Peluit wasit tanda pertandingan berakhir menggema di sudut-sudut Stadion Kaharuddin Nasution, Pekanbaru, pada Sabtu sore, 25 Januari silam. Tuan rumah PSPS Pekanbaru berhasil menahan imbang sang tamu, Semen Padang dengan skor sama kuat 1-1. Awan gelap berarak, mengiringi azan Maghrib yang datang susul-menyusul di sekitar kompleks stadion.
Hawa pertandingan ini bersahabat. Semen Padang, sang juara IPL 2012, datang dari Padang, hampir empat ratus kilometer dari Pekanbaru untuk menjamu sang saudara tua, PSPS yang baru saja terdegradasi dari Liga Super Indonesia musim lalu.
Ini adalah derby Melayu, ucap seorang penonton. Bukan, ini El Clasico ala Sumatera, tampik kawan di sebelahnya.
Tak kurang dari 10,000 orang memadati stadion di bagian utara Pekanbaru itu, dengan berbagai warna dan atribut. Asykar Theking dan Curva Nord – dua kelompok suporter terbesar PSPS Pekanbaru, tanpa henti bersorak dan menggoyang tribun terbuka Kaharuddin Nasution, menyanyikan lagu-lagu untuk menyemangati klub Askar Bertuah. Semen Padang, sang tamu, disambut hangat bak saudara tua yang baru habis berlayar dari negeri yang jauh, tak seperti lazimnya derby-derby lainnya di Indonesia yang kerap dihiasi dengan lontaran batu, amukan pada bus lawan bahkan tawuran antar suporter. Pertandingan ini adalah Liverpool vs Everton ala Sumatera: riuh, panas, tapi tetap bersahabat.
Pekanbaru adalah sebuah kota yang multikultural. Di kota yang dialiri Sungai Siak ini, ada 900,000 orang yang menghuninya. Suku Minangkabau, yang dikenal dengan etos merantaunya, menjadi suku yang dominan di kota ini, dengan membentuk 37,7% persen dari populasi menurut data Bappeda tahun 2008. Kemudian disusul orang Melayu sebesar 26,1% yang mendominasi struktur birokrasi pemerintahan kota, orang Jawa, Batak dan Tionghoa. Orang Minang dari Sumatera Barat – daerah asal Semen Padang – mudah ditemui di kota ini. Umumnya mereka berprofesi sebagai pedagang, meski tak sedikit pula yang terjun di bidang profesional.
Bahasa Minangkabau bukan sesuatu yang tak lazim dipertuturkan di kota ini. Banyaknya jumlah perantau Minang telah menjadikannya sebagai salah satu bahasa pergaulan yang digunakan oleh penduduk kota selain bahasa Melayu dan Indonesia. Ia telah menjadi bahasa yang tak asing, perbendaharaan katanya kerap membaur dengan bahasa Melayu asli. Ungkapan-ungkapan khas anak muda Pekanbaru pun banyak dipengaruhi oleh kata-kata dalam bahasa Minang. Ia telah membaur laksana masakan Padang yang lazim ditemui di jalanan Pekanbaru.
Secara historis, pembauran ini tak mengherankan, karena Riau dan Sumatera Barat sama-sama pernah menjadi bagian provinsi Sumatera Tengah pada tahun 1950an, dengan pusat pemerintahan di Bukittinggi yang kini menjadi bagian dari Sumatera Barat. Kabupaten Kampar di barat dan Kuantan Singingi di timur Pekanbaru mayoritas penduduknya menganut adat resam yang sama dengan adat di Sumatera Barat, dan berbicara bahasa yang hampir sama dengan penduduk di perbatasan Sumbar. Beberapa tokoh Riau berasal dari daerah-daerah ini, seperti Makmur Hendrik, pengarang cerita silat Panglima Sakai yang populer di Sumatera Barat pada tahun 1990-an.
Dalam hal sepak bola, pembauran dapat dilihat dengan jelas dan kentara. Beberapa kawan asal Sumatera Barat yang saya kenal merupakan anggota Asykar Theking, salah satu kelompok suporter PSPS yang terbesar. Semen Padang sendiri punya dua kelompok suporter yang terbesar – Spartacks dan The K’mers. Yang disebut terakhir merupakan kelompok yang telah hadir sejak tahun 1999 dan merupakan kelompok yang resmi diakui oleh pihak klub. Sementara Spartacks baru hadir tahun 2010, tetapi cukup punya nama di kalangan suporter sepak bola Indonesia, antara lain karena jaringannya di luar Sumatera Barat yang luas dan aktif.
Ketika laga berlangsung, Spartacks turut bersorak di tribun barat stadion bersama Curva Nord – kelompok pendukung PSPS yang mengadopsi gaya ultras di Italia. Baik antara Curva Nord vs Asykar Theking dan Spartacks vs The K’mers punya sejarah rivalitas dan bentrokan yang cukup kentara, dan tak jarang terjadi keributan antar sesama mereka.
Sejarah pertemuan antara Semen Padang dan PSPS sendiri berlangsung tak terlalu kerap. Kabau Sirah berasal dari Galatama, kompetisi yang merupakan ajangnya klub milik perusahaan berduit, sementara PSPS merupakan anggota Perserikatan, kompetisi semiprofesional yang digelar sejak era Belanda. Ketika Liga Indonesia mulai bergulir pada 1994/95 dan Semen Padang berkompetisi di Divisi Utama, PSPS bahkan tak ikut.
Pertemuan pertama kedua tim baru tercatat di musim 1999/2000, yaitu pada 26 Juli 2000 di Pekanbaru, saat pertandingan berlangsung sama kuat tanpa gol. Kedua tim baru bertemu lagi di DU 2002, ketika Semen Padang memuncaki klasemen Wilayah Barat dan PSPS berada di peringkat kelima, terpisah jarak sejauh tujuh poin. Pertemuan kedua klub di Liga Super Indonesia malah lebih telat lagi, yaitu pada musim 2010-11. Kedua klub memang masih bertemu di Piala Indonesia, namun tak sesering rivalitas panas sepak bola lain seperti Persija vs Persib atau Persebaya kontra Arema, lantaran naik-turunnya kedua klub antara kasta pertama dan kedua sepak bola Indonesia.
Terlepas dari semua itu, Semen Padang dan PSPS Pekanbaru tetap ibarat saudara kandung. Faktor banyaknya perantau asal Sumatera Barat di Pekanbaru menjadi semacam jembatan penghubung antara kedua klub. Jaring-jaring pemisah Minang kontra Melayu telah tersamarkan, yang ada kini hanyalah beda afiliasi klub. Banyak warga asal Sumbar dengan syal Semen Padang yang hadir di stadion sore itu duduk sebaris bersama warga Pekanbaru berkostum PSPS. Obrolan bahasa Minang campur Melayu mendominasi udara Rumbai hari itu. Mengutip penulis perjalanan Agustinus Wibowo: “garis batas” telah tersamarkan.
Setelah pertandingan usai, seorang remaja beratribut biru – warna kebanggaan PSPS – menyapa Airlangga Sucipto, ujung tombak Semen Padang. “Ronggo, basuo beko wak di Padang! (Ronggo, sampai bertemu lagi kita di Padang!)”
No comments:
Post a Comment