12 March 2014

Catatan perjalanan ke Siak

Pagi itu, saya bangun dengan kepala yang sedikit pusing karena kekurangan tidur. Malam sebelumnya saya mengerjakan makalah soal sampah (ya, sampah!) untuk tugas PAI (benar, PAI!) hingga larut malam.

Namun, pagi itu cukup cerah, sebenarnya. Dan faktor pencerahnya antara lain: kami akan field trip ke Siak! 

Field trip, atau dalam bahasa Jamahiriyah Indunisiyah-nya "dharma wisata" (menggunakan kata "dharma" untuk menegaskan betapa mulianya aktivitas tersebut), adalah kata yang langka dalam kamus tiap siswa di pabrik ilmu ini. Hanya kelas-kelas terpilih, yang dicucurkan rahmat dan berkah (serta, tentu saja, lobi-lobi kecil di rapat-rapat), dapat menikmati perjalanan naik bus kota selama berjam-jam menuju tempat-tempat yang dianggap "dapat membantu perkembangan belajar siswa". Frekuensinya cuma sekali setahun, atau tergantung keputusan rapat-rapat guru.

Sebelumnya, kami sudah pernah field trip saat duduk di kelas 7 dan 8. Saya tak ingat persis urutannya, yang penting kami pernah ke Danau Buatan yang (konon) legendaris itu, ditambah ke taman pancing nun jauh di Kampar sana. Kelak, taman pancing itu jadi tuan rumah yang terhormat dari dua perkemahan kami tiap awal tahun ajaran baru. Sisanya saya lupa.

Ketika saya tiba pagi itu kira-kira jam 07.00 WIB, sebuah bus kota reyot sudah terparkir dengan berwibawa di lapangan futsal kami. Warnanya biru menyala dengan gambar-gambar yang mudah kita jumpai di angkutan-angkutan dalam kota umumnya. Besar-besar, berwarna dan sedikit norak. Bus itu lazim saya lihat di jalanan, mengangkut penumpang ke sana ke mari dan memutar lagu dengan volume yang bisa membuat Jim Morrison bangkit dari kuburnya. Yang pertama terlintas di benak saya adalah: "semoga bukan ini yang mengangkut kami ke Siak."

Ternyata, Allah dengan murah hati bersedia mengabulkan doa saya. Kami tak diangkut dengan bus biru menyala tadi, melainkan dengan bus lain. Warnanya merah menyala, dengan gambar seorang anak kecil duduk tersenyum manis di belakangnya. Sepintas ia tak tampak lebih bagus ketimbang kompatriotnya. Bus ini datang beberapa puluh menit setelah kawannya tiba. Kondekturnya seorang lelaki berwajah khas kondektur juga, dan supirnya seorang laki-laki paruh baya, bertopi, bercambang jarang-jarang dan berbaju mirip Jokowi.

Setelah beberapa beres-beres, salat Duha, dan persiapan lainnya, kami berangkat. Tepat pukul 08.05, molor setengah jam dari jadwal awal. Alasannya: tak mudah menentukan tempat duduk untuk 90 murid lelaki dan perempuan yang tergesa-gesa, penuh euforia dan menyandang kamera-kamera mahal di leher mereka. Dasar pelajar postmodern.

Awalnya saya kira kami akan lewat jalan milik Chevron yang beraspal mulus itu. Lantaran saya pernah tak sengaja mendengar percakapan guru SD  tentang mengurus perizinan masuk ke jalan Chevron itu. Karena itu pula yang mendasari dugaan saya: sekolah pasti punya koneksi di Chevron hingga bisa bercakap-cakap soal perizinan masuk.  Rupanya saya salah.

Oh ya, yang ikut field trip kali ini cuma kelas 7 dan 9. Dua kelas itu ikut karena nasib yang berbeda. Untuk kelas 7, ini barangkali field trip pertama mereka sejak masuk ke sekolah ini. Bagi kelas 9, ini sekaligus pembayar hutang yang tak langsai. Kami sudah tak berdarma wisata selama setahun lebih. Cuma bisa melihat senior-senior kami dulu riang gembira berkunjung ke PLTA Koto Panjang yang legendaris itu. Akhirnya, didasari rasa belas kasihan (bah!), kami pun dijejalkan ke rombongan ini.

Maka berangkatlah dua bus dari sekolah. Satu bus untuk ikhwan, satu bus untuk akhwat. Di bus kami ada dua orang ustadz. Bus berjalan, terangguk-angguk, menembus jalan kota yang sibuk pagi itu.
Bus berjalan lambat. Truk-truk tronton yang sibuk mengangkut kayu gelondongan ke Dumai tampak memenuhi jalanan Panam pagi itu. Bus biru menyala, diisi 30 orang siswa yang sibuk dengan perangkat elektronik, sibuk memotret, sibuk minum, sibuk melamun sampai sibuk menjambak rambut orang di depannya.

Singkat kata singkat cerita, kami menghabiskan waktu di bus dengan ngobrol sana-sini. Si Haqi yang hobi galau itu duduk di samping saya. Sekitar setengah jam kemudian kami sudah meluncur nyaman di Jalan Lintas Timur Sumatera, berjalan lambat menuju Siak.

Jalanan menuju Siak sungguh seragam, jika tak bisa saya bilang membosankan. Pipa-pipa minyak melingkar macam ular piton di sepanjang jalan beraspal buruk yang sudah bolong-bolong di beberapa bagian, berjajar dari Pekanbaru hingga Dumai. Sampai di Perawang, kami tak bertemu lagi dengan pipa minyak.

Saya yang terbiasa menembus tebing melingkar gunung saat pulang kampung ke Padang dua kali setahun hanya bisa duduk-duduk saja. Kadang ngobrol dengan yang lain, sampai bosan. Koridornya sempit, cuma muat oleh satu orang dewasa. Kaki-kaki melingkar di tengah. Sesekali lagu Ungu atau Wali yang dibunyikan keras lewat loudspeaker lapuk di belakang sana mengalun. Beberapa kawan lain mabuk darat. Kondektur bus duduk merokok di kursi belakang, tempat lima orang dijejalkan berjejer-jejer macam kaleng sarden.

Laju bus tersendat di dekat Jembatan  Palas. Truk-truk besar menghambat laju kami. Pak supir tampak tak sabaran. Beberapa kali ia memintas truk-truk besar. Membuat penumpangnya kerap beristighfar.

Sejam kemudian kami sudah meninggalkan Pekanbaru dan masuk  Siak. Rumah mulai jarang-jarang, aspal yang bolong makin kentara. Tak ada lagi baliho bergambar Wali Kota Pekanbaru. Yang ada baliho berisi seruan taat bayar pajak dari bupati Siak dan larangan buang sampah sembarangan.

Sampai pada waktu ini, bus kami tengah menanjak naik sebuah jembatan, yang kemudian saya ketahui namanya Jembatan Sultan Syarif Hasyim dan nama daerahnya Tualang. Jembatan itu panjang dan lajur aspalnya lebar. Dengan mengamalkan sila keempat Pancasila, yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, diperolehlah konsensus bahwa kami akan turun di tengah jembatan dan mengambil beberapa foto. Soal foto nanti saja, ditagih dulu ke fotografernya. Meh.

Seusai dari jembatan, jalan makin monoton. Lurus, belok-belok sedikit. Pak supir sesekali menyetel lagu Islami dan mars perjuangan Palestina (yang saya tak habis pikir dari mana ia dapatkan), sambil merokok dan sesekali melirik ke belakang. Di lorong tengah bus, aktivitas berjalan hiruk-pikuk dengan siswa kelas 7 yang tak henti-henti saling menjitak kepala mereka sendiri.

Ternyata menemukan Istana Siak itu tak mudah. Setelah melewati jembatan (lagi), pak supir dan kondekturnya dibuat bingung oleh tata kota Siak yang jalannya lurus-lurus, beraspal dan sepi. Pak supir dan kondekturnya sampai harus tanya-tanya dulu pada warga lokal. Dalam lima menit kami menemukan istana zaman baheula itu.

Setelah membayar uang masuk - yang saya duga cukup mahal - kami dipersilakan masuk ke istana itu. Kompleks istananya sendiri tak banyak berubah dibandingkan ketika saya kunjungi dua tahun yang lalu, selain tampaknya taman sudah ditata rapi. Sepatu haram masuk ke dalam istana yang suci, dan mulailah kami berkeliling di bangunan itu.

Dengan Fattah memegang komando kamera, kami berkeliling di lantai satu istana. Tak banyak yang bertambah: cuma payung lama yang telah uzur, diorama para menteri kesultanan yang tampak lapuk, piring-piring antik dan tombak keramat warisan para hulubalang jaman Hang Tuah dulu. Haqi dengan tidak bijaksananya menyentuh beberapa barang yang dilabeli "JANGAN DISENTUH" dan 100% pasti terekam oleh kamera CCTV yang bertaburan di bawah kepala-kepala binantang awetan yang tergantung di sudut-sudut ruangan. Semoga saja haknya untuk mengunjungi istana ini di masa depan tak terhalang ulah nakalnya ini.

Setelah puas berfoto-foto dan mengambil data secukupnya untuk laporan perjalanan, kami naik ke lantai dua. Tata letak istana ini mengingatkan saya kepada istana Sultan Johor di Johor Bahru, pembedanya hanyalah ukuran dan kemana istana menghadap:  di Johor, istananya menghadap Selat Singapura sementara di Siak, istananya menghadap ke Sungai Siak yang legendaris itu. Lantai dua dipenuhi kamar-kamar yang saya duga dulu pernah jadi tempat tidur sultan dan permaisurinya.

Untuk naik ke lantai dua, pengunjung harus menaiki tangga spiral dari kayu yang saya perkirakan tingginya tak lebih dari tujuh meter. Konon jumlah tangga ini selalu berbeda-beda jika dihitung - mitos yang kemudian dipatahkan Ustad Syamsul saat makan siang. Dengan semangat "singsingkan lengan baju kalau kita mau maju", saya mendahului rombongan naik ke lantai dua. Namun, ternyata ada seorang kawan yang takut ketinggian dan berkeringat dingin saat mendaki tangga spiral ini. Tentang siapa kawan ini tentunya tak baik diumbar di sini karena itu adalah rahasia negara.

Lantai dua tak lebih berisi piring-piring jaman lawas dan foto-foto keluarga kerajaan. Kami putuskan turun ke lantai satu untuk mencari Komet, pemutar piringan hitam buatan Jerman yang konon cuma ada dua di dunia ini: Jerman dan Siak. Kami temukan sang pemutar uzur di sayap kanan istana, dekat ruang makan.

Setelah puas berfoto-foto di dalam, gilirannya di luar untuk dibidik. Ada sebuah rumah khas Melayu di belakang istan. Tampaknya rumah itu kosong dan di depannya berdiri kokoh sebuah kapal dari beton cor. Ukurannya cukup besar, barangkali untuk melambangkan kejayaan Sungai Siak sebelum dicemari karet dan zat-zat kimia antah berantah lainnya.

Selesai semua itu, kami makan siang dan pergi shalat Zuhur di sebuah masjid tak jauh dari istana. Untuk menuju ke masjid tersebut harus menyusuri gang, dan rupanya masjid itu terletak persis di tepi Sungai Siak.

Setelah shalat (ternyata masjidnya ber-AC) kami sepakat untuk jalan-jalan. Jalan-jalan kemana, tidak dipikirkan. Akhirnya nyelonong saja keluar dari masjid dan bertemu penjual tebu dekat taman kota (atau taman kabupaten? Entahlah)  depan istana. Sambil menunggu pesanan es tebu, kami duduk di taman kota yang ternyata punya WiFi. Tapi semua itu bohong belaka, karena meski muncul di layar telepon genggam saya, namun tak dapat terkoneksi. Sama aja bohong.

Akhirnya es tebu kami sampai. Teksturnya lembut (cieilah) dan masih ada sisa-sisa tebu (ah!). Cukup menyegarkan kerongkongan, dan harganya pun cuma lima ribu perak. Seruput punya seruput, bus kami telah berangkat dari tempat parkirnya dekat kuburan itu.

Dan akhirnya,  kami berangkat pulang ke metropolitan. Sampai ketemu, kota bersungai!

10.32 WIB, Pekanbaru, 12 Maret 2014
Sembari mendengarkan John Mayer

Tanbihat: Perjalanan ini berlangsung sudah cukup lama sebelum tulisan ini dinaikkan. Awalnya ditulis di telepon genggam saat di atas bus dan kemudian dipindahkan ke laptop, sebelum kemudian mandek cukup lama di draf. Baru sekarang saya punya semangat untuk melengkapinya.

No comments:

Post a Comment