Seorang anak kecil berdiri di depan Stadion Kaharuddin Nasution, Rumbai. Tubuhnya kurus, wajahnya tirus. Ia membawa karung kecampang kotor, diselipkan di pinggangnya. Di tangan kanannya, ia menggenggam besi panjang yang berlekuk di ujungnya.
Siang itu, Pekanbaru panasnya luar biasa. Matahari berada melayang-melayang persis di atas kepala, seperti kata baginda rasul tentang isyarat hari kiamat: matahari tepat di atas ubun-ubunmu. Motor-motor lalu lalang dari arah pusat kota, berderum menembus kabut asap yang siang itu menyelimuti Pekanbaru.
Konon, kabut asap itu telah sampai pula ke negara-negara tetanga, sehingga memaksa kepala suku negeri ini meminta maaf ke negara-negara tersebut. Padahal perusahaan yang membakar hutan-hutan tanah ulayat suku pedalaman Riau itu tak lain merupakan perusahaan dari negara-negara yang mengeluh itu.
Anak tadi masih tetap berdiri. Stadion Kaharuddin Nasution berdiri tegap, bercat kuning terang dengan pilar-pilar besi kuning menyangga loket-loket yang tak berpenghuni. Tong sampah berlogo PON di pos jaga depan tertungging tak karuan. Konstruksi tong sampah itu tak benar, sehingga disenggol sedikit saja langsung rebah menyembah bumi.
Orang yang mengetahui dan menyetujui anggaran tong sampah timpang itu tak lain kepala suku provinsi ini. Kabar terakhir darinya ia telah masuk bui oleh suatu komisi di Jakarta sana yang mencurigai sang kepala suku dengan dugaan korupsi. Tak lain korupsi benda remeh temeh seperti tong sampah, sampai yang berat-berat macam stadion kasti.
Rumbai-rumbai spanduk terpasang di pagar-pagar kusam stadion itu. Sang anak hanya memandang. Spanduk itu berisi ucapan selamat ulang tahun kepada provinsi ini. Di balik spanduk itu tersembunyi lampu-lampu jalan yang pecah, bisa jadi karena anggaran dimakan sang kepala suku dan kroni-kroninya.
Sang anak tadi masih tetap berdiri di muka pintu stadion yang gagah, tetapi tak terawat itu. Ilalang liar tumbuh dengan rakusnya menyaingi pohon-pohon tua, mengais-ngais makanan hasil fotosintesis. Tak tahu adat betul.
Seorang kakek tua, berperut buncit, hanya mengamati saja perilaku si anak yang dari tadi berdiri tegak di muka stadion. Ia duduk berselonjor di warunganya yang kusam, hampir rubuh, di sela-sela pagar stadion yang sama kusamnya.
Sang anak tadi berlari ke warung sang kakek. Ditingalkannya saja besi berlekuk dan karung kecampangnya. Ia duduk di samping sang kakek.
"Tuk, ceritakanlah sesuatu tentang stadion ini," pinta sang anak.
"Di stadion ini, sebuah klub sepak bola pernah berpesta, nak," jawab sang kakek pelan. Dihirupnya kopi dari cawan yang kotor, lalu menghela napas. Berat.
"Jadi kapan hal itu akan terulang lagi, Tuk?'"
"Suatu hari nanti, nak. Saat perusahaan-perusahaan yang sekarang membakar tanah ulayat kita mau membantu klub yang bermain di stadion ini," ujar sang kakek sambil menatap langit.
No comments:
Post a Comment