01 June 2013

Syeikh tiba dari Mesir

Kemarin ada seorang syeikh dari Mesir datang ke sekolah kami. Konon, beliau lulusan Al-Azhar, seorang ahli bahasa Arab dan tsafaqah Arabiyah, kajian tentang Arab. Syeikh Sya’ban bin Mabrouk, namanya. Sebenarnya, seperti halnya orang Arab lainnya, nama beliau begitu panjang dan bertali-tali. Seperti yang dikatakan Ustad Yon selaku penerjemah perkataan Syeikh Sya’ban itu, nama beliau yang sebenarnya adalah Syeikh Sya’ban bin Mabrouk bin abihi (bapaknya) bin abihi bin abihi, demikian sampai Nabi Adam.

Dandanan beliau mengingatkan saya akan Hasan al-Banna, cendekiawan pengarang Al-Matsurat dan pemimpin besar Ikhwanul Muslimin yang kesohor tersebut. Wajahnya putih kemerahan. Beliau memakai peci Turki merah yang dibalut surban putih. Wajahnya layaknya Syeikh Yusuf al-Qaradawi, hanya versi yang lebih kurus dan ramping. Ia memakai gamis putih di dalam dan jas ulama panjang sampai menutupi telapak kaki. Janggutnya putih tercukur rapi, tetapi tidak meranggas.

Ia tak pernah tertawa keras, hanya tersenyum. Raut wajah beliau mengumumkan seorang hafiz 30 juz Quran yang telah menemukan kebahagiaan dan keabadian ibadah dalam hidupnya dan telah diberkahi syafaat dari Rasulullah.

Singkat cerita, beliau berwajah sastrawi. Saat pertama kali mendengar bahwa seorang syeikh Mesir akan datang berkunjung, saya agak terkejut. Mungkinkah sekolah kami telah mendapat perjanjian pertukaran siswa dari sebuah madrasah di Mesir? Apakah yang berkunjung tersebut anak buah Presiden Muhammad Mursi?

Rupanya tidak. Syeikh Sya’ban mengatakan bahwa dia sudah tiga tahun di Indonesia, mengajar bahasa Arab sebagai dosen tamu di UIN. Pantas saja mudah mengundangnya ke sini. 

Beliau memberikan wejangan – atau lebih tepatnya, menasihati? – dengan Ustad Yon bertindak selaku penerjemah. Pada awalnya, saya berharap agar sang syeikh memberikan sesuatu yang beda, menggebrak, dan berapi-api, bukan hanya pernyataan normatif seperti “pemuda Indonesia sangat potensial” dan “semoga hubungan baik ini berlanjut” seperti yang dikumandangkan para orang asing yang pernah berkunjung ke sekolah kami.

Setelah diperhatikan, beliau tidak terlalu menggebrak dalam ucapannya, tetapi tidak pula memuji-muji sekolah kami secara berlebihan. Rasanya saat beliau berbicara, saya ingin
meneriakkan yel-yel jahil seperti “Esqaat el nizam (turunkan rezim)…. Hosni Mubarak…. Esqaat el nizam…. Sayid Husein Al-Tantawy…. Al-Ahly….. Esteghlal…. Lapangan Tahrir…. Esqaat el nizam…”

Saat sesi tanya jawab, kami dipersilakan bertanya pada sang syeikh. Awalnya saya berusaha bertanya mengenai rivalitas sepak bola terpanas di Mesir, Al-Ahly vs Esteghlal, dan bagaimana pendapatnya tentang kerusuhan sepak bola di Port Said tahun lalu, tapi setelah melihat sorot mata beliau yang lebih banyak mengkaji kitab Allah ketimbang menonton Mohammed Aboutrika bermain, niat itu saya urungkan. Akhirnya, saya bertanya sedikit saja: bagaimana kehidupan di Mesir?

Syeikh tersebut tersenyum tipis, lalu gigi-giginya yang putih terlihat. “Alhamdulillah, setelah revolusi, kehidupan rakyat semakin baik.” Saat menyebut mengenai revolusi, saya langsung menduga beliau seorang simpatisan Ikhwanul Muslimin.

Karena hari itu hari Jumat, tentu kami harus menunaikan shalat Jumat. Khatib hari ini berteriak-teriak di mimbar sampai urat lehernya kelihatan. Bagi kami, ini sangat mengganggu. Teks khutbahnya baik dan menyerukan ummat bagi kebaikan, tetapi cara menyampaikannya sangat tidak enak.

Sementara, Syeikh Sya’ban yang kalem, duduk setengah meter dari mimbar, hanya mengangguk-angguk takzim sambil mengelus janggut putih tipisnya, sementara sang khatib berteriak-teriak seakan mendakwahi kaum kafir di pedalaman Afrika sana.

Saat keluar, saya perhatikan Syeikh Sya’ban. Ia menyalami sang khatib juru teriak dengan wajah takzim sambil berulangkali beristighfar. Sang khatib tampaknya melihat raut muka Syeikh Sya’ban yang teduh, lalu ia buru-buru pergi.

Malu berangkali.

No comments:

Post a Comment