Hari ini, Pekanbaru berulang tahun ke-229.
Seperti lazimnya kota-kota lain di Indonesia, Pekanbaru adalah tempat yang (belum) sempurna.
Dan seperti lazimnya kota-kota lain di Indonesia, Pekanbaru adalah tempat berbaurnya semua orang dari berbagai macam suku. Melayu, Cina, Minang, Bugis, Batak sampai suku asli dari hutan pedalaman. Pekanbaru adalah contoh positif bagaimana keragaman berbudaya seharusnya dipraktekkan.
Dengan penduduk mencapai 800 ribu orang (tergolong kecil memang, bila kita melihat ke utara dan bertemu Medan), Pekanbaru masih belum bisa lepas dari berbagai kekurangannya.
Geng motor yang pernah suatu waktu merajalela, kabut asap yang mencekik kerongkongan warganya tiap pagi, para pedagang kaki lima yang enggan pindah meski telah digertak pamong praja, sampai klub sepak bola kebanggaan warga kota yang tengah ngos-ngosan kekurangan dana di liga.
Walau bagaimanapun, Pekanbaru masih tergolong cukup layak untuk ditinggali.
Bukan bermaksud merendahkan daerah tertentu, tapi di Pekanbaru, alhamdulillah, tidak ada pertentangan antar suku, antar ras, antar agama. Kota ini cukup tenang dalam hal toleransi beragama. Tak ada diskriminasi. Tak ada pertentangan Sunni kontra Syiah, atau tudingan kaum ini kaum itu. Warga Pekanbaru tak menyukai hal itu.
Anak muda Pekanbaru tidak suka tawuran. Ada memang, tapi tidak sesignifikan kota-kota besar lainnya. Mungkin area Pekanbaru memang terlalu kecil untuk jadi medan pertempuran. Hehehe.
Suporter sepak bolanya, sangat loyal. Asykar Theking adalah kelompok pendukung terbesar PSPS Pekanbaru (yang tengah megap-megap di dasar klasemen Liga Super), dan mereka sangat berdedikasi. Rela pergi ke mana saja PSPS beraksi, meskipun itu berarti harus memacu motor ke Bangkinang saat PSPS mengungsi ke sana. Tawuran antar suporter pun jarang, mungkin karena PSPS tidak punya rival bebuyutan semacam Persija kontra Persib. Ada memang, tapi kejadiannya bisa dihitung dengan jari. Jarang sekali.
Seperti yang saya sebutkan tadi, Pekanbaru masih (belum) sempurna. Masih banyak yang perlu dibenahi.
Mengutip perkataan bibi Ikal dari Cinta di dalam Gelas, "Serahkan sajalah semuanya ke pemerintah. Beres."
Selamat ulang tahun, Pekanbaru. Kota tua yang kini sedang terbatuk-batuk karena kabut asap.
Seperti lazimnya kota-kota lain di Indonesia, Pekanbaru adalah tempat yang (belum) sempurna.
Dan seperti lazimnya kota-kota lain di Indonesia, Pekanbaru adalah tempat berbaurnya semua orang dari berbagai macam suku. Melayu, Cina, Minang, Bugis, Batak sampai suku asli dari hutan pedalaman. Pekanbaru adalah contoh positif bagaimana keragaman berbudaya seharusnya dipraktekkan.
Dengan penduduk mencapai 800 ribu orang (tergolong kecil memang, bila kita melihat ke utara dan bertemu Medan), Pekanbaru masih belum bisa lepas dari berbagai kekurangannya.
Geng motor yang pernah suatu waktu merajalela, kabut asap yang mencekik kerongkongan warganya tiap pagi, para pedagang kaki lima yang enggan pindah meski telah digertak pamong praja, sampai klub sepak bola kebanggaan warga kota yang tengah ngos-ngosan kekurangan dana di liga.
Walau bagaimanapun, Pekanbaru masih tergolong cukup layak untuk ditinggali.
Bukan bermaksud merendahkan daerah tertentu, tapi di Pekanbaru, alhamdulillah, tidak ada pertentangan antar suku, antar ras, antar agama. Kota ini cukup tenang dalam hal toleransi beragama. Tak ada diskriminasi. Tak ada pertentangan Sunni kontra Syiah, atau tudingan kaum ini kaum itu. Warga Pekanbaru tak menyukai hal itu.
Anak muda Pekanbaru tidak suka tawuran. Ada memang, tapi tidak sesignifikan kota-kota besar lainnya. Mungkin area Pekanbaru memang terlalu kecil untuk jadi medan pertempuran. Hehehe.
Suporter sepak bolanya, sangat loyal. Asykar Theking adalah kelompok pendukung terbesar PSPS Pekanbaru (yang tengah megap-megap di dasar klasemen Liga Super), dan mereka sangat berdedikasi. Rela pergi ke mana saja PSPS beraksi, meskipun itu berarti harus memacu motor ke Bangkinang saat PSPS mengungsi ke sana. Tawuran antar suporter pun jarang, mungkin karena PSPS tidak punya rival bebuyutan semacam Persija kontra Persib. Ada memang, tapi kejadiannya bisa dihitung dengan jari. Jarang sekali.
Seperti yang saya sebutkan tadi, Pekanbaru masih (belum) sempurna. Masih banyak yang perlu dibenahi.
Mengutip perkataan bibi Ikal dari Cinta di dalam Gelas, "Serahkan sajalah semuanya ke pemerintah. Beres."
Selamat ulang tahun, Pekanbaru. Kota tua yang kini sedang terbatuk-batuk karena kabut asap.
No comments:
Post a Comment