15 November 2016

Argentina dan tepi jurang pragmatisme itu

Kembalinya Lionel Messi tetap saja tak mampu untuk membangkitkan Argentina dari rentetan hasil buruk di babak kualifikasi Piala Dunia 2018 zona CONMEBOL. Terakhir, pasukan Edgardo Bauza ini terpaksa menelan kekalahan 3-0 di Belo Horizonte atas tuan rumah Brasil. Coutinho, Neymar, dan Paulinho menjadi pemain yang membuat Argentina semakin terancam gagal lolos ke Piala Dunia 2018.

Barangkali perkataan mantan pelatih Cesar Luis Menotti-lah yang paling pas menggambarkan situasi separuh darurat di tubuh tim Albiceleste. “Saya tak paham bagaimana cara Bauza bertahan, bagaimana cara dia menyerang,” ujar pelatih gaek yang membawa Argentina juara Piala Dunia 1978 ini. “Jika Messi tak dapat mencetak gol, Higuain atau Di Maria seharusnya bisa.”

Sedikit banyak pendapat Menotti ada benarnya. Argentina saat ini masih terjebak di peringkat keenam klasemen sementara dengan mengemas 16 poin dari empat kali menang, empat kali seri, dan tiga kali kalah, satu setrip di bawah peringkat kelima yang bakal meloloskan mereka ke play-off antar-konfederasi. Sebelas gol yang dicetak lini serang mereka adalah yang terendah kedua di liga, hanya unggul ketimbang juru kunci Bolivia. Bauza sendiri seakan mengakui situasi krusial tim asuhannya. “Kami tengah berada dalam situasi yang sulit,” ujarnya selepas pertandingan.   

Keputusannya untuk memainkan Higuain dan Messi dalam formasi 4-4-1-1 tampaknya masih belum bisa membendung daya serang dan kreativitas Brasil yang digalang Neymar dan Coutinho. Ketidakmampuan lini tengah Argentina untuk menyeimbangkan transformasi menyerang ke bertahan memaksa Messi untuk mengisi ruang-ruang kosong yang kerap ditinggalkan. Sementara Lucas Biglia dan Javier Mascherano praktis tak berperan banyak selain kerap keteteran menggalang serangan. Masuknya Sergio Aguero di awal babak kedua menyebabkan formasi berganti menjadi 4-4-2, namun nyatanya itu tak membantu banyak. Tak mengherankan bila meskipun Argentina lebih banyak menguasai bola, mereka hanya dapat melepaskan sepuluh tembakan ke gawang Alisson Becker ketimbang tiga belas tembakan yang dilepaskan Brasil ke gawang Sergio Romero.

Argentina akan menghadapi Kolombia, yang kini duduk nyaman di peringkat ketiga. Pasukan asuhan Jose Pekerman ini terkenal dengan lini tengah yang disiplin dan barisan belakang yang mumpuni, dengan rekor kemasukan gol terendah ketiga sejauh ini dengan dua belas gol.

Tim Tango bisa dikatakan sedikit beruntung karena Pekerman diperkirakan tidak akan bisa memainkan barisan belakangnya secara lengkap, karena Oscar Murillo sedang menjalani akumulasi kartu dan Yerry Mina masih cedera. Di sisi lain, lini tengah mereka mendapat angin segar dengan kembalinya Juan Cuadrado, yang akan bahu-membahu bersama James Rodriguez untuk menyokong ujung tombak Radamel Falcao.

Bauza diperkirakan akan memainkan taktik 4-2-3-1 favoritnya di San Juan, dengan Lucas Pratto menggantikan Higuain sebagai ujung tombak didukung Messi dan Di Maria. Untuk menambah kreativitas, ia diperkirakan akan menurunkan Ever Banega sebagai gelandang tengah, menyeimbangkan lini depan dan belakang dan menyediakan bola-bola pendek yang krusial untuk membangun serangan. Seperti yang dikatakan Roberto Saporiti, mantan asisten Menotti di Argentina 1978: “Messi memerlukan seseorang seperti (Juan Roman) Riquelme atau (Andres) Iniesta untuk menyediakan umpan-umpan yang tajam.”

Laga ini akan menjadi tabir penutup 2016 untuk kualifikasi zona CONMEBOL, yang akan kembali dimulai pada Maret 2017. Bagi kedua tim, bagaimanapun, pertandingan ini secara krusial akan mempengaruhi jalan mereka menuju Rusia tahun depan. Untuk Kolombia, kemenangan atas Messi dkk berarti memutus kutukan tak pernah menang di tanah Argentina sejak Piala Dunia 1994, dan mempermulus jalan mereka untuk menghadapi dua pertandingan yang relatif mudah di bulan Maret kontra Bolivia dan Ekuador.

Di sisi lain, kemenangan bagi Argentina amat berarti untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap cap pragmatisme dan titel juru selamat yang sudah terlanjur disematkan pada sang pelatih, sekaligus memperbaiki moral ruang ganti yang terakhir kali menikmati kemenangan pada awal September silam. Kekalahan bukan saja dapat membuat jalan Tim Tango semakin terjal karena harus mati-matian menghadapi Chile dan Bolivia bulan Maret tahun depan, namun juga berpotensi membawa mereka ke tepi jurang yang tak pernah terpikirkan: kegagalan lolos ke Piala Dunia pertama kali sejak Meksiko 1970.
   
Pertama kali tayang di Super Soccer Indonesia.

No comments:

Post a Comment