09 December 2016

Torino: dihantui Superga, dibayangi Juventus

Il Grande Torino: terbaik pada masanya



Tak lama setelah kabar tragis tiba dari Kolombia, tempat pesawat yang ditumpangi klub Brazil Chapecoense menjabat nasib terakhirnya, sepak bola dunia seketika tersentak. Pemain, pelatih, klub, dan suporter bergantian menyatakan duka atas tewasnya tujuh puluh satu penumpang dalam penerbangan malang itu, termasuk 22 pemain inti dan staf pelatih yang dijadwalkan akan berlaga di final Copa Sudamericana 2016.

Tanda pagar #ForçaChape cukup menggambarkan duka atas tragedi itu. Dari seluruh pernyataan berkabung, tak ada yang lebih kuat maknanya ketimbang sepatah cuitan dari akun resmi klub Serie A, Torino. “Takdir mengikat kita dengan erat,” tulis Il Granata. “Kami bersama kalian, sebagai saudara.” Tragedi ini tiba kurang dari dua minggu sebelum Torino akan menghadapi rival sekota mereka, Juventus, dalam pentas Derby della Mole.

Torino, klub berwarna kebesaran merah tua ini, adalah bukti paling sahih bagaimana sebuah tragedi dapat mengubah wajah sebuah klub sepak bola untuk selama-lamanya.

Sepak bola tiba di Turin pada akhir abad ke-19, dibawa oleh para saudagar Swiss dan Inggris. Beragam macam tim sepak bola berkembang dan tumbang sebelum klub “besar” pertamanya, Juventus, didirikan pada 1897. Tak butuh waktu lama buat tim berseragam pink dan hitam itu untuk mengukir nama: pada 1905, mereka keluar sebagai juara kejuaraan nasional.

Torino Football Club lahir dari sebuah pemberontakan. Setahun setelah juara liga, konflik internal meletus di tubuh La Vecchia Signora. Setelah kalah dalam perebutan kuasa dengan dewan direksi, Presiden Alfred Dick meninggalkan klub, diikuti serombongan loyalisnya. Pada 3 Desember 1906, Torino didirikan.

Sebulan kemudian, kedua tim berhadapan-hadapan buat kali pertama. Bermain di Velodrome Umberto I, klub pemberontak ini menang 2-1. Inilah edisi pertama Derby della Mole. Namanya diambil dari Mole Antonelliana, bangunan museum tinggi menjulang di pusat kota Turin, salah satu landmark ibu kota wilayah Piedmont itu.

Torino dan Juventus saling bersaing di kejuaraan, namun sang saudara tua mengklaim pamor lebih tinggi, terutama setelah Eduardo Agnelli, pemilik raksasa otomotif Fiat mengambil alih kuasa pada 1923. Di bawah pimpinan Carlo Carcano, Bianconeri  memenangkan lima scudetto berturut-turut dari musim 1930 hingga 1935. Pemain-pemain mereka menjadi tulang punggung tim nasional Italia asuhan Vittorio Pozzo yang memenangkan Piala Dunia 1934, sementara tak satupun pemain Torino terpilih.

Dari sisi budaya, Torino dan Juventus perlahan jadi dua sisi koin yang berbeda. Novelis Mario Soldati dalam novelnya, “Two Cities” (1964), menggambarkan dua karakter, Emilio dan Giraudo. Emilio adalah suporter Juventus, “tim para lelaki terhormat, pionir industri, penganut sekte Yesuit, para konformis, yang lulus sekolah menengah.” Sedang Giraudo mendukung Torino, “tim para pekerja, imigran, kelas menengah ke bawah, dan kaum miskin.” Ini ibarat Real Madrid dan Atletico Madrid, atau River Plate dan Boca Juniors.

Namun tim kelas pekerja dan pemberontak ini pulalah yang kemudian melahirkan tim sepak bola paling diingat sepanjang masa: Il Grande Torino.

Diarsiteki presiden klub Ferruccio Novo, fondasi tim terbentuk dengan merekrut talenta muda seperti kapten dan gelandang serang Valentino Mazzola, bek Aldo Ballarin, dan kiper Valerio Bacigalupo. Tak puas dengan taktik “metodo”, yang umum dianut klub Italia saat itu dan membawa Azzurri menjuarai dua Piala Dunia, Novo mendobrak tradisi dengan memainkan formasi W-M yang diperkenalkan pelatih Arsenal Herbert Chapman. Alih-alih dua bek di lini belakang, taktik yang jamak disebut sistema ini lebih kurang berformat 3-2-2-3, memainkan dua gelandang dan dua mezzepunte. Kelak, taktik inilah yang menjadi dasar totaal football ala Belanda.

Tak ada yang menduga bahwa sistem ini bekerja dengan brilian. Di tengah kecamuk Perang Dunia Kedua, Torino memenangkan kejuaraan perang 1944. Sejarah mulai ditulis. Lima musim berikutnya, mereka menyapu bersih empat scudetto dibawah asuhan pelatih asal Hungaria, Egri Ebstein.

Pasukan tangguh ini mencetak banyak rekor: 20 pertandingan tak terkalahkan pada musim kedua, memenangkan liga di musim keempat dengan terpaut enam belas poin dari Milan di peringkat kedua, dan mencetak 107 gol dalam satu musim pada 1946-47, rata-rata tiga setiap pertandingan. Di kandang mereka, Stadio Filadelfia Torino, Il Toro tak terkalahkan dalam 93 pertandingan antara 1943 dan 1949. Selama lima musim bersama, Il Grande Torino mencetak 483 gol dan hanya kebobolan 165 gol.

Menggantikan peran Juventus, Torino menjadi pemasok pemain utama ke tim nasional Italia: dalam sebuah pertandingan persahabatan melawan Hungaria pada 1947, 10 dari 11 pemain di starting line-up Azzurri asuhan Pozzo adalah dari Torino.

Persis Chape, Torino musnah di puncak kejayaannya.

Pada 4 Mei 1949, setelah bermain dalam partai persahabatan kontra Benfica di Lisbon, skuat Torino terbang pulang ke Italia. Cuaca buruk, angin kencang, dan kabut tebal menyambut mereka di Turin sore itu. Sekitar pukul 5.05 sore, salah satu tim sepak bola terbaik yang pernah dimiliki Italia menyambut ajal di kaki bukit Superga.

Pozzo, yang telah meninggalkan kursi kepelatihan Italia, ditugaskan untuk mengidentifikasi jenazah I suoi ragazzi, anak-anak asuhannya. Pada koran La Stampa, ia berkata: “Tim ini tewas dalam aksi, seperti sekelompok tentara di medan perang, yang meninggalkan parit pertahanan mereka dan tak pernah kembali.”

Kabut duka menyelimuti seluruh Italia, negeri yang baru saja bangkit dari reruntuhan kekalahan di Perang Dunia Kedua dan menjadikan Il Grande Torino sebagai harapan baru mereka. Setengah juta orang memadati proses pemakaman para korban, mengantarkan jenazah mereka yang diselimuti bendera negara masing-masing di atas peti mati yang diarak oleh truk.

Ketua Federasi Sepak Bola Italia, Ottorino Barassi, menyampaikan pidato yang diiringi isak tangis di depan arak-arakan jenazah itu, mengumumkan Torino sebagai juara Serie A 1948-49. Itu adalah gelar kelima buat skuat yang telah musnah, gelar keenam buat klub sepanjang sejarah, dan gelar penutup sebuah era yang penuh sejarah.

Sore kelam di Superga itu tak pernah lepas dari ingatan setiap suporter Torino. “Saya mengingatnya dengan sangat baik, karena setiap remaja lelaki dan pria dewasa di generasi saya mengingat persis dimana mereka berada dan apa yang mereka lakukan saat mendengar kabar itu,” ujar reporter veteran Gazzetta dello Sport Rino Tommasi, yang saat itu tinggal di Turin.

Tak seperti Manchester United yang menjuarai Piala Champions sepuluh tahun setelah pesawat mereka celaka di Munich, Torino tak pernah pulih seperti sedia kala. Mereka tak pernah dapat lepas dari bayang-bayang Il Grande Torino, juga tak pernah dapat kembali menyaingi rival sekota mereka.

“Ada seorang petugas seragam yang selalu menceritakan pada kami tentang Bacigalupo dan Mazzola, agar kami melanjutkan tradisi Il Grande Torino,” ujar Renato Zacarelli, yang bergabung dengan akademi Torino lima belas tahun usai nahas itu. “Anda merasakannya saat latihan dan di ruang ganti. Anda harus berjalan di terowongan yang pernah mereka lalu, kereta yang pernah mereka naiki, dan lapangan tempat mereka bermain.”

Torino terdegradasi ke Serie B buat pertama kali pada 1959. Di era 1960-an, dibawah pimpinan Nereo Rocco, mereka sempat menaruh asa untuk kembali ke jajaran elit, namun terpatahkan dengan satu lagi tragedi: tewasnya sang ikon, Gigi Meroni, pada 1967. Pada 1976, Torino dibawah pimpinan Zacarelli, memenangkan scudetto ketujuh mereka, dan yang terakhir sejauh ini. Il Granata menghabiskan 1980-an, 1990-an, dan 2000-an turun-naik berganti kasta, setiap tahun bergulir memupus sedikit demi sedikit impian untuk membangun kembali Il Grande Torino.

Mereka juga tak dapat lagi menyaingi Juventus. Sang saudara tua menguasai Italia, Eropa, dan bahkan dunia, dengan berderet-deret scudetto, Coppa Italia, dan Liga Champions. Mereka juga meneruskan peran Torino sebagai pemasok pemain utama ke tim nasional Italia, merebut gelar La Fidanzata d’Italia, sang kekasih Italia. Sementara itu, Torino tak pernah lagi mendekat ke titel juara liga. Mereka baru bisa kembali ke Eropa pada 1992, saat mereka mencapai final Piala UEFA. Baru dua dekade berselang mereka kembali, dipimpin Giampiero Ventura.

Derby della Mole, yang dulunya pernah jadi salah satu derby tersengit di seantero negeri, kini tak lebih dari ajang mengafirmasi superioritas sisi hitam-putih kota Turin.

Saat para pemain Torino memasuki lapangan untuk menghadapi Juventus, kini pemuncak liga, Minggu malam nanti, kenangan masa lampau mereka tentang Superga masih akan dibanding-bandingkan dengan celaka Chape di Kolombia.

Di saat yang sama, mereka masih harus berusaha melepaskan diri dari bayang-bayang Juve, yang difavoritkan menggondol gelar juara liga kelima mereka berturut-turut, persis Il Grande Torino puluhan tahun silam.

Mole Antonelliana, bangunan tinggi menjulang itu, masih akan jadi penanda bahwa bayang-bayang itu masih ada.

Pertama kali tayang di Super Soccer Indonesia pada Desember 2016.

No comments:

Post a Comment