Gian Piero Gasperini barangkali tak akan pernah muncul ke panggung dunia jika bukan karena kisahnya yang fenomenal bersama Internazionale lima tahun silam. Pria setengah abad ini menggantikan Leonardo sebagai komandan ruang ganti Giuseppe Meazza pada akhir Juni 2011, namun empat kali imbang dan satu kekalahan sudah cukup buat Massimo Moratti untuk mendepaknya pada akhir September. Ia dianggap terlalu medioker, kelewat provinciale untuk tim pengejar titel juara macam Il Nerazzuri.
Lima tahun kemudian, Gasperini kembali lagi bersama sekelompok anak muda berseragam hitam dan biru. Bedanya, logo di dada mereka bukanlah ular berbisa kebanggaan Inter, melainkan dewi lembut berkulit putih milik Atalanta.
Gasperini tiba di Atleti Azzurri d’Italia pada pertengahan Juni silam. Ia tipikal pelatih kelas menengah Italia yang kerap berganti-ganti klub tergantung kemurahan (atau ketidakjelasan) hati pemilik klub: ia baru saja meninggalkan periode keduanya di Genoa, yang berlangsung selama tiga tahun tanpa prestasi berarti selain bongkar-pasang skuat setiap musimnya demi memenuhi anggaran yang tipis dan hasrat bertahan di kasta tertinggi. Pun di tempat barunya, tiada siapapun yang berharap muluk-muluk. Klub dari wilayah Lombardia ini menyelesaikan musim lalu di tingkat ke-13, dua setrip dibawah Genoa-nya Gasperini.
Musim Atalanta bersama Gasperini dibuka dengan kekalahan 3-4 di kandang dari Lazio. Kemenangan pertamanya tiba pada pertengahan September, 2-1 di kandang atas Torino. Namun lima pertandingan pertamanya diakhiri dengan kekalahan 1-0, juga di kandang, atas Palermo, klub yang pernah ia latih beberapa musim silam. Di titik yang sama bersama Inter, ia telah dipersilakan angkat kopor. Kini, di Bergamo, Gasperini dapat menemui kembali nasib yang sama.
“Di satu titik, saya merasa seperti mayat berjalan,” mantan gelandang ini berkata pada koran lokal Bergamo. Di laga tandang selanjutnya kontra Crotone, seluruh direktur klub hadir menonton pasukannya. “Mereka terlihat seperti di pemakaman. Saya pikir bunga-bunga juga sudah siap,” ujarnya sedikit berkelakar.
Dewi Fortuna masih berpihak padanya. “Kami yakin bahwa terus maju bersama Gasperini adalah hal yang benar,” ujar presiden klub Antonio Percassi. “Setelah kekalahan dari Palermo, saya bertemu para pemain. Saya katakan pada mereka bahwa siapapun yang ingin tetap di sini harus mengikuti aturannya, atau mereka bisa pulang ke rumah masing-masing.”
Di laga tandang selanjutnya kontra Crotone, seluruh direktur klub hadir menonton pasukannya. “Mereka terlihat seperti di pemakaman. Saya pikir bunga-bunga juga sudah siap,” ujarnya sedikit berkelakar. Namun peti mati tak jadi dibuka. Anak asuhnya berhasil menang 1-3, salah satunya berkat gol cepat penyerang muda Andrea Petagna di menit ketiga. Kunjungan sang Presiden menjadi salah satu faktor pemicunya. “Setelah kekalahan dari Palermo, saya melihat tanda-tanda itu,” ujar Gasperini. “Presiden bertemu para pemain, berbicara dengan mereka, dan melegitimasi posisi saya. Itu adalah titik balik kami.”
Dukungan penuh manajemen klub padanya membuat Gasperini mulai yakin untuk menerapkan aturannya sendiri. Mengikuti aturan Gasperini berarti bermain dengan cepat, solid, dan tak kurang defensif. Ia adalah konservatif kelas wahid yang hanya mau bermain sepak bola menggunakan tiga bek, tak kurang tak lebih: apakah itu 3-4-3, 3-5-2, atau 3-4-2-1. Aturan utama buat para penyerang adalah untuk terus menekan bek tengah lawan sepanjang 90 menit.
Tapi aturan lainnya adalah kepercayaan Gasperini pada para pemain muda. Setelah kalah dari Palermo, ia memutuskan untuk mulai menggunakan bakat tempaan akademi Atalanta yang pernah melahirkan pemain semodel Gaetano Scirea, Roberto Donadoni, Andrea Pirlo, dan Riccardo Montolivo. Kontra Crotone, ia mulai memberikan kepercayaan lebih pada talenta muda seperti Petagna, Jasmin Kurtic, Alejandro Gomez, Franck Kessié, Andrea Conti, Mattia Caldara, dan Roberto Gagliardini. Ini pertaruhan besar: karir dan reputasinya, beserta harapan klub untuk selamat menempuh satu musim lagi di Serie A, dapat hancur dalam sekejap. Ditambah pula ruang ganti tak memiliki sosok pemain senior yang dapat membimbing para pemuda ini.
Pekan berikutnya, Petagna mencetak gol semata wayang pada kemenangan mengejutkan mereka di kandang atas Napoli. “Pada akhir pertandingan, presiden memberitahu saya: ‘Anda bisa dibilang sangat pemberani, atau justru gila’,” ujar Gasperini.
Gasperini mungkin pemberani, namun ia jelas belum gila. Melawan Napoli, misalnya, ia memainkan formasi tiga bek yag dijaga Rafael Toloi, Caldara, dan Andrea Masiello. Lini tengah digalang duet Kessie dan Remo Freuler. Kurtic dan Gomez diplot di belakang Petagna, yang berperan sebagai ujung tombak. Taktik mereka berhasil membendung Manolo Gabbiadini dan membuat frustasi gelandang lincah seperti Marek Hamsik. Hasilnya, dapat ditebak, cukup membuat kancah sepak bola Italia terpana. Sebagian membandingkan mereka dengan pencapaian fenomenal Sassuolo pimpinan Eusebio Di Francesco musim silam, hanya kali ini versi tiga bek dan lebih menekankan man-to-man marking.
Lini tengah yang solid sejauh ini menjadi tumpuan utama skuat, selain memaksimalkan bola-bola mati yang jadi spesialisi tersendiri bagi para pemain: dari sembilan belas gol yang dicetak sejauh ini, delapan bersumber dari set piece dan dua dari titik dua belas pas. Delapan puluh persen operan mereka adalah umpan-umpan pendek yang efektif dan mudah dijangkau. 3-4-2-1, formasi yang sudah dipakai Gasperini lima kali musim ini, berhasil menciptakan sembilan gol dan hanya kebobolan satu gol ketimbang versi lain seperti 3-5-2 atau 3-4-3.
Fakta-fakta seperti ini cukup impresif mengingat Atalanta bukanlah tim medioker mendadak kaya yang langsung dapat bersaing di papan atas. Melainkan, mereka memilih untuk melongok ke bawah dan mengandalkan sumber daya mereka sendiri, berupa sistem pembinaan pemain muda yang komprehensif. Saat menang atas Napoli, misalnya, empat pemain tercatat berstatus anggota skuat tim nasional Italia U21. Bahkan Gasperini sendiri terkejut dengan anak asuhnya. “Gagliardini adalah bukti bahwa sepak bola hari ini begitu supercharged,” ujarnya. “Tak masuk akal ia bisa masuk Nazionale hanya setelah beberapa pertandingan Serie A.”
Orobici beruntung karena Gasperini bukanlah tipikal pelatih yang hanya fokus pada pertandingan selanjutnya. Ia memiliki visi yang jauh menjangkau ke masa depan. Saat ditanya mengenai perbandingan tim mudanya dengan Athletic Bilbao dan Sassuolo, ia dengan serius menjawab bahwa hal itu bisa dilakukan. “Klub sejauh ini cukup serius, strukturnya ideal, para suporter mendukung, dan saya melihat banyak pemain yang menarik di tim muda,” ujar Gasperini pada Gazzetta dello Sport.
Menarik untuk menanti sejauh mana Atalanta dapat bersaing di Serie A musim ini. Akankah mereka bermimpi lebih dari sekedar zona Eropa? Hanya waktu, dan formasi tiga bek Gasperini, yang tahu.
Pertama kali tayang di Super Soccer Indonesia pada November 2016.
No comments:
Post a Comment