11 May 2014

Karena PSPS (ternyata) masih ada

Sejujurnya, saya tak pernah benar-benar bisa menggemari PSPS Pekanbaru, walaupun saya tumbuh besar di kota ini.

Dulu saya beranggapan bahwa level permainan PSPS jauh sekali di bawah Semen Padang – klub yang saya gemari dan imani sedari kecil. Saya tak pernah bisa menganggap PSPS sebagai lawan yang setimpal dengan Kabau Sirah. Sejak saya pindah ke Pekanbaru pada tahun 2003 sekalipun, saya tak pernah menonton langsung pertandingan PSPS di Pekanbaru, atau bahkan untuk sekadar ambil pusing soal hasil-hasil pertandingan terbaru sang Asykar Bertuah.

Namun, manusia memang dilahirkan untuk cepat melupakan. Anggapan ini memudar seiring waktu berjalan.

Dalam tiga tahun terakhir, saya duduk di bangku SMP. Bergaul dengan bermacam-macam orang, juga bermacam-macam afiliasi klubnya. Saya mulai menaruh perhatian terhadap sepak bola lokal – setelah dari dulu dicekoki tontonan liga seberang laut macam Inggris dan Italia – dan menemukan bahwa sepak bola Indonesia adalah tontonan yang sangat menarik. Ada berbagai percampuran budaya di sana. Ada cerminan kehidupan rakyat di sana.

Dan saya, tiap memperkenalkan diri berasal dari Pekanbaru, selalu ditanyai dengan sebaris kalimat berakhiran tanda tanya tiap kali berbicara dengan sesama penggemar sepak bola lokal: “pasti fans PSPS ya?”

Mau tidak mau, dalam beberapa tahun terakhir saya menaruh perhatian khusus terhadap klub yang satu ini. Saya mulai menonton beberapa pertandingan PSPS di televisi – yang sayangnya, tak pernah rutin ditayangkan. Apalagi setelah PSPS terlempar dari kasta tertinggi sepak bola Indonesia, Liga Super Indonesia. Laga-laga mereka tak pernah lagi  ditayangkan televisi nasional – atau bahkan sekedar dikomentari oleh radio lokal Pekanbaru.

Mau tidak mau, satu-satunya cara untuk menyimak langsung tim putih-biru ini adalah dengan menontonnya langsung ke Stadion Kaharuddin Nasution, tempat klub ini berkandang.

Pertama kali saya menonton PSPS bermain langsung di stadionnya adalah beberapa bulan yang lalu, yang saya kira merupakan sebuah keterlambatan yang amat sangat terlambat dari seseorang yang tumbuh dan besar di kota ini. Namun, sekali lagi, better late than never.

Hari ini saya berkesempatan menonton lagi sang Asykar Bertuah. PSPS akan menghadapi PSMS Medan dalam laga lanjutan Divisi Utama Liga Indonesia. Sekedar catatan, kelanjutan kompetisi ini sempat ditunda karena “situasi keamanan yang kurang kondusif menjelang pemilihan umum” (ya, sangat normatif sekali alasannya), dan sejauh ini PSPS sendiri baru main dua kali dengan meraup enam poin penuh, sementara sang tamu Ayam Kinantan masih belum pernah menang.

Ada dua kesimpulan yang saya tarik saat menaiki tangga-tangga berundak Kaharuddin Nasution.

Yang pertama adalah: ini adalah laga yang sebenarnya.

Saya belum pernah menonton sekalipun pertandingan liga Indonesia yang sebenarnya. Di Padang, saya sempat menonton beberapa laga Semen Padang saat mereka masih berkompetisi di kancah Indonesia Premier League, yang semua tahu bahwa meski itu merupakan kompetisi yang (konon) resmi dibawah lindungan PSSI, namun pamornya masih kalah (dengan sangat telak) dan pesaingnya, Indonesia Super League.

Animo masyarakat Padang terhadap laga-laga SP di IPL pun tak sebesar kala SP melawan klub-klub IPL seperti Persib, Persija atau Arema, sebab musababnya SP cuma menghadapi tim recehan selama berkiprah di IPL (kecuali tentu saja, klub alumnus ISL seperti Persibo, PSM dan Persebaya). Kali pertama saya menonton PSPS adalah sebuah latih tanding yang tak ubahnya kancah testing the water saja.

Namun kali ini, saya akan menonton laga liga yang sebenarnya, meski cuma pertandingan Divisi Utama yang notabene merupakan kasta kedua dalam jenjang sepak bola negeri ini.

Kesimpulan kedua: saya akan duduk di tribun VIP barat, persis di samping tribun utara, tempatnya Curva Nord.

Pendukung tim-tim sepak bola Italia  tentulah mengenal tradisi curva dalam kebudayaan sepak bola Italia. Para suporter fanatik yang bergoyang sambil mengibar-ibarkan kaus hitam mereka di udara selama puluhan menit sambil menempati lengkung sempit di utara dan selatan stadion. Mereka kerap disebut ultras, pendukung fanatik suatu klub dengan identitas misterius, mengoarkan yel-yel dan spanduk-spanduk, membentuk koreografi-koreografi menakjubkan, bahkan kadang tak segan untuk baku hantam membela panji klubnya. Belakangan tradisi seperti ini menyeruak masuk ke dalam budaya suporter sepak bola Indonesia, seperti munculnya Brigata Curva Sud yang fenomenal di Sleman.

Dan Pekanbaru juga punya curva-nya sendiri. Kelompok ini dinamai Curva Nord 1955. Sesuai namanya, kelompok ini bermukim permanen di tribun utara Stadion Kaharuddin Nasution.
Sebenarnya PSPS juga mempunyai kelompok suporter yang lain, bernama Asykar Theking. Kelompok ini lebih populer ketimbang Curva Nord karena merupakan kelompok yang diakui resmi oleh klub, dan menempati tribun selatan stadion.

Saat pertama kali saya menonton di Kaharuddin Nasution, saya mendapat tiket VIP Timur yang terletak bersebelahan dengan tribun selatan, tempat kelompok ini berada. Dan saya cukup terkesan akan totalitas dan loyalitas mereka terhadap PSPS.

Namun, ternyata Curva Nord jauh lebih ekspresif dari yang saya bayangkan. Mereka sanggup berputar-putar di tribun utara nan panas itu selama satu setengah jam, beberapa kali bahkan melepas pakaian mereka dan memutar-mutarkannya ke udara. Mereka juga menampilkan spanduk-spanduk, mulai dari yang berbau regionalitas (“CN cabang ini dukung PSPS selalu!”) hingga yang berbau filosofis (ada spanduk CN bertuliskan “marwah Riau” di sepanjang pagar pembatas tribun utara).

Setelah menarik dua kesimpulan di atas, saya duduk di tribun VIP Barat. Terik sore matahari Pekanbaru tampak mulai meredup. Peluit wasit telah disalakkan. Saya ternyata terlambat masuk lima menit.

Saya baru sadar satu hal yang berubah saat pembawa acara meneriakkan kata “PSPS Riau” saat Andre Abubakar menyarangkan gol ke gawang Ayam Kinantan sepuluh menit setelah saya masuk stadion. Ternyata PSPS Pekanbaru kini bukan lagi mewakili Kota Pekanbaru saja, melainkan juga seluruh Riau.

Inilah hebatnya sepak bola. Ia bisa jadi pragmatis dan konservatif dalam rentang waktu yang tak begitu jauh. Dalam kasus PSPS, pergantian nama merupakan sesuatu yang sudah lazim terjadi.

Sejak ISL 2013, PSPS sudah beberapa kali berganti nama. Pertama kali saat klub ini “diselamatkan” oleh Bupati Kampar, yang berjanji memperbaiki kondisi finansial klub. Alhasil, PSPS diboyong keluar dari kota kelahirannya menuju Bangkinang, ibu kota Kabupaten Kampar nun lima puluh kilometer sebelah barat Pekanbaru. Mereka bermain di Stadion Tuanku Tambusai dan mulai menggunakan PSPS Kampar Riau. Artinya mereka bermain sebagai Persatuan Sepak Bola Pekanbaru dan Sekitarnya Kampar Riau [sic].

Namun, masa pengungsian Asykar Bertuah di Bangkinang tak lama. Mereka pulang ke Pekanbaru setelah sang bupati angkat tangan dalam mengatasi masalah finansial. PSPS terpuruk di klasemen ISL – menempati posisi juru kunci, empat kali menang, perbedaan gol -81 dan cuma mengoleksi 17 poin dari total 34 pertandingan. Mereka pun tergusur dari kasta tertinggi.

Setelah naiknya Maman Supriadi sebagai manajer baru PSPS sekitar bulan April tahun ini, PSPS berubah nama lagi menjadi PSPS Riau. Maman – notabene menantu dari Gubernur Riau Annas Maamun – mengganti logo PSPS. Logo lama yang mengandung lambang Kota Pekanbaru diganti dengan lambang warna hijau Provinsi Riau. Tidak ada yang pernah mencatat  alasan jelas dari pergantian nama ini, selain keterangan bahwa Pemerintah Provinsi hanya bersifat mendukung penuh.

Dan sepengamatan saya, Asykar Theking tampaknya belum menerima perubahan logo baru itu. Logo lama dengan lambang Pemerintah Kota masih terpasang di banner mereka. Beda dengan Brigata, yang cepat tanggap dengan memasang logo Pemprov Riau di banner yang bertuliskan “Marwah  Riau”.

Ternyata PSPS memang sudah tak jadi kebanggan Pekanbaru saja, tapi juga Riau secara keseluruhan.

Babak kedua telah berakhir. Sayup-sayup lagu-lagu pop Indonesia berkumandang dari tempat panpel duduk.

Sejenak saya perhatikan ambulans yang disiagakan panpel untuk mengangkut pemain yang cedera. Ada logo Pemprov Riau di sana, tapi minus tulisan PSPS. Wah, menarik juga, pikir saya. Lalu ada tulisan Universitas Riau di samping kanannya. Ini pasti dari RS Unri, saya pikir lagi.

Namun, di bawah tulisan Universitas Riau itu, ada tulisan tegas, ditulis dengan huruf kapital warna merah.

BANTUAN BUPATI ROKAN HILIR, H. ANNAS MAAMUN.

Annas, yang kini menjabat Gubernur Riau, sebelumnya memang menjabat sebagai Bupati Rokan Hilir, sekaligus pemimpin Partai Golongan Karya di provinsi ini. Dan saya perhatikan mobil ambulansnya, masih baru dan berkilau. Tampaknya masih kinclong dari ruang pameran.

Saya putuskan untuk tak memerhatikan ambulans itu, dan melihat gocekan pemain PSPS di lapangan.
Asykar Theking mulai riuh di awal babak kedua. Mereka menyanyikan “kuyakin pasti kau menang” menggunakan irama I Believe I Can Fly-nya R. Kelly. Unik, sekaligus syahdu.

Dan hukum aksi-reaksi memang selalu ada di sepak bola. Sepenanakan nasi setelah Asykar Theking selesai bernyanyi, Curva Nord membalasnya dengan atraksi buka baju dan memutar-mutarkannya ke udara. Eksplosif.

Matahari tinggal sepenggalahan lagi untuk terbenam. Sementara pertandingan masih lama.

Tensi pertandingan makin panas. Pelatih Asykar Bertuah, Philip Hansen Maramis, sudah berkali-kali keluar dari bangku cadangan ke garis pinggir lapangan untuk memberi komando. Hal yang sama juga dilakukan pelatih PSMS, yang saya tidak tahu namanya.

Sekitar menit ke-60, terjadi screamage di gawang PSMS. Entah bagaimana caranya, dua striker PSPS dikerumuni lima hingga enam orang barisan belakang PSMS. Mungkin mereka menerapkan strategi kerubuti-kerubuti-kerubuti, sehingga terjadilah handsball pada salah satu penggalang pertahanan PSMS.

Awalnya PSMS berusaha menampik. Keributan sempat terjadi selama lima menit karena pemain PSMS berusaha untuk meyakinkan wasit bahwa handsball  yang dituduhkan tak pernah terjadi. Namun untungnya, wasit berpendirian teguh. Ia menunjuk titik putih. Novrianto maju, dan dengan tenang menceploskan si kulit bundar ke gawang si Ayam Kinantan. Stadion kontan bergoyang.

Beberapa menit setelah eksekusi penalti itu, kepala salah satu striker PSPS menjadi sasaran gasakan oleh bek PSMS. Mungkin sang bek tak puas dengan penalti yang diberikan wasit. Namun, wasit bergeming. Tak ada tindakan untuk gasakan itu. Namun, saat sang pemain ditarik keluar kira-kira lima menit kemudian, ia mendapat sorakan sinis dari tribun tertutup.

Hah, sepak bola itu memang keras!

Tiga menit berselang setelah ditariknya sang bek tukang gasak itu sebelum terjadi lagi keributan di gawang PSPS. Kiper Adi Candra didorong salah satu penyerang PSMS, menyebabkan bergemuruhnya tribun selatan tempat Asykar Theking bermukim. Sang kiper terjatuh dan tampak kesakitan. Penghuni tribun makin garang, tapi wasit bergeming. Tak ada tindakan.

Baru pada menit delapan puluhan, serangan PSPS membuahkan hasil. Lewat kerja sama lini tengah yang digalang Firman Septiadi dan Ifrawadi, Andre Abubakar berhasil menceploskan bola liar yang beredar di kotak dua belas pas PSMS. 3-1 untuk PSPS.

Setelah gol ketiga, penghuni tribun – baik utara maupun selatan – merasa mulai di atas  angin. Asykar Theking menyanyikan chants-nya yang terkenal retoris, “Siapa Suruh Lawan PSPS?”.

Dan nyatanya, memang PSMS tak memegang kendali lagi dalam sepuluh menit terakhir laga. Stadion bergoyang. CN menyalakan suar dan kembang api.

Satu pertandingan usai sudah. Asykar Bertuah ternyata memang masih ada, dan mereka berjaya.

Perjalanan pulang ternyata lebih sulit ketimbang perjalanan berangkat. Selain konvoi ratusan sepeda motor pendukung PSPS yang mengibarkan bendera biru, warna tradisional mereka. Macet juga terjadi, terutama karena sore itu hanya satu jembatan yang difungsikan: Jembatan Siak I, yang dibangun Belanda puluhan tahun lampau dan populer sebagai Jembatan Leighton.

Jembatan Siak III, yang berwarna kuning cerah dan baru siap dibangun tahun lalu, harus menjalani “perbaikan”. Saya sendiri heran mengapa konstruksi penjajah jauh lebih awet ketimbang jembatan yang dibangun kita sendiri.

Keheranan itu buyar seketika. Saya melihat seorang pendukung PSPS memakai baju kaus biru, dibonceng temannya di atas motor. Bagian belakang kausnya terpatri tulisan, “Ultras No Politica.” Ultras tak berpolitik.

Sejenak pikiran saya melayang lagi ke ambulans yang siaga di bawah tribun tadi. Sungguh kontras dengan tulisan yang terpatri di kaus ini.

Ah, saya menelan ludah. Pahit.

Pada 26 April 2014 yang silam, saya menonton pertandingan PSPS vs PSMS di Stadion Kaharuddin Nasution. Sebenarnya tulisan ini sudah lama selesai, namun terbengkalai begitu saja di folder tulisan. Baru hari ini saya berminat lagi untuk melengkapi dan mengeditnya.

No comments:

Post a Comment