Lima bulan lalu, ruang ganti Lazio tampak seperti sedang dilamun badai.
Tim ibu kota ini baru saja menyelesaikan musim yang mengecewakan: mereka terpuruk di peringkat kedelapan di Serie A; di Eropa, mereka tertendang keluar dari Liga Champions oleh Bayer Leverkusen di fase 16 besar; dan petualangan mereka di Liga Europa juga berakhir di tahap yang sama oleh Sparta Prague. Pelatih Stefano Pioli dipecat pada bulan April setelah kalah dari rival sekota Roma, dan kendali tim diberikan pada Simone Inzaghi yang tetap saja tak sanggup mengangkat performa tim, memastikan mereka terbuang dari kompetisi Eropa untuk musim 2016-17, kali keempat sejak sepuluh tahun terakhir.
Yang terjadi pada Lazio setelah musim menutup tirai juga tak membuat para suporter menaruh harapan besar. Pelatih eksentrik Marcelo Bielsa mengundurkan diri kurang 48 jam setelah menerima mandat, memaksa Presiden Claudio Lotito untuk kembali berpaling pada Inzaghi sebagai pejabat sementara meskipun disambut dengan protes keras dari para suporter.
Sementara itu, skuat musim lalu satu demi satu berangsur copot. Pemain-pemain yang berperan penting menjaga I Bianconcelesti tak keluar dari sepuluh besar angkat kaki dari Olimpico: mulai dari bek kanan Abdoulay Konko, bek tengah Santiago Gentiletti, striker veteran Miroslav Klose, sampai pencetak gol terbanyak Antonio Candreva. Nama-nama besar lain seperti Lucas Biglia dan Felipe Anderson juga santer dirumorkan bakal mengepak koper, walaupun pada akhirnya tak terealisasi.
Namun, lima bulan kemudian, sisi putih-biru ibu kota Italia itu duduk nyaman di peringkat keempat liga, berselisih delapan poin dari capolista Juventus, dan hanya satu poin dari Milan di peringkat ketiga dan Roma di peringkat kedua. Ciro Immobile dkk tak terkalahkan di liga dalam delapan pertandingan terakhir, termasuk menahan imbang Napoli di Naples, sebelum tunduk pada Roma di Derby Della Capitale. Biancocelesti kembali difavoritkan untuk jadi pesaing serius di Serie A musim ini, setidaknya untuk merebut satu tiket zona Eropa.
Pertanyaannya: bagaimana mereka bisa membalikkan semua itu?
Simone Inzaghi tak pernah lepas dari bayang-bayang kakaknya, mantan kapten Milan Filippo Inzaghi.
“Buat orang-orang di luar Lazio, ia tak lebih dari adik kecil Filippo,” tulis Paolo Bandini di The Guardian. Tiga tahun lebih muda daripada Filippo, ia menghabiskan sebelas musim bermain untuk Lazio sebagai penyerang, mengemas tiga penampilan bersama tim nasional Italia sebelum pensiun pada 2010 dan bergabung dengan jajaran kepelatihan Gli Aquilotti.
Sebelum diangkat menggantikan Pioli pada April tahun ini, Inzaghi melatih tim Allievi dan Primavera. “Cita-cita saya adalah menjadi pelatih Lazio,” ujarnya tanpa segan setelah mengambil alih kendali tim musim lalu. “Saya adalah pelatih hari ini, namun saya juga ingin menjadi pelatih di masa depan.”
Kalimat terakhir sempat hampir terbengkalai selama dua hari di awal Juli setelah Lotito memutuskan untuk menunjuk Bielsa sebagai pelatih kepala alih-alih mempermanenkan Inzaghi. Tapi waktu tidak berselang lama sebelum sang presiden memutuskan bahwa ia lebih cocok untuk menyetir tim, kali ini beserta kontrak permanen.
Dengan kata lain, Simone berhasil melampaui bayang-bayang Filippo, yang dipecat dua musim lalu oleh AC Milan setelah awal yang tampak menjanjikan namun semakin lama semakin menurun. Tak heran bila sang legenda Milan itu sendiri yang pertama kali mengucapkan selamat setelah Lazio memanggil Simone kembali.
Dengan hati-hati, Inzaghi menyetir Lazio dari keterpurukan musim lalu. Pembelian pertamanya adalah bek asal Belgia Jordan Lukaku, disusul ujung tombak Sevilla dan Gli Azzurri Ciro Immobile. Bagaikan rahmat tak terduga, ia diuntungkan dengan hanya perlu fokus pada liga domestik, salah satu keunggulan utama Lazio ketimbang pesaingnya yang lain di zona Eropa.
Menyiasati bolongnya lini tengah yang ditinggal pergi Candreva ke Inter Milan, Inzaghi memilih memainkan formasi 4-3-3 dengan mengandalkan trio Marco Parolo, Lucas Biglia, dan Senad Lulic. Tak ada yang baru dari formasi ini; perbedaan terbesar hanyalah bila musim silam poros serangan berpusat pada Candreva, kini Immobile yang jadi harapan.
Lazio juga terbukti dapat beradaptasi dengan strategi lain bila keadaan memaksa. Kontra Pescara pada akhir September silam, misalnya, Inzaghi memilih menurunkan 3-5-2 untuk meredam Il Delfini yang terkenal solid dalam menghadapi tim yang bertaktik 4-3-3.“Kami mengambil resiko dengan 3-5-2, yang membuat kami memainkan Senad Lulic dan Anderson berperan sebagai sayap untuk mendukung serangan,” ujar Inzaghi pasca pertandingan.
Namun pertaruhan itu terbayar: trio Sergej Milinkovic-Savic, Danilo Cataldi, dan Parolo berhasil mengatasi umpan-umpan pendek pasukan asuhan Massimo Oddo itu. Lazio berhasil menang 3-0, dengan gol-gol datang dari tiap lini: gol pembuka dari bek Stefan Radu, gol kedua dari Milinkovic-Savic, dan gol penutup dari Immobile.
Musim ini, Lazio telah bermain delapan kali menggunakan formasi empat bek (4-3-3 atau 4-3-2-1), mencatatkan lima kemenangan dan tiga imbang. Sebaliknya, formasi tiga bek (3-5-2, 3-4-3, atau 3-5-1-1) dimainkan sebanyak lima kali, dengan rekor dua kali menang, sekali kalah, dan sekali imbang.
Permainan Lazio musim ini seakan mata rantai yang hanya dapat berfungsi bila seluruh komponen lengkap terpasang. Di lini serang, misalnya, peran krusial Ciro Immobile yang telah mencetak sembilan gol musim ini tak dapat diabaikan, namun begitu pula dengan Felipe Anderson yang telah melepas lima assist, terbanyak musim ini. Tak heran sisi kiri yang ditempati Anderson menjadi salah satu kekuatan utama dalam penyerangan mereka musim ini. Begitu pula di belakang: agresivitas Stefan Radu di sayap kanan diimbangi oleh kesolidan Wallace memenangkan duel-duel udara di lapangan tengah.
Terakhir, pendekatan ala Inzaghi ini ditunjang pula dengan kepercayaan yang ia taruh pada para pemain muda. “Kami memiliki delapan pemain yang lahir setelah 1993 dan saya tidak punya masalah untuk memainkan mereka,” ujar sang pelatih. Benar saja: pemain muda seperti gelandang Milinkovic-Savic, penyerang Keita Balde Diao, sampai kiper Thomas Strakosha (semuanya masih berusia 21 tahun) cukup sering diturunkan untuk memberikan nafas segar bagi tim. “Ia memiliki karakternya sendiri. Ia masih muda dan punya mentalitas mirip kami, yang saya rasa merupakan sebuah kelebihan,” ujar bek senior Dusan Basta.
Pujian pun mulai mengalir, meski akhir musim belum hampir. “Inzaghi telah membangun tim yang kuat dengan pemain muda bertalenta, dan kali ini mereka akan mengejar satu tempat di enam besar,” ujar pelatih Juventus Massimiliano Allegri, salah satu dari dua tim yang mampu menundukkan mereka musim ini.
Para pemain juga merasakan hawa positif dari kepemimpinan Inzaghi. “Dia memberikan kami kebebasan dan kekuatan baru,” ujar gelandang Marco Parolo. “Dia membuat kami merasa tenang dengan metodenya. Kami hanya berpikir untuk berbuat yang terbaik dari pertandingan ke pertandingan, dan sejauh ini pekerjaan kami mulai membuahkan hasil,” Basta mengamini.
Namun, Lazio masih jauh dari kata selesai. Sejauh ini, Lazio masih belum mampu menang melawan tim-tim papan atas lain seperti Juventus dan Milan, serta hanya dapat menahan imbang Napoli. Setelah menghadapi Palermo akhir pekan ini, mereka akan menghadapi rival sekota Roma di Derby della Capitale, yang akan menjadi ujian terbesar untuk memastikan kesuksesan mereka bertahan di zona Eropa.
Membangun skuat yang dapat benar-benar bersaing untuk gelar juara juga tampaknya masih jauh dari harapan. Terlebih dahulu, Lazio harus dapat mempertahankan pemain-pemain pentingnya seperti Anderson dan Biglia dari kejaran tim-tim Premier League, yang dikabarkan mulai menunjukkan minat. Satu hal lain yang lebih penting, klub harus dapat mempertahankan Inzaghi, yang hanya diikat kontrak sampai akhir musim ini.
Pertama kali tayang di Super Soccer Indonesia.
No comments:
Post a Comment