregas, namun juga dapat menghalangi serangan The Blues secara keseluruhan. Costa yang frustasi sempat menghantam mulut Wes Brown dengan sikunya ketika berebut bola lambung, menyebabkannya mendapat kartu kuning.

Skor berakhir kacamata dan Chelsea tetap menjadi penguasa klasemen sementara dengan 36 poin dari 15 pertandingan, selisih tiga dengan penguntit terdekat: Manchester City. Poyet sendiri nyaris menjadi orang pertama yang berhasil mengalahkan Chelsea tiga kali beruntun. Sebelumnya, ia memimpin Sunderland mengalahkan klub London biru ini dua kali, kandang dan tandang, pada musim sebelumnya.

Terlepas dari kekecewaannya, ada omongan menarik yang keluar dari mulut Mou. “Banyak orang yang senang mengkritik tim yang bermain defensif, tetapi saya takkan melakukannya,” kata Mou.

“Untuk menjadi sebuah tim yang bermain defensif dengan bagus, Anda harus melakukannya dengan baik, dan mereka (Sunderland) melakukannya dengan sangat baik.”

Omongan ini bukanlah tanpa arti. Mou, pragmatis asal Setubal ini, dikenal sebagai seorang pelatih yang gemar menggunakan taktik defensif.

Musim pertamanya menangani Chelsea pada 2004-05, skuat asuhan Mou kekurangan seorang playmaker murni. Namun, ia mengakalinya dengan menembok rapat-rapat pertahanan Chelsea yang kala itu dijaga pemain-pemain seperti Ricardo Carvalho dan Paulo Ferreira.

Hasilnya, skuat itu mencetak rekor Premier League untuk jumlah kebobolan paling sedikit dengan lima belas gol, selain catatan tak terbantahkan lain: poin terbanyak sepanjang sejarah liga, dengan 95 poin.

Beranjak lima tahun selanjutnya, Mou kini memegang tampuk Inter Milan. Skuat I Nerazzurri yang dipegangnya berhasil mencetak keunggulan 3-1 melawan Barcelona di laga pertama semifinal Liga Champions 2009-10. Laga kedua di Camp Nou, Mou dengan brilian memerintahkan Javier Zanetti untuk memalang gawang selama 90 menit, membuat frustasi bahkan para pemain sekelas Xavi Hernandez, Zlatan Ibrahimovic, dan Lionel Messi. Barcelona hanya mampu melesakkan satu gol lewat – ironisnya – bek Gerard Pique. Inter melaju ke partai final dengan mengantongi agregat 3-2, dan Mou menyebutnya sebagai “kekalahan paling indah dalam hidup saya.”

Taktik “1-0 and kill the game” ala Mou bukan tak banyak dikritik. Pelatih tim nasional Denmark Morten Olsen adalah salah satu yang paling vokal menyerang kengototan Mou dalam memainkan sepak bola bertahan.

“Bayangkan jika semua orang bermain sepak bola seperti Mourinho. Itu pasti akan membosankan, dan kemudian saya takkan menonton pertandingan lagi,” serang gelandang bertahan Anderlecht yang sudah menukangi Denmark sejak 2000 itu.

Kritik pun tak cuma datang dari sejawat pelatih. Michael Owen, eks penyerang Liverpool, menulis kolom di Daily Telegraph, membandingkan gaya Chelsea di bawah Mou dengan Liverpool pimpinan Brendan Rodgers, yang sudah mencetak hampir seratus gol sejak rezim Rodgers dimulai.

“Chelsea memainkan dua full-back yang tak pernah keluar dari garis tengah lapangan; dua center-half yang diperintahkan untuk berdiri di posisi yang sama selama sembilan puluh menit; dan dua holding midfielder yang mempunyai posisi tetap untuk melindungi para center-half itu,” tulis Owen dengan sedikit bombastis.

“Seorang visioner sepak bola adalah yang menambah laju permainan, mencari kesempurnaan dengan menyerang, dan memainkan sepak bola kreatif yang menghibur kita,” sambungnya.

Serangan dan hantaman bertubi-tubi terhadap Mou itu mungkin ada benarnya. Olsen adalah seorang sepuh sepak bola nan dihormati; Owen pada masa mudanya adalah salah satu talenta juru gedor terhebat yang pernah dimilik The Three Lions (tentu saja sebelum ia bergabung dengan Stoke-nya Toni Pulis).

Namun lihatlah Mou. Ia maju terus dengan sepak bola bertahannya. Barangkali Owen benar dengan menggambarkannya menyuruh para center-half untuk tegak sikap sempurna 90 menit di posisinya, namun sekali lagi: Mou akan maju terus.

Suka atau tidak, sejatinya sejarah telah membuktikannya sebagai seorang defensive master. Dengan mengusung konsep sepak bola yang kerap dicap membosankan, bagaimanapun Mou telah meraih tujuh gelar di empat negara berbeda dalam rentang waktu sebelas tahun. Ia juga mengantarkan tim-tim yang diasuhnya ke total delapan semifinal Liga Champions – prestasi yang bahkan tak bisa dilakukan dalam waktu sesingkat kurang dari satu dekade oleh Sir Alex Ferguson, yang digambarkan oleh Owen sebagai contoh paripurna dari seorang “visioner sepak bola”.

Mou sendiri cuma menanggap singkat kritikan dan cacian terhadap taktik anti-football-nya itu. Di kursi ruang pers Stadium of Light, Mou dengan santai menjawab: “Ada banyak Einsten-nya sepak bola di luar sana yang enggan mengaku bahwa mereka harus memuji tim yang bermain defensif.”

Frasa “Einsten-nya sepak bola” (footballing Einsteins) yang dilontarkan Mou sudah barang tentu menunjuk mereka yang kerap mengkritik taktik defensif dalam sepak bola, termasuk juga dirinya.

Mungkinkah itu Olsen? Bisa jadi. Ataupun Owen? Hmm.....

21 July 2014

Menggocek bola dan mewakili rakyat

Sejak tumbangnya rezim Orde Baru pada 1998, Indonesia telah menyelenggarakan empat kali pemilihan umum legislatif: 1999, 2004, 2009, dan 2014. Sistem multipartai (berkebalikan dengan sistem tiga partai ala Orba yang sama sekali tak demokratis) memungkinkan pendirian partai-partai baru, di luar kekuatan-kekuatan politik tradisional yang sudah lebih lama berdiri.

Partai-partai ini membutuhkan sosok caleg yang dikenal masyarakat di konstituennya untuk mendulang suara sebanyak-banyaknya, selain berusaha untuk memperkenalkan partai mereka kepada masyarakat.

Salah satu kelompok yag paling sering diincar oleh partai-partai ini adalah figur-figur yang sudah kadung punya muka dan nama, seperti para artis dan atlet. Pemilih dapat secara langsung mengenali orang-orang ini, karena kepopuleran mereka. Khusus di kelompok atlet, para pemain bulu tangkis dan sepak bola lumayan sering dimajukan oleh partai-partai kontestan pemilu. Alasannya, dua olahraga ini adalah primadona tontonan oleh masyarakat Indonesia.

Di luar negeri pun, fenomena pesepakbola menjadi politisi – atau secara spesifik, anggota parlemen – bukan sesuatu yang tak lazim. Kita mengenal Oleg Blokhin yang menjabat sebagai anggota Parlemen Ukraina sembari melatih tim nasionalnya di Piala Dunia 2006. Romario, sang legenda Brazil, juga kini duduk di Senat negaranya. Atau para eks AC Milan seperti Gianni Rivera yang duduk di Parlemen Eropa dan Kakha Kaladze yang kini menjadi Menteri Energi di negaranya, Georgia.

Dalam pemilihan umum legislatif 2014 yang baru saja lewat, kita menyaksikan beberapa atlet yang maju bertarung di pentas demokrasi itu. Ada mantan pemain bulu tangkis nasional Ricky Subagja [maju untuk kursi DPR di Jawa Barat dari Partai Nasdem, salah satu kontestan pendatang baru]. Tak lupa pula nama-nama senior dunia olahraga yang sudah lebih dulu muncul di panggung politik dan kembali bertanding, seperti pecatur senior Utut Adianto yang maju kembali lewat tiket Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

Dari dunia sepak bola, tak tanggung-tanggung, figur sekelas mantan pelatih tim nasional Nil Maizar pun ikut bertarung untuk memperebutkan kursi di DPR – juga dari Partai Nasdem. Nama-nama lain seperti penyerang PSMS Medan Saktiawan Sinaga dan mantan pemain PSM Makassar Iqbal Samad turut meramaikan pesta demokrasi ini di level DPRD Provinsi dan Kabupaten.

Partai pertama di Indonesia yang memajukan “orang bola” sebagai calon legislator mereka adalah Partai Komunis Indonesia pada pemilihan umum legislatif 1955. PKI mencalonkan dua orang caleg dari pemain bola dan satu orang caleg dari penulis bola (tampaknya mereka sudah berpikir tentang memberdayakan para football analyst sejak setengah abad yang lalu). Tiga caleg yang dimajukan itu adalah Witarsa, Ramlan, dan Jahja Jacub.

Harian Rakjat – koran resmi PKI – edisi 29 September 1955 menurunkan berita mengenai ketiga caleg ini. Witarsa digambarkan sebagai seorang “kanan luar jang paling tjepat, paling tjepat, paling tjekatan, dan paling taktis”. Sementara Ramlan dari PSMS Medan adalah seorang “palang-pintu kesebelasan kita jang rapat”, sekaligu kapten tim nasional saat itu. Terakhir, Jacub, esais bola dan redaktur koran merangkap anggota Komsi Kesebelasan Nasional Indonesia (semacam BTN pada saat ini?), tulisan dan analisisnya dinarasikan sebagai “berpengaruh besar atas perkembangan sepak bola semasa”.

Kesadaran PKI untuk merebut simpati masyarakat dengan memajukan caleg-caleg “orang-bola” yang “tahu persis bau keringat timnas” (mengikuti gaya bahasa Harian Rakjat). Partai komunis ini menawarkan solusi untuk daerah yang “sepakbola madju pesat tetapi lapangabola kurang”, yaitu dengan mencoblos calegnya. “Saudara djangan ketjilhati, ada djalan pemetjahannja.”

Tidak ada laporan lebih lanjut apakah ketiga caleg ini berhasil terpilih, dan bagaimana nasib mereka setelah pecahnya G30S/PKI. Namun, partai bergambar palu-arit ini tercatat menjadi partai politik pertama di Indonesia yang memajukan para insan dunia kulit bundar untuk bertarung mengusung panji-panji mereka.

Menginjak era Reformasi, yang ditandai dengan terselenggaranya pemilihan umum 1999 – sampai saat ini masih tercatat dengan pemilu berpeserta terbanyak dengan 28 partai peserta – mulai banyak insan kulit bundar yang kembali terjun ke politik praktis.

Jack Komboy, misalnya. Bek Persipura Jayapura di periode 1998-2003 ini memutuskan bergabung dengan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) dalam pemilihan umum legislatif 2009. Ia maju sebagai caleg untuk DPRD Provinsi Papua, dan gantung sepatu dari tim Mutiara Hitam yang membesarkan namanya. Jack berhasil terpilih.

Lima tahun berselang, pemilihan umum legislatif 2014 menyaksikan beberapa nama tenar lapangan bundar lain yang ikut turun menjadi caleg. Tersebutlah nama juru gedor PSMS Medan, Saktiawan Sinaga, yang maju memperebutkan kursi DPRD Provinsi Sumatera Utara. Sakti – begitu ia kerap dipanggil – pertama kali mendaftar untuk menjadi caleg di Partai Gerakan Indonesia Raya [Gerindra], tetapi pada akhirnya justru beralih ke PKB. Ia mengaku alasannya memilih PKB adalah karena “tradisi kekompakan antar-kader”. “Saya memilih PKB karena konsep kemitraan. Dalam sepak bola, teman harus dianggap mitra, bukan musuh,” begitu menurutnya. Pada rekapitulasi akhir, Sakti akhirnya gagal terpilih, walaupun partainya berhasil mendapat tiga kursi di dewan.

Lain lagi kisah Iqbal Samad, bek PSM Makassar. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) memilihnya untuk maju dalam pemilihan anggota DPRD Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Iqbal yang memang putra asli daerah itu, menyatakan visinya untuk menjadikan Gowa bisa terkenal se-Indonesia karena sepak bola. Ia mengangsurkan Wamena di Papua sebagai contohnya dalam membangun dunia olahraga Gowa.

Terakhir, ada nama beken Nil Maizar. Mantan pelatih tim nasional Indonesia dan Semen Padang itu maju sebagai calon legislator di DPR dari daerah pemilihan Sumatera Barat 2, yang meliputi juga kampung halamannya, Kota Payakumbuh. Tergabung bersama Partai Nasdem, Nil kalah tipis dari pesaing-pesaingnya.

Ada banyak alasan seorang pegiat sepak bola terjun ke arena politik.

Yang paling menarik barangkali adalah janji-janji PKI jika caleg “orang-bola” mereka terpilih. Partai ini menjanjikan pertandingan-pertandingan persahabatan kelas internasional untuk para suporter timnas jika mereka mencoblos logo palu arit. Saat itu, yang dianggap kesebelasan-kesebelasan dunia antara lain India, Uni Soviet, dan Hongaria.

PKI tampaknya memegang teguh janji kampanye ini. Kliping Harian Rakjat yang ditemukan oleh Gus Muhidin M Dahlan tertanggal 29 September 1955 menerakan serangkaian pertandingan antara klub Lokomotif dari Uni Soviet (tidak diketahui Lokomotif dari kota mana yang dimaksud, barangkali Locomotiv Moscow). Klub ini berlaga melawan “Persidja Djakarta” di Lapangan Ikada (sekarang Monas), “Persebaja”, PSMS, PSP Padang, PSSI-B, dan PSSI-A sepanjang bulan November 1955. Tidak ada catatan lanjutan apakah ada kesebelasan lain yang datang setelah itu.

Saat maju di pemilu 2009, Jack Komboy mengaku tertantang untuk Papua dengan daerah lain di Indonesia. “Bila saya terpilih, saya akan berjuang membangun Papua agar bisa maju dan sejajar dengan daerah lain,” ujarnya. Namun, mantan stopper PSM Makassar itu tak merinci rencananya untuk sepak bola, bidang yang ia geluti sebelumnya.

Saat memajukan Saktiawan Sinaga sebagai caleg mereka, PKB menegaskan pentingnya keterwakilan pemain bola di gedung parlemen. “Kita juga perlu memperhatikan para atlit dan olahragawan, karena setelah 30 tahun mereka jarang dipakai lagi,” ujar Ketua DPW PKB Sumatera Utara, Ance Setiawan.

Perasaan “harus terwakili” itu yang mendorong Saktiawan untuk maju. “Saya ingin mewakili para pemain olahragawan [sic]. Karena selama ini sangat jarang diperhatikan, hal inilah membuat bersedia mencalonkan diri,” tuturnya.

Sedikit berbeda dengan Saktiawan yang menekankan jarangnya para pemain bola diperhatikan oleh para perumus hukum, Iqbal Samad lebih mementingkan hal lain saat maju memperebutkan kursi DPRD Kabupaten Gowa. Mantan bek Persiba Balikpapan ini ingin menjadikan Gowa layaknya Wamena. "Dulu hotel di Wamena itu hanya seperti rumah penduduk. Namun setelah Persiwa Wamena berlaga dikompetisi teratas justru semakin berkembang dan kini membangun hotel bintang lima. Artinya kita bisa memajukan daerah melalui olahraga," ujar Iqbal.

Iqbal mempunyai misi untuk memperjuangkan alokasi anggaran olahraga yang lebih besar, sehingga dapat dimanfaatkan untuk membantu sejumlah cabang olahraga, seperti tim sepak bola setempat, Persigo Gowa yang berkompetisi di Divisi III. Ia memilih mengikuti sejumlah pertandingan tarkam di daerahnya untuk sosialisasi dan kampanye. Ia juga meminta dukungan rekan-rekannya di PSM. “Syamsul Haeruddin yang juga merupakan putra asli Gowa juga siap mendukung”, tuturnya.

Mengantongi pengalaman sebagai pemain dan pelatih, Nil Maizar – seperti Komboy – tak banyak menyitir sepak bola dalam misinya maju ke Senayan. “Saya ingin berbuat baik untuk kampung halaman saya,” hanya itu yang ia jelaskan saat ditanya alasannya maju. Walau begitu, Nil secara eksplisit menyatakan bahwa ia tidak akan meninggalkan sepak bola – sesuatu yang benar-benar ia lakukan setelah tak terpilih, yaitu menerima pinangan menjadi komandan Putra Samarinda.

Sepak bola Indonesia telah lama bergelut dengan para politisi. Para anggota Volksraad era Hindia Belanda sudah merintisnya sejak puluhan tahun lampau: Otto Iskandar Dinata di Persib, MH Thamrin di Persija, dan Tengku Nyak Arif di Persiraja Banda Aceh, jauh sebelum orang-orang seperti Habil Marati, Hinca Panjaitan, atau Achsanul Qosasih duduk di kepengurusan PSSI

Namun, jika selama ini para politisi tulen yang ikut campur dalam urusan sepak bola Indonesia, sudah tiba saatnya para pesepakbola pula yang ikut campur dalam urusan politik. Para insan dunia kulit bundar ini punya nilai plus: mereka punya pemahaman mengenai sepak bola dan cara untuk mengurusnya, karena mereka pernah bergelut dengannya.

Sedangkan para politisi yang mengurusi sepak bola, tak pernah benar-benar tahu bagaimana sebenarnya sepak bola itu sendiri, karena satu alasan sederhana: mereka tak pernah berada di dalamnya.

Atau jika menyitir Harian Rakjat, “coblos caleg-caleg yang tahu persis bau keringat timnas yang membasahi seragam mereka saat bertanding!"

Tanbihat: Terdapat kesalahan paragraf kedelapan, yaitu pencantuman nama Ramlan dan Witarsa yang ternyata terbalik. Terima kasih kepada mas Aqwam untuk koreksinya :)

04 July 2014

Senioritas teras masjid

Bulan Ramadhan datang lagi. Dan seperti adanya di setiap bulan yang barokah ini, pasti ada yang namanya shalat Tarawih. Itu lho, yang ada versi 11 dan 23 rakaat.

Atas alasan shalat Tarawih, maka bulan Ramadhan adalah masa dimana masjid ramai dikunjungi ummat. Dari kakek-kakek renta hingga bocah-bocah cilik ingusan. Semuanya datang ke masjid, dengan wajah berseri-seri menunjukkan tanda kemenangan ummat [oke ini lebay]. Ya pokokmen, masjid ramai, lah. Entah itu untuk shalat Isya, mendengarkan ceramah Tarawih dari bapak mubaligh undangan dari luar, shalat Tarawih, atau tadarus Quran.

Dan atas alasan itu pulalah saya sekarang cukup sering ke masjid. Dan saya perlu akui kalau saya jarang ke masjid kalau bulan-bulan biasa.

Maka dengan itu saya “bersinggungan” lagi dengan kehidupan masjid yang ramai itu. Masjid kami itu semacam episentrum kehidupan di sekeliling kompleks. Ya gimana ndak jadi episentrum, pemilihan gubernur sampai nyembelih hewan kurban aja di situ.

Dan kejadian-kejadian kecil ketika bulan Ramadhan ini selalu menggelitik untuk dikisahkan. Ada fragmen menarik yang terjadi pada malam-malam bulan barokah ini: anak-anak mengatur anak-anak.

Jadi, ceritanya begini. Mengingat para pengurus masjid sudah terlalu sibuk [atau barangkali bosan] melayani tingkah polah anak-anak SD [kebanyakan kelas 1 atau 2] yang biasa memenuhi masjid setiap shalat Isya dan Tarawih, maka mereka menugaskan beberapa orang anak untuk mengawasi bocah-bocah SD ini.

Yang menariknya, orang yang ditugaskan untuk mengawasi bocah-bocah kelas 1 dan 2 SD ini pun usianya tidak terlalu jauh dengan orang-orang yang seharusnya mereka atur. Sepengamatan saya, para “petugas” ini kebanyakan kelas 5 atau 6 SD, alias masih “sepangkat” dengan yang mereka atur.

Namun, jangan salah. Untuk urusan menertibkan bocah-bocah kecil yang selalu berlarian ke sana ke mari ini, wuidih para “petugas” ini tak kalah sigapnya dengan pamong praja membongkar lapak ilegal pedagang pasar.

Kira-kira bentuk masjid kami adalah sebuah ruang shalat utama yang dikelilingi teras berkeramik, yang lebarnya tak kurang dari empat badan orang dewasa. Dan sesuai juklak-juknis yang diamanahkan bapak-bapak pengurus masjid kepada para “petugas” tadi, bocah-bocah target operasi tadi itu hanya boleh shalat Isya dan Tarawih di teras berkeramik itu. Tidak boleh di ruang shalat utama.

“KEPADAAAA ANAK-ANAK KAMIIII UNTUK BISA SHALAAAT DI TERAS SAMPING KIRI DAN KANAN MASJIIIIID. DAN JUGAAA KEPADAAA PARA REMAJAAA YANG BERTUGAAAS UNTUK MEMBIMBING ADEK-ADEKNYA SHALAAAAT. TERIMA KASIIIH.”

Begitu pengumuman yang selalu dikumandangkan, 30 hari se-Ramadhan [30 atau 29, tergantung Anda percaya Kementerian Agama atau tidak], setiap menjelang shalat Isya.

Ada tiga pintu untuk memasuki ruang shalat utama. Pintu pertama, sebelah timur dekat tempat wudhu dan gerobak abang sate menggelar dagangannya, siap dijaga sekitar tiga hingga empat orang “petugas”. Bocah-bocah kecil ini – seratus persen laki-laki – tidak shalat sejajar dengan bapak-bapak, karena di sana ada usungan jenazah. Mereka shalat sejajar dengan shaf ibu-ibu.

Pintu kedua, dari sebelah selatan masjid, tidak ada yang shalat. Itu pintu untuk memasuki ruang shalat utama ibu-ibu. Nah pintu ketiga, dari sebelah barat, ini yang paling ramai. Ada empat sampai lima “petugas” berjaga siaga tiga belas di sana. Komandannya seorang anak yang saya taksir baru masuk SMP.

Teritori yang biasa dikuasai para bocah-bocah cilik ini adalah teras sebelah timur dan barat. Dilapisi karpet yang sudah dimakan usia, rada usang [lho iya, yang bagus kan sudah diborong bapak-bapak di ruang shalat utama] dan kuning-kuning. Tapi saya lihat mereka bahagia aja tuh shalat di karpet seperti itu

Saya biasa masuk ke ruang shalat utama dari pintu barat. Kalau azan Isya sudah berkumandang, pintunya sudah siaga satu. Kalau ada diantara bocah-bocah kecil ini yang berani coba-coba masuk ke ruang shalat utama, kata-kata sakti langsung keluar dari para “petugas”: “ANAK KECIL SHALAT DI TERAS!”

Tegas, keras, dan efektif.

Dan sepengamatan saya, taktik pengurus masjid untuk meng-outsource petugas pengamanan dari bocah-bocah tanggung kelas 5 dan 6 SD ini [ya, bocah tanggung karena saya bingung mereka sudah bisa dikategorikan remaja atau masih bocah] ini cukup brilian. Para “petugas” menikmati wewenang mereka, karena tiga hingga empat “petugas” bisa mengawasi 20 sampai 30 orang anak di satu teras.
Lucunya, anak-anak kelas 1 dan 2 ini manut saja. Sempat ada dialog kecil yang saya tangkap ketika sedang mendengarkan ceramah Tarawih beberapa hari yang lalu.

Bocah X: Bang, boleh masuk Bang?
Petugas Y: [wajah ditegas-tegaskan] Nggak boleh, dek.
Bocah X: Kenapa, Bang?
Petugas Y: [wajah dikeras-keraskan] ANAK KECIL SHALAT DI TERAS. DUDUK SANA!

Dan bocah X tadi pun manut.

Nah, saat ceramah Tarawih, kadang teras yang jadi teritori untuk mendamparkan bocah-bocah kecil ini “direbut” oleh bapak-bapak penghuni ruang shalat utama yang gerah di dalam. Kadang mereka ingin merokok, ngobrol ngalor-ngidul. Jadilah teritori para bocah kecil dan komandan mereka “terjajah” seketika. Jamaah cilik pun bubar seketika. Ada yang menyambut dagangan abang sate di seberang teras sana, ada yang berlari-larian tak keruan, ada pula yang mengganggu jamaah perempuan di bagian belakang. Ramai.

Lho, tapi tidak lama. Ketika badal masjid sudah mengumandangkan “subhanal malikil ma’buuuuudddd” maka bapak-bapak yang merokok dan ngobrol di teras “jajahan” tadi pun kembali masuk ke ruang shalat utama. Teritori bocah kecil dan komandan tanggung pun diliberalisasi dari anasir-anasir orang dewasa. Para “petugas” segera mengumpulkan anggota peleton mereka yang tercerai berai. Dalam semenit, beres. Merdekah!

Biasanya sebelum tarawih, para “petugas” ini terlebih dahulu bikin operasi sapu jagat. Bocah-bocah yang masih “liar” berlari-larian, akan ditertibkan, digiring ke teritori di mana seharusnya mereka berada. Ini semua demi terlaksananya shalat Isya dan Tarawih yang murni dan konsekuen.

Alur kerja para “petugas” ini juga tidak main-main. Sebagai “pemberi amanah” adalah para pengurus masjid, bapak-bapak panitia pelaksana Ramadhan. Setelah “pemberi amanah”, dikenal pula “pengawas”. Artinya yang mengawasi “petugas-petugas” cilik tadi ini. Para “pengawas” biasanya remaja masjid – remaja beneran, bukan bocah kelas 5 atau 6 SD – yang sesekali melongok ke teras samping kiri atau kanan untuk mengawasi para “petugas”. Kalau ada diantara bocah-bocah ini yang mbandel, yang mangkel, dan tidak bisa ditangani di level “petugas”, maka “pengawas” yang turun tangan. Semacam kalau Pengadilan Negeri ndak bisa ngurus ya naik level ke Pengadilan Tinggi, gitu lho.

Jadi alurnya: bapak-bapak pengurus masjid ---> pengawas dari remaja ---> petugas bocah tanggung ---> bocah-bocah cilik penghuni teras. Begitu.

Keberadaan “petugas” cilik yang kerjanya menertibkan bocah-bocah ini saya kira hal baru. Tujuh atau delapan tahun silam, waktu saya masih di MDA [gini-gini saya pernah MDA, walaupun drop-out], yang mengawasi kami – kami di sini berarti bocah-bocah kelas 1 atau 2 SD – adalah langsung para remaja masjid atau pemuda, atau sekarang, level “pengawas”.

Mungkin sekarang sudah ada regenerasi teras masjid [kami juga dulu disuruh shalat di teras masjid], karena generasi yang mengawasi kami dulu mungkin sudah pensiun. Dan bocah-bocah kecil [umur dua hingga tiga tahun] waktu era saya MDA mungkin sekarang yang jadi para “petugas” itu. Hipotesis saya lho ya.

Dan satu lagi kebiasaan unik jamaah cilik ini: sahutan “aaaamiinnn” yang begitu panjang.
Jamaah cilik teras sebelah kiri dan kanan saya taksir jumlahnya ndak lebih dari 50, namun gema sahutan “aaaamiiinnn”-nya bisa nembus pori-pori tanah. Tidak percaya? Coba bandingkan.

Imam: Waladdhooooolllliiiiiiiiiiin.....
Bapak-bapak di ruang shalat utama: Aaaaaaaamiiiiiinnnn.........
Jamaah cilik teras masjid: AAAAAAAAMMMMMMMMIIIIIIIIIIIIINNNNNNNNNNNNNN!!!!!!

Kalau Pak Imam nadanya slow, bapak-bapak di ruang shalat utama nadanya medium, maka jamaah cilik teras masjid ini bisa dikatakan heavy super metal.

Dan kalau sudah begini, para “petugas” cuma membiarkan. Toh kadang mereka tergelak-gelak sendiri mendengar sahutan “AAAAAAAMIIIIINNNNN” macam itu.

Saat saya pulang ke rumah malam ini, linimasa Twitter menyajikan berita soal pelajar di salah satu SMA negeri di ibu kota negara yang harus sampai meregang nyawa karena perpeloncoan seniornya. Saya langsung kepikiran para “petugas” di teras tadi itu.

Semoga dengan mengenal budaya memimpin (walaupun cuma mimpin jamaah bocah cilik), para “petugas” tadi itu tidak sampai terlalu over kalau kelak jadi pemimpin.

Semoga saja, budaya "senioritas ala teras masjid" masih melekat sampai kapanpun. Tegas, tapi tetap lugu dan bersahaja. Dan tetap ketawa kalau ada "AAAAAMIIIIINNNN" yang kelewatan keras.

Pekanbaru, 21:44 WIB
Sambil mencoba mencari tahu apa yang bagus dari Guns N Roses

02 June 2014

Šimunić dan sebuah perlawanan yang beralasan

Menit ke-90, pukul sembilan malam, 22 Juni 2006. Lima puluh dua ribu suporter memenuhi Gottlieb Daimler-Stadion, kandang VfB Stuttgart. Hari ini  adalah laga terakhir pertandingan fase grup di Grup F, mempertemukan Kroasia dengan Australia. Wasit Graham Poll sedang bersiap-siap untuk waktu tambahan. Skor masih sama kuat, 2-2.

Tensi pertandingan ini sangat, sangat tinggi. Kedua tim masih belum pasti lolos ke putaran selanjutnya: Kroasia harus menang dan Australia tak ingin kebobolan. Darijo Šimić, bek kiri Kroasia, telah menerima kartu kuning kedua di menit ke-85, sementara sayap kanan Australia, Brett Emerton, turut serta terusir dari lapangan dua menit kemudian.

Australia kembali menyerang, kali ini lewat poros Harry Kewell, Tim Cahill, dan Mark Viduka. Bek kanan Kroasia, Josip Šimunić, berusaha untuk menghalang serangan bertubi-tubi pasukan Negeri Kanguru itu. Pemain Hertha Berlin itu pun melancarkan tekel keras, sangat-sangat keras kepada Viduka. Tekel yang tanpa tedeng aling-aling, hingga menyebabkan beberapa komentator menyebutnya sebagai “tekel rugbi”. Wasit Poll segera menghampiri, lalu mengeluarkan kartu kuning dari sakunya.

Itu kartu kuning kedua buat Šimunić. Laga pun berjalan kembali. Waktu tambahan tiga menit.

Ajaibnya, Šimunić tak perlu bersusah-susah keluar dari lapangan. Wasit Poll kembali meneruskan jalannya pertandingan.

Baru menjelang peluit akhir, Poll kembali menghampiri Šimunić. Bek jebolan Australian Institute of Sport itu kembali mendapat kartu kuning dari Poll, karena mantan pemain Hamburger SV itu mendorongnya.

Perlu tiga kartu kuning untuk mengusir Šimunić, namun semuanya sudah terlambat. Skor bertahan 2-2, dan Australia melaju ke putaran 16 besar.

Poll, wasit Inggris itu, lupa bahwa ia sudah memberi kartu kuning pertama kepada Šimunić setengah jam silam, dan memberinya yang kedua tiga menit yang lalu. Poll lupa bahwa selain memberi kartu kuning kedua, tugasnya adalah memberi kartu merah dan memastikan Šimunić keluar lapangan.

Pada titik ini, semua pasti bisa melihat bahwa yang salah di sini adalah Poll. Sebagai pemimpin pertandingan, ia berwenang mengeluarkan kartu kuning dan merah. Namun dalam kasus Šimunić, ia hanya menggunakan separuh kewenangannya: memberi kartu kuning kedua, namun tak memberi kartu merah.

Kisah selanjutnya adalah serangkaian kontroversi. Sebagian suporter Kroasia membenarkan tindakan Šimunić – dan memang, dia memang benar – dan mencerca Poll sebagai wasit pelupa. Sebagian lagi berpendapat bahwa Šimunić, sebagai pemain profesional, seharusnya patuh akan hukum Law of the Game, bahwa dua kartu kuning berarti pengusiran.

Namun, siapa yang rela membayar denda karena mengebut di jalan raya kalau polisinya lupa memberi surat tilang?

Poll mengaku bahwa ia memang bersalah. “Di menit ke-89 saat saya memberikannya kartu kuning, saya mencatat nomor kaus yang benar, tapi dengan nama yang salah,” aku pria asal Hertfordshire itu, “saya justru mencatat bahwa saya memberi kartu kuning pada pemain Australia, Craig Moore [yang bernomor kaus sama dengan Šimunić, 3]. Ini kali pertama kejadian seperti ini selama karir saya selama 26 tahun.”

Pada akhirnya, Poll – yang digadang-gadang untuk jadi pemimpin partai final di Olympiastadion, Berlin nanti – terpaksa angkat koper lebih awal. Kesalahannya terlalu fatal untuk Komite Wasit FIFA, sehingga membuatnya terpojok sedemikian rupa. Sejak saat itu, ia tak pernah memimpin partai-partai di Piala Dunia lagi.

Dan Šimunić? Lantaran Kroasia tersungkur dari Piala Dunia – mereka menempati posisi ketiga Grup F dengan dua poin hasil dua kali seri dan satu kali kalah, hanya lebih baik dari Jepang – ia tak perlu lagi bersua dengan Piala Dunia, setidaknya sampai saat ini. Kroasia tak lolos ke Afrika Selatan 2010.

Apakah Simunic indisipliner? Sejatinya, tidak.

Pada Šimunić, – entah dengan sarkastis atau tidak sadar – ia sebenarnya sedang menuruti perintah sang wasit. Ia tidak berusaha untuk menafsirkan kartu kuning keduanya sebagai sebuah pengusiran.

Dan ia memiliki argumen kuat untuk tidak keluar lapangan: ia tak menerima satu pun kartu merah hingga tiga menit kemudian, saat jumlah kartu kuning sudah ganjil jadi tiga.

Kasus Šimunić terbilang menarik, karena selama ini, mayoritas dari kita menganggap wasit sebagai dewa. Segala tindak-tanduknya adalah wahyu, segala ucapannya adalah sabda. Tak ada yang dapat melawan sang wasit, karena ia pegang tampuk tertinggi dalam suatu pertandingan.

Namun Šimunić, kita boleh bilang bahwa dia melawan. Penolakannya untuk keluar lapangan – meski pada akhirnya ia memang harus keluar – adalah penolakan yang beralasan, a reasonable disobedience.

Šimunić berhasil mematahkan kultus “wasit adalah dewa”, dengan cara yang paling sederhana, sekaligus yang paling kejam: memanfaatkan kesalahan sang dewa.

Tanbihat: Esai pendek ini awalnya diniatkan untuk dikirim ke salah satu media nasional yang punya rubrik mingguan soal sepak bola. Namun karena tak kunjung dibalas, boro-boro diterbitkan, maka saya pajang saja di sini :P

25 May 2014

Kemana para penyerang lokal kita?

Konon, kunci kesuksesan persepakbolaan di sebuah negara adalah pembinaan pemain muda yang berkelanjutan. Dan lini serang adalah lini yang paling krusial untuk pembinaan.

Namun, sepanjang sejarah sepak bola Indonesia, klub-klub kasta pertama lebih suka menggunakan jasa penyerang asing untuk klub mereka. Tak heran, jika para penyerang lokal kerap terpuruk, atau bahkan tergilas sama sekali oleh para juru gedor asing yang datang berbondong-bondong memenuhi liga.

Mari kita mulai dari era Divisi Utama, sejak nama itu mulai dipakai sebagai nama kasta tertinggi sepak bola Indonesia.

Sejarah mencatat, dalam tiga musim terakhir penyelenggaraan Divisi Utama Liga Indonesia sebagai kasta tertinggi sepak bola negeri ini, anugerah pencetak gol terbanyak selalu jatuh kepada mereka yang bukan warga Indonesia dan bukan ditempa oleh jaringan pembinaan pemain muda Indonesia: Cristian Gonzales, saat itu masih warga negara Uruguay, memborong titel pencetak gol terbanyak dari musim 2005 hingga 2007-08, semuanya bersama Persik Kediri.

Dan yang [tak] lebih mengejutkan, hanya ada empat pemain asli Indonesia yang ditempa oleh pembinaan pemain muda Indonesia selama 14 tahun Divisi Utama sebagai kasta tertinggi: Peri Sandria, Kurniawan Dwi Yulianto dan Ilham Jaya Kesuma (yang merebutnya dua kali).

Selebihnya? Diborong antara para penyerang Afrika seperti Alain Mabenda dan Sadissou Bako, para juru gedor Amerika Latin seperti Oscar Aravena dan Jacksen F. Tiago, atau bahkan jatuh kepada seorang Eropa, dalam rupa Dejan Gluscevic.

Ketidakberdayaan para juru gedor lokal untuk menembus hegemoni striker impor dari luar selama era Divisi Utama pun berbanding lurus dengan kualitas lini serang timnas pada era yang sama. Setelah penyatuan Galatama dan Perserikatan menjadi Divisi Utama pada tahun 1994 sampai turun pangkat jadi kasta kedua 2008, tim nasional senior setidaknya telah bermain di empat fase grup Piala Asia dan tujuh Piala AFF.

Dalam empat kesempatan berlaga di fase grup Piala Asia (dari 1996 hingga 2007), Indonesia “cuma” mencetak sembilan gol. Kita bahkan tak mencetak  sebiji gol pun di fase grup Piala Asia 2000, meskipun menggelontorkan 18 gol di babak kualifikasi!

Dalam ukuran Piala AFF, Indonesia mencetak 106 gol dalam tujuh kali penyelenggaraan turnamen itu dalam rentang 1994-2008: dan finis tiga kali sebagai peringkat kedua. Itu berarti kita mencetak rata-rata 15.14 gol setiap turnamen. Dibandingkan dengan – katakanlah –Malaysia (yang mengemas 64 gol dari 7 keikusertaan, rataan 9.14), jelas memang para penyerang kita lebih produktif, setidaknya pada rentang itu.

Namun patut diingat: pada rentang yang sama merajalelanya penyerang asing sebagai pencetak gol terbanyak di Divisi Utama, para penyerang Malaysia cukup bisa mengimbangi pengaruh penyerang asing di liga mereka sendiri. Enam pemain lokal berbeda berhasil menjadi pencetak gol terbanyak Liga Super Malaysia antara 1994 hingga 2008, dengan Mohd Hashim Mustapha masih menjadi pemegang rekor pencetak gol terbanyak dalam satu musim dengan 25 gol bersama Kelantan FA pada musim 1994.

Memasuki era Liga Super Indonesia, Boaz Solossa memang menjadi pencetak gol terbanyak di musim pertama, 2008-09. Namun patut dicatat, Cristian Gonzales sama tajamnya: orang Uruguay ini mencetak gol dengan jumlah yang sama dengan Boaz. Selain itu, di antara para pemain yang berhasil mencetak 10 gol ke atas, jumlah gol yang dicetak pemain asing (214 gol) jauh lebih banyak daripada gol yang dicetak pemain lokal (104 gol).

Ketimpangan itu berwujud selisih 110 gol!

Pun di musim selanjutnya, penyerang asing masih mendominasi daftar pencetak gol terbanyak. Aldo Barreto menjadi pemuncak dengan 19 gol berseragam Bontang FC, sementara cuma ada dua pemain lokal yang mampu menembus batas 15 gol: Boaz di Persipura dan Muhammad Isnaini di PSPS Pekanbaru (Cristian Gonzales masih berpanji Uruguay saat musim berakhir). Pencetak gol terbanyak sang juara, Arema, pun bukan orang lokal, melainkan Noh Alam Shah dari Singapura.

Hal ini berkorelasi dengan prestasi Indonesia di kancah internasional. Alfred Riedl membawa lima penyerang ke Piala AFF 2010: Gonzales, Johan Juansyah, Irfan Bachdim, Bambang Pamungkas dan Yongki Aribowo. Gonzales mencetak 18 gol, Juansyah hanya mencetak tiga gol untuk Persijap di musim 2009-10, Bepe dengan 14 gol, Bachdim tak main di ISL dan Yongki dengan tujuh gol di Persik Kediri.

Secara kolektif, Indonesia membawa lima penyerang dengan total 42 gol di liga. Jika dibandingkan dengan Malaysia, misalnya, mereka membawa empat penyerang: Norshahrul Idlan Talaha, Safee Sali, Izzaq Faris Ramlan dan Ashaari Shamsuddin. Idlan mencetak 11 gol untuk Kelantan di musim sebelumnya, Safee dengan 12 gol untuk Selangor, Izzaq belum bermain di Liga Super dan Ashaari dengan 18 gol untuk Terengganu. Malaysia membawa empat penyerang yang mencetak 41 gol di liga lokal mereka sendiri.

Fakta kelak memang berbicara di lapangan. Kuartet Malaysia memborong 8 gol selama turnamen, sementara lima penyerang Indonesia hanya bisa membungkus tujuh gol.

ISL pada musim-musim berikut pun masih mempertontonkan kedigdayaan penyerang asing dibanding penyerang lokal. Boaz memenangi sepatu emas musim 2010-11 dengan 22 gol, tetapi bahkan tak ada pemain lokal yang menembus setidaknya 15 gol. Beto Goncalves memuncaki tabel pencetak gol pada musim selanjutnya dengan 25 gol, dan cuma enam penyerang lokal yang mampu mencetak 10 gol ke atas (dibanding 18 pemain asing). Di liga “tetangga pemberontak”, Liga Prima, Ferdinand Sinaga memang merebut sepatu emas dengan 15 gol, tetapi hanya tiga pemain Indonesia yang mampu menembus 10 gol (dibanding empat pemain asing).

Ketimpangan produktivitas antara pemain asing dan lokal masih terasa hingga Liga Super musim lalu. Memang sudah ada tiga penyerang lokal yang menembus 15 gol musim lalu dan Boaz Solossa kembali menjadi pemuncak dengan 25 gol, tetapi jumlah pemain asing yang sama-sama mencetak 15 gol ke atas adalah dua kali lipat dari jumlah pemain lokal. Bahkan jika dihitung memakai ukuran “pemain Indonesia yang dibina di klub Indonesia”, musim lalu hanya menyisakan Boaz sebagai “penyerang Indonesia murni”, karena Sergio van Dijk dan Gonzales jelas hasil naturalisasi.

Dan di Liga Super musim ini, belum ada penyerang lokal yang mampu menembus 10 gol – tetapi Pacho Kenmogne, juru gedor Kamerun milik Persebaya, justru sudah mencetak 11 gol. Lebih ironis lagi, klub macam Semen Padang harus bertumpu pada winger (alih-alih striker) asing seperi Esteban Vizcarra sebagai mesin gol utamanya.

Ketimpangan semacam ini tampaknya masih akan terus berjalan jika tidak ada upaya untuk membenahinya. Berjalannya Liga Super U-21 belum memecahkan masalah. Lihat Aditya Putra Dewa, pencetak gol terbanyak LSI U-21 musim 2008-09 dari PSM Makassar, yang kini terpaksa pergi dari Makassar menuju Persepam Madura United lantaran gaji yang kerap telat dan jarang dimasukkan ke skuat inti. Perhatikan pula Aldeir Makatindu, pencetak gol terbanyak dua musim berturut-turut bersama Persisam U-21 yang kini tersisih karena kehadiran Ilija Spasojevic sebagai bomber utama skuat Pusam.

Sudah saatnya kita memerhatikan lebih jauh lagi masa depan para penyerang lokal. Para penyerang asing sudah terlalu lama mencengkeram di tiap klub Indonesia, sehingga para pelatih lokal yang terpesona oleh bakat mereka memilih untuk melupakan (atau bahkan membuang jauh-jauh) talenta juru gedor lokal.

Barangkali solusinya memang adalah pelarangan pemain asin, seperti yang dilakukan Galatama dulu. Selama era pelarangan pemain asing, Galatama menampilkan talenta-talenta penggedor lokal yang luar biasa, seperti Bambang Nurdiansyah, Ricky Yacobi dan Ansyari Lubis. Hasilnya pun manis: dua kali mendulang medali emas sepak bola di SEA Games.

Melarang sepenuhnya pemain asing memang suatu pil pahit untuk popularitas liga, tapi apa boleh bikin kalau tak hendak melihat para penyerang timnas kepayahan menembus pertahanan lawan di kancah internasional hanya lantaran jarang dimainkan di klubnya sendiri?

11 May 2014

Karena PSPS (ternyata) masih ada

Sejujurnya, saya tak pernah benar-benar bisa menggemari PSPS Pekanbaru, walaupun saya tumbuh besar di kota ini.

Dulu saya beranggapan bahwa level permainan PSPS jauh sekali di bawah Semen Padang – klub yang saya gemari dan imani sedari kecil. Saya tak pernah bisa menganggap PSPS sebagai lawan yang setimpal dengan Kabau Sirah. Sejak saya pindah ke Pekanbaru pada tahun 2003 sekalipun, saya tak pernah menonton langsung pertandingan PSPS di Pekanbaru, atau bahkan untuk sekadar ambil pusing soal hasil-hasil pertandingan terbaru sang Asykar Bertuah.

Namun, manusia memang dilahirkan untuk cepat melupakan. Anggapan ini memudar seiring waktu berjalan.

Dalam tiga tahun terakhir, saya duduk di bangku SMP. Bergaul dengan bermacam-macam orang, juga bermacam-macam afiliasi klubnya. Saya mulai menaruh perhatian terhadap sepak bola lokal – setelah dari dulu dicekoki tontonan liga seberang laut macam Inggris dan Italia – dan menemukan bahwa sepak bola Indonesia adalah tontonan yang sangat menarik. Ada berbagai percampuran budaya di sana. Ada cerminan kehidupan rakyat di sana.

Dan saya, tiap memperkenalkan diri berasal dari Pekanbaru, selalu ditanyai dengan sebaris kalimat berakhiran tanda tanya tiap kali berbicara dengan sesama penggemar sepak bola lokal: “pasti fans PSPS ya?”

Mau tidak mau, dalam beberapa tahun terakhir saya menaruh perhatian khusus terhadap klub yang satu ini. Saya mulai menonton beberapa pertandingan PSPS di televisi – yang sayangnya, tak pernah rutin ditayangkan. Apalagi setelah PSPS terlempar dari kasta tertinggi sepak bola Indonesia, Liga Super Indonesia. Laga-laga mereka tak pernah lagi  ditayangkan televisi nasional – atau bahkan sekedar dikomentari oleh radio lokal Pekanbaru.

Mau tidak mau, satu-satunya cara untuk menyimak langsung tim putih-biru ini adalah dengan menontonnya langsung ke Stadion Kaharuddin Nasution, tempat klub ini berkandang.

Pertama kali saya menonton PSPS bermain langsung di stadionnya adalah beberapa bulan yang lalu, yang saya kira merupakan sebuah keterlambatan yang amat sangat terlambat dari seseorang yang tumbuh dan besar di kota ini. Namun, sekali lagi, better late than never.

Hari ini saya berkesempatan menonton lagi sang Asykar Bertuah. PSPS akan menghadapi PSMS Medan dalam laga lanjutan Divisi Utama Liga Indonesia. Sekedar catatan, kelanjutan kompetisi ini sempat ditunda karena “situasi keamanan yang kurang kondusif menjelang pemilihan umum” (ya, sangat normatif sekali alasannya), dan sejauh ini PSPS sendiri baru main dua kali dengan meraup enam poin penuh, sementara sang tamu Ayam Kinantan masih belum pernah menang.

Ada dua kesimpulan yang saya tarik saat menaiki tangga-tangga berundak Kaharuddin Nasution.

Yang pertama adalah: ini adalah laga yang sebenarnya.

Saya belum pernah menonton sekalipun pertandingan liga Indonesia yang sebenarnya. Di Padang, saya sempat menonton beberapa laga Semen Padang saat mereka masih berkompetisi di kancah Indonesia Premier League, yang semua tahu bahwa meski itu merupakan kompetisi yang (konon) resmi dibawah lindungan PSSI, namun pamornya masih kalah (dengan sangat telak) dan pesaingnya, Indonesia Super League.

Animo masyarakat Padang terhadap laga-laga SP di IPL pun tak sebesar kala SP melawan klub-klub IPL seperti Persib, Persija atau Arema, sebab musababnya SP cuma menghadapi tim recehan selama berkiprah di IPL (kecuali tentu saja, klub alumnus ISL seperti Persibo, PSM dan Persebaya). Kali pertama saya menonton PSPS adalah sebuah latih tanding yang tak ubahnya kancah testing the water saja.

Namun kali ini, saya akan menonton laga liga yang sebenarnya, meski cuma pertandingan Divisi Utama yang notabene merupakan kasta kedua dalam jenjang sepak bola negeri ini.

Kesimpulan kedua: saya akan duduk di tribun VIP barat, persis di samping tribun utara, tempatnya Curva Nord.

Pendukung tim-tim sepak bola Italia  tentulah mengenal tradisi curva dalam kebudayaan sepak bola Italia. Para suporter fanatik yang bergoyang sambil mengibar-ibarkan kaus hitam mereka di udara selama puluhan menit sambil menempati lengkung sempit di utara dan selatan stadion. Mereka kerap disebut ultras, pendukung fanatik suatu klub dengan identitas misterius, mengoarkan yel-yel dan spanduk-spanduk, membentuk koreografi-koreografi menakjubkan, bahkan kadang tak segan untuk baku hantam membela panji klubnya. Belakangan tradisi seperti ini menyeruak masuk ke dalam budaya suporter sepak bola Indonesia, seperti munculnya Brigata Curva Sud yang fenomenal di Sleman.

Dan Pekanbaru juga punya curva-nya sendiri. Kelompok ini dinamai Curva Nord 1955. Sesuai namanya, kelompok ini bermukim permanen di tribun utara Stadion Kaharuddin Nasution.
Sebenarnya PSPS juga mempunyai kelompok suporter yang lain, bernama Asykar Theking. Kelompok ini lebih populer ketimbang Curva Nord karena merupakan kelompok yang diakui resmi oleh klub, dan menempati tribun selatan stadion.

Saat pertama kali saya menonton di Kaharuddin Nasution, saya mendapat tiket VIP Timur yang terletak bersebelahan dengan tribun selatan, tempat kelompok ini berada. Dan saya cukup terkesan akan totalitas dan loyalitas mereka terhadap PSPS.

Namun, ternyata Curva Nord jauh lebih ekspresif dari yang saya bayangkan. Mereka sanggup berputar-putar di tribun utara nan panas itu selama satu setengah jam, beberapa kali bahkan melepas pakaian mereka dan memutar-mutarkannya ke udara. Mereka juga menampilkan spanduk-spanduk, mulai dari yang berbau regionalitas (“CN cabang ini dukung PSPS selalu!”) hingga yang berbau filosofis (ada spanduk CN bertuliskan “marwah Riau” di sepanjang pagar pembatas tribun utara).

Setelah menarik dua kesimpulan di atas, saya duduk di tribun VIP Barat. Terik sore matahari Pekanbaru tampak mulai meredup. Peluit wasit telah disalakkan. Saya ternyata terlambat masuk lima menit.

Saya baru sadar satu hal yang berubah saat pembawa acara meneriakkan kata “PSPS Riau” saat Andre Abubakar menyarangkan gol ke gawang Ayam Kinantan sepuluh menit setelah saya masuk stadion. Ternyata PSPS Pekanbaru kini bukan lagi mewakili Kota Pekanbaru saja, melainkan juga seluruh Riau.

Inilah hebatnya sepak bola. Ia bisa jadi pragmatis dan konservatif dalam rentang waktu yang tak begitu jauh. Dalam kasus PSPS, pergantian nama merupakan sesuatu yang sudah lazim terjadi.

Sejak ISL 2013, PSPS sudah beberapa kali berganti nama. Pertama kali saat klub ini “diselamatkan” oleh Bupati Kampar, yang berjanji memperbaiki kondisi finansial klub. Alhasil, PSPS diboyong keluar dari kota kelahirannya menuju Bangkinang, ibu kota Kabupaten Kampar nun lima puluh kilometer sebelah barat Pekanbaru. Mereka bermain di Stadion Tuanku Tambusai dan mulai menggunakan PSPS Kampar Riau. Artinya mereka bermain sebagai Persatuan Sepak Bola Pekanbaru dan Sekitarnya Kampar Riau [sic].

Namun, masa pengungsian Asykar Bertuah di Bangkinang tak lama. Mereka pulang ke Pekanbaru setelah sang bupati angkat tangan dalam mengatasi masalah finansial. PSPS terpuruk di klasemen ISL – menempati posisi juru kunci, empat kali menang, perbedaan gol -81 dan cuma mengoleksi 17 poin dari total 34 pertandingan. Mereka pun tergusur dari kasta tertinggi.

Setelah naiknya Maman Supriadi sebagai manajer baru PSPS sekitar bulan April tahun ini, PSPS berubah nama lagi menjadi PSPS Riau. Maman – notabene menantu dari Gubernur Riau Annas Maamun – mengganti logo PSPS. Logo lama yang mengandung lambang Kota Pekanbaru diganti dengan lambang warna hijau Provinsi Riau. Tidak ada yang pernah mencatat  alasan jelas dari pergantian nama ini, selain keterangan bahwa Pemerintah Provinsi hanya bersifat mendukung penuh.

Dan sepengamatan saya, Asykar Theking tampaknya belum menerima perubahan logo baru itu. Logo lama dengan lambang Pemerintah Kota masih terpasang di banner mereka. Beda dengan Brigata, yang cepat tanggap dengan memasang logo Pemprov Riau di banner yang bertuliskan “Marwah  Riau”.

Ternyata PSPS memang sudah tak jadi kebanggan Pekanbaru saja, tapi juga Riau secara keseluruhan.

Babak kedua telah berakhir. Sayup-sayup lagu-lagu pop Indonesia berkumandang dari tempat panpel duduk.

Sejenak saya perhatikan ambulans yang disiagakan panpel untuk mengangkut pemain yang cedera. Ada logo Pemprov Riau di sana, tapi minus tulisan PSPS. Wah, menarik juga, pikir saya. Lalu ada tulisan Universitas Riau di samping kanannya. Ini pasti dari RS Unri, saya pikir lagi.

Namun, di bawah tulisan Universitas Riau itu, ada tulisan tegas, ditulis dengan huruf kapital warna merah.

BANTUAN BUPATI ROKAN HILIR, H. ANNAS MAAMUN.

Annas, yang kini menjabat Gubernur Riau, sebelumnya memang menjabat sebagai Bupati Rokan Hilir, sekaligus pemimpin Partai Golongan Karya di provinsi ini. Dan saya perhatikan mobil ambulansnya, masih baru dan berkilau. Tampaknya masih kinclong dari ruang pameran.

Saya putuskan untuk tak memerhatikan ambulans itu, dan melihat gocekan pemain PSPS di lapangan.
Asykar Theking mulai riuh di awal babak kedua. Mereka menyanyikan “kuyakin pasti kau menang” menggunakan irama I Believe I Can Fly-nya R. Kelly. Unik, sekaligus syahdu.

Dan hukum aksi-reaksi memang selalu ada di sepak bola. Sepenanakan nasi setelah Asykar Theking selesai bernyanyi, Curva Nord membalasnya dengan atraksi buka baju dan memutar-mutarkannya ke udara. Eksplosif.

Matahari tinggal sepenggalahan lagi untuk terbenam. Sementara pertandingan masih lama.

Tensi pertandingan makin panas. Pelatih Asykar Bertuah, Philip Hansen Maramis, sudah berkali-kali keluar dari bangku cadangan ke garis pinggir lapangan untuk memberi komando. Hal yang sama juga dilakukan pelatih PSMS, yang saya tidak tahu namanya.

Sekitar menit ke-60, terjadi screamage di gawang PSMS. Entah bagaimana caranya, dua striker PSPS dikerumuni lima hingga enam orang barisan belakang PSMS. Mungkin mereka menerapkan strategi kerubuti-kerubuti-kerubuti, sehingga terjadilah handsball pada salah satu penggalang pertahanan PSMS.

Awalnya PSMS berusaha menampik. Keributan sempat terjadi selama lima menit karena pemain PSMS berusaha untuk meyakinkan wasit bahwa handsball  yang dituduhkan tak pernah terjadi. Namun untungnya, wasit berpendirian teguh. Ia menunjuk titik putih. Novrianto maju, dan dengan tenang menceploskan si kulit bundar ke gawang si Ayam Kinantan. Stadion kontan bergoyang.

Beberapa menit setelah eksekusi penalti itu, kepala salah satu striker PSPS menjadi sasaran gasakan oleh bek PSMS. Mungkin sang bek tak puas dengan penalti yang diberikan wasit. Namun, wasit bergeming. Tak ada tindakan untuk gasakan itu. Namun, saat sang pemain ditarik keluar kira-kira lima menit kemudian, ia mendapat sorakan sinis dari tribun tertutup.

Hah, sepak bola itu memang keras!

Tiga menit berselang setelah ditariknya sang bek tukang gasak itu sebelum terjadi lagi keributan di gawang PSPS. Kiper Adi Candra didorong salah satu penyerang PSMS, menyebabkan bergemuruhnya tribun selatan tempat Asykar Theking bermukim. Sang kiper terjatuh dan tampak kesakitan. Penghuni tribun makin garang, tapi wasit bergeming. Tak ada tindakan.

Baru pada menit delapan puluhan, serangan PSPS membuahkan hasil. Lewat kerja sama lini tengah yang digalang Firman Septiadi dan Ifrawadi, Andre Abubakar berhasil menceploskan bola liar yang beredar di kotak dua belas pas PSMS. 3-1 untuk PSPS.

Setelah gol ketiga, penghuni tribun – baik utara maupun selatan – merasa mulai di atas  angin. Asykar Theking menyanyikan chants-nya yang terkenal retoris, “Siapa Suruh Lawan PSPS?”.

Dan nyatanya, memang PSMS tak memegang kendali lagi dalam sepuluh menit terakhir laga. Stadion bergoyang. CN menyalakan suar dan kembang api.

Satu pertandingan usai sudah. Asykar Bertuah ternyata memang masih ada, dan mereka berjaya.

Perjalanan pulang ternyata lebih sulit ketimbang perjalanan berangkat. Selain konvoi ratusan sepeda motor pendukung PSPS yang mengibarkan bendera biru, warna tradisional mereka. Macet juga terjadi, terutama karena sore itu hanya satu jembatan yang difungsikan: Jembatan Siak I, yang dibangun Belanda puluhan tahun lampau dan populer sebagai Jembatan Leighton.

Jembatan Siak III, yang berwarna kuning cerah dan baru siap dibangun tahun lalu, harus menjalani “perbaikan”. Saya sendiri heran mengapa konstruksi penjajah jauh lebih awet ketimbang jembatan yang dibangun kita sendiri.

Keheranan itu buyar seketika. Saya melihat seorang pendukung PSPS memakai baju kaus biru, dibonceng temannya di atas motor. Bagian belakang kausnya terpatri tulisan, “Ultras No Politica.” Ultras tak berpolitik.

Sejenak pikiran saya melayang lagi ke ambulans yang siaga di bawah tribun tadi. Sungguh kontras dengan tulisan yang terpatri di kaus ini.

Ah, saya menelan ludah. Pahit.

Pada 26 April 2014 yang silam, saya menonton pertandingan PSPS vs PSMS di Stadion Kaharuddin Nasution. Sebenarnya tulisan ini sudah lama selesai, namun terbengkalai begitu saja di folder tulisan. Baru hari ini saya berminat lagi untuk melengkapi dan mengeditnya.

09 May 2014

Pre-exam notes

Tomorrow will be the last day we face the mid-semester test.

I don't always worry about my results. I've do what I can and the rest, I don't care. I've write what they want and I've answered what they ask.

Strange, huh? I don't think so.

I never think examination is a scary thing. The exam did not come to you in a form of mythical creature from a cave or an electrical chair that will punish you. The exam never come to you in form of Joseph Goebbels's S.S. force or Benito Mussolini's fascist youth. The exam is only a piece of written paper, several hour time, a pen and God in your side, nothing less.

I can't fully understand those who feel scared or haunted during the exam. They said exam can make your brain explode and push you to your maximal thinking limit. I offered my sympathy for those who think like that.

Since I'm still a little child, I was teached that exam is a celebration of knowledge. Examinations offered you a kind of celebrative feel: where you can write all what you know in a blank paper for two hours. That's like when you go abroad to gain knowledge and returned home to discuss it with people who are also going abroad to deepen their knowledge. Exam is a feast. In a suitable place, you can feel the exam in the air.

When I was abroad several years ago and studied there, I can't feel the exam in the air. Exams there were very strict and full of discipline. Final year students there must attend preparation class for their final exam everyday, even in the night! Imagine!

Luckily I managed to escape from having my elementary school final exam there. I finished my elementary school here, and enter my junior high school here.

With their so-called idealism and egalitarianism, my teacher has been successfully indoctrinizing bravery to their students heart. Do not underestimate the exam, but at the same time, don't worry to much. Celebrate the exam like when you meet an old friend who has gone for six month. Fear not, they said. Focus to your goal and conquer the exam. After that, celebrate it.

I will face my national exam next year. Unlucky, the exam will be in form of multiple choice, none of them will ask my opinion like essay model questions usually do. No worry, I will conquer it with my style, just like what Sami Yusuf said:

I did not need anyone to show me my way
I did not need, anyone, but you...

08 May 2014

Mereka yang bukan juara di pentas para juara

Para juara haruslah diadu dengan para juara. Setidaknya demikian yang berada di pikiran Gabriel Hanot.

Hanot, seorang mantan bek tengah tim nasional Perancis dengan catatan 12 kali membela Si Ayam Jantan (kemudian mendapat kecelakaan pesawat dan banting setir menjadi redaktur L’Equipe, salah satu harian olahraga terpopuler di Eropa) pertama kali membincangkan gagasan itu dengan kompatriotnya sesama pewarta, Jacques Ferran pada tahun 1948.

Ferran meliput Campeonato Sudamericano de Campeones (“Kejuaraan Juara-Juara Amerika Selatan”) di Santiago, ibu kota Chile. Turnamen ini mempertemukan tujuh tim berbeda dari tujuh negara Amerika Selatan: termasuk River Plate, klub Argentina pemenang Primera Division 1947 dan Nacional, yang memenangi Primera Division Uruguay setahun sebelumnya.

Ia langsung terpukau melihat kompetisi ini. Dalam turnamen berformat round-robin itu, Vasco da Gama (wakil Brasil, sang juara Campeonato Carioca tahun sebelumnya) akhirnya memenangkan kompetisi dengan raihan sepuluh poin dari enam laga: empat kali kalah dan dua kali menang. Vasco terpaksa bersaing ketat dengan River Plate dan Nacional, yang kemudian duduk sebagai peringkat kedua dan ketiga berturut-turut. Ferran langsung kembali ke Perancis untuk menemui Hanot, dan mulai menggagas kompetisi antarklub di Eropa. Saat itu, yang berada di pikiran Hanot dan Ferran adalah kompetisi yang mengadu para juara.

Pada musim panas lima tahun berselang setelah Vasco da Gama menjunjung trofi di Santiago, Wolverhampton Wanderers (yang kini tersuruk di divisi dua Inggris) memulai serangkaian latih tanding ke seluruh dunia. The Wolves menjamu tim-tim macam Racing Club dari Argentina, Spartak Moscow dari Uni Soviet dan akhirnya melawan Budapest Honved dari Hongaria. Tim Honved saat itu bermaterikan pemain dari tim nasional Hongaria, namun terpaksa mengakui keunggulan klub dari West Midlands itu dengan skor 3-2. Pelatih Stan Cullis dan media Inggris dengan pongahnya mendeklarasikan Wolves sebagai “juara dunia”.

Namun, Hanot menyanggah pernyataan pongah Cullis dan pers Britania. “Sebelum kita mengumumkan Wolverhampton adalah klub yang tak terkalahkan,” tulis Hanot berapi-api di korannya, “biarkan mereka berlaga ke Moscow dan Budapest. Dan ada dua klub besar lain: AC Milan dan Real Madrid. Sebuah kompetisi antar juara-juara sedunia, atau paling kurang untuk benua Eropa – lebih besar, lebih berarti dan lebih prestisius ketimbang Piala Mitropa – harus mulai digulirkan.”

Hanot menekankan bahwa kompetisi yang bermain di otaknya saat itu adalah sebuah kompetisi yang mengadu para juara-juara dunia, atau paling kurang, mengadu para juara Eropa. Ia menulis itu di musim panas 1953. AC Milan merupakan klub besar Italia saat itu – merebut scudetto pada musim 1950-51 lewat lesakan 34 gol Gunnar Nordahl – dan mengulanginya kembali dua musim berselang.

Real Madrid juga merebut takhta juara La Liga semusim setelah Hanot menulis kalimat di atas. Dan seperti yang ditulis Hanot, ia menginginkan sebuah turnamen yang “lebih besar, lebih berarti dan lebih prestisius ketimbang Piala Mitropa.” Piala Mitropa adalah turnamen antar klub Eropa Tengah, mempertemukan tim-tim Austria, Hungaria, Yugoslavia dan Hongaria.

Bagi seorang visioner macam Hanot, jelas turnamen itu tak cukup.

Setelah UEFA bersidang pada Maret 1955 dan disahkan sebulan kemudian, Piala Eropa edisi pertama mulai bergulir pada 4 September 1955. Yang menarik adalah, ternyata tak semua dari 16 tim peserta edisi pertama ini yang berstatus “juara”, seperti yang diimpikan Hanot.

Sebut saja Rapid Wien. Klub Austria ini memang menjadi juara Liga Austria musim 1954-55, namun mahkota jatuh ke tangan First Vienna FC pada musim 1955-56, dan Rapid hanya berstatus peringkat tiga. Dengan demikian, Rapid bukanlah “juara” yang diharapkan Hanot untuk diadu.

Demikian pula dengan klub peserta lain, seperti Voros Lobogo, yang kini berganti nama menjadi MTK Budapest FC. Klub ini hanya duduk di posisi dua Liga Hongaria 1955, kalah saing dari Budapest Honved yang mengandalkan Zoltan Czibor, penyerang tajam dengan 20 gol. Kasus yang sama terjadi pada Sporting CP yang turut diundang – sang raksasa Lisbon cuma berakhir di peringkat tiga pada Primeira Divisao 1954-55, di bawah Benfica dan Belenenses.

Dengan demikian, turnamen yang mengadu para juara – seperti yang diimpikan Hanot – telah gagal terlaksana, bahkan di edisi pertamanya. Untungnya di final, Real Madrid sukses menumbangkan Stade de Reims dari Perancis, pemuncak Divisi Satu Perancis 1954-55.

Setelah edisi pertama, Piala Eropa bertransformasi menjadi ajangnya para juara, terutama setelah dihapuskannya sistem undangan pada era 1960an. Selama tiga dekade, klub-klub Eropa harus menjuarai liga negaranya sendiri terlebih dahulu untuk mendapat tiket langsung ke babak final yang berformat gugur.

Namun ada pengecualian bagi para juara bertahan: meskipun mereka tak juara liga, mereka tetap mendapat tempat di kompetisi musim depan. Hal ini terjadi pada musim 1974-75, saat Bayern Munich – kala itu juara bertahan – tergelincir hingga peringkat kesepuluh di klasemen Bundesliga. Saat itu, bahkan mereka tak lolos untuk masuk babak pertama Piala UEFA. Tapi, sang raksasa Bavaria tertolong oleh peraturan yang memungkinkan juara bertahan Piala Eropa untuk lolos otomatis ke kompetisi musim selanjutnya. Jadilah Jerman punya dua wakil di Piala Eropa 1975-76: Bayern dan Borussia Monchengladbach, yang lolos karena status mereka sebagai juara liga.

Pahit untuk Gladbach: mereka notabene juara Bundesliga harus terhenti di perempatfinal oleh Real Madrid, sementara Bayern si peringkat sepuluh melenggang ke Hampden Park, tempat diselenggarakannya final, dimana mereka menggarap Saint-Etienne satu gol tanpa balas. Bayern menjunjung si Telinga Besar untuk kali ketiga berturut-turut.

Memasuki era Liga Champions mulai musim 1992-93, tetap saja para juara liga yang berhak saling bertempur di ajang ini. Namun aturan ini diubah mulai tahun 1997. Para runner-up kini boleh ikut berkompetisi. Tim macam Parma (peringkat kedua Serie A 1996-97) kini berhak mendampingi sang “juara” yang sebenarnya, Juventus. Hasil dari reformasi ini tampak nyata pada musim selanjutnya: Manchester United menjuarai Liga Champions 1998-99 walaupun berada di tangga kedua klasemen Premier League 1997-98, di bawah Arsenal.

Era Liga Champions yang mengglobal telah melunturkan impian sang visioner, Gabriel Hanot, untuk mengadu para juara Eropa. Liverpool dan Manchester United memulai (dan untuk Liverpool, menjuarai) petualangan mereka di musim 2004-05 dari babak kualifikasi ketiga (melawan klub-klub dari Austria dan Romania) sebagai hasil dari ekspansi gila-gilaan untuk memperebutkan si Telinga Besar, padahal kedua klub itu cuma berada di peringkat keempat dan ketiga di liga mereka.

Jangan lupakan pula kasus yang paling anyar: kemenangan Chelsea di final 2011-12 kontra Bayern Munich. Kedua klub ini bahkan bukan juara liga di negara asalnya, dan di era pra-Liga Champions, mereka paling-paling hanya akan dapat jatah berlaga di Piala UEFA atau Intertoto. Namun hari ini, mereka yang notabene “bukan juara” pun dapat dengan leluasa bertarung dengan para juara, bahkan menjuarainya.

Musim ini, kita menyaksikan kehadiran kehadiran satu tim “bukan juara” di Liga Champions: Atletico Madrid. Atletico bahkan tak pernah menyentuh dua besar La Liga sejak tahun 1996. Perputaran uang nan kian menggurita dan kapitalisme yang mencengkeram sampai ke rumput lapangan telah membuat visi Hanot bagai barang purba di museum tua.

Kini segalanya tergantung pada koefisien: semakin banyak koefisien ligamu hei negara anggota, semakin banyak pula wakilmu di liga antarnegara. Siapa yang berkenan menaruh muka pada juara liga Kazakhstan atau Bulgaria jika Anda dapat memutar fulus sebanyak-banyaknya dengan menayangkan laga-laga empat tim Inggris atau Spanyol di putaran grup?

Mengadu para juara-juara kini tinggal kenangan. Gabriel Hanot barangkali kini sedang bertanya-tanya di dalam kuburnya tentang peringkat Atletico musim lalu.

28 March 2014

Tulisan selo sore-sore

Jadi ceritanya saya lagi selo. Ujian akhir semester sudah selesai pekan lalu (mungkin Anda bertanya-tanya kok bisa akhir semester bulan Maret begini, tapi ya begitu kenyataannya), dan tinggal menunggu ujian sekolah dua minggu lagi.

Dan ya, ada kabar baik. Saya diterima di MAN 2 Model Pekanbaru.

Yah, setidaknya, saya berhasil mendapat sekolah yang saya mimpikan sejak, emm, entahlah. Pokoknya sudah dimimpikan sejak lama.
Semoga saya bisa menyesuaikan diri di sekolah yang baru ini. Semoga. Sekolah paporit gitu lho. Sekolah model.

Dan sekarang, tinggal menunggu Ujian Nasional yang legendaris itu. 180 butir soal yang menentukan masa depan para siswa kelas akhir macam saya ini wahai hadirin-hadirat pembaca yang budiman. UN digelar awal Mei, dan sampai sekarang saya masih selo ngetwit di Twitter sambil minum teh kotak.
Mungkin cukup sekian racauan saya dalam postingan sore ini. Mau menghafal rumus-rumus lingkaran dulu.

*pasang toga*
*putar Coldplay*
*tidur*

12 March 2014

Catatan perjalanan ke Siak

Pagi itu, saya bangun dengan kepala yang sedikit pusing karena kekurangan tidur. Malam sebelumnya saya mengerjakan makalah soal sampah (ya, sampah!) untuk tugas PAI (benar, PAI!) hingga larut malam.

Namun, pagi itu cukup cerah, sebenarnya. Dan faktor pencerahnya antara lain: kami akan field trip ke Siak! 

Field trip, atau dalam bahasa Jamahiriyah Indunisiyah-nya "dharma wisata" (menggunakan kata "dharma" untuk menegaskan betapa mulianya aktivitas tersebut), adalah kata yang langka dalam kamus tiap siswa di pabrik ilmu ini. Hanya kelas-kelas terpilih, yang dicucurkan rahmat dan berkah (serta, tentu saja, lobi-lobi kecil di rapat-rapat), dapat menikmati perjalanan naik bus kota selama berjam-jam menuju tempat-tempat yang dianggap "dapat membantu perkembangan belajar siswa". Frekuensinya cuma sekali setahun, atau tergantung keputusan rapat-rapat guru.

Sebelumnya, kami sudah pernah field trip saat duduk di kelas 7 dan 8. Saya tak ingat persis urutannya, yang penting kami pernah ke Danau Buatan yang (konon) legendaris itu, ditambah ke taman pancing nun jauh di Kampar sana. Kelak, taman pancing itu jadi tuan rumah yang terhormat dari dua perkemahan kami tiap awal tahun ajaran baru. Sisanya saya lupa.

Ketika saya tiba pagi itu kira-kira jam 07.00 WIB, sebuah bus kota reyot sudah terparkir dengan berwibawa di lapangan futsal kami. Warnanya biru menyala dengan gambar-gambar yang mudah kita jumpai di angkutan-angkutan dalam kota umumnya. Besar-besar, berwarna dan sedikit norak. Bus itu lazim saya lihat di jalanan, mengangkut penumpang ke sana ke mari dan memutar lagu dengan volume yang bisa membuat Jim Morrison bangkit dari kuburnya. Yang pertama terlintas di benak saya adalah: "semoga bukan ini yang mengangkut kami ke Siak."

Ternyata, Allah dengan murah hati bersedia mengabulkan doa saya. Kami tak diangkut dengan bus biru menyala tadi, melainkan dengan bus lain. Warnanya merah menyala, dengan gambar seorang anak kecil duduk tersenyum manis di belakangnya. Sepintas ia tak tampak lebih bagus ketimbang kompatriotnya. Bus ini datang beberapa puluh menit setelah kawannya tiba. Kondekturnya seorang lelaki berwajah khas kondektur juga, dan supirnya seorang laki-laki paruh baya, bertopi, bercambang jarang-jarang dan berbaju mirip Jokowi.

Setelah beberapa beres-beres, salat Duha, dan persiapan lainnya, kami berangkat. Tepat pukul 08.05, molor setengah jam dari jadwal awal. Alasannya: tak mudah menentukan tempat duduk untuk 90 murid lelaki dan perempuan yang tergesa-gesa, penuh euforia dan menyandang kamera-kamera mahal di leher mereka. Dasar pelajar postmodern.

Awalnya saya kira kami akan lewat jalan milik Chevron yang beraspal mulus itu. Lantaran saya pernah tak sengaja mendengar percakapan guru SD  tentang mengurus perizinan masuk ke jalan Chevron itu. Karena itu pula yang mendasari dugaan saya: sekolah pasti punya koneksi di Chevron hingga bisa bercakap-cakap soal perizinan masuk.  Rupanya saya salah.

Oh ya, yang ikut field trip kali ini cuma kelas 7 dan 9. Dua kelas itu ikut karena nasib yang berbeda. Untuk kelas 7, ini barangkali field trip pertama mereka sejak masuk ke sekolah ini. Bagi kelas 9, ini sekaligus pembayar hutang yang tak langsai. Kami sudah tak berdarma wisata selama setahun lebih. Cuma bisa melihat senior-senior kami dulu riang gembira berkunjung ke PLTA Koto Panjang yang legendaris itu. Akhirnya, didasari rasa belas kasihan (bah!), kami pun dijejalkan ke rombongan ini.

Maka berangkatlah dua bus dari sekolah. Satu bus untuk ikhwan, satu bus untuk akhwat. Di bus kami ada dua orang ustadz. Bus berjalan, terangguk-angguk, menembus jalan kota yang sibuk pagi itu.
Bus berjalan lambat. Truk-truk tronton yang sibuk mengangkut kayu gelondongan ke Dumai tampak memenuhi jalanan Panam pagi itu. Bus biru menyala, diisi 30 orang siswa yang sibuk dengan perangkat elektronik, sibuk memotret, sibuk minum, sibuk melamun sampai sibuk menjambak rambut orang di depannya.

Singkat kata singkat cerita, kami menghabiskan waktu di bus dengan ngobrol sana-sini. Si Haqi yang hobi galau itu duduk di samping saya. Sekitar setengah jam kemudian kami sudah meluncur nyaman di Jalan Lintas Timur Sumatera, berjalan lambat menuju Siak.

Jalanan menuju Siak sungguh seragam, jika tak bisa saya bilang membosankan. Pipa-pipa minyak melingkar macam ular piton di sepanjang jalan beraspal buruk yang sudah bolong-bolong di beberapa bagian, berjajar dari Pekanbaru hingga Dumai. Sampai di Perawang, kami tak bertemu lagi dengan pipa minyak.

Saya yang terbiasa menembus tebing melingkar gunung saat pulang kampung ke Padang dua kali setahun hanya bisa duduk-duduk saja. Kadang ngobrol dengan yang lain, sampai bosan. Koridornya sempit, cuma muat oleh satu orang dewasa. Kaki-kaki melingkar di tengah. Sesekali lagu Ungu atau Wali yang dibunyikan keras lewat loudspeaker lapuk di belakang sana mengalun. Beberapa kawan lain mabuk darat. Kondektur bus duduk merokok di kursi belakang, tempat lima orang dijejalkan berjejer-jejer macam kaleng sarden.

Laju bus tersendat di dekat Jembatan  Palas. Truk-truk besar menghambat laju kami. Pak supir tampak tak sabaran. Beberapa kali ia memintas truk-truk besar. Membuat penumpangnya kerap beristighfar.

Sejam kemudian kami sudah meninggalkan Pekanbaru dan masuk  Siak. Rumah mulai jarang-jarang, aspal yang bolong makin kentara. Tak ada lagi baliho bergambar Wali Kota Pekanbaru. Yang ada baliho berisi seruan taat bayar pajak dari bupati Siak dan larangan buang sampah sembarangan.

Sampai pada waktu ini, bus kami tengah menanjak naik sebuah jembatan, yang kemudian saya ketahui namanya Jembatan Sultan Syarif Hasyim dan nama daerahnya Tualang. Jembatan itu panjang dan lajur aspalnya lebar. Dengan mengamalkan sila keempat Pancasila, yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, diperolehlah konsensus bahwa kami akan turun di tengah jembatan dan mengambil beberapa foto. Soal foto nanti saja, ditagih dulu ke fotografernya. Meh.

Seusai dari jembatan, jalan makin monoton. Lurus, belok-belok sedikit. Pak supir sesekali menyetel lagu Islami dan mars perjuangan Palestina (yang saya tak habis pikir dari mana ia dapatkan), sambil merokok dan sesekali melirik ke belakang. Di lorong tengah bus, aktivitas berjalan hiruk-pikuk dengan siswa kelas 7 yang tak henti-henti saling menjitak kepala mereka sendiri.

Ternyata menemukan Istana Siak itu tak mudah. Setelah melewati jembatan (lagi), pak supir dan kondekturnya dibuat bingung oleh tata kota Siak yang jalannya lurus-lurus, beraspal dan sepi. Pak supir dan kondekturnya sampai harus tanya-tanya dulu pada warga lokal. Dalam lima menit kami menemukan istana zaman baheula itu.

Setelah membayar uang masuk - yang saya duga cukup mahal - kami dipersilakan masuk ke istana itu. Kompleks istananya sendiri tak banyak berubah dibandingkan ketika saya kunjungi dua tahun yang lalu, selain tampaknya taman sudah ditata rapi. Sepatu haram masuk ke dalam istana yang suci, dan mulailah kami berkeliling di bangunan itu.

Dengan Fattah memegang komando kamera, kami berkeliling di lantai satu istana. Tak banyak yang bertambah: cuma payung lama yang telah uzur, diorama para menteri kesultanan yang tampak lapuk, piring-piring antik dan tombak keramat warisan para hulubalang jaman Hang Tuah dulu. Haqi dengan tidak bijaksananya menyentuh beberapa barang yang dilabeli "JANGAN DISENTUH" dan 100% pasti terekam oleh kamera CCTV yang bertaburan di bawah kepala-kepala binantang awetan yang tergantung di sudut-sudut ruangan. Semoga saja haknya untuk mengunjungi istana ini di masa depan tak terhalang ulah nakalnya ini.

Setelah puas berfoto-foto dan mengambil data secukupnya untuk laporan perjalanan, kami naik ke lantai dua. Tata letak istana ini mengingatkan saya kepada istana Sultan Johor di Johor Bahru, pembedanya hanyalah ukuran dan kemana istana menghadap:  di Johor, istananya menghadap Selat Singapura sementara di Siak, istananya menghadap ke Sungai Siak yang legendaris itu. Lantai dua dipenuhi kamar-kamar yang saya duga dulu pernah jadi tempat tidur sultan dan permaisurinya.

Untuk naik ke lantai dua, pengunjung harus menaiki tangga spiral dari kayu yang saya perkirakan tingginya tak lebih dari tujuh meter. Konon jumlah tangga ini selalu berbeda-beda jika dihitung - mitos yang kemudian dipatahkan Ustad Syamsul saat makan siang. Dengan semangat "singsingkan lengan baju kalau kita mau maju", saya mendahului rombongan naik ke lantai dua. Namun, ternyata ada seorang kawan yang takut ketinggian dan berkeringat dingin saat mendaki tangga spiral ini. Tentang siapa kawan ini tentunya tak baik diumbar di sini karena itu adalah rahasia negara.

Lantai dua tak lebih berisi piring-piring jaman lawas dan foto-foto keluarga kerajaan. Kami putuskan turun ke lantai satu untuk mencari Komet, pemutar piringan hitam buatan Jerman yang konon cuma ada dua di dunia ini: Jerman dan Siak. Kami temukan sang pemutar uzur di sayap kanan istana, dekat ruang makan.

Setelah puas berfoto-foto di dalam, gilirannya di luar untuk dibidik. Ada sebuah rumah khas Melayu di belakang istan. Tampaknya rumah itu kosong dan di depannya berdiri kokoh sebuah kapal dari beton cor. Ukurannya cukup besar, barangkali untuk melambangkan kejayaan Sungai Siak sebelum dicemari karet dan zat-zat kimia antah berantah lainnya.

Selesai semua itu, kami makan siang dan pergi shalat Zuhur di sebuah masjid tak jauh dari istana. Untuk menuju ke masjid tersebut harus menyusuri gang, dan rupanya masjid itu terletak persis di tepi Sungai Siak.

Setelah shalat (ternyata masjidnya ber-AC) kami sepakat untuk jalan-jalan. Jalan-jalan kemana, tidak dipikirkan. Akhirnya nyelonong saja keluar dari masjid dan bertemu penjual tebu dekat taman kota (atau taman kabupaten? Entahlah)  depan istana. Sambil menunggu pesanan es tebu, kami duduk di taman kota yang ternyata punya WiFi. Tapi semua itu bohong belaka, karena meski muncul di layar telepon genggam saya, namun tak dapat terkoneksi. Sama aja bohong.

Akhirnya es tebu kami sampai. Teksturnya lembut (cieilah) dan masih ada sisa-sisa tebu (ah!). Cukup menyegarkan kerongkongan, dan harganya pun cuma lima ribu perak. Seruput punya seruput, bus kami telah berangkat dari tempat parkirnya dekat kuburan itu.

Dan akhirnya,  kami berangkat pulang ke metropolitan. Sampai ketemu, kota bersungai!

10.32 WIB, Pekanbaru, 12 Maret 2014
Sembari mendengarkan John Mayer

Tanbihat: Perjalanan ini berlangsung sudah cukup lama sebelum tulisan ini dinaikkan. Awalnya ditulis di telepon genggam saat di atas bus dan kemudian dipindahkan ke laptop, sebelum kemudian mandek cukup lama di draf. Baru sekarang saya punya semangat untuk melengkapinya.

21 February 2014

Mole Antonelliana dan kisah-kisah lain dari Turin

Juventus adalah timnya para pria berbudi pekerti, pionir industri, Yesuit, konservatif dan para borjuis kaya, sementara Torino adalah timnya para pekerja, buruh migran dari provinsi tetangga, warga kelas bawah dan kaum miskin. -- Mario Soldati
Alessandro Antonelli barangkali tak pernah menyaksikan laga Juventus kontra Torino, karena sang arsitek sudah keburu wafat pada 18 Oktober 1888, jauh sebelum kedua klub itu berdiri. Dan mungkin, ia tak akan pernah mengira bahwa bangunan yang dirancangnya di pusat kota Turin, Mole Antonelliana, akan menjadi nama pertandingan yang mempertemukan dua klub yang saling bertetangga: Juventus dan Torino.

Ya, nama Derby della Mole diambil dari Mole Antonelliana, sebuah bangunan setinggi 167 meter di pusat kota Turin, Italia. Gedung ini dibangun mulai tahun 1863 setelah unifikasi Italia, dan selesai pada tahun 1889. Dinamakan begitu untuk menghormati Antonelli sang arsitek, bangunan ini awalnya merupakan sebuah sinagog (tempat ibadah untuk penganut Yahudi) dan kini menjadi Museo Nazionale del Cinema, sekaligus diklaim sebagai museum tertinggi di dunia.

Juventus, si nyonya tua kekasih Italia, hadir ke muka bumi pada akhir tahun 1897 dengan nama Sport Club Juventus oleh sekelompok murid dari Massimo D’Azeglio Lyceum, sebuah sekolah kelas atas pada masa itu di Turin. Dua tahun kemudian, mereka mengganti nama menjadi Foot-Ball Club Juventus, dan bergabung dengan Kejuaraan Sepak Bola Italia pada tahun 1900. Tak perlu waktu lama untuk mengangkat trofi: pada 1905, Juventus mengarak trofi juara liga di lapangan Velodromo Umberto I.

Namun, kehadiran Torino tak semulus pendahulunya. Torino lahir dari pemberontakan. Pada tahun 1906, ketika beberapa staf Juventus mempertimbangkan opsi pemindahan Juve ke luar kota Turin, presiden Alfredo Dick nyata-nyata menyatakan ketidaksenangannya. Bersama beberapa pemain inti, pria Swiss ini angkat kaki dari tim yang masih dalam kondisi euforia pasca-juara, dan membentuk Foot-Ball Club Torino pada 3 Desember 1906 di sebuah tempat pembuatan bir.

Alfredo mengajak beberapa pemain dari Football Club Torinese, salah satu klub sepak bola paling tua di Italia, untuk bergabung. Maka terbentuklah Torino seperti yang kita kenal sekarang ini: sebuah klub yang lahir dari pemberontakan, khas kelas pekerja. Kelak, pemecahan model inilah yang mengilhami pembentukan FC United of Manchester nun di Inggris Raya sana, menolak modernisasi yang dibawa Malcolm Glazer ke Manchester United dan mempertahankan konservatisme lewat pemberontakan.

Torino adalah klub Eropa yang tergolong tradisional. Mereka mempunyai basis suporter yang kuat di dalam kota Turin sendiri, kebanyakan dari kelas pekerja yang tak segan-segan menghamburkan duit mereka untuk membeli satu tiket pertandingan Granata ke Stadio Olimpico di Roma sana hanya untuk bersorak menyemangati klub berlogo banteng itu.

Sementara Juventus, dengan citra elegan dan industrialis mereka, justru lebih banyak didukung di bagian lain Italia: fakta membuktikan bahwa laga-laga tandang Juve di kota-kota selatan dan Sisilia lebih banyak diminati ketimbang di Turin itu sendiri. Perbandingan antara Torino dan Juventus adalah ekuivalen versi Italia dari perbandingan Manchester United dan Manchester City: dimana United lebih banyak mengumpulkan dukungan dari luar Manchester, sementara City didukung para Mancunian asli dari dalam kota Manchester.

Derby della Mole, barangkali, bukan derby yang dikenal dengan keganasannya. Intensitas kericuhan derby tak terlalu sering meskipun tak mengurangi taraf ‘panas’nya. Derby ini tak sekasar Derby della Capitale atau Derby della Madonnina yang lazim kita dengar berita-berita psywar di lapangan hijau atau baku bacok di tribun suporter.

Derby della Mole tak pernah jadi derby penentu scudetto atau pertandingan penentuan untuk saling jegal. Ia bersifat lembut saja. Namun, sekali lagi, ini Italia, Bung. Setiap derby disambut dengan tempik sorak yang riuh, bahkan terkadang melewati garis nalar dan kesopanan.

Tentu kita ingat Il Grande Torino. Skuad terhebat sepanjang masa yang pernah dimiliki Torino, Busby Babes versi Italia utara, digawangi delapan pemain Italia paling orisinil di masanya: pemain muda bertalenta Franco Ossola; sayap kiri Pietro Ferraris; sayap cepat Romeo Menti, trio Alfredo Bodoira, Felice Borel dan Guglielmo Gabetteo dari sang “musuh” Juventus; serta duet rekrutan dari Venezia, Ezio Loik dan Valentino Mazzola, yang kelak mengemban ban kapten di bahunya.

Il Grande Torino, tim setengah dewa yang memborong lima gelar juara nasional antara tahun 1942 hingga 1949, dan menjadi tulang punggung tim nasional Italia jauh sebelum konsep “Juvetalia” dikenal orang. Takdir tak dapat ditolak: semua punggawa tim ini tewas dalam kecelakaan Superga pada 4 Mei 1949.

Celakanya, kecelakaan ini digunakan suporter Juventus selama bertahun-tahun untuk merendahkan Torino. Bertahun-tahun setelah kecelakaan mau itu lampau, adalah hal biasa untuk melihat beberapa suporter Juventus merentangkan tangan mereka, membuat gestur meniru sayap pesawat terbang seperti selebrasi gol ala Vincenzo Montella ketika announcer stadion mengumumkan nama-nama pemain Torino. Dan ketika sang announcer telah selesai menyebutkan nama-nama pemain Torino, suporter Juve akan serentak menghentikan gestur pesawat terbang dan bersorak ramai-ramai: “Boom! Superga!”

Hal ini terjadi selama bertahun-tahun, sehingga membuat tifosi garis keras Torino membalas tak kalah ganasnya: memparodikan tragedi Heysel. Mereka menyoraki pemain Juventus dengan sorakan penuh dendam “Grazie Liverpool!” atau “give us another Heysel” jika sang pemain menggiring bola dekat tribun tempat mereka duduk. Saling menertawakan kecelakaan ini tak pernah bisa dihentikan.

Derby della Mole telah menunjukkan bahwa efek derby ini tak hanya bergaung di langit-langit Olimpico di Torino atau Juventus Stadium, tapi juga menimbulkan kemarahan-kemarahan yang dipendam, dendam-dendam yang disimpan di hati suporter kedua klub. Luka masa lampau disimpan dalam-dalam, sebagai pengingat untuk diturunkan ke anak cucu.

Garis batasnya sangat tegas: ini Juventus, itu Torino. Syal putih hitam Juve berbalas kibaran bendera banteng Torino. Kami punya Juventus Stadium, silakan pakai Olimpico di Torino. Satu provokasi dilawan dengan satu ledekan lainnya. Garis batas semakin mengencang.

Mole Antonelliana tetap berdiri tegak di situ, tanpa pernah tahu bahwa ia adalah simbol sebuah rivalitas yang membelah Turin antara hitam-putih dan marun.

13 February 2014

Semen Padang, PSPS Pekanbaru, dan garis batas yang tersamarkan

Peluit wasit tanda pertandingan berakhir menggema di sudut-sudut Stadion Kaharuddin Nasution, Pekanbaru, pada Sabtu sore, 25 Januari silam. Tuan rumah PSPS Pekanbaru berhasil menahan imbang sang tamu, Semen Padang dengan skor sama kuat 1-1. Awan gelap berarak, mengiringi azan Maghrib yang datang susul-menyusul di sekitar kompleks stadion.

Hawa pertandingan ini bersahabat. Semen Padang, sang juara IPL 2012, datang dari Padang, hampir empat ratus kilometer dari Pekanbaru untuk menjamu sang saudara tua, PSPS yang baru saja terdegradasi dari Liga Super Indonesia musim lalu.

Ini adalah derby Melayu, ucap seorang penonton. Bukan, ini El Clasico ala Sumatera, tampik kawan di sebelahnya.

Tak kurang dari 10,000 orang memadati stadion di bagian utara Pekanbaru itu, dengan berbagai warna dan atribut. Asykar Theking dan Curva Nord – dua kelompok suporter terbesar PSPS Pekanbaru, tanpa henti bersorak dan menggoyang tribun terbuka Kaharuddin Nasution, menyanyikan lagu-lagu untuk menyemangati klub Askar Bertuah. Semen Padang, sang tamu, disambut hangat bak saudara tua yang baru habis berlayar dari negeri yang jauh, tak seperti lazimnya derby-derby lainnya di Indonesia yang kerap dihiasi dengan lontaran batu, amukan pada bus lawan bahkan tawuran antar suporter. Pertandingan ini adalah Liverpool vs Everton ala Sumatera: riuh, panas, tapi tetap bersahabat.

Pekanbaru adalah sebuah kota yang multikultural. Di kota yang dialiri Sungai Siak ini, ada 900,000 orang yang menghuninya. Suku Minangkabau, yang dikenal dengan etos merantaunya, menjadi suku yang dominan di kota ini, dengan membentuk 37,7% persen dari populasi menurut data Bappeda tahun 2008. Kemudian disusul orang Melayu sebesar 26,1% yang mendominasi struktur birokrasi pemerintahan kota, orang Jawa, Batak dan Tionghoa. Orang Minang dari Sumatera Barat – daerah asal Semen Padang – mudah ditemui di kota ini. Umumnya mereka berprofesi sebagai pedagang, meski tak sedikit pula yang terjun di bidang profesional.

Bahasa Minangkabau bukan sesuatu yang tak lazim dipertuturkan di kota ini. Banyaknya jumlah perantau Minang telah menjadikannya sebagai salah satu bahasa pergaulan yang digunakan oleh penduduk kota selain bahasa Melayu dan Indonesia. Ia telah menjadi bahasa yang tak asing, perbendaharaan katanya kerap membaur dengan bahasa Melayu asli. Ungkapan-ungkapan khas anak muda Pekanbaru pun banyak dipengaruhi oleh  kata-kata dalam bahasa Minang. Ia telah membaur laksana masakan Padang yang lazim ditemui di jalanan Pekanbaru.

Secara historis, pembauran ini tak mengherankan, karena Riau dan Sumatera Barat sama-sama pernah menjadi bagian provinsi Sumatera Tengah pada tahun 1950an, dengan pusat pemerintahan di Bukittinggi yang kini menjadi bagian dari Sumatera Barat. Kabupaten Kampar di barat dan Kuantan Singingi di timur Pekanbaru mayoritas penduduknya menganut adat resam yang sama dengan adat di Sumatera Barat, dan berbicara bahasa yang hampir sama dengan penduduk di perbatasan Sumbar. Beberapa tokoh Riau berasal dari daerah-daerah ini, seperti Makmur Hendrik, pengarang cerita silat Panglima Sakai yang populer di Sumatera Barat pada tahun 1990-an.

Dalam hal sepak bola, pembauran dapat dilihat dengan jelas dan kentara. Beberapa kawan asal Sumatera Barat yang saya kenal merupakan anggota Asykar Theking, salah satu kelompok suporter PSPS yang terbesar. Semen Padang sendiri punya dua kelompok suporter yang terbesar – Spartacks dan The K’mers. Yang disebut terakhir merupakan kelompok yang telah hadir sejak tahun 1999 dan merupakan kelompok yang resmi diakui oleh pihak klub. Sementara Spartacks baru hadir tahun 2010, tetapi cukup punya nama di kalangan suporter sepak bola Indonesia, antara lain karena jaringannya di luar Sumatera Barat yang luas dan aktif.

Ketika laga berlangsung, Spartacks turut bersorak di tribun barat stadion bersama Curva Nord – kelompok pendukung PSPS yang mengadopsi gaya ultras di Italia. Baik antara Curva Nord vs Asykar Theking dan Spartacks vs The K’mers punya sejarah rivalitas dan bentrokan yang cukup kentara, dan tak jarang terjadi keributan antar sesama mereka.

Sejarah pertemuan antara Semen Padang dan PSPS sendiri berlangsung tak terlalu kerap. Kabau Sirah berasal dari Galatama, kompetisi yang merupakan ajangnya klub milik perusahaan berduit, sementara PSPS merupakan anggota Perserikatan, kompetisi semiprofesional yang digelar sejak era Belanda. Ketika Liga Indonesia mulai bergulir pada 1994/95 dan Semen Padang berkompetisi di Divisi Utama, PSPS bahkan tak ikut.

Pertemuan pertama kedua tim baru tercatat di musim 1999/2000, yaitu pada 26 Juli 2000 di Pekanbaru, saat pertandingan berlangsung sama kuat tanpa gol. Kedua tim baru bertemu lagi di DU 2002, ketika Semen Padang memuncaki klasemen Wilayah Barat dan PSPS berada di peringkat kelima, terpisah jarak sejauh tujuh poin. Pertemuan kedua klub di Liga Super Indonesia malah lebih telat lagi, yaitu pada musim 2010-11. Kedua klub memang masih bertemu di Piala Indonesia, namun tak sesering rivalitas panas sepak bola lain seperti Persija vs Persib atau Persebaya kontra Arema, lantaran naik-turunnya kedua klub antara kasta pertama dan kedua sepak bola Indonesia.

Terlepas dari semua itu, Semen Padang dan PSPS Pekanbaru tetap ibarat saudara kandung. Faktor banyaknya perantau asal Sumatera Barat di Pekanbaru menjadi semacam jembatan penghubung antara kedua klub. Jaring-jaring pemisah Minang kontra Melayu telah tersamarkan, yang ada kini hanyalah beda afiliasi klub. Banyak warga asal Sumbar dengan syal Semen Padang yang hadir di stadion sore itu duduk sebaris bersama warga Pekanbaru berkostum PSPS. Obrolan bahasa Minang campur Melayu mendominasi udara Rumbai hari itu. Mengutip penulis perjalanan Agustinus Wibowo: “garis batas” telah tersamarkan.

Setelah pertandingan usai, seorang remaja beratribut biru – warna kebanggaan PSPS – menyapa Airlangga Sucipto, ujung tombak Semen Padang. “Ronggo, basuo beko wak di Padang! (Ronggo, sampai bertemu lagi kita di Padang!)”

25 January 2014

Meraba bayangan Semen Padang yang baru

Selagi Bukit Karang Putih masih berasap, selagi PT Semen Padang masih jalan, Semen Padang FC tak akan bubar! -- Rustam Gaffar
Barangkali, kutipan di atas adalah salah satu kutipan terpopuler di kalangan suporter Semen Padang. Kutipan itu konon keluar dari mulut Rustam Gaffur, direksi keuangan PT Semen Padang ketika krisis finansial hebat melanda klub tersebut pada bulan Juli 1986 sehingga membuat delapan pemain teras mereka angkat kaki dan klub luntang-lantung melanjutkan petualangan di Galatama. Kelak, masa sulit ini perlahan-lahan memudar dan berakhir manis dengan kemenangan Piala Galatama pada 1992, digawangi sang komandan Haji Suhatman Imam dan pemain macam Wellyansyah dan Delvi Adri.

Saat ini, keadaan Semen Padang sudah jauh dari kata sulit. Mereka memenangi Liga Prima Indonesia 2012 dibantu sederet pemain berkualitas top semacam Titus Bonai, Edward Junior Wilson, Hengky Ardiles dan Esteban Vizcarra. Selama semusim di kancah liga “resmi” PSSI ini, Semen Padang dilatih oleh dua orang: Nil Maizar dan Suhatman Imam.

Nil mundur pada bulan April 2012 karena ditunjuk menjadi pelatih tim nasional Indonesia, menyisakan sang komandan gaek Suhatman memegang tampuk komando tim. Dibawah arahan Pak Haji – begitu ia biasa disebut – Kabau Sirah menyabet gelar juara dengan menaklukkan pesaing terdekat mereka, Persiba Bantul di kandang mereka sendiri saat kompetisi tinggal beberapa pekan lagi.

Ketika musim 2012 selesai dan wacana unifikasi IPL-ISL semakin mengencang, Semen Padang kedatangan wajah baru di jajaran kepelatihan pada bulan Oktober. Ia adalah putra asli Sumbar, Jafri Sastra. Namun, meski secara resmi Jafri adalah pelatih kepala, Suhatman tetap memegang kendali atas tim, karena persoalan sertifikat. Jafri bersertifikat A AFC, persyaratan mutlak yang diberikan oleh PSSI untuk pelatih kepala tim kasta tertinggi. Namun manajemen mengetuk palu: Suhatman tetap pemimpin pelatih.

Dualisme – jika boleh dibilang begitu – berjalan selama partisipasi Semen Padang di Piala AFC: dualisme yang terbukti sukses membingungkan beberapa suporter – bahkan yang fanatik sekalipun – karena di situs resmi AFC, Jafri Sastra adalah pelatih Semen Padang. Sementara itu di lapangan, Suhatman punya kendali.

Pasca-kekalahan dari East Bengal di perempatfinal Piala AFC, perubahan tiba dengan tak disangka-sangka. Jafri Sastra mulai muncul ke permukaan, menggeser pelan-pelan posisi Pak Haji Suhatman dari bangku cadangan ke tribun, sesuatu yang telah lama diimpikan sebagian besar suporter Semen Padang yang kecewa dengan gaya main Kabau Sirah dibawah Pak Haji yang konservatif dan mengandalkan pemain itu-itu saja. Saatnya Jafri maju ke depan, dengan gayanya sendiri.

Pembenahan ala Semen Padang jelas memakan korban. “Ah, itu biasa dalam revolusi,” Bung Karno pernah berujar. Empat pemain kunci angkat kaki. Vendry Mofu menerima pinangan Sriwijaya, Titus Bonai pulang kampung ke Perserui Serui, Edward Wilson Junior bertualang ke Felda United dan Elie Aiboy direkrut Persija. Keempat pemain kunci yang membantu Kabau Sirah mengangkat trofi juara IPL kini telah mengepak koper, pergi meninggalkan Bukit Karang Putih.

Sejenak, mungkin sebagian besar orang menganggap bahtera SP sudah limbung, bahkan tak sedikit yang berani memprediksi mereka akan gagal di ISL musim depan. Namun, sekali lagi, semua itu terlalu cepat.

Jafri menggebrak pasca-kehilangan empat pemain inti. Dua pemain diboyong dari bumi Pasundan: Eka Ramdani dari Pelita Bandung Raya dan Airlangga Sucipto dari Persib. Strategi dirancang ulang. Tim kini tak lagi berpusat pada pergerakan ala Tibo-Wilson semata, begitu tegas Jafri. Ezequiel Gonzales direkrut dari Persiba Bantul. Ia membangun tim berdasarkan gayanya sendiri, dengan memadukan pemain-pemain lama macam Wahyu Wijiastanto si tunggak gadang, Esteban Vizcarra, kapten Hengky Ardiles, talenta muda Ricky Akbar Ohorella dan alumnus timnas kualifikasi Piala AFC U22, Hendra Adi Bayauw dengan para pemain baru hasil rekrutan dan seleksi.

Hasilnya, tentu saja masih tahap coba-coba. Tim besutan Jafri dengan susah payah menahan imbang Sriwijaya FC dengan skor 1-1 di putaran pertama kualifikasi Inter Island Cup zona Sumatera, dan akhirnya harus takluk 3-1 di Palembang. Dan yang terakhir, sore tadi Kabau Sirah hanya berhasil menahan imbang “tetangga serumpun” mereka, PSPS Pekanbaru, dengan skor 1-1 di Stadion Kaharuddin Nasution, Pekanbaru, setelah susah payah mengejar ketertinggalan satu gol di babak pertama, hanya dapat dibalas oleh sontekan Esteban Vizcarra di babak kedua.

Sulit untuk meraba bayangan Semen Padang yang baru di bawah komando Jafri, hanya dari performa di IIC dan laga-laga latih tanding. Tugas Jafri masih banyak, antara lain memperkuat perpaduan antara pemain baru dan lama, menentukan pemain yang terpilih lewat jalur seleksi, meramu taktik yang pas, mengakali jadwal liga yang padat dan segudang pekerjaan rumah lainnya.

Ia jelas juga harus berusaha lepas dari bayang-bayang pendahulunya, Nil Maizar dan Suhatman Imam, yang sampai saat ini masih kerap disebut dalam perbincangan para suporter Semen Padang saat berbicara soal kursi kepelatihan. Tentunya, kita tak dapat mengadili Jafri cuma lewat hasil dari sebuah laga amal kontra tim Divisi Utama.

Jafri setidaknya boleh tersenyum sedikit, karena sampai sekarang Bukit Karang Putih masih belum berhenti berasap dan ia dapat melanjutkan langkah-langkah pembaharuannya di kamar ganti Kabau Sirah.

23 January 2014

Stadion Utama Riau: antara euforia, uang dan ekuasaan

Stadion adalah monumen untuk semua ayah yang sudah mati. Ia adalah monumen untuk para orang biasa. Demikian puisi seorang Belanda bernama Henk Spaan. Pada awalnya, stadion memang dibangun sebagai tempat yang sakral bagi tim sepak bola. Tapi stadion juga jadi tempat seorang ayah tertawa dan menangis, sembari memperkenalkan dunia sepak bola kepada anaknya.

Dalam stadion, para suporter yang datang dari perantauan dapat melepaskan rindunya kepada klub pujaan dan melebur dengan mereka-mereka yang mengenakan identitas sama. Entah itu warna tim, atau sekadar gambar pada logo klub.

Stadion adalah tempat suporter suatu klub, tanpa malu-malu, bisa bernyanyi dan bergoyang mendukung klub kesayangannya. Sampai batas tertentu, stadion juga menjadi arena ekspresi kebencian pada satu klub tertentu.

Stadion adalah suatu entitas. Suatu institusi sosial yang adiluhung: menggambarkan kekuatan, kebesaran dan kekuatan suatu klub atau negara. Tapi bagaimana jika stadion itu kosong melompong selama bertahun-tahun? Apa jadinya jika stadion hanya dipakai sekali, lalu dibiarkan begitu saja?
Inilah yang terjadi pada Stadion Utama Riau, Pekanbaru.

Awalnya, stadion berkapasitas 40,000 tempat duduk ini digadang-gadang sebagai stadion masa depan. Dengan arsitektur ciri khas kebudayaan Melayu Riau, yaitu sampan dan dua patung songkok –tutup kepala khas Melayu– di pintu masuknya, Stadion Utama dipuji-puji sebagai mahakarya anak bangsa di provinsi kaya minyak ini.

Bahkan, anggaran pembangunannya pun tak tanggung-tanggung, mencapai 900 miliar rupiah! Ini setara dengan enam kali biaya pembangunan Stadion Si Jalak Harupat di Bandung, yang “cuma” mencapai 135 milyar rupiah. Tak heran pula ada yang menggodok wacana pengusulan stadion ini menjadi salah satu stadion terbaik dunia. Bukan apa-apa, rumputnya dibeli khusus dari Australia. Jika pemerintah pusat  mengimpor sapi dari sana, maka warga Riau kebagian jatah rumputnya saja.
Sementara itu, bangkunya diimpor langsung dari Malaysia, diborong bersama papan skor. Konon katanya, kursi di stadion ini juga tahan api.

Entah benar entah tidak. Namun yang jelas, tentu pembangunan stadion ini telah menggelontorkan fulus yang tak sedikit. Angka tetaplah angka, yang hanya berbicara di atas kertas, tidak di lapangan. Di balik pembangunan stadion ini, tersimpan sebuah elegi pahit.

Stadion Utama awalnya memang dibangun untuk menyambut Pekan Olahraga Nasional (PON) 2012 yang berlangsung di bumi bertuah ini. Menjelang berlangsungnya pekan olahraga tahunan itu, Kualifikasi Piala Asia AFC U-22 digelar terlebih dahulu. Kala itu Indonesia memang mendapat kehormatan menjadi tuan rumah.

Kehormatan yang pahit, karena kita sendiri gagal melaju ke putaran final setelah ditekuk Jepang 1-5. Stadion Utama pun mulai kerap jadi pembicaraan warga Riau yang bangga dengannya. Bahkan, menyebar kasak-kusuk bahwa kelak PSPS Pekanbaru akan bermain di stadion ini.

Acara pembukaan PON yang megah meriah pun dilangsungkan di Stadion Utama. Tapi, final cabang sepak bola PON justru digelar nun jauh di sebelah utara kota, di Stadion Kaharuddin Nasution, kandang PSPS. Selepas PON, barulah terkuak kasus suap yang menyeret  pejabat-pejabat Pemerintah Provinsi. Bahkan Gubernur Rusli Zainal pun terpaksa mendekam di hotel prodeo karena kena getah skandal ini. Terkuak bahwa Pemprov Riau mempunyai utang yang tak langsai  ke kontraktor stadion. Utang ini mencapai Rp 100 miliar. Tak heran jika untuk menyelamatkan muka Indonesia di mata dunia, Islamic Solidarity Games pun dipindahkan dari Pekanbaru ke Palembang. Stadion Utama semakin ditinggalkan.

Seusai pesta megah pembukaan PON, tak ada lagi pertandingan sepak bola digelar di stadion ini. Kini nasibnya pun kian tak jelas dari hari ke hari. Kontraktor yang berang, membentangkan spanduk tagihan di area taman hijau dekat bangunan stadion.

Satu demi satu ubin stadion lepas dari tempatnya. Fasilitas umum, yang seharusnya dimanfaatkan oleh rakyat, menjadi suatu elegi pahit. Stadion Utama terpisahkan dengan jiwanya –para suporter dan orang-orang biasa– oleh uang dan kekuasaan.

Perlahan tapi pasti, Stadion Utama menjadi sesuatu yang telah mangkrak. Tak ada pesepakbola yang bermain di sini. Orang-orang yang datang dan pergi hanyalah para pedagang yang menjajakan dagangannya, geng motor yang kebut-kebutan di jalan aspal (yang tentu saja dibangun dengan APBD provinsi), pasangan muda mesum, dan Satpol PP yang meraung-raung sana sini mencari para bromocorah kecil yang menangguk di air keruh.

Stadion Utama adalah korban euforia, uang dan kekuasaan. Semenjak awal, pembangunannya diselimuti euforia hebat dari warga Riau yang telah lama mengidam-idamkan modernitas di provinsi ini. Janji-janji manis dilempar oleh pemerintah yang mengatakan bahwa pembukaan Stadion Utama untuk umum adalah bukti “pemerataan pembangunan”. Namun yang terjadi adalah para pejabat meratakan duit anggaran kepada kolega-kolega mereka. Kekuasaan telah menyedot seluruh harapan masyarakat untuk menyaksikan laga sepak bola kelas dunia di stadion ini. Euforia pun surut, tertelan dengan kasus yang satu demi satu menampar muka para elit yang haus kekuasaan.

Mungkin, Stadion Utama belum sesakral Old Trafford atau seikonik Gelora Bung Karno. Namun, biarlah ia tegak berdiri di sana. Bukan sebagai monumen untuk orang-orang biasa yang merindukan sepakbola. Tapi sebagai batu penanda bahwa spesies bernama manusia pernah begitu rakus dan tamak terhadap uang dan kekuasaan. 

Awalnya ditayangkan di Pandit Football Indonesia.