24 December 2016

Pak Kayam dan roso kangen itu

Aduh, roso itu lho...

Saya tak ingat kapan saya bertemu buku bersampul biru gelap itu. Dan saya juga tidak tahu siapa yang memilikinya. Yang saya tahu, itu buku judulnya Para Tokoh Angkat Bicara, sebuah kompilasi wawancara dari majalah berita Indonesia yang saya tidak ingat apa nama dan kapan terbitnya. 

Yang diwawancara adalah tokoh-tokoh tanah air, mulai dari Iwan Fals sampai almarhum Gus Dur. Di halaman pertama yang saya temukan adalah wawancara sosiolog-cum-budayawan, almarhum Pak Umar Kayam.

Itulah perkenalan pertama saya dengan Pak Kayam.

Bagi saya beliau adalah seorang karakter yang enigmatik. Intriguing, kalau kata orang sini. Budayawan, pernah jadi dirjen, memerankan Soekarno dalam Pengkhianatan G30S/PKI, penulis, dosen, sosiolog. Banyak orang mengenalnya sebagai novelis yang menciptakan karakter Lantip dan Halimah pada Para Priyayi; ada juga yang mengenalnya dari karya-karya beliau yang lain seperti Sri Sumarah atau Bawuk.

Tapi sisi Pak Kayam yang paling menarik bagi saya adalah kolom-kolomnya, yang kelak dikumpulkan dalam buku Mangan Ora Mangan Kumpul. Sebagai seseorang yang dibesarkan dalam budaya Minang (dan secara umum, Melayu), saya tak pernah benar-benar bisa memahami budaya Jawa, yang berasal nun dari pulau seberang. Bagi saya, membedakan bahasa halus, menengah, dan tinggi sama membingungkannya dengan memilah kaum abangan, santri, dan bangsawan — — meski yang belakangan nyata cuma dari pikiran Geertz.

Namun ulasan Pak Kayam berbeda. Gayanya bertutur, kata yang ia pilih, mengajak pembaca ikut tenggelam bersama apa yang ia ingin maksudkan. Pak Kayam mengambil serpihan kehidupan sehari-hari, memotretnya sejenak, lalu menyusunnya menjadi sebuah fragmen. Bahwa pembaca mungkin tak familiar akan latar belakang kisahnya yang amat njawani; tiada masalah, karena pesan yang ia sampaikan universal.

Pak Kayam dalam ulasannya memperkenalkan sebuah dunia yang membuat para pembacanya familiar, seakan-akan pernah menjadi bagian dari cerita besar itu sendiri. Saya merasa familiar dengan Ki Ageng (karakter alter ego Pak Kayam). Pun saya merasa tak asing dengan perangkat kitchen cabinet-nya: Mr. Rigen sang Dirjen van Pracimantoro, istrinya Mrs. Nansiyem, dan dua anak mereka: Beni Prakosa sang siswa SD Indonesia Hebat, dan “King” Septian Tholo-Tholo.

Saya tidak tahu dari mana datangnya rasa familiaritas itu.

Mungkin karena saya datang dari keluarga abdi negara di sebuah universitas, persis dengan Ki Ageng dan Fakultas Sastra UGM-nya. Mungkin karena saya tumbuh di keluarga kelas menengah yang suka berandai-berandai menggapai dunia yang bergerak di luar sana, macam keluarga Ki Ageng di Cipinang Indah. Mungkin pula karena saya juga sedang menghabiskan waktu di luar negeri, serupa dengan Ki Ageng yang diceritakan hidup di New Haven, Connecticut selama setahun.

Bahkan meski saya bukan orang Jawa, atau tumbuh dengan kultur Jawa. Bahkan walau saya cuma pernah ke Jogja sekali seumur hidup saya. Bahkan sekalipun saya tak tumbuh-besar saat beliau masih berkarya. Cerita-cerita beliau masih bergema sama kuatnya hari ini dibanding dua puluh tahun lalu. Kritik-kritik halus dan pengamatan-pengamatan berbalut ironinya, entah bagaimana masih bisa tetap relevan hingga kini.

Saya juga menemukan sisi unik dari goresan pena Pak Kayam: ia amat mencintai makanan. Penulis-penulis hebat yang saya kagumi punya personal taste yang selalu tersirat pada cerita-ceritanya. Haruki Murakami dengan berlari; Orhan Pamuk dengan sepak bola. Umar Kayam? Makanan!

Kecintaan Pak Kayam pada makanan sudah jadi fakta sejarah, barangkali. Ia fasih menggunakan makanan sebagai objek bertutur, memosisikannya sebagai bagian yang amat penting dalam kecintaannya pada kemanusiaan. Dengan mencintai makanan, Pak Kayam mencintai kehidupan.

Ah, omong-omong tentang masa kini. Saya terpaku betul dengan cerita Pak Kayam yang berjudul “Tentang Roso Kangen Itu”, di buku kedua Mangan Ora Mangan Kumpul. Esai ini menceriterakan Pak Ageng yang baru pulang dari luar negeri selama setahun (baca: Amerika Serikat), lalu pulang ke Yogya. Ya, Yukjo-nya.

Bagi saya, ini contoh esai klasik Pak Kayam. Ia memadukan dengan halus pemikiran cerdasnya dengan metafora makanan, sesuatu yang amat ia cintai dengan penuh seluruh. Bahkan boleh saya bilang, ini karya Pak Kayam yang paripurna. Berikut saya kutipkan:
Sesudah setahun absen dari revolusi, jajanan ndèsit itu terasa nikmat betul. Gatot, yang kalau dinilai dari sudut tampang lahiriah paling pol hanya bisa disejajarkan dengan kombinasi warna lukisan abstrak, dus tidak menarik, pagi itu jadi melambai-lambai minta disantap. Dan waktu saya gigit, kok ya, maknyuss!. Sedikit kecut, sedikit nggêdabêl, tapi ya biar. Begitu juga yang lain-lainnya.
Sembari makan itu saya ngunandikå tentang roso. Roso enaknya makanan dan roso kangen. Tentang makanan enak. Bagaimana kita bisa mengatakan makanan yang satu itu enak, sedang makanan yang lain tidak. Ternyata tidak selalu gampang.
Ambillah contoh gatot itu. Sebelum berangkat ke Amerika, gatot itu masuk prioritas yang paling bawah dalam urutan menu jajan pasar saya. Dalam keadaan obyektif makanan itu agak kecut, agak ngilêr dan sedikit sekali gurihnya ketela terasa. Tetapi, waktu dihidangkan setelah setahun pergi, lhooo … kok jadi maknyuss!
Semua atribut roso yang menjengkelkan itu jadi hilang. Subyektivitas apakah itu? Subyektivitasnya orang yang kangen kepada negeri leluhurnya. Negeri yang menyandang segala atribut lårå-låpå-nya dunia ketiga. Atau subyektivitasnya orang yang nggragas saja? Atau mungkin kedua-duanya!
Di Amerika, tidak seperti jaman saya dulu masih kuliah. Saya banyak masak masakan Indonesia karena semua bahan yang diperlukan hampir bisa didapat di toko-toko Cina atau Korea. Toh, waktu baru datang di Cipinang Indah, ibunya anak-anak memerintahkan madam Belgeduwelbeh masak lodèh, sayur asêm, sambel goreng (masakan yang juga saya masak bersama si Gendut di Amerika), rasanya kok maknyuss juga. Subyektivitas apakah ini?
Subyektivitasnya orang kangen atau subyektivitasnya orang yang fanatik atau supernasionalis? Semua yang dimasak di rumah sendiri pasti enaknya. Waduhh, kok bertumpuk-tumpuk roso subyektivitas itu! Gatot yang secara obyektif kecut bin nggêdabêl binti ngiler, jadi enak. Masakan rumah yang secara obyektif biasa-biasa saja, jadi seenak masakan restaurant berbintang. Apa roso kangen, kapang, sono, rindu, itu yang jadi penentu?
Lha, … terus yang dikangeni itu apa, lho?! Wong pergi juga cuma setahun. Dan negeri yang ditinggal setahun itu, ya masih begini-begini saja, lho. Saya tidak kunjung bisa memutuskan.
Istirahat yang tenang, Pak Kayam. Terima kasih sudah menginspirasi saya selama ini. 

Ah, saya jadi kangen rumah…

Indianapolis, Indiana, 4.15 pm. Salju makin tipis, meski Natal sudah menjelang.

No comments:

Post a Comment