08 May 2014

Mereka yang bukan juara di pentas para juara

Para juara haruslah diadu dengan para juara. Setidaknya demikian yang berada di pikiran Gabriel Hanot.

Hanot, seorang mantan bek tengah tim nasional Perancis dengan catatan 12 kali membela Si Ayam Jantan (kemudian mendapat kecelakaan pesawat dan banting setir menjadi redaktur L’Equipe, salah satu harian olahraga terpopuler di Eropa) pertama kali membincangkan gagasan itu dengan kompatriotnya sesama pewarta, Jacques Ferran pada tahun 1948.

Ferran meliput Campeonato Sudamericano de Campeones (“Kejuaraan Juara-Juara Amerika Selatan”) di Santiago, ibu kota Chile. Turnamen ini mempertemukan tujuh tim berbeda dari tujuh negara Amerika Selatan: termasuk River Plate, klub Argentina pemenang Primera Division 1947 dan Nacional, yang memenangi Primera Division Uruguay setahun sebelumnya.

Ia langsung terpukau melihat kompetisi ini. Dalam turnamen berformat round-robin itu, Vasco da Gama (wakil Brasil, sang juara Campeonato Carioca tahun sebelumnya) akhirnya memenangkan kompetisi dengan raihan sepuluh poin dari enam laga: empat kali kalah dan dua kali menang. Vasco terpaksa bersaing ketat dengan River Plate dan Nacional, yang kemudian duduk sebagai peringkat kedua dan ketiga berturut-turut. Ferran langsung kembali ke Perancis untuk menemui Hanot, dan mulai menggagas kompetisi antarklub di Eropa. Saat itu, yang berada di pikiran Hanot dan Ferran adalah kompetisi yang mengadu para juara.

Pada musim panas lima tahun berselang setelah Vasco da Gama menjunjung trofi di Santiago, Wolverhampton Wanderers (yang kini tersuruk di divisi dua Inggris) memulai serangkaian latih tanding ke seluruh dunia. The Wolves menjamu tim-tim macam Racing Club dari Argentina, Spartak Moscow dari Uni Soviet dan akhirnya melawan Budapest Honved dari Hongaria. Tim Honved saat itu bermaterikan pemain dari tim nasional Hongaria, namun terpaksa mengakui keunggulan klub dari West Midlands itu dengan skor 3-2. Pelatih Stan Cullis dan media Inggris dengan pongahnya mendeklarasikan Wolves sebagai “juara dunia”.

Namun, Hanot menyanggah pernyataan pongah Cullis dan pers Britania. “Sebelum kita mengumumkan Wolverhampton adalah klub yang tak terkalahkan,” tulis Hanot berapi-api di korannya, “biarkan mereka berlaga ke Moscow dan Budapest. Dan ada dua klub besar lain: AC Milan dan Real Madrid. Sebuah kompetisi antar juara-juara sedunia, atau paling kurang untuk benua Eropa – lebih besar, lebih berarti dan lebih prestisius ketimbang Piala Mitropa – harus mulai digulirkan.”

Hanot menekankan bahwa kompetisi yang bermain di otaknya saat itu adalah sebuah kompetisi yang mengadu para juara-juara dunia, atau paling kurang, mengadu para juara Eropa. Ia menulis itu di musim panas 1953. AC Milan merupakan klub besar Italia saat itu – merebut scudetto pada musim 1950-51 lewat lesakan 34 gol Gunnar Nordahl – dan mengulanginya kembali dua musim berselang.

Real Madrid juga merebut takhta juara La Liga semusim setelah Hanot menulis kalimat di atas. Dan seperti yang ditulis Hanot, ia menginginkan sebuah turnamen yang “lebih besar, lebih berarti dan lebih prestisius ketimbang Piala Mitropa.” Piala Mitropa adalah turnamen antar klub Eropa Tengah, mempertemukan tim-tim Austria, Hungaria, Yugoslavia dan Hongaria.

Bagi seorang visioner macam Hanot, jelas turnamen itu tak cukup.

Setelah UEFA bersidang pada Maret 1955 dan disahkan sebulan kemudian, Piala Eropa edisi pertama mulai bergulir pada 4 September 1955. Yang menarik adalah, ternyata tak semua dari 16 tim peserta edisi pertama ini yang berstatus “juara”, seperti yang diimpikan Hanot.

Sebut saja Rapid Wien. Klub Austria ini memang menjadi juara Liga Austria musim 1954-55, namun mahkota jatuh ke tangan First Vienna FC pada musim 1955-56, dan Rapid hanya berstatus peringkat tiga. Dengan demikian, Rapid bukanlah “juara” yang diharapkan Hanot untuk diadu.

Demikian pula dengan klub peserta lain, seperti Voros Lobogo, yang kini berganti nama menjadi MTK Budapest FC. Klub ini hanya duduk di posisi dua Liga Hongaria 1955, kalah saing dari Budapest Honved yang mengandalkan Zoltan Czibor, penyerang tajam dengan 20 gol. Kasus yang sama terjadi pada Sporting CP yang turut diundang – sang raksasa Lisbon cuma berakhir di peringkat tiga pada Primeira Divisao 1954-55, di bawah Benfica dan Belenenses.

Dengan demikian, turnamen yang mengadu para juara – seperti yang diimpikan Hanot – telah gagal terlaksana, bahkan di edisi pertamanya. Untungnya di final, Real Madrid sukses menumbangkan Stade de Reims dari Perancis, pemuncak Divisi Satu Perancis 1954-55.

Setelah edisi pertama, Piala Eropa bertransformasi menjadi ajangnya para juara, terutama setelah dihapuskannya sistem undangan pada era 1960an. Selama tiga dekade, klub-klub Eropa harus menjuarai liga negaranya sendiri terlebih dahulu untuk mendapat tiket langsung ke babak final yang berformat gugur.

Namun ada pengecualian bagi para juara bertahan: meskipun mereka tak juara liga, mereka tetap mendapat tempat di kompetisi musim depan. Hal ini terjadi pada musim 1974-75, saat Bayern Munich – kala itu juara bertahan – tergelincir hingga peringkat kesepuluh di klasemen Bundesliga. Saat itu, bahkan mereka tak lolos untuk masuk babak pertama Piala UEFA. Tapi, sang raksasa Bavaria tertolong oleh peraturan yang memungkinkan juara bertahan Piala Eropa untuk lolos otomatis ke kompetisi musim selanjutnya. Jadilah Jerman punya dua wakil di Piala Eropa 1975-76: Bayern dan Borussia Monchengladbach, yang lolos karena status mereka sebagai juara liga.

Pahit untuk Gladbach: mereka notabene juara Bundesliga harus terhenti di perempatfinal oleh Real Madrid, sementara Bayern si peringkat sepuluh melenggang ke Hampden Park, tempat diselenggarakannya final, dimana mereka menggarap Saint-Etienne satu gol tanpa balas. Bayern menjunjung si Telinga Besar untuk kali ketiga berturut-turut.

Memasuki era Liga Champions mulai musim 1992-93, tetap saja para juara liga yang berhak saling bertempur di ajang ini. Namun aturan ini diubah mulai tahun 1997. Para runner-up kini boleh ikut berkompetisi. Tim macam Parma (peringkat kedua Serie A 1996-97) kini berhak mendampingi sang “juara” yang sebenarnya, Juventus. Hasil dari reformasi ini tampak nyata pada musim selanjutnya: Manchester United menjuarai Liga Champions 1998-99 walaupun berada di tangga kedua klasemen Premier League 1997-98, di bawah Arsenal.

Era Liga Champions yang mengglobal telah melunturkan impian sang visioner, Gabriel Hanot, untuk mengadu para juara Eropa. Liverpool dan Manchester United memulai (dan untuk Liverpool, menjuarai) petualangan mereka di musim 2004-05 dari babak kualifikasi ketiga (melawan klub-klub dari Austria dan Romania) sebagai hasil dari ekspansi gila-gilaan untuk memperebutkan si Telinga Besar, padahal kedua klub itu cuma berada di peringkat keempat dan ketiga di liga mereka.

Jangan lupakan pula kasus yang paling anyar: kemenangan Chelsea di final 2011-12 kontra Bayern Munich. Kedua klub ini bahkan bukan juara liga di negara asalnya, dan di era pra-Liga Champions, mereka paling-paling hanya akan dapat jatah berlaga di Piala UEFA atau Intertoto. Namun hari ini, mereka yang notabene “bukan juara” pun dapat dengan leluasa bertarung dengan para juara, bahkan menjuarainya.

Musim ini, kita menyaksikan kehadiran kehadiran satu tim “bukan juara” di Liga Champions: Atletico Madrid. Atletico bahkan tak pernah menyentuh dua besar La Liga sejak tahun 1996. Perputaran uang nan kian menggurita dan kapitalisme yang mencengkeram sampai ke rumput lapangan telah membuat visi Hanot bagai barang purba di museum tua.

Kini segalanya tergantung pada koefisien: semakin banyak koefisien ligamu hei negara anggota, semakin banyak pula wakilmu di liga antarnegara. Siapa yang berkenan menaruh muka pada juara liga Kazakhstan atau Bulgaria jika Anda dapat memutar fulus sebanyak-banyaknya dengan menayangkan laga-laga empat tim Inggris atau Spanyol di putaran grup?

Mengadu para juara-juara kini tinggal kenangan. Gabriel Hanot barangkali kini sedang bertanya-tanya di dalam kuburnya tentang peringkat Atletico musim lalu.

No comments:

Post a Comment