21 July 2014

Menggocek bola dan mewakili rakyat

Sejak tumbangnya rezim Orde Baru pada 1998, Indonesia telah menyelenggarakan empat kali pemilihan umum legislatif: 1999, 2004, 2009, dan 2014. Sistem multipartai (berkebalikan dengan sistem tiga partai ala Orba yang sama sekali tak demokratis) memungkinkan pendirian partai-partai baru, di luar kekuatan-kekuatan politik tradisional yang sudah lebih lama berdiri.

Partai-partai ini membutuhkan sosok caleg yang dikenal masyarakat di konstituennya untuk mendulang suara sebanyak-banyaknya, selain berusaha untuk memperkenalkan partai mereka kepada masyarakat.

Salah satu kelompok yag paling sering diincar oleh partai-partai ini adalah figur-figur yang sudah kadung punya muka dan nama, seperti para artis dan atlet. Pemilih dapat secara langsung mengenali orang-orang ini, karena kepopuleran mereka. Khusus di kelompok atlet, para pemain bulu tangkis dan sepak bola lumayan sering dimajukan oleh partai-partai kontestan pemilu. Alasannya, dua olahraga ini adalah primadona tontonan oleh masyarakat Indonesia.

Di luar negeri pun, fenomena pesepakbola menjadi politisi – atau secara spesifik, anggota parlemen – bukan sesuatu yang tak lazim. Kita mengenal Oleg Blokhin yang menjabat sebagai anggota Parlemen Ukraina sembari melatih tim nasionalnya di Piala Dunia 2006. Romario, sang legenda Brazil, juga kini duduk di Senat negaranya. Atau para eks AC Milan seperti Gianni Rivera yang duduk di Parlemen Eropa dan Kakha Kaladze yang kini menjadi Menteri Energi di negaranya, Georgia.

Dalam pemilihan umum legislatif 2014 yang baru saja lewat, kita menyaksikan beberapa atlet yang maju bertarung di pentas demokrasi itu. Ada mantan pemain bulu tangkis nasional Ricky Subagja [maju untuk kursi DPR di Jawa Barat dari Partai Nasdem, salah satu kontestan pendatang baru]. Tak lupa pula nama-nama senior dunia olahraga yang sudah lebih dulu muncul di panggung politik dan kembali bertanding, seperti pecatur senior Utut Adianto yang maju kembali lewat tiket Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

Dari dunia sepak bola, tak tanggung-tanggung, figur sekelas mantan pelatih tim nasional Nil Maizar pun ikut bertarung untuk memperebutkan kursi di DPR – juga dari Partai Nasdem. Nama-nama lain seperti penyerang PSMS Medan Saktiawan Sinaga dan mantan pemain PSM Makassar Iqbal Samad turut meramaikan pesta demokrasi ini di level DPRD Provinsi dan Kabupaten.

Partai pertama di Indonesia yang memajukan “orang bola” sebagai calon legislator mereka adalah Partai Komunis Indonesia pada pemilihan umum legislatif 1955. PKI mencalonkan dua orang caleg dari pemain bola dan satu orang caleg dari penulis bola (tampaknya mereka sudah berpikir tentang memberdayakan para football analyst sejak setengah abad yang lalu). Tiga caleg yang dimajukan itu adalah Witarsa, Ramlan, dan Jahja Jacub.

Harian Rakjat – koran resmi PKI – edisi 29 September 1955 menurunkan berita mengenai ketiga caleg ini. Witarsa digambarkan sebagai seorang “kanan luar jang paling tjepat, paling tjepat, paling tjekatan, dan paling taktis”. Sementara Ramlan dari PSMS Medan adalah seorang “palang-pintu kesebelasan kita jang rapat”, sekaligu kapten tim nasional saat itu. Terakhir, Jacub, esais bola dan redaktur koran merangkap anggota Komsi Kesebelasan Nasional Indonesia (semacam BTN pada saat ini?), tulisan dan analisisnya dinarasikan sebagai “berpengaruh besar atas perkembangan sepak bola semasa”.

Kesadaran PKI untuk merebut simpati masyarakat dengan memajukan caleg-caleg “orang-bola” yang “tahu persis bau keringat timnas” (mengikuti gaya bahasa Harian Rakjat). Partai komunis ini menawarkan solusi untuk daerah yang “sepakbola madju pesat tetapi lapangabola kurang”, yaitu dengan mencoblos calegnya. “Saudara djangan ketjilhati, ada djalan pemetjahannja.”

Tidak ada laporan lebih lanjut apakah ketiga caleg ini berhasil terpilih, dan bagaimana nasib mereka setelah pecahnya G30S/PKI. Namun, partai bergambar palu-arit ini tercatat menjadi partai politik pertama di Indonesia yang memajukan para insan dunia kulit bundar untuk bertarung mengusung panji-panji mereka.

Menginjak era Reformasi, yang ditandai dengan terselenggaranya pemilihan umum 1999 – sampai saat ini masih tercatat dengan pemilu berpeserta terbanyak dengan 28 partai peserta – mulai banyak insan kulit bundar yang kembali terjun ke politik praktis.

Jack Komboy, misalnya. Bek Persipura Jayapura di periode 1998-2003 ini memutuskan bergabung dengan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) dalam pemilihan umum legislatif 2009. Ia maju sebagai caleg untuk DPRD Provinsi Papua, dan gantung sepatu dari tim Mutiara Hitam yang membesarkan namanya. Jack berhasil terpilih.

Lima tahun berselang, pemilihan umum legislatif 2014 menyaksikan beberapa nama tenar lapangan bundar lain yang ikut turun menjadi caleg. Tersebutlah nama juru gedor PSMS Medan, Saktiawan Sinaga, yang maju memperebutkan kursi DPRD Provinsi Sumatera Utara. Sakti – begitu ia kerap dipanggil – pertama kali mendaftar untuk menjadi caleg di Partai Gerakan Indonesia Raya [Gerindra], tetapi pada akhirnya justru beralih ke PKB. Ia mengaku alasannya memilih PKB adalah karena “tradisi kekompakan antar-kader”. “Saya memilih PKB karena konsep kemitraan. Dalam sepak bola, teman harus dianggap mitra, bukan musuh,” begitu menurutnya. Pada rekapitulasi akhir, Sakti akhirnya gagal terpilih, walaupun partainya berhasil mendapat tiga kursi di dewan.

Lain lagi kisah Iqbal Samad, bek PSM Makassar. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) memilihnya untuk maju dalam pemilihan anggota DPRD Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Iqbal yang memang putra asli daerah itu, menyatakan visinya untuk menjadikan Gowa bisa terkenal se-Indonesia karena sepak bola. Ia mengangsurkan Wamena di Papua sebagai contohnya dalam membangun dunia olahraga Gowa.

Terakhir, ada nama beken Nil Maizar. Mantan pelatih tim nasional Indonesia dan Semen Padang itu maju sebagai calon legislator di DPR dari daerah pemilihan Sumatera Barat 2, yang meliputi juga kampung halamannya, Kota Payakumbuh. Tergabung bersama Partai Nasdem, Nil kalah tipis dari pesaing-pesaingnya.

Ada banyak alasan seorang pegiat sepak bola terjun ke arena politik.

Yang paling menarik barangkali adalah janji-janji PKI jika caleg “orang-bola” mereka terpilih. Partai ini menjanjikan pertandingan-pertandingan persahabatan kelas internasional untuk para suporter timnas jika mereka mencoblos logo palu arit. Saat itu, yang dianggap kesebelasan-kesebelasan dunia antara lain India, Uni Soviet, dan Hongaria.

PKI tampaknya memegang teguh janji kampanye ini. Kliping Harian Rakjat yang ditemukan oleh Gus Muhidin M Dahlan tertanggal 29 September 1955 menerakan serangkaian pertandingan antara klub Lokomotif dari Uni Soviet (tidak diketahui Lokomotif dari kota mana yang dimaksud, barangkali Locomotiv Moscow). Klub ini berlaga melawan “Persidja Djakarta” di Lapangan Ikada (sekarang Monas), “Persebaja”, PSMS, PSP Padang, PSSI-B, dan PSSI-A sepanjang bulan November 1955. Tidak ada catatan lanjutan apakah ada kesebelasan lain yang datang setelah itu.

Saat maju di pemilu 2009, Jack Komboy mengaku tertantang untuk Papua dengan daerah lain di Indonesia. “Bila saya terpilih, saya akan berjuang membangun Papua agar bisa maju dan sejajar dengan daerah lain,” ujarnya. Namun, mantan stopper PSM Makassar itu tak merinci rencananya untuk sepak bola, bidang yang ia geluti sebelumnya.

Saat memajukan Saktiawan Sinaga sebagai caleg mereka, PKB menegaskan pentingnya keterwakilan pemain bola di gedung parlemen. “Kita juga perlu memperhatikan para atlit dan olahragawan, karena setelah 30 tahun mereka jarang dipakai lagi,” ujar Ketua DPW PKB Sumatera Utara, Ance Setiawan.

Perasaan “harus terwakili” itu yang mendorong Saktiawan untuk maju. “Saya ingin mewakili para pemain olahragawan [sic]. Karena selama ini sangat jarang diperhatikan, hal inilah membuat bersedia mencalonkan diri,” tuturnya.

Sedikit berbeda dengan Saktiawan yang menekankan jarangnya para pemain bola diperhatikan oleh para perumus hukum, Iqbal Samad lebih mementingkan hal lain saat maju memperebutkan kursi DPRD Kabupaten Gowa. Mantan bek Persiba Balikpapan ini ingin menjadikan Gowa layaknya Wamena. "Dulu hotel di Wamena itu hanya seperti rumah penduduk. Namun setelah Persiwa Wamena berlaga dikompetisi teratas justru semakin berkembang dan kini membangun hotel bintang lima. Artinya kita bisa memajukan daerah melalui olahraga," ujar Iqbal.

Iqbal mempunyai misi untuk memperjuangkan alokasi anggaran olahraga yang lebih besar, sehingga dapat dimanfaatkan untuk membantu sejumlah cabang olahraga, seperti tim sepak bola setempat, Persigo Gowa yang berkompetisi di Divisi III. Ia memilih mengikuti sejumlah pertandingan tarkam di daerahnya untuk sosialisasi dan kampanye. Ia juga meminta dukungan rekan-rekannya di PSM. “Syamsul Haeruddin yang juga merupakan putra asli Gowa juga siap mendukung”, tuturnya.

Mengantongi pengalaman sebagai pemain dan pelatih, Nil Maizar – seperti Komboy – tak banyak menyitir sepak bola dalam misinya maju ke Senayan. “Saya ingin berbuat baik untuk kampung halaman saya,” hanya itu yang ia jelaskan saat ditanya alasannya maju. Walau begitu, Nil secara eksplisit menyatakan bahwa ia tidak akan meninggalkan sepak bola – sesuatu yang benar-benar ia lakukan setelah tak terpilih, yaitu menerima pinangan menjadi komandan Putra Samarinda.

Sepak bola Indonesia telah lama bergelut dengan para politisi. Para anggota Volksraad era Hindia Belanda sudah merintisnya sejak puluhan tahun lampau: Otto Iskandar Dinata di Persib, MH Thamrin di Persija, dan Tengku Nyak Arif di Persiraja Banda Aceh, jauh sebelum orang-orang seperti Habil Marati, Hinca Panjaitan, atau Achsanul Qosasih duduk di kepengurusan PSSI

Namun, jika selama ini para politisi tulen yang ikut campur dalam urusan sepak bola Indonesia, sudah tiba saatnya para pesepakbola pula yang ikut campur dalam urusan politik. Para insan dunia kulit bundar ini punya nilai plus: mereka punya pemahaman mengenai sepak bola dan cara untuk mengurusnya, karena mereka pernah bergelut dengannya.

Sedangkan para politisi yang mengurusi sepak bola, tak pernah benar-benar tahu bagaimana sebenarnya sepak bola itu sendiri, karena satu alasan sederhana: mereka tak pernah berada di dalamnya.

Atau jika menyitir Harian Rakjat, “coblos caleg-caleg yang tahu persis bau keringat timnas yang membasahi seragam mereka saat bertanding!"

Tanbihat: Terdapat kesalahan paragraf kedelapan, yaitu pencantuman nama Ramlan dan Witarsa yang ternyata terbalik. Terima kasih kepada mas Aqwam untuk koreksinya :)

1 comment:

  1. dan ternyata misi mereka bikin gol di dewan ga tercapai :p

    ReplyDelete