25 May 2014

Kemana para penyerang lokal kita?

Konon, kunci kesuksesan persepakbolaan di sebuah negara adalah pembinaan pemain muda yang berkelanjutan. Dan lini serang adalah lini yang paling krusial untuk pembinaan.

Namun, sepanjang sejarah sepak bola Indonesia, klub-klub kasta pertama lebih suka menggunakan jasa penyerang asing untuk klub mereka. Tak heran, jika para penyerang lokal kerap terpuruk, atau bahkan tergilas sama sekali oleh para juru gedor asing yang datang berbondong-bondong memenuhi liga.

Mari kita mulai dari era Divisi Utama, sejak nama itu mulai dipakai sebagai nama kasta tertinggi sepak bola Indonesia.

Sejarah mencatat, dalam tiga musim terakhir penyelenggaraan Divisi Utama Liga Indonesia sebagai kasta tertinggi sepak bola negeri ini, anugerah pencetak gol terbanyak selalu jatuh kepada mereka yang bukan warga Indonesia dan bukan ditempa oleh jaringan pembinaan pemain muda Indonesia: Cristian Gonzales, saat itu masih warga negara Uruguay, memborong titel pencetak gol terbanyak dari musim 2005 hingga 2007-08, semuanya bersama Persik Kediri.

Dan yang [tak] lebih mengejutkan, hanya ada empat pemain asli Indonesia yang ditempa oleh pembinaan pemain muda Indonesia selama 14 tahun Divisi Utama sebagai kasta tertinggi: Peri Sandria, Kurniawan Dwi Yulianto dan Ilham Jaya Kesuma (yang merebutnya dua kali).

Selebihnya? Diborong antara para penyerang Afrika seperti Alain Mabenda dan Sadissou Bako, para juru gedor Amerika Latin seperti Oscar Aravena dan Jacksen F. Tiago, atau bahkan jatuh kepada seorang Eropa, dalam rupa Dejan Gluscevic.

Ketidakberdayaan para juru gedor lokal untuk menembus hegemoni striker impor dari luar selama era Divisi Utama pun berbanding lurus dengan kualitas lini serang timnas pada era yang sama. Setelah penyatuan Galatama dan Perserikatan menjadi Divisi Utama pada tahun 1994 sampai turun pangkat jadi kasta kedua 2008, tim nasional senior setidaknya telah bermain di empat fase grup Piala Asia dan tujuh Piala AFF.

Dalam empat kesempatan berlaga di fase grup Piala Asia (dari 1996 hingga 2007), Indonesia “cuma” mencetak sembilan gol. Kita bahkan tak mencetak  sebiji gol pun di fase grup Piala Asia 2000, meskipun menggelontorkan 18 gol di babak kualifikasi!

Dalam ukuran Piala AFF, Indonesia mencetak 106 gol dalam tujuh kali penyelenggaraan turnamen itu dalam rentang 1994-2008: dan finis tiga kali sebagai peringkat kedua. Itu berarti kita mencetak rata-rata 15.14 gol setiap turnamen. Dibandingkan dengan – katakanlah –Malaysia (yang mengemas 64 gol dari 7 keikusertaan, rataan 9.14), jelas memang para penyerang kita lebih produktif, setidaknya pada rentang itu.

Namun patut diingat: pada rentang yang sama merajalelanya penyerang asing sebagai pencetak gol terbanyak di Divisi Utama, para penyerang Malaysia cukup bisa mengimbangi pengaruh penyerang asing di liga mereka sendiri. Enam pemain lokal berbeda berhasil menjadi pencetak gol terbanyak Liga Super Malaysia antara 1994 hingga 2008, dengan Mohd Hashim Mustapha masih menjadi pemegang rekor pencetak gol terbanyak dalam satu musim dengan 25 gol bersama Kelantan FA pada musim 1994.

Memasuki era Liga Super Indonesia, Boaz Solossa memang menjadi pencetak gol terbanyak di musim pertama, 2008-09. Namun patut dicatat, Cristian Gonzales sama tajamnya: orang Uruguay ini mencetak gol dengan jumlah yang sama dengan Boaz. Selain itu, di antara para pemain yang berhasil mencetak 10 gol ke atas, jumlah gol yang dicetak pemain asing (214 gol) jauh lebih banyak daripada gol yang dicetak pemain lokal (104 gol).

Ketimpangan itu berwujud selisih 110 gol!

Pun di musim selanjutnya, penyerang asing masih mendominasi daftar pencetak gol terbanyak. Aldo Barreto menjadi pemuncak dengan 19 gol berseragam Bontang FC, sementara cuma ada dua pemain lokal yang mampu menembus batas 15 gol: Boaz di Persipura dan Muhammad Isnaini di PSPS Pekanbaru (Cristian Gonzales masih berpanji Uruguay saat musim berakhir). Pencetak gol terbanyak sang juara, Arema, pun bukan orang lokal, melainkan Noh Alam Shah dari Singapura.

Hal ini berkorelasi dengan prestasi Indonesia di kancah internasional. Alfred Riedl membawa lima penyerang ke Piala AFF 2010: Gonzales, Johan Juansyah, Irfan Bachdim, Bambang Pamungkas dan Yongki Aribowo. Gonzales mencetak 18 gol, Juansyah hanya mencetak tiga gol untuk Persijap di musim 2009-10, Bepe dengan 14 gol, Bachdim tak main di ISL dan Yongki dengan tujuh gol di Persik Kediri.

Secara kolektif, Indonesia membawa lima penyerang dengan total 42 gol di liga. Jika dibandingkan dengan Malaysia, misalnya, mereka membawa empat penyerang: Norshahrul Idlan Talaha, Safee Sali, Izzaq Faris Ramlan dan Ashaari Shamsuddin. Idlan mencetak 11 gol untuk Kelantan di musim sebelumnya, Safee dengan 12 gol untuk Selangor, Izzaq belum bermain di Liga Super dan Ashaari dengan 18 gol untuk Terengganu. Malaysia membawa empat penyerang yang mencetak 41 gol di liga lokal mereka sendiri.

Fakta kelak memang berbicara di lapangan. Kuartet Malaysia memborong 8 gol selama turnamen, sementara lima penyerang Indonesia hanya bisa membungkus tujuh gol.

ISL pada musim-musim berikut pun masih mempertontonkan kedigdayaan penyerang asing dibanding penyerang lokal. Boaz memenangi sepatu emas musim 2010-11 dengan 22 gol, tetapi bahkan tak ada pemain lokal yang menembus setidaknya 15 gol. Beto Goncalves memuncaki tabel pencetak gol pada musim selanjutnya dengan 25 gol, dan cuma enam penyerang lokal yang mampu mencetak 10 gol ke atas (dibanding 18 pemain asing). Di liga “tetangga pemberontak”, Liga Prima, Ferdinand Sinaga memang merebut sepatu emas dengan 15 gol, tetapi hanya tiga pemain Indonesia yang mampu menembus 10 gol (dibanding empat pemain asing).

Ketimpangan produktivitas antara pemain asing dan lokal masih terasa hingga Liga Super musim lalu. Memang sudah ada tiga penyerang lokal yang menembus 15 gol musim lalu dan Boaz Solossa kembali menjadi pemuncak dengan 25 gol, tetapi jumlah pemain asing yang sama-sama mencetak 15 gol ke atas adalah dua kali lipat dari jumlah pemain lokal. Bahkan jika dihitung memakai ukuran “pemain Indonesia yang dibina di klub Indonesia”, musim lalu hanya menyisakan Boaz sebagai “penyerang Indonesia murni”, karena Sergio van Dijk dan Gonzales jelas hasil naturalisasi.

Dan di Liga Super musim ini, belum ada penyerang lokal yang mampu menembus 10 gol – tetapi Pacho Kenmogne, juru gedor Kamerun milik Persebaya, justru sudah mencetak 11 gol. Lebih ironis lagi, klub macam Semen Padang harus bertumpu pada winger (alih-alih striker) asing seperi Esteban Vizcarra sebagai mesin gol utamanya.

Ketimpangan semacam ini tampaknya masih akan terus berjalan jika tidak ada upaya untuk membenahinya. Berjalannya Liga Super U-21 belum memecahkan masalah. Lihat Aditya Putra Dewa, pencetak gol terbanyak LSI U-21 musim 2008-09 dari PSM Makassar, yang kini terpaksa pergi dari Makassar menuju Persepam Madura United lantaran gaji yang kerap telat dan jarang dimasukkan ke skuat inti. Perhatikan pula Aldeir Makatindu, pencetak gol terbanyak dua musim berturut-turut bersama Persisam U-21 yang kini tersisih karena kehadiran Ilija Spasojevic sebagai bomber utama skuat Pusam.

Sudah saatnya kita memerhatikan lebih jauh lagi masa depan para penyerang lokal. Para penyerang asing sudah terlalu lama mencengkeram di tiap klub Indonesia, sehingga para pelatih lokal yang terpesona oleh bakat mereka memilih untuk melupakan (atau bahkan membuang jauh-jauh) talenta juru gedor lokal.

Barangkali solusinya memang adalah pelarangan pemain asin, seperti yang dilakukan Galatama dulu. Selama era pelarangan pemain asing, Galatama menampilkan talenta-talenta penggedor lokal yang luar biasa, seperti Bambang Nurdiansyah, Ricky Yacobi dan Ansyari Lubis. Hasilnya pun manis: dua kali mendulang medali emas sepak bola di SEA Games.

Melarang sepenuhnya pemain asing memang suatu pil pahit untuk popularitas liga, tapi apa boleh bikin kalau tak hendak melihat para penyerang timnas kepayahan menembus pertahanan lawan di kancah internasional hanya lantaran jarang dimainkan di klubnya sendiri?

No comments:

Post a Comment