Saat Arrigo Brovedani melangkah keluar dari mobilnya di lapangan parkir Stadion Luigi Ferraris pada suatu malam musim dingin Desember 2012, ia tak akan mengira bahwa ia akan jadi satu-satunya penonton yang duduk di tribun suporter tandang pada hari itu.
“Ketika saya bepergian untuk pertandingan tandang, biasanya akan ada 80 hingga 200 orang,” ujar pria yang sehari-hari berprofesi sebagai pengusaha wine ini. “Tapi karena (hari) ini Senin, waktu dan lokasi membuat saya berpikir takkan bertemu lebih dari lima atau enam orang di sini.” Ia menyetir pulang-pergi ke kota Genoa, tempat pertandingan dihelat, sejauh enam ratus mil dan memakan waktu empat jam. Sampdoria, sang tuan rumah, akan menjamu Udinese.
Brovedani, dengan rambut gimbal dan brewok lebat yang sekali pandang akan mengingatkan kita pada Marouane Fellaini campur Russell Brand, mendukung Udinese. “Saya selalu membawa bendera dan syal (Udinese) di mobil saya,” ujar lelaki yang berasal dari Spilimbergo, sebuah kota kecil di sebelah barat Udine ini. Hari itu, ia menjadi satu-satunya yang mengibarkan bendera tim berjuluk Il Zebrette ini, berhadapan dengan tak kurang dari dua puluh ribu pendukung tuan rumah Sampdoria seperti yang tercatat resmi oleh liga.
Oleh staf stadion, Brovedani ditawarkan untuk duduk di tribun utama. Namun, ia menolak dan memilih untuk duduk di tribun khusus penonton tandang sesuai yang tercantum pada tiketnya. “Pendukung tuan rumah mulai berteriak mengejek dan menghina seperti biasa,” akunya. Tapi, ketika mereka tahu apa yang terjadi, mereka memberikan saya tepuk tangan yang meriah.”
Brovedani-lah bintang utama pada malam yang dingin itu. “Ketika saya melihat para pemain Udinese melakukan pemanasan, saya berteriak pada mereka: ‘Hei, aku sendiri di sini. Sendiri! Kalian bisa mendengarku sekarang, tapi kalian takkan bisa lagi kalau pertandingan sudah dimulai!’” Dusan Basta dan kawan-kawan berhasil mencuri tiga poin penuh dari Luigi Ferraris malam itu berkat gelontoran dua gol dari Danilo Larangeira dan Antonio Di Natale, mengunci skor akhir 2-0.
Tak pelak ia jadi idola. “Mereka (suporter Sampdoria) sebenarnya amat baik hati: mereka menawarkan saya makanan dan kopi, dan manajer klub memberikan saya kaus,” ujarnya seperti yang dilansir oleh CNN. Manajemen Udinese menawarkannya tiket gratis untuk pertandingan kandang selanjutnya; BBC bahkan mengundangnya untuk menonton pertandingan Premier League langsung di Inggris.
Bagi sebagian orang, kisah Brovedani mungkin tak lebih dari sekadar --- mengorupsi istilah seniman eksentrik Andy Warhol --- 90 minutes of fame. Namun, ada sesuatu yang lebih menarik di sebalik kisahnya, yaitu tentang makin sepinya bangku penonton di liga-liga sepak bola utama Eropa.
Ambil saja Serie A, tempat kisah ini berlangsung. Seiring dengan bergulirnya zaman, bangku-bangku stadion tim Negeri Pizza ini kian menunjukkan tanda-tanda takkan sering penuh terisi oleh penonton setia mereka. Musim lalu, kehadiran rata-rata di sebuah pertandingan Serie A adalah 22,640 orang, di atas Ligue 1 (20,980) namun dilampau oleh La Liga (28,170) dan Premier League (36,450).
Data lain yang dikumpulkan oleh surat kabar olahraga terkemuka La Gazzetta dello Sport menemukan bahwa tren kehadiran suporter di stadion-stadion Italia secara konsisten menurun sejak musim 1991-92. Statistik teranyar untuk partai pembuka musim 2016/17 lalu menunjukkan bahwa total kehadiran suporter di seluruh stadion hanya sekitar 426,388 orang, menyisakan sekitar 49% tiket tak terjual dan tercatat sebagai rekor terendah sejak musim 2007-08.
Dan ini tak terbatas pada klub-klub semenjana bertabur pemain provinciale saja. Pertandingan panas sekelas Derby della Capitale antara Roma dan Lazio di Stadion Olimpico Roma pada awal Desember lalu, misalnya, hanya berhasil menarik sekitar 40 ribu penonton. Kapasitas Olimpico, salah satu stadion terbesar di Italia itu, adalah sekitar 70 ribu orang.
Pengamat kerap bersilang pendapat tentang masalah ini. Tentu saja, televisi dan Internet memainkan peranan penting dalam memindahkan lapangan hijau ke ruang tamu penonton.
Namun, pendapat lain mengarah pada manajemen klub yang buruk menuai protes dari kalangan suporter yang biasanya menjadi bagian penting dalam memenuhi bangku-bangku stadion.
Seperti yang dikatakan jurnalis James Horncastle, “para fans kecewa dengan keadaan klub. Banyak yang memutuskan untuk tak lagi hadir di pertandingan….sampai sang direktur eksekutif pergi.” Ia mengambil contoh ultras Roma dan Lazio yang tak lagi hadir bersorak di Stadio Olimpico lantaran kedua klub memutuskan untuk memasang partisi di Curva Nord dan Curva Sud Stadion Olimpico. Protes-protes lain juga bermunculan: mulai dari suporter Milan yang telah lama berusaha mendepak sang godfather Silvio Berlusconi, sampai protes pendukung Inter terhadap kepemilikan kolektif klub, salah satunya oleh pengusaha Indonesia Erick Thohir.
Kondisi stadion lokal pun tak membantu. Selain Juventus dengan Juventus Stadium-nya, kebanyakan markas tim profesional Italia saat ini dibangun untuk helatan Piala Dunia 1990, lebih dari seperempat abad silam. Seperti yang ditulis oleh Chloe Beresford untuk The Guardian, masih banyak klub yang terikat utang dari program renovasi ini, yang tercatat melampaui 84% dari anggaran semula. Pembiayaan yang separuh ditanggung oleh Komite Olimpiade Italia, yang bersikeras memasang trek atletik di banyak stadion, membuat para penonton terletak jauh dari lapangan.
Beberapa stadion lain justru berusia lebih panjang: tribun-tribun Luigi Ferraris, tempat Brovedani berdiri malam itu, dibuka untuk umum pada 1911. Giuseppe Meazza/San Siro dibuka pada 1926, Olimpico Roma pada 1932, dan San Paolo pada 1959. Kebanyakan stadion tua itu dimiliki oleh dewan kota dan sering kali tak terurus dengan baik, apalagi bila dibandingkan dengan stadion-stadion di Inggris dan Jerman yang jauh lebih modern. Satu-satunya stadion yang berdiri pada abad ke-21 selain Juventus Stadium adalah San Filippo milik klub Serie B Messina yang dibuka pada 2004.
Terakhir, skandal judi dan pengaturan skor yang kerap kali membelit klub-klub Italia makin tak mengundah gairah suporter untuk datang langsung ke stadion. Pecahnya skandal calciopoli satu dekade silam tentu masih segar dalam ingatan dan menyebabkan pudarnya kepercayaan suporter terhadap institusi sepak bola lokal, terutama pada tim-tim papan atas yang ikut tersangkut seperti Juventus, Milan, Lazio, dan Fiorentina.
Tak heran kalau insan-insan sepak bola Italia mulai bersuara mengenai hal ini. "Secara teknis, (Serie A) masih kompetitif, namun perbaikan harus dilakukan di sisi infrastruktur (untuk mengembalikan) hasrat penonton untuk kembali ke stadion,” ujar mantan arsitek Milan Claudio Ancelotti.
Tentu kita tak bisa melupakan Juventus dengan konsep stadionnya yang visioner dan mulai ditiru klub-klub lain. Hanya sang Nyonya Tua, yang notabene cukup kaya untuk membongkar Stadion delle Alpi yang mereka beli dari dewan kota Turin dan membangun stadion baru di atasnya. Juve tercatat memiliki rekor kehadiran penonton terbaik di seluruh Italia sejak bermain di stadion berkapasitas sekitar 41,000 orang itu, memaksimalkan profit yang mereka tuai untuk bersaing di pentas Eropa. Perlahan, klub-klub lain seperti Roma, Inter, dan Milan, mulai membentangkan rencana untuk membangun kandang baru di masa depan.
Jalan masih panjang buat klub-klub Italia untuk mengembalikan suporter mereka yang pernah begitu loyal dan terkenal, terutama pada masa-masa jayanya tiga dan empat dekade silam. Sementara menunggu stadion baru yang megah bermunculan satu-satu, rasanya mereka harus masih bergantung harap pada kisah-kisah individual seperti Brovedani ini. Seperti kata orangnya sendiri: “Saya tak pikir ini cerita yang begitu besar. Ada begitu banyak fans garis keras yang tak pernah ketinggalan satu pertandingan pun, jadi saya pasti bukanlah yang pertama!”
Pertama kali tayang di Super Soccer Indonesia pada Desember 2016.
No comments:
Post a Comment