28 June 2013

Siram-menyiram

Siram-menyiram dapat diasosiasikan dengan berbagai hal.

Para ustadz di masjid senang memberikan istilah dramatis pada ceramahnya, maka terkenallah istilah "siraman rohani."

Para koruptor senang pula untuk memberi istilah yang mengaburkan fakta untuk membutakan penyidik KPK akan kucuran uang ke rekening mereka. Maka terkenal pulalah istilah "disiram duit".

Para ekstremis yang bisa mengancam eksistensi republik biasa kena bedil pelor. Untuk menghaluskan bahasa, aparat kerap pula menggunakan kalimat "disiram peluru".

Lalu, apa nama siraman ke muka seseorang dengan teh manis di muka pemirsa televisi yang terhormat di acara bincang pagi?

27 June 2013

Ransum gandum dan keluguan

Dulu, guru mengaji kami di TPA mengajarkan bahwa pemimpin haruslah peduli kepada rakyatnya.

"Umar bin Khatab mengantarkan ransum gandum langsung ke rakyatnya! Itulah pemimpin yang amanah."

Alkisah, kawan kami ini, luar biasa lugunya dalam mencerna ucapan sang guru. Kebetulan dia ketua kelas. Maka keesokan harinya, sang guru datang membawa oleh-oleh makanan untuk majelis guru. Kawan kami ini menyelinap ke ruang guru dan mengambil sekantung makanan. Dibawanya ke hadapan kami.

"Mari kita bagi-bagi untuk rakyat."

Kami ingatkan dia bahwa waktu Isya sudah dekat, dan siapapun yang tak hadir di shaf anak-anak saat shalat berjamaah akan "dipanggang di api neraka, rambut dililit dan otaknya direbus."

Namun, sang kawan ini tak takut akan segala ancaman yang kami kutip dari koleksi buku Neraka Jahannam koleksi Pak Kepala Sekolah di lemari reyotnya di kantor. Seakan amal baiknya telah cukup dan ia mampu mengalahkan segala macam siksaan.

Maka kami pun mengalah. Sang kawan ini menyelinap keluar dari masjid dan kabur secepat kilat. Saat sesi mengaji, ia muncul kembali, dengan wajah manis menatap sang guru. Guru kami pun tak curiga, sampai keesokan harinya.

Saat kami tiba untuk mengaji keesokan harinya, kami lihat si ketua kelas ini sedang menunduk dimarahi guru kami. Seperti lazimnya jika guru kami sedang marah, kami sembunyi di belakang tangki air masjid.

Singkat cerita, kawan kami ini diseret cuping hidungnya oleh sang guru macam ekstremis dibedil kumpeni ke kantor guru. Kami jarang melihatnya hadir di masjid sejak itu.

25 June 2013

Tentang anak kecil dan tanah ulayat

Seorang anak kecil berdiri di depan Stadion Kaharuddin Nasution, Rumbai. Tubuhnya kurus, wajahnya tirus. Ia membawa karung kecampang kotor, diselipkan di pinggangnya. Di tangan kanannya, ia menggenggam besi panjang yang berlekuk di ujungnya.

Siang itu, Pekanbaru panasnya luar biasa. Matahari berada melayang-melayang persis di atas kepala, seperti kata baginda rasul tentang isyarat hari kiamat: matahari tepat di atas ubun-ubunmu. Motor-motor lalu lalang dari arah pusat kota, berderum menembus kabut asap yang siang itu menyelimuti Pekanbaru.

Konon, kabut asap itu telah sampai pula ke negara-negara tetanga, sehingga memaksa kepala suku negeri ini meminta maaf ke negara-negara tersebut. Padahal perusahaan yang membakar hutan-hutan tanah ulayat suku pedalaman Riau itu tak lain merupakan perusahaan dari negara-negara yang mengeluh itu.

Anak tadi masih tetap berdiri. Stadion Kaharuddin Nasution berdiri tegap, bercat kuning terang dengan pilar-pilar besi kuning menyangga loket-loket yang tak berpenghuni. Tong sampah berlogo PON di pos jaga depan tertungging tak karuan. Konstruksi tong sampah itu tak benar, sehingga disenggol sedikit saja langsung rebah menyembah bumi.

Orang yang mengetahui dan menyetujui anggaran tong sampah timpang itu tak lain kepala suku provinsi ini. Kabar terakhir darinya ia telah masuk bui oleh suatu komisi di Jakarta sana yang mencurigai sang kepala suku dengan dugaan korupsi. Tak lain korupsi benda remeh temeh seperti tong sampah, sampai yang berat-berat macam stadion kasti.

Rumbai-rumbai spanduk terpasang di pagar-pagar kusam stadion itu. Sang anak hanya memandang. Spanduk itu berisi ucapan selamat ulang tahun kepada provinsi ini. Di balik spanduk itu tersembunyi lampu-lampu jalan yang pecah, bisa jadi karena anggaran dimakan sang kepala suku dan kroni-kroninya.

Sang anak tadi masih tetap berdiri di muka pintu stadion yang gagah, tetapi tak terawat itu. Ilalang liar tumbuh dengan rakusnya menyaingi pohon-pohon tua, mengais-ngais makanan hasil fotosintesis. Tak tahu adat betul.

Seorang kakek tua, berperut buncit, hanya mengamati saja perilaku si anak yang dari tadi berdiri tegak di muka stadion. Ia duduk berselonjor di warunganya yang kusam, hampir rubuh, di sela-sela pagar stadion yang sama kusamnya.

Sang anak tadi berlari ke warung sang kakek. Ditingalkannya saja besi berlekuk dan karung kecampangnya. Ia duduk di samping sang kakek.

"Tuk, ceritakanlah sesuatu tentang stadion ini," pinta sang anak.

"Di stadion ini, sebuah klub sepak bola pernah berpesta, nak," jawab sang kakek pelan. Dihirupnya kopi dari cawan yang kotor, lalu menghela napas. Berat.

"Jadi kapan hal itu akan terulang lagi, Tuk?'"

"Suatu hari nanti, nak. Saat perusahaan-perusahaan yang sekarang membakar tanah ulayat kita mau membantu klub yang bermain di stadion ini," ujar sang kakek sambil menatap langit.

23 June 2013

Pekanbaru, 229 tahun

Hari ini, Pekanbaru berulang tahun ke-229.

Seperti lazimnya kota-kota lain di Indonesia, Pekanbaru adalah tempat yang (belum) sempurna.

Dan seperti lazimnya kota-kota lain di Indonesia, Pekanbaru adalah tempat berbaurnya semua orang dari berbagai macam suku. Melayu, Cina, Minang, Bugis, Batak sampai suku asli dari hutan pedalaman. Pekanbaru adalah contoh positif bagaimana keragaman berbudaya seharusnya dipraktekkan.

Dengan penduduk mencapai 800 ribu orang (tergolong kecil memang, bila kita melihat ke utara dan bertemu Medan), Pekanbaru masih belum bisa lepas dari berbagai kekurangannya.

Geng motor yang pernah suatu waktu merajalela, kabut asap yang mencekik kerongkongan warganya tiap pagi, para pedagang kaki lima yang enggan pindah meski telah digertak pamong praja, sampai klub sepak bola kebanggaan warga kota yang tengah ngos-ngosan kekurangan dana di liga.

Walau bagaimanapun, Pekanbaru masih tergolong cukup layak untuk ditinggali.

Bukan bermaksud merendahkan daerah tertentu, tapi di Pekanbaru, alhamdulillah, tidak ada pertentangan antar suku, antar ras, antar agama. Kota ini cukup tenang dalam hal toleransi beragama. Tak ada diskriminasi. Tak ada pertentangan Sunni kontra Syiah, atau tudingan kaum ini kaum itu. Warga Pekanbaru tak menyukai hal itu.

Anak muda Pekanbaru tidak suka tawuran. Ada memang, tapi tidak sesignifikan kota-kota besar lainnya. Mungkin area Pekanbaru memang terlalu kecil untuk jadi medan pertempuran. Hehehe.

Suporter sepak bolanya, sangat loyal. Asykar Theking adalah kelompok pendukung terbesar PSPS Pekanbaru (yang tengah megap-megap di dasar klasemen Liga Super), dan mereka sangat berdedikasi. Rela  pergi ke mana saja PSPS beraksi, meskipun itu berarti harus memacu motor ke Bangkinang saat PSPS mengungsi ke sana. Tawuran antar suporter pun jarang, mungkin karena PSPS tidak punya rival bebuyutan semacam Persija kontra Persib. Ada memang, tapi kejadiannya bisa dihitung dengan jari. Jarang sekali.

Seperti yang saya sebutkan tadi, Pekanbaru masih (belum) sempurna. Masih banyak yang perlu dibenahi.

Mengutip perkataan bibi Ikal dari Cinta di dalam Gelas, "Serahkan sajalah semuanya ke pemerintah. Beres."

Selamat ulang tahun, Pekanbaru. Kota tua yang kini sedang terbatuk-batuk karena kabut asap.

18 June 2013

Sajak orang beriman

seorang Somali duduk melahap pretzel di bangku kayu Central Park, berlatar hutan beton Manhattan
dia adalah seorang Muslim
seorang Turki bersujud di halaman rindang Mezquita Cordoba, kini jadi gereja, tak acuh akan hardikan para pendeta dan penjaga bersenjata,
dia adalah seorang Muslim
seorang Chechen memanggul AK47 di hutan Siberia nan kelam, siaga di balik pinus sambil melafalkan ayat-ayat suci dari kitab yang dipelajarinya,
dia adalah seorang Muslim
seorang Uyghur menuntun unta tua dan kain dagangan, menentang amu tentara berbaret merah di celah-celah Jalur Sutra, dengan iman di dada,
 dia adalah seorang Muslim
seorang Sulu berkain pelikat menyelipkan badik pusaka di pinggang, memacu laju perahu mengejar badai Laut Cina Selatan, tak peduli akan tentara diraja,
dia adalah seorang Muslim
seorang Pashtun tua berselempangkan peluru, bersimpuh di bukit-bukit kecil Celah Khyber, berdoa pada Tuhannya,
dia adalah seorang Muslim
seorang Parsi bersurban putih bersih, mengaji kitab bersama ayatollah mereka di balik pilar-pilar masjid Khomeini di Qom nan berwibawa,
dia adalah seorang Muslim
seorang Minang bergamis putih dengan sepeda tua, terantuk-antuk menyusuri lereng Marapi menuju nagari-nagari selingkar danau, mengajar firman Tuhan bagi hambanya,
dia adalah seorang Muslim
seorang Berber memacu kuda menembus pinggang Pegunungan Atlas, untuk menyampaikan bahwa teriknya api revolusi di Benghazi telah mengancam sang kolonel nan digdaya,
dia adalah seorang Muslim
mereka beriman, karena mereka tahu, harapan itu masih ada

16 June 2013

Jeans Anis Matta

Gelanggang Remaja Pekanbaru tampak penuh hari itu. Lapangan yang biasanya riuh dengan sorakan cheerleaders basket kini dipenuhi orang-orang yang duduk rapi di tribun-tribun, menghadap ke arah panggung kehormatan yang dilatarbelakangi poster seorang bapak yang sedang tersenyum.

Tribun-tribun Gelanggang Remaja terisi penuh hari ini. Di sisi timur, tampak ibu-ibu berjilbab tumpah ruah di deretan kursi-kursi plastik, dengan bendera kertas bergambar dan bendera Merah Putih Indonesia. Di sisi barat, para bapak-bapak berjanggut duduk tenang sambil berdiskusi dengan rekan-rekannya yang lain - juga berjanggut - juga sambil mengibar-ngibarkan bendera kertas putih bergambar. Dari panggung kehormatan,  seorang penyanyi memimpin koor melagukan lagu Iwan Fals yang masyhur, Bongkar, dengan irama aslinya. Gelanggang tersebut tampak bergemuruh.

Seruan gendang bertalu-talu dari pintu masuk barat gelanggang tersebut menyentak perhatian semua orang. Beberapa orang berjas putih hitam masuk ke lapangan dan disambut meriah orang-orang yang duduk di tribun-tribun. Mereka menyerukan nama Allah ketika rombongan tersebut naik ke panggung. The big boss has arrived. 

Saya berada di sisi kiri panggung kehormatan ketika bapak yang wajahnya ada di poster memasuki gelanggang. Ia memakai celana jeans ketat, jas hitam-putih seperti para bapak di tribun atas, dan kemeja putih yang dimasukkan ke dalam. Bersama beliau, tampak beberapa orang lain yang bergaya sama.

Bapak yang wajahnya ada di poster tadi tersenyum saat dipotret. Ia naik ke panggung kehormatan diiringi teriakan Allahu Akbar dari tribun-tribun atas. Sorot matanya teduh dan berwibawa. Di sampingnya ada seorang bapak berkaus Barcelona. Ia seorang anggota DPR yang lazim kita lihat wajahnya di televisi.

Setelah menyanyi beberapa lagu, dipimpin seorang bapak lain yang juga berjeans, bapak yang wajahnya ada di poster itu maju ke depan untuk orasi. Ia lepaskan jasnya dan hanya memakai kemeja serta jeans saja. Dengan mikrofon, ia gaungkan gelanggang yang penuh sesak itu. Suaranya menggelegar bak Soekarno.

Tahu siapa bapak yang wajahnya ada di poster dan memakai jeans tersebut?


01 June 2013

Syeikh tiba dari Mesir

Kemarin ada seorang syeikh dari Mesir datang ke sekolah kami. Konon, beliau lulusan Al-Azhar, seorang ahli bahasa Arab dan tsafaqah Arabiyah, kajian tentang Arab. Syeikh Sya’ban bin Mabrouk, namanya. Sebenarnya, seperti halnya orang Arab lainnya, nama beliau begitu panjang dan bertali-tali. Seperti yang dikatakan Ustad Yon selaku penerjemah perkataan Syeikh Sya’ban itu, nama beliau yang sebenarnya adalah Syeikh Sya’ban bin Mabrouk bin abihi (bapaknya) bin abihi bin abihi, demikian sampai Nabi Adam.

Dandanan beliau mengingatkan saya akan Hasan al-Banna, cendekiawan pengarang Al-Matsurat dan pemimpin besar Ikhwanul Muslimin yang kesohor tersebut. Wajahnya putih kemerahan. Beliau memakai peci Turki merah yang dibalut surban putih. Wajahnya layaknya Syeikh Yusuf al-Qaradawi, hanya versi yang lebih kurus dan ramping. Ia memakai gamis putih di dalam dan jas ulama panjang sampai menutupi telapak kaki. Janggutnya putih tercukur rapi, tetapi tidak meranggas.

Ia tak pernah tertawa keras, hanya tersenyum. Raut wajah beliau mengumumkan seorang hafiz 30 juz Quran yang telah menemukan kebahagiaan dan keabadian ibadah dalam hidupnya dan telah diberkahi syafaat dari Rasulullah.

Singkat cerita, beliau berwajah sastrawi. Saat pertama kali mendengar bahwa seorang syeikh Mesir akan datang berkunjung, saya agak terkejut. Mungkinkah sekolah kami telah mendapat perjanjian pertukaran siswa dari sebuah madrasah di Mesir? Apakah yang berkunjung tersebut anak buah Presiden Muhammad Mursi?

Rupanya tidak. Syeikh Sya’ban mengatakan bahwa dia sudah tiga tahun di Indonesia, mengajar bahasa Arab sebagai dosen tamu di UIN. Pantas saja mudah mengundangnya ke sini. 

Beliau memberikan wejangan – atau lebih tepatnya, menasihati? – dengan Ustad Yon bertindak selaku penerjemah. Pada awalnya, saya berharap agar sang syeikh memberikan sesuatu yang beda, menggebrak, dan berapi-api, bukan hanya pernyataan normatif seperti “pemuda Indonesia sangat potensial” dan “semoga hubungan baik ini berlanjut” seperti yang dikumandangkan para orang asing yang pernah berkunjung ke sekolah kami.

Setelah diperhatikan, beliau tidak terlalu menggebrak dalam ucapannya, tetapi tidak pula memuji-muji sekolah kami secara berlebihan. Rasanya saat beliau berbicara, saya ingin
meneriakkan yel-yel jahil seperti “Esqaat el nizam (turunkan rezim)…. Hosni Mubarak…. Esqaat el nizam…. Sayid Husein Al-Tantawy…. Al-Ahly….. Esteghlal…. Lapangan Tahrir…. Esqaat el nizam…”

Saat sesi tanya jawab, kami dipersilakan bertanya pada sang syeikh. Awalnya saya berusaha bertanya mengenai rivalitas sepak bola terpanas di Mesir, Al-Ahly vs Esteghlal, dan bagaimana pendapatnya tentang kerusuhan sepak bola di Port Said tahun lalu, tapi setelah melihat sorot mata beliau yang lebih banyak mengkaji kitab Allah ketimbang menonton Mohammed Aboutrika bermain, niat itu saya urungkan. Akhirnya, saya bertanya sedikit saja: bagaimana kehidupan di Mesir?

Syeikh tersebut tersenyum tipis, lalu gigi-giginya yang putih terlihat. “Alhamdulillah, setelah revolusi, kehidupan rakyat semakin baik.” Saat menyebut mengenai revolusi, saya langsung menduga beliau seorang simpatisan Ikhwanul Muslimin.

Karena hari itu hari Jumat, tentu kami harus menunaikan shalat Jumat. Khatib hari ini berteriak-teriak di mimbar sampai urat lehernya kelihatan. Bagi kami, ini sangat mengganggu. Teks khutbahnya baik dan menyerukan ummat bagi kebaikan, tetapi cara menyampaikannya sangat tidak enak.

Sementara, Syeikh Sya’ban yang kalem, duduk setengah meter dari mimbar, hanya mengangguk-angguk takzim sambil mengelus janggut putih tipisnya, sementara sang khatib berteriak-teriak seakan mendakwahi kaum kafir di pedalaman Afrika sana.

Saat keluar, saya perhatikan Syeikh Sya’ban. Ia menyalami sang khatib juru teriak dengan wajah takzim sambil berulangkali beristighfar. Sang khatib tampaknya melihat raut muka Syeikh Sya’ban yang teduh, lalu ia buru-buru pergi.

Malu berangkali.