09 November 2016

Edgardo Bauza dan semangat realis baru ala Argentina

Hampir tengah malam, Waktu Timur Amerika Serikat, 26 Juni 2016. Delapan puluh dua ribu penonton masih memadati MetLife Stadium di East Rutherford, New Jersey, untuk menyaksikan adu penalti yang akan menentukan juara Copa America Centenario. Malam itu, Argentina, finalis Piala Dunia yang dipimpin Lionel Messi, bersua juara bertahan Chile. Bagi Albiceleste, jika mereka memenangi adu penalti malam ini, kutukan tanpa trofi internasional di level senior sejak 1993 akan terputus. Hantu tak berbentuk dari era 1980an, kala Argentina mengecap era keemasan di sela-sela gocekan brilian Diego Maradona, akan punah selamanya.

Tapi rupanya hantu itu masih begitu kuat membayang. Tendangan tak sempurna Lucas Biglia dibalas sepakan tuntas dari Fransisco Silva, memperpanjang puasa gelar untuk paling tidak dua tahun lagi. Malam terang di New Jersey itu begitu membuat frustrasi seorang Lionel Messi, yang namanya telah bersinonim dengan kemenangan dan kejayaan bersama Barcelona namun juga dengan nyaris dan hampir bersama Albiceleste, sampai ia mengumumkan pensiun dari tim nasional. Tak lama, pelatih Gerardo Martino, yang mewarisi tim finalis Piala Dunia 2014 di Brazil dari Alejandro Sabella, turut pula lengser.

Sepak bola Argentina langsung terjun bebas ke huru-hara. Tim nasional yang selalu terhempas di final meski diperkuat pemain-pemain terbaik dalam satu generasi, dipadukan dengan konflik institusional yang menggerogoti tubuh federasi sepak bola nasional; begitu mengganggu sampai FIFA dan pemerintah Argentina harus menunjuk Komite Normalisasi untuk menginvestigasi korupsi dan penyalahgunaan kuasa di sana. Dengan kualifikasi Piala Dunia 2018 di depan mata, masa depan pemenang Piala Dunia dua kali ini tak pernah tampak begitu suram.

Di tengah ketidakpastian dan kebuntuan, AFA mengumumkan penunjukan Edgardo Bauza sebagai komandan baru di ruang ganti tim nasional.  Lengkap dengan moral tim yang menurun drastis selepas pengumuman Messi yang mengguncang seluruh negeri, ia ibarat diberikan kemudi sebuah kapal yang nyaris karam di tengah Samudra Atlantik. Mungkin itu pulalah yang menyebabkan ia melontarkan ucapan separuh alegoris: “Bagi banyak orang, ini (menjadi pelatih Argentina) mungkin sebuah resiko yang tak perlu, namun saya tak masalah untuk mengotorkan kaki saya dengan lumpur bersama Argentina. Saya sendiri lahir di kubangan lumpur.”

Produk bengal para berandalan
Edgardo Bauza dilahirkan di Granadero Baigorria, sebuah kota kecil berpenduduk empat puluh tiga ribu orang di sebelah utara Rosario, kota terbesar ketiga di Argentina. Tak banyak yang diketahui tentang karirnya di level muda selain ia memulai karirnya di Rosario Central, klub terdekat dari kampung halamannya. Ia juga bermain untuk Atletico Junior, Independiente, dan Veracruz, namun publik Argentina lebih mengenalnya sebagai legenda di Rosario.

Selama lima tahun bersama tim berjuluk El Canalla (Para Berandalan) itu, ia mencatatkan 310 penampilan di liga dan dua kali memenangi Primera Division, kasta tertinggi sepak bola Argentina pada 1980 dan 1986-87. Ia tergabung dalam skuat berjuluk La Simfonica, disebabkan oleh gaya bermain mereka yang mengalir cepat dan rancak dibawah pimpinan Angel Tulio Zof. Selama bermain di Estadio Gigante de Arroyito, Bauza mencetak total 80 gol, yang menempatkannya sebagai salah satu bek paling produktif sepanjang sejarah bersama Franz Beckenbauer, Daniel Passarella, dan Fernando Hierro. Wataknya yang keras dan tanpa kompromi menjaga lini belakang membuat ia dijuluki El Paton, Sang Kaki Besar.

Meskipun begitu, karirnya di tim nasional tak begitu mentereng. Ia hanya mengoleksi total tiga cap bersama Albiceleste, dan duduk di bangku cadangan saat Argentina bertekuk lutut pada Jerman Barat di final Piala Dunia 1990 di Italia. Setelah gantung sepatu di Veracruz, ia memulai karier sebagai pelatih. Tempatnya memulai? Tentu saja, Rosario Central.

Penguasa kontinental
Setelah empat musim tanpa prestasi berarti di Rosario Central selain lolos ke semifinal Copa Libertadores 2001, Bauza memutuskan untuk menerima tawaran klub yang lebih besar. Ia pindah ke Velez Sarsfield, namun hanya bertahan satu musim bersama El Fortin. Ia pindah lagi ke Colon, namun hanya juga bertahan satu tahun. Bauza sempat banting setir menjadi pundit dan komentator televisi sebelum memutuskan keluar Argentina dan menuju Peru, merintis kembali kariernya bersama Sporting Cristal.

Kali ini ia berhasil. Enam bulan pertama di Cristal, ia mengantar tim ibu kota itu menjadi kampiun liga. Namun, ia tak bertahan lama pula di Peru; pertengahan 2005, ia kembali ke Argentina untuk melatih Colon, klub sebelumnya. Setahun berselang, ia keluar lagi dari Argentina, mengepak koper menuju Ekuador untuk melatih LDU Quito.

Di Quito-lah Bauza menemukan keberuntungannya. Dengan mengandalkan formasi 4-4-2 klasik yang berpusat pada pemain-pemain sayap lincah Luis Bolanos dan Joffre Guerron, trio Argentina Damian Manso, Claudio Bieler, Norberto Araujo, dan kiper gaek Jose Francisco Cevallos, Bauza membawa Los Universitarios juara liga Ekuador di musim keduanya. Pada musim yang sama, ia membawa Quito ke partai puncak Copa Libertadores 2008.

Di partai puncak, anak asuhnya menghancurkan wakil Brasil Fluminense 4-2 di Quito sebelum secara dramatis memenangi adu penalti 3-1 di Rio de Janeiro, setelah sebelumnya tertinggal 3-1 selepas waktu tambahan. Quito dan Bauza memenangi Copa Libertadores pertama mereka dengan membalikkan konsensus umum para pengamat yang mengunggulkan Fluminense.

Bauza memutuskan untuk mengundurkan diri selepas Quito dikalahkan Manchester United di final Piala Dunia Klub FIFA 2008, namun reputasinya sebagai pelatih kawakan mulai terbentuk. Koran olahraga Uruguay El Pais menganugerahkannya Pelatih Terbaik Amerika Selatan 2008, anugerah bergengsi yang sebelumnya pernah dimenangkan oleh pelatih setaraf Carlos Bianchi, Jose Pekerman, Oscar Tabarez, dan Luiz Felipe Scolari.

Setelah sempat bergabung dengan klub Arab Saudi Al-Nassr, Bauza kembali ke Quito dan sekali lagi memenangkan gelar liga pada 2010 dan Recopa Sudamericana (semacam Piala Super UEFA ala Amerika Latin) pada tahun yang sama, mengalahkan Estudiantes. Sempat dirumorkan mengisi tampuk kepelatihan tim nasional Argentina yang ditinggalkan Sergio Bautista, AFA lebih memilih pelatih gaek Alejandro Sabella, dan Bauza memilih untuk bertahan di Quito.

Tiga tahun di Quito, Bauza memutuskan untuk pulang kampung ke Argentina. Tak seperti umumnya pelatih Argentina, ia justru menuai sukses di tanah orang, dan lebih banyak melatih tim medioker di tanah sendiri. Ia menerima pinangan San Lorenzo de Almagro, salah satu dari lima klub paling elit di Primera Division, tempat Ezequiel Lavezzi dan Jose Luis Chilavert menimba ilmu, sekaligus tim masa kecil Paus Francis.

San Lorenzo baru saja selamat dari ancaman degradasi dua musim sebelumnya, dan Bauza awalnya tak dibebani harapan muluk-muluk oleh suporter El Santo. Namun ia berhasil membawa San Lorenzo menjuarai Torneo Inicial, paruh pertama Primera Division musim 2013-14, dan mencatatkan rekor pertahanan terbaik kedua di liga. Tahun berikutnya, San Lorenzo melaju ke putaran gugur Copa Libertadores dan mengalahkan Gremio, Cruzeiro, dan Bolivar untuk mencapai final pertama mereka sepanjang sejarah.

Berhadapan dengan Nacional dari Paraguay, pasukan Bauza berhasil menahan imbang sang lawan di kandang sendiri sebelum merebut gelar juara lewat gol penalti semata wayang Nestor Ortigoza di Buenos Aires. Bauza menjadi pelatih keempat yang berhasil menjuarai turnamen itu dua kali bersama klub yang berbeda, selain Bianchi, Scolari, dan Paulo Autuori.

Akhir tahun 2015, ia kembali meninggalkan Argentina untuk bergabung dengan raksasa Brasil Sao Paulo FC. Namun, ia tak lama memimpin tim yang bermarkas di Estadio do Morumbi itu. Memanfaatkan klausul di kontraknya bersama Tricolor, ia memenuhi panggilan ibu pertiwi Argentina. Kali ini, untuk melatih tim nasional.

Konservatisme ala Griguol
Salah satu inspirasi awal Bauza sebagai pelatih adalah Carlos Timoteo Griguol, mantan pemain dan pelatih Rosario Central. Griguol memiliki karakter yang mirip-mirip Marcelo Bielsa: heboh, emosional, dan meledak-ledak. Pria berjuluk El Viejo (Orang Tua) ini punya kebiasaan unik untuk menyemangati pemainnya, yaitu dengan satu-satu menampar pipi mereka sebelum turun ke lapangan.

Meskipun fasih dalam tampar-menampar, namun taktik Griguol lebih cenderung hati-hati dan konservatif dibanding pelatih Argentina lain pada angkatannya seperti Cesar Luis Menotti. Bila Menotti, misalnya, memainkan taktik yang lebih agresif dalam formasi 4-3-3 yang menjunjung tinggi falsafah bermain indah, Griguol lebih memilih taktik konservatif 4-4-2 yang mengandalkan pertahanan namun sewaktu-waktu dapat berubah menyerang. Selain itu, ia juga mempelopori pemakaian analisis video di Liga Argentina.

Pada era dimana dunia sepak bola dunia seakan dibuai taktik dan strategi cantik macam Argentina-nya Menotti atau Belanda-nya Rinus Michels, Griguol (dan Bauza, tentu saja) berdiri teguh menjaga pendekatan mereka yang kaku dan tradisional. Bila Menotti dapat dikatakan mewakili gaya realisme magis khas Amerika Latin yang diturunkan pujangga-pujangga lama macam Gabriel Garcia Marquez dan Mario Vargas Llosa, Griguol dan muridnya Bauza justru lebih mirip penganut mazhab realis sosial yang lebih kuno macam Ernesto Sabato: kalem, pragmatis, sering dianggap membosankan.

“Saya berangkat dari rumah dari tempat latihan dan dari tempat latihan pulang ke rumah, dan saya hanya memikirkan tentang sepak bola, tanpa gangguan apapun,” Bauza berujar dalam sebuah wawancara.

Bauza biasa menggunakan formasi 4-4-2 dengan dua gelandang tengah untuk menjaga empat pemain belakangnya. Formasi ini acap dikritik sebagai taktik “safety-first” yang lebih mengutamakan bagaimana caranya tidak kebobolan sepanjang laga. Namun, pada masa-masa tertentu, formasi ini dipadukan dengan pendekatan-pendekatan pragmatis yang non-ideologis, khas gurunya Griguol.

“Saya adalah diantara yang beranggapan bahwa semua orang harus menyerang dan semua orang harus bertahan,” ujar Bauza. “Sepak bola hari ini seperti itu. Anda bisa saja bertahan di lini serang jika tekanan sedang pada puncaknya.”

Di San Lorenzo, misalnya, Bauza memainkan formasi empat bek klasik yang diisi Julio Buffarini, Fabricio Fontanini, Santiago Gentiletti, dan Emmanuel Mas. Kuartet ini mencatatkan salah satu rekor pertahanan terbaik di Primera. Namun ia juga dapat memainkan formasi tiga gelandang serang di belakang striker, biasanya kombinasi Ignacio Piatti, Leandro Romagnoli, dan Angel Correa di belakang Mauro Matos.  Begitu pula di Sao Paulo: saat ia terpaksa mewarisi tim yang koyak ditinggal Rogerio Ceni, Luis Fabiano, dan Alexandro Pato, Bauza memutuskan untuk beradaptasi dengan menggunakan 4-2-3-1 dan memaksimalkan kreativitas gelandang serang Paulo Henrique Ganso.

Ciri khas strategi Bauza lainnya adalah sayap-sayap lincah yang multifungsi. Di San Lorenzo, Bauza beruntung dengan adanya Ignacio Piatti di sayap kiri dan Buffarini di sayap kanan. Pun di Santos, ia mengandalkan duet Kelvin dan Ricardo Centurion untuk menyokong Andres Chavez di lini serang.

Bauza juga memiliki sentuhan dan pengalaman untuk membuat pemain buangan menjadi bintang, from zero to hero. Di Sao Paulo, ia mengembalikan kepercayaan diri penyerang Jonathan Calleri, mengubahnya dari penghangat bangku cadangan di Boca Juniors menjadi pencetak gol terbanyak Copa Libertadores 2016 dengan total sembilan gol, meski klubnya sendiri terhenti di semifinal.

Jalan pedang di Albiceleste
Lalu apa artinya ini semua untuk Argentina?

Gerardo Martino, pendahulu Bauza, terkenal dengan gaya yang lebih kurang sama pragmatisnya saat menangani tim nasional Paraguay, namun berubah menjadi seorang konservatif gaya menyerang yang bekerja keras menyeimbangkan formasi 4-3-3-nya yang sering kali tak bekerja dengan baik. Kurangnya kecepatan dan kelincahan di lini belakang membuat tim Martino berulang kali tampak bocor di lini tengah. Martino juga kerap kali kebingungan dimana posisi terbaik untuk mendayagunakan kehebatan seorang Messi.

Sejauh ini, Bauza masih belum menunjukkan pada publik Argentina mengapa ia lebih baik ketimbang Martino. Membuka kualifikasi Piala Dunia 2018 dengan kekalahan 0-2 dari Ekuador di kandang, Argentina saat ini berada di peringkat keenam, satu strip di bawah zona play-off antarkonfederasi, tempat Chile bertengger. Mereka mengoleksi empat kemenangan, empat seri, dan dua kali kekalahan, namun telah gagal menang dalam tiga pertandingan terakhir (seri melawan Venezuela dan Peru, disusul kalah di kandang dari Paraguay). Prospek lolos ke Rusia dua tahun lagi tampaknya tak terlalu cerah.

Namun tak seperti Martino yang kerap kali terdengar begitu menumpukan beban tim pada legenda hidup sepak bola modern itu, Bauza masih kedengaran bernada lebih realistis. "Saya tak ingin Messi menyelesaikan seluruh masalah kami. Kami harus bekerja keras untuk mencari solusi,” ujar Bauza. “Ini tantangan yang bagus.”

Untungnya, Bauza berhasil menemukan solusi. Ia memainkan 4-5-1 yang mengandalkan duet Javier Mascherano dan Ever Banega untuk melindungi lini belakang, sayap Angel di Maria dan Nicolas Gaitan ditugaskan membantu Sergio Aguero dan Gonzalo Higuain. Tak beruntungnya, Argentina tak menang dengan formasi tambal sulam semacam itu.

Kembalinya La Pulga ke skuat Argentina memberikan kemungkinan dimainkannya formasi 4-4-2, bertumpu pada Messi dan Arguero di lini serang dan Lucas Biglia sebagai melindungi lini belakang. Gravitasi, jiwa, dan semangat tim telah kembalil.

Menanggulangi serangan Brasil yang dipimpin Neymar akan jadi tugas utama lini belakang yang dijaga Martin Demichelis dan Mateo Musacchio. Bauza sendiri mengakui pentingnya hal tersebut. “Masalahnya sekarang adalah bagaimana kami bisa membenahi pertahanan tim,” kata Bauza. “Argentina punya banyak pilihan untuk menyerang, tapi kami juga perlu memperbaiki pertahanan agar tim tidak mudah tertinggal dan dapat merebut bola secepat mungkin.”

Apapun hasilnya di Belo Horizonte akhir pekan nanti, Bauza tidak akan menyerah untuk mewujudkan mimpi Argentina yang terhempas di malam terang di East Rutherford beberapa bulan silam, dan di Maracana dua tahun yang lalu. Bedanya, kali ini ia memimpin tim nasional dengan gaya yang lebih membumi, taktik yang lebih mendekati kenyataan, mendekatkan diri para realisme sosial ala Sabato ketimbang realisme magis khas Gabo.

Ia, tentu saja, tetap menyimpan mimpi bersama skuat kualitas dunia yang ia miliki saat ini. Seperti ucapan yang terlontar dari mulutnya sendiri: “jika hari ini saya tidak bermimpi untuk menyerahkan Piala Dunia kepada Paus dan rakyat Argentina, saya sudah seharusnya mencari pekerjaan lain.”

Pertama kali tayang di Super Soccer Indonesia pada November 2016.

No comments:

Post a Comment