04 July 2014

Senioritas teras masjid

Bulan Ramadhan datang lagi. Dan seperti adanya di setiap bulan yang barokah ini, pasti ada yang namanya shalat Tarawih. Itu lho, yang ada versi 11 dan 23 rakaat.

Atas alasan shalat Tarawih, maka bulan Ramadhan adalah masa dimana masjid ramai dikunjungi ummat. Dari kakek-kakek renta hingga bocah-bocah cilik ingusan. Semuanya datang ke masjid, dengan wajah berseri-seri menunjukkan tanda kemenangan ummat [oke ini lebay]. Ya pokokmen, masjid ramai, lah. Entah itu untuk shalat Isya, mendengarkan ceramah Tarawih dari bapak mubaligh undangan dari luar, shalat Tarawih, atau tadarus Quran.

Dan atas alasan itu pulalah saya sekarang cukup sering ke masjid. Dan saya perlu akui kalau saya jarang ke masjid kalau bulan-bulan biasa.

Maka dengan itu saya “bersinggungan” lagi dengan kehidupan masjid yang ramai itu. Masjid kami itu semacam episentrum kehidupan di sekeliling kompleks. Ya gimana ndak jadi episentrum, pemilihan gubernur sampai nyembelih hewan kurban aja di situ.

Dan kejadian-kejadian kecil ketika bulan Ramadhan ini selalu menggelitik untuk dikisahkan. Ada fragmen menarik yang terjadi pada malam-malam bulan barokah ini: anak-anak mengatur anak-anak.

Jadi, ceritanya begini. Mengingat para pengurus masjid sudah terlalu sibuk [atau barangkali bosan] melayani tingkah polah anak-anak SD [kebanyakan kelas 1 atau 2] yang biasa memenuhi masjid setiap shalat Isya dan Tarawih, maka mereka menugaskan beberapa orang anak untuk mengawasi bocah-bocah SD ini.

Yang menariknya, orang yang ditugaskan untuk mengawasi bocah-bocah kelas 1 dan 2 SD ini pun usianya tidak terlalu jauh dengan orang-orang yang seharusnya mereka atur. Sepengamatan saya, para “petugas” ini kebanyakan kelas 5 atau 6 SD, alias masih “sepangkat” dengan yang mereka atur.

Namun, jangan salah. Untuk urusan menertibkan bocah-bocah kecil yang selalu berlarian ke sana ke mari ini, wuidih para “petugas” ini tak kalah sigapnya dengan pamong praja membongkar lapak ilegal pedagang pasar.

Kira-kira bentuk masjid kami adalah sebuah ruang shalat utama yang dikelilingi teras berkeramik, yang lebarnya tak kurang dari empat badan orang dewasa. Dan sesuai juklak-juknis yang diamanahkan bapak-bapak pengurus masjid kepada para “petugas” tadi, bocah-bocah target operasi tadi itu hanya boleh shalat Isya dan Tarawih di teras berkeramik itu. Tidak boleh di ruang shalat utama.

“KEPADAAAA ANAK-ANAK KAMIIII UNTUK BISA SHALAAAT DI TERAS SAMPING KIRI DAN KANAN MASJIIIIID. DAN JUGAAA KEPADAAA PARA REMAJAAA YANG BERTUGAAAS UNTUK MEMBIMBING ADEK-ADEKNYA SHALAAAAT. TERIMA KASIIIH.”

Begitu pengumuman yang selalu dikumandangkan, 30 hari se-Ramadhan [30 atau 29, tergantung Anda percaya Kementerian Agama atau tidak], setiap menjelang shalat Isya.

Ada tiga pintu untuk memasuki ruang shalat utama. Pintu pertama, sebelah timur dekat tempat wudhu dan gerobak abang sate menggelar dagangannya, siap dijaga sekitar tiga hingga empat orang “petugas”. Bocah-bocah kecil ini – seratus persen laki-laki – tidak shalat sejajar dengan bapak-bapak, karena di sana ada usungan jenazah. Mereka shalat sejajar dengan shaf ibu-ibu.

Pintu kedua, dari sebelah selatan masjid, tidak ada yang shalat. Itu pintu untuk memasuki ruang shalat utama ibu-ibu. Nah pintu ketiga, dari sebelah barat, ini yang paling ramai. Ada empat sampai lima “petugas” berjaga siaga tiga belas di sana. Komandannya seorang anak yang saya taksir baru masuk SMP.

Teritori yang biasa dikuasai para bocah-bocah cilik ini adalah teras sebelah timur dan barat. Dilapisi karpet yang sudah dimakan usia, rada usang [lho iya, yang bagus kan sudah diborong bapak-bapak di ruang shalat utama] dan kuning-kuning. Tapi saya lihat mereka bahagia aja tuh shalat di karpet seperti itu

Saya biasa masuk ke ruang shalat utama dari pintu barat. Kalau azan Isya sudah berkumandang, pintunya sudah siaga satu. Kalau ada diantara bocah-bocah kecil ini yang berani coba-coba masuk ke ruang shalat utama, kata-kata sakti langsung keluar dari para “petugas”: “ANAK KECIL SHALAT DI TERAS!”

Tegas, keras, dan efektif.

Dan sepengamatan saya, taktik pengurus masjid untuk meng-outsource petugas pengamanan dari bocah-bocah tanggung kelas 5 dan 6 SD ini [ya, bocah tanggung karena saya bingung mereka sudah bisa dikategorikan remaja atau masih bocah] ini cukup brilian. Para “petugas” menikmati wewenang mereka, karena tiga hingga empat “petugas” bisa mengawasi 20 sampai 30 orang anak di satu teras.
Lucunya, anak-anak kelas 1 dan 2 ini manut saja. Sempat ada dialog kecil yang saya tangkap ketika sedang mendengarkan ceramah Tarawih beberapa hari yang lalu.

Bocah X: Bang, boleh masuk Bang?
Petugas Y: [wajah ditegas-tegaskan] Nggak boleh, dek.
Bocah X: Kenapa, Bang?
Petugas Y: [wajah dikeras-keraskan] ANAK KECIL SHALAT DI TERAS. DUDUK SANA!

Dan bocah X tadi pun manut.

Nah, saat ceramah Tarawih, kadang teras yang jadi teritori untuk mendamparkan bocah-bocah kecil ini “direbut” oleh bapak-bapak penghuni ruang shalat utama yang gerah di dalam. Kadang mereka ingin merokok, ngobrol ngalor-ngidul. Jadilah teritori para bocah kecil dan komandan mereka “terjajah” seketika. Jamaah cilik pun bubar seketika. Ada yang menyambut dagangan abang sate di seberang teras sana, ada yang berlari-larian tak keruan, ada pula yang mengganggu jamaah perempuan di bagian belakang. Ramai.

Lho, tapi tidak lama. Ketika badal masjid sudah mengumandangkan “subhanal malikil ma’buuuuudddd” maka bapak-bapak yang merokok dan ngobrol di teras “jajahan” tadi pun kembali masuk ke ruang shalat utama. Teritori bocah kecil dan komandan tanggung pun diliberalisasi dari anasir-anasir orang dewasa. Para “petugas” segera mengumpulkan anggota peleton mereka yang tercerai berai. Dalam semenit, beres. Merdekah!

Biasanya sebelum tarawih, para “petugas” ini terlebih dahulu bikin operasi sapu jagat. Bocah-bocah yang masih “liar” berlari-larian, akan ditertibkan, digiring ke teritori di mana seharusnya mereka berada. Ini semua demi terlaksananya shalat Isya dan Tarawih yang murni dan konsekuen.

Alur kerja para “petugas” ini juga tidak main-main. Sebagai “pemberi amanah” adalah para pengurus masjid, bapak-bapak panitia pelaksana Ramadhan. Setelah “pemberi amanah”, dikenal pula “pengawas”. Artinya yang mengawasi “petugas-petugas” cilik tadi ini. Para “pengawas” biasanya remaja masjid – remaja beneran, bukan bocah kelas 5 atau 6 SD – yang sesekali melongok ke teras samping kiri atau kanan untuk mengawasi para “petugas”. Kalau ada diantara bocah-bocah ini yang mbandel, yang mangkel, dan tidak bisa ditangani di level “petugas”, maka “pengawas” yang turun tangan. Semacam kalau Pengadilan Negeri ndak bisa ngurus ya naik level ke Pengadilan Tinggi, gitu lho.

Jadi alurnya: bapak-bapak pengurus masjid ---> pengawas dari remaja ---> petugas bocah tanggung ---> bocah-bocah cilik penghuni teras. Begitu.

Keberadaan “petugas” cilik yang kerjanya menertibkan bocah-bocah ini saya kira hal baru. Tujuh atau delapan tahun silam, waktu saya masih di MDA [gini-gini saya pernah MDA, walaupun drop-out], yang mengawasi kami – kami di sini berarti bocah-bocah kelas 1 atau 2 SD – adalah langsung para remaja masjid atau pemuda, atau sekarang, level “pengawas”.

Mungkin sekarang sudah ada regenerasi teras masjid [kami juga dulu disuruh shalat di teras masjid], karena generasi yang mengawasi kami dulu mungkin sudah pensiun. Dan bocah-bocah kecil [umur dua hingga tiga tahun] waktu era saya MDA mungkin sekarang yang jadi para “petugas” itu. Hipotesis saya lho ya.

Dan satu lagi kebiasaan unik jamaah cilik ini: sahutan “aaaamiinnn” yang begitu panjang.
Jamaah cilik teras sebelah kiri dan kanan saya taksir jumlahnya ndak lebih dari 50, namun gema sahutan “aaaamiiinnn”-nya bisa nembus pori-pori tanah. Tidak percaya? Coba bandingkan.

Imam: Waladdhooooolllliiiiiiiiiiin.....
Bapak-bapak di ruang shalat utama: Aaaaaaaamiiiiiinnnn.........
Jamaah cilik teras masjid: AAAAAAAAMMMMMMMMIIIIIIIIIIIIINNNNNNNNNNNNNN!!!!!!

Kalau Pak Imam nadanya slow, bapak-bapak di ruang shalat utama nadanya medium, maka jamaah cilik teras masjid ini bisa dikatakan heavy super metal.

Dan kalau sudah begini, para “petugas” cuma membiarkan. Toh kadang mereka tergelak-gelak sendiri mendengar sahutan “AAAAAAAMIIIIINNNNN” macam itu.

Saat saya pulang ke rumah malam ini, linimasa Twitter menyajikan berita soal pelajar di salah satu SMA negeri di ibu kota negara yang harus sampai meregang nyawa karena perpeloncoan seniornya. Saya langsung kepikiran para “petugas” di teras tadi itu.

Semoga dengan mengenal budaya memimpin (walaupun cuma mimpin jamaah bocah cilik), para “petugas” tadi itu tidak sampai terlalu over kalau kelak jadi pemimpin.

Semoga saja, budaya "senioritas ala teras masjid" masih melekat sampai kapanpun. Tegas, tapi tetap lugu dan bersahaja. Dan tetap ketawa kalau ada "AAAAAMIIIIINNNN" yang kelewatan keras.

Pekanbaru, 21:44 WIB
Sambil mencoba mencari tahu apa yang bagus dari Guns N Roses

No comments:

Post a Comment