07 December 2015

Review: The Great Debaters (2007)

Denzel Washington being all cool here

Tak banyak film Hollywood yang mengangkat tema mengenai debat dan para pendebat. Hal ini barangkali cukup ironis mengingat Amerika Serikat sendiri adalah negara yang menjunjung tinggi budaya kebebasan berbicara dan berekspresi, dimana debat merupakan salah satu bentuknya. Saya beruntung dapat menonton salah satu diantaranya, yaitu The Great Debaters (2007).

Film ini bercerita tentang Profesor Melvin B. Tolson, seorang penyair dan pelatih tim debat di sebuah perguruan tinggi kecil yang didominasi mahasiswa berkulit hitam bernama Willey College di Texas, Amerika Serikat. Tim debatnya terdiri dari empat orang mahasiswa yang mempunyai latar belakang sangat berbeda satu sama lain.

Tersebutlah James L. Farmer, Jr. (diperankan Denzel Whitaker) seorang bocah jenius yang masuk universitas saat berusia 14 tahun dan putra seorang kulit hitam berpendidikan tinggi, James L. Farmer Sr. (Forest Whitaker, bukan ayah Denzel di dunia nyata); Samantha Booke (Jurnee Smollett), satu-satunya gadis di antara mereka; serta Henry Lowe (Nate Parker) dan Hamilton Burgess (Jermaine Williams). Saat itu tahun 1930an, saat rasisme masih kentara di wilayah selatan Amerika Serikat dan pembunuhan terhadap kaum minoritas kulit hitam oleh warga kulit putih dengan metode lynching (penggantungan) yang kejam masih kerap terjadi.

Dalam kelanjutan plot, aktivisme politik Profesor Tolson yang berusaha mengorganisir kaum petani dan buruh setempat untuk angkat senjata melawan tuan-tuan tanah mereka sempat membuat tim debat yang diasuhnya nyaris kalah sebelum bertanding. Burgess pun terpaksa keluar dari tim atas tekanan orang tuanya yang khawatir dengan pandangan politik Profesor Tolson.

Dengan tiga anggota tersisa, Profesor Tolson masih berusaha untuk mencarikan lawan tanding untuk anak-anak asuhnya ini. Pada akhirnya, mereka diundang untuk berdebat di Oklahoma City University dengan tema kesetaraan sosial dan kesejahteraan untuk kaum kulit hitam. Pada pertandingan ini, tim Wiley secara mengejutkan menang melawan para pendebat Oklahoma yang didominasi mahasiswa berkulit putih. Dalam beberapa pertandingan selanjutnya, Wiley terus mendulang kemenangan demi kemenangan.

Pada fase ini, konflik mulai bermunculan dalam internal tim. Dalam perjalanan pulang dari Oklahoma, mereka berhadapan dengan gerombolan warga kulit putih yang sedang ramai-ramai menggantung seorang lelaki kulit hitam dan membakarnya. Mereka berhasil selamat, tetapi Henry Lowe merasa frustasi, minum alkohol, dan kabur dari tim.

Ketika kembali, Henry membawa seorang gadis; ini mengejutkan Samantha yang sedang jatuh cinta dengan Henry. Samantha sendiri pun akhirnya meninggalkan tim, Keadaan pun akhirnya memaksa Profesor Tolson untuk menunjuk James yang tak berpengalaman menjadi pendebat utama. Wiley pun kalah dalam pertandingan melawan Howard University.

Setelah pulang ke kampus Wiley, Profesor Tolson mendapat surat undangan dari Universitas Harvard, perguruan tinggi paling bergengsi di seluruh Amerika Serikat, untuk mengadakan pertandingan debat. Atas bujukan Profesor Tolson, Samantha dan Henry bergabung kembali dengan tim dan bersiap-siap menghadapi Harvard. Namun, saat tim akan berangkat menuju Harvard, Profesor Tolson memberi tahu mereka bahwa aparat keamanan melarangnya untuk meninggalkan Texas. Jadilah ketiganya berangkat tanpa sang pembimbing menuju Boston.

Tim Wiley menjalani masa-masa sulit selama mempersiapkan diri di Harvard. Mereka saling berbantahan satu sama lain mengenai argument yang akan disampaikan, sehingga membuat Henry sampai keluar dari tim. Akhirnya pada hari pertandingan, Samantha dan James menjadi pendebat melawan dua orang mahasiswa Harvard yang terkenal. Mereka berdebat mengenai ketidakpatuhan sipil, dan James menyampaikan pidato penutup yang mengesankan ribuan orang yang hadir di aula Harvard itu bertepuk tangan dengan gegap gempita. Tanpa sepengetahuan mereka, Profesor Tolson datang ke aula dan menyaksikan anak didiknya mengangkat piala kemenangan mereka. Film ditutup dengan deskripsi apa yang akhirnya terjadi pada para tokoh utama: Profesor Tolson menjadi penyair terkenal, James menjadi tokoh pembela HAM terkenal, dan Henry menjadi pendeta.

Film ini mengangkat tema diskriminasi rasial yang jamak ditemui di wilayah Selatan Amerika Serikat (tempat dimana negara bagian Texas berada) pada paruh pertama abad ke-20. Tema seperti ini sudah banyak ditemui dalam film-film produksi Hollywood, namun baru film inilah yang mengangkat dari sudut pandang ilmu pengetahuan, terkhusus pertandingan debat.

Tokoh Profesor Tolson yang diperankan oleh Denzel Washington tampak dengan baik menjiwai perannya sebagai seorang pendidik sekaligus aktivis politik radikal. Merangkap sebagai sutradara, Washington berusaha memosisikan Tolson sebagai seorang pendobrak yang berusaha mengubah keadaan kaum kulit hitamnya tidak hanya melalui gerakan politik, namun juga dengan pendidikan. Usahanya untuk mencarikan lawan-lawan tanding untuk tim debatnya menggambarkan sosok Melvin B. Tolson di dunia nyata: seorang penyair yang teguh pendirian dan tangguh.

Adegan terbaik dapatlah disematkan pada saat Profesor Tolson dan anak-anak didiknya berhadapan dengan segerombolan warga kulit hitam yang tengah menggantung seorang lelaki hitam. Adegan ini menggambarkan secara jelas dan terang konstruksi sosial di Selatan Amerika Serikat pada masa itu, dimana kaum kulit hitam diperlakukan sebagai warga kulit putih dan menghadapi ancaman penyiksaan dan pembunuhan tiap waktu. Di adegan ini, sutradara Washington dengan berhasil memikat rasa miris penonton. Kelak, di adegan penutup, sang sutradara dengan brilian menautkan kembali peristiwa yang mengerikan ini sebagai bagian dari argument pada penutup James.

Namun, film ini tak kurang pula dari nilai minus. Kisah romantisme antara Samantha dan Henry saya pikir menempati porsi terlalu banyak dalam plot sehingga bisa membuat beberapa penonton teralihkan fokusnya dari plot utama. Andaikan sutradara lebih banyak fokus kepada persiapan tim Wiley dan menerangkan teknis-teknis pertandingan debat pada masa itu (yang sangat berlainan sekali dengan format pada masa kini), saya pikir itu akan lebih baik.

Secara umum, saya sangat puas menonton film ini. Plot yang kuat ditaburi perkataan-perkataan brilian (termasuk kutipan dari St. Augustine yang menjadi favorit saya: an unjust law is no law at all – sebuah hukum yang tidak adil sama saja artinya dengan tidak punya hukum sama sekali) dan penjiwaan yang luar biasa dari para tokoh. Dari 1 hingga 10, saya kira 8 bukan nilai yang berlebihan untuk karya ini.
“I am here to help you to find, take back, and keep your righteous mind” – Melvin B. Tolson to Henry Lowe, when the young Lowe argued his argument.
Tanbihat: Ini film Denzel Washington paling keren yang pernah saya tonton.

09 November 2015

Asap sudah lewat

Ternyata saya tidak menulis di blog ini sepanjang bulan Oktober. Ah, bulan Oktober yang panjang dengan berbagai kesibukan yang membuat saya lupa untuk kembali melawat.

Akhirnya baru kemarin saya kembali lagi. Mengubah beberapa pengaturan, termasuk URL blog ini. Agar lebih ringkas dan mudah diingat.

Musim asap di Pekanbaru akhirnya sudah lewat. Setelah dikecam dari segala penjuru mata angin, pemerintah pusat di Jakarta pada akhirnya memutuskan untuk menganggap lima juta warga Riau ini sebagai warga sah republik ini dan bekerja sedikit lebih keras dalam memadamkan asap.

Syukurlah hujan mulai turun pada awal bulan November ini, namun rupa-rupanya yang punya kuasa masih enggan bertindak lebih jauh dalam masalah ini selain menyiramkan air ke celah-celah gambut. Lha Presidennya pergi ke Amerika, sementara kepala stafnya menolak membeberkan nama-nama perusahaan pemanggang gambut di Riau.

Sukak hati bapak ajalah pak.

Apapun, aktivitas kembali normal di Pekanbaru. Seminggu penuh hujan lebat dapat sedikit-sedikit meredakan asap dan membuat rongga dada sedikit lebih longgar. Sekolah pun dimulai kembali, dan rencana-rencana yang tertunda mulai disusun ulang untuk hari depan. Termasuk pengukuhan majalah AKSI yang rencananya bulan September lalu, akhirnya ditetapkan pada akhir bulan ini. Hurrah!

Mungkin sekian saja coretan kali ini. Salah satu dampak kurang menyenangkan dari dimulainya kembali sekolah adalah tugas yang semakin menumpuk. Tampaknya bulan ini harus lebih banyak lembur untuk menggarapnya....

29 September 2015

Catatan yang tidak demonstran-demonstran amat

Akhir-akhir ini saya sedang berjuang untuk menyelesaikan buku Catatan Seorang Demonstran-nya Soe Hok Gie. Betul, Gie yang itu, yang diperankan Nicholas Saputra. Dulu saya sudah nonton filmnya, dan penasaran bagaimana isi bukunya yang konon legendaris itu.

Kebetulan beberapa pekan silam (dengan memanfaatkan libur kabut asap yang terus diperpanjang macam konflik Israel-Palestina) saya ketemu buku itu di Gramedia. Cetakan ulang, kertasnya lumayanlah. Ada kata pengantar (kalau tidak salah dari Daniel Dhakidae) yang begitu panjang sampai akhirnya saya lompati begitu saja.

Membaca bagian pertama buku ini seperti membaca catatan harian Kapten Haddock dalam tubuh bocah SMP. Penuh kemarahan, kekesalan, sikap masa bodoh terhadap dunia. Gaya bahasanya mungkin memang khas era 1950an.
Senin, 28 Oktober 1957
Aku sudah masuk lagi. Tadi bertemu dengan Si Kodok. Hari ini kami sampai jam ke-3. Enak-enak saja. Tapi 4-5-6 ulangan. Bosan, bosan, aku mau sebetulnya sekolah di alam bebas seperti R. Tagore bilang.
Namun kemarahan Gie ini tampaknya lain. Ia marah sambil mengutip sastrawan, mengamuk sambil merapal syair, sebal seraya menyitir filsuf. Dan 1957 itu usianya masih lima belas tahun. Umur lima belas tahun sudah menyitir Tagore, sedangkan tahun lalu saya lima belas tahun sedang sibuk main Football Manager. Bukan main.

Saya pertama kali membaca buku ini di lobi Hotel Pangeran (sungguh ironis kedengarannya). Sebelum membaca (ini tabiat buruk, jangan ditiru), sampul buku itu saya foto lalu upload ke Facebook dan Instagram. Tapi akhirnya saya pikir-pikir lagi, sombong betul mengunggah-unggah sampul buku berat macam begini ke media sosial. Akhirnya posting itu saya hapus lagi....

Kenapa dihapus? Ya seperti yang saya bilang tadi, Gie umur lima belas sudah menulis marah-marah sambil menyitir Tagore, sedangkan saya umur lima belas baca buku dia lalu pamer ke Facebook. Seumur-umur saya tidak pernah berhasil konsisten bikin catatan harian atau sebangsanya macam Gie. Saya mungkin cuma seorang yang tidak demonstran-demonstran amat, menuliskan catatan yang juga tidak demonstran-demonstran amat.

Tanbihat: Buku itu sampai sekarang belum selesai juga saya baca. Hih.

07 September 2015

"Tulis aja dulu!"

Saya pertama kali mendengar soal Pandji Pragiwaksono sekitar tahun 2009, ketika masih di Malaysia.

Entah bagaimana, saya mendapatkan e-book "Nasional.is.me" yang dia karang (waktu itu masih e-book, sekarang mah udah ada versi cetaknya).

Setelah selintas membaca, saya pikir: "wah keren juga ini orang". Tulisan-tulisannya singkat, padat, tapi bernas. Bang Pandji bicara soal sosial, politik, keindonesiaan, sampai basket dan sepak bola.

Setelah itu saya ikutin terus karya-karya selanjutnya. Mulai dari baca-baca tulisannya di blog, mengunduh album rap dia (Lagu Melayu di album Merdesa sampai sekarang masih masuk playlist kalau bepergian, abis keren sih) dan nonton stand-up comedy. 

Bang Pandji bicara soal keadaan yang terjadi di sekitar dia dan kita semua. Tidak melulu sosial dan politik saja, saya lebih suka menggunakan terma 'kemanusiaan'. Tulisan-tulisannya, lagu-lagunya, serta bit-bit stand-up-nya semua berkisah soal ini.

Dia bicara soal anggota-anggota DPR yang suka tidur waktu sidang (DPR di Merdesa), hidup yang selo (Hidup Itu Main dan Main Itu Hidup di Merdesa), perjalanan keliling Indonesia (buku Nasional.is.me), sampai menyitir pledoi Bung Hatta (Indonesia Free di 32). Banyak lagi karya lain, yang tentunya tak dapat saya sebutkan satu-satu di sini (macem pidato panitia kurban aja kau...)

Jadilah reaksi pertama saya ketika dikabarkan bahwa Bang Pandji akan ngisi acara coaching clinic tentang digital writing di Pekanbaru adalah: "Mantep nih, gak boleh lewat". Nyatanya saya kelupaan dan baru dapat tiket di hari-H. Hahahaha.

Acaranya digelar di salah satu hotel besar di Pekanbaru. Ternyata ada pembicara lain: Raditya Dika dan RAN (itu lho, band yang nyanyi "kau di sini aku di sanaaaaa").

Saya baru dengar RAN baru-baru ini saja, tapi Raditya Dika jelas bukan penulis yang asing. Sebelum Bang Radit sibuk jadi sutradara-cum-pemeran, saya sudah duluan baca Kambingjantan, Cinta Brontosaurus, Manusia Setengah Salmon, sampai yang terbaru Koala Kumal (dimana saya berjam-jam mutar-mutar di Gramedia untuk nemanin Haqi minta tandatangan Bang Radit yang dikerubungi anak-anak SMP yang histeris). Serial Malam Minggu Miko sudah saya tonton habis di YouTube. Sayangnya, kali ini dia ngisi sesi digital video dan peserta gak bisa milih dua sesi sekaligus. Hiks.

Bang Pandji ngisi soal digital writing, bertempat di lobi (sementara yang lain di ruangan). Selama satu jam, dia memaparkan pengalaman dan berbagi tips soal tulis-menulis. Satu tips yang saya ingat benar (dan emang selalu dikoarkan oleh penulis lain) adalah: tulis aja dulu! Jangan khawatir jelek, karena tulisan pertama siapapun pasti akan jelek. Pokoknya, tulis aja dulu.

Masuk sesi pertanyaan. Setelah beberapa kali gagal, akhirnya saya dapat kesempatan. "Bang, kenapa suka nulis tentang sosial politik?"

Dia terdiam sejenak. "Kalau gue nulis tentang cinta-cintaan, wah gue bukan remaja lagi, hahaha..."

Seisi lobi tertawa ngakak. Kemudian Bang Pandji bilang kira-kira gini. "Gue nulis tentang sosial politik karena itu keresahan gue. Tentang Indonesia, karena itu keresahan gue."

Ya, keresehan. Tulisan-tulisannya soal Indonesia memang selalu bernada optimis (mirip @GNFI), namun Bang Pandji menulis seperti itu karean dia resah dengan kondisi sosial politik Indonesia saat ini.

Kemudian dia bilang: "Gue kasih tau nih ya, kalau ada penulis yang tulisannya itu-ituuuu mulu, cinta-cintaaaan mulu, itu hidupnya pasti bokis. Gak mungkin kan ya hidupnya itu cinta-cintaan, galau-galauan mulu, itu pasti bokis."

HAHAHAHAHAHAHA.

Akhirul kalam, akhirnya saya sempat berkodak dengan Bang Pandji selepas acara berakhir.


Oh, dengan Bang Radit juga ada hehehe


Anyway, it was full of fun. Terima kasih setinggi-tingginya untuk Loop Pekanbaru! :D

02 September 2015

Menggantang asap

Pagi ini, kasak-kusuk menyebar di seluruh sudut sekolah. Kabut asap yang makin menjadi-jadi sudah melapisi nyaris semua kaki langit, membuat sekolah kami tampak seperti lokasi salah satu adegan Silent Hill-nya Keiichiro Toyama. Kasak-kusuk menyebar bahwa sekolah akan diliburkan.

"Katanya sampai seminggu," ujar seorang kawan bombastis.

Meliburkan anak sekolah gara-gara persoalan asap ini bukan hal yang tak lazim di Riau. Saya ingat dua tahun lalu, waktu kelas sembilan dan tengah sibuk-sibuknya mempersiapkan UN, kabut asap juga sedang sibuk-sibuknya menggelitik kerongkongan penduduk Riau. Walhasil, sekolah diliburkan sampai dua (atau tiga?) minggu, yang tentu saja disambut gembira bocah-bocah....

Barangkali asap ini memang sudah jadi bagian dari kehidupan penduduk Riau. Saya sepulang dari Malaysia sekitar empat tahun lalu pertama-tama nyaris semaput kalau keluar rumah. Sekarang saya santai main bola di tengah asap. Mungkin lapis-lapis asap itu sudah menyatu dengan tubuh :p

Kebanyakan siswa tentu saja senang mendengar kabar-sekolah-akan-diliburkan (siapa yang gak senang dapat libur tengah pekan?), tapi ternyata ada juga mazhab yang kurang sepakat. Mazhab ini berpendapat bahwa libur berpotensi membuat kantong kering.

"Eeee, kalau libur tak ada dapat uang jajan aku do..."

Namun selepas istirahat pertama jam 10, ada pengumuman. "Semua siswa harap segera ke aula," terdengar TOA menyalak. Kami berkumpul, basa-basi singkat oleh guru, lalu langsung menuju poin utama: hari ini semuanya dipulangkan, besok juga libur. Jumat masuk lagi. Langsung pulang ke rumah, jangan ke sana ke mari, et cetera, et cetera.

HOREEEEE

Sesampainya di rumah saya cek portal berita Riau, ternyata memang benar semua sekolah diliburkan sampai Jumat. Dan Jumat itu, kalau asapnya masih betah bertengger atau malah makin membesar, ya libur diperpanjang. Di sekolah, beberapa kawan yang kampungnya dekat dengan Pekanbaru langsung menggeber motor pulang kampung; di socmed (terutama Path), anak-anak kota langsung ngebut berfoya-foya :p

Saya sih biasa-biasa saja menyikapi libur ini. Selain ada waktu untuk selo (dan mengerjakan makalah Aqidah yang gak selesai-selesai itu), ya memang asap ini mengganggu aktivitas rutin. Dan bisa juga menyelesaikan beberapa hal yang tak kunjung terselesaikan (tsah). Pengukuhan AKSI berlangsung Ahad ini, dan tidak tahu apa yang akan terjadi kalau kota ini masih berasap-asap.

Harapan penduduk Riau supaya pemerintah bisa turun tangan tampaknya justru tampak macam yang digambarkan oleh peribahasa Indonesia lama: seperti menggantang asap. Sia-sia, tidak ada gunanya. Lha pemerintah di Jakarta tampaknya kurang minat mengurusi hal-hal sepele macam asap tahunan ini. Mengharapkan pemerintah daerah? Tuh gubernurnya lagi dikurung di kandang situmbin.

Anyway, saya mau selo dulu. Selamat menggantang asap, tuan dan puan.  

31 August 2015

Pelajaran berzakat

Ramadan, bulan dimana umat membayar zakat fitrah, barangkali sudah lama lewat. Tetapi sampai hari ini, setiap mendengar kata "zakat" dikumandangkan, saya selalu teringat puisi Fakhrunnas M.A. Jabbar yang saya temukan di kolong meja guru ketika SMP dulu (kok bisa? entahlah).

    sejumlah santri dan sejumlah ustadz
    berdebat soal zakat sampai tak tamat-tamat
    padahal pelajaran berzakat itu kurikulum wajib tiap saat
    maka sang ustadz pun memberi pelajaran pertama:
    andai kalian punya harta 1,3 trilun rupiah saja
    harta itu dipakai jadi roti, jadi kopi, jadi kursi
    jadi baju, jadi nafsu, jadi sapu, jadi babu
    jadi apa sejadi-jadi
    sepanjang usia seribu bulan
    berapakah zakatnya?
    para santri pun bermain jari
    membilang-bilang sampai letih
    tak teliti, diganti para akuntan negeri
    tak ke tepi, diimpor ribuan kalkulator canggih
    aneh, soal menambah bisa mengali bisa mengurang bisa
    kalkulator itu macet saat membagi
    di layar monitor terbaca: error

    maka sang ustadz pun memberi pelajaran kedua:
    andai kalian punyai harta 1,3 triliun rupiah saja
    saat-saat lebaran
    saat si miskin dan si yatim menebar harapan
    berapa persen dari bungan simpanan yang miliaran
    tercampakkan buat mereka?
    sementara wajah kusam, mulut menganga, tubuh kerontang
    baju compang dan dengus nafas tertahan
    menanti jam-jam kelaparan
    jangan pakai kalkulator bila takut membagi

    maka sang ustadz pun memberi pelajaran ketiga :
    andai kalian punya harta 1,3 triliun rupiah saja
    saat derit derita melata di Palestina, Somalia, Afghanistan
    dan Bosnia
    ada yang terampas dari nurani saudara-saudara kita
    harga diri dan kehormatan si jelita
    berapakah peruntukanmu bagi sukarelawan di sana
    berapa buat beli senjata dan embarkasi, beli gandum dan roti?
    berapa buat rehabilitasi mushalla dan sekolah agama?
    berapa buat fi sabilillah?
    sejumlah santri dan sejumlah ustadz
    berdebat soal zakat sampai tak tamat-tamat
    padahal berzakat mata pelajaran wajib sampai lahat.

29 August 2015

Memulai kembali

Saya tidak pernah konsisten dalam urusan tulis-menulis di dunia maya. Sejak pertama kali mengenal Internet di SD, mungkin sudah belasan, bahkan puluhan blog yang saya buat. Semangat awal boleh berapi-api akan jadi blogger aktif yang menulis tiap waktu terluang dan blogwalking kesana kemari. Nyatanya? Nihil.

Jika dirunut balik, kebiasaan bergonta-ganti blog itu bermula seawal punya blog pertama. Saya tidak ingat persis nama blog itu, yang pasti berumah pada Blogger. Melihat layanan-layanan blog lain macam Wordpress hingga Blogdrive (wew, old-school betul), saya tergoda untuk meninggalkan rumah dan menjelajah kesana kemari. 

Kebiasaan nomaden berburu-dan-meramu semacam itu membuat saya tak pernah punya rumah permanen di dunia maya. Dua blog saya sebelum ini berumah pada Wordpress: satu untuk tulisan pribadi (catatanramzy.wordpress.com) dan satu untuk tulisan sepak bola (poroshalang.wordpress.com). Setelah saya pikir lagi, ini tidak akan pernah jadi cara blogging yang efektif. 

Akhirnya saya putuskan untuk memulai kembali. Ya, memulai dari awal. Saya sudah menulis barangkali sejak dari bangku SD -- kelas berapa, saya tidak ingat persis. Entah dimana tulisan-tulisan itu terserak kini. Gaya penulisannya ya sudah pasti ngawur dan ancur-ancuran: namanya juga bocah berusaha belajar nulis. Kalau dikulik-kulik lagi, mungkin saya bisa bikin semacam memoar. Di masa depan, mungkin. 

Yah, pada akhirnya, inilah rumah baru saya. Masih baru, mungkin belum berkursi dan bermeja. Silakan tuan dan puan menyaman-nyamankan diri dengan keadaan. Andai masih terkenang dengan rumah-rumah lama, silakan melawatnya sesekali di dua alamat yang tertera di atas. Cepat atau lambat, saya tidak tahu apakah blog ini bisa termutakhirkan secara rutin macam blogger-blogger jempolan lain. Kesibukan sudah pasti akan mendera tahun ini. 

Tapi, tetap saja, saya sudah memulai kembali. Dan untuk hal itu saja, saya sudah merasa sangat senang. 

Selamat datang!

13 June 2015

Antara ruang kelas dan lapangan bola

Salah satu fragmen tak terlupakan dari masa kecil saya adalah bermain sepak bola, walaupun sedari kecil saya sudah sadar bahwa saya tidak akan pernah jadi pemain sepak bola profesional – seperti Luca Toni, idola masa kecil saya. Oleh sebab itulah saya tak pernah ikut SSB atau klub sepak bola apapun untuk mengasah bakat alam – yang memang tidak saya miliki.

Meskipun begitu, saya cukup senang melihat beberapa kawan masuk dan berprestasi di lapangan bola. Mereka dengan serius masuk SSB dan berlatih keras untuk mempersiapkan diri menjelang kompetisi, entah itu di tingkat kota maupun provinsi.
Yang mengusik saya adalah sebuah kenyataan: bahwa tak sedikit orang yang masih menganggap sepak bola itu bernegasi dengan ilmu pengetahuan.

Saya masih ingat satu potongan kecil ketika duduk di bangku sekolah dasar. Teman sekelas saya adalah seorang pemain bola potensial yang cukup bermutu – lari secepat kijang, tendangan geledek, dan postur badan tinggi. Ia adalah tulang punggung kesebelasan sekolah dan sudah memenangi banyak medali mewakili alma mater kami. Tak pelak, bakatnya menuai minat dari pelatih tim kecamatan yang berniat untuk memasukkannya ke dalam tim untuk bertanding di tingkat provinsi.

Namun, yang ia dapatkan dari para birokrat di ruang guru adalah cibiran-cibiran pahit.

“Kau mau jadi pemain bola? Ah, tak usahlah! Lebih baik kau belajar baik-baik, bisa kuliah di universitas!”

Siapapun yang pernah bermimpi untuk menjadi pemain sepak bola profesional saat kecil dan remaja pasti pernah terbentur cibiran serupa: buat apa kau jadi pemain bola? Lebih baik belajar, juara kelas, masuk perguruan tinggi idaman, lulus, lalu dapat kerja dan hidup enak. Buat apa jadi pemain bola?

Namun yang tak pernah kita tanyakan adalah: benarkah ilmu pengetahuan dan sepak bola tak saling sambung? Benarkah menggocek bola artinya harus mengabaikan rumus turunan yang diajarkan guru di papan tulis? Benarkah semua pemain bola yang kita lihat di televisi itu tak ada yang tamat sekolah? Benarkah tak tamat sekolah dan tak berijazah itu buruk? Benarkah bermain bola itu tak dapat menjamin masa depan seperti menjadi PNS? Benarkah ruang kelas dan lapangan bola itu tak dapat wujud seiring selangkah, segendang sepenarian?

Dalam sebuah peradaban yang menghamba-budakkan diri pada selembar ijazah dan melupakan etos dan makna asli pendidikan itu sendiri, bermain bola adalah sesuatu yang dianggap rendah, karena pada kenyataannya memang tak akan pernah menghasilkan selembar ijazah pun. Sepak bola tidak dapat dikaji seperti halnya ilmu roket atau politik; ia tak hadir di ruang-ruang kelas atau dibahas di pidato-pidato profesor. Masyarakat seperti ini akan tumbuh dengan menganggap mereka yang lebih memeras otot dibanding otak adalah kaum marjinal. Second-class. Kaum pariah.

Padahal, dengan zaman yang semakin ligat berputar dan kurun yang semakin mantap menggilas, anggapan-anggapan keliru seperti itu sebetulnya dapat dipatahkan dengan mudah. Lihatlah kini bahwa sepak bola, dan puluhan jenis olahraga lainnya, telah lebih banyak menerapkan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan. Ilmu kedokteran olahraga, penggunaan data dan statistik dalam menganalisis pertandingan, jurnalisme olahraga, sampai perputaran uang yang kian berlimpah di pentas-pentas kompetisi bukanlah sesuatu yang dapat dianggap remeh dibanding ilmu pengetahuan klasik.

Saya dapat menuturkan kepada Anda semua puluhan kisah tentang pemain sepak bola yang tidak hanya lihai memutar kaki mereka di lapangan, namun juga memerah otak di ruang-ruang kelas.

Ambil contoh Socrates (lelaki ini sudah filsuf sejak dari namanya). Gelandang serang berkebangsaan Brasil ini terkenal sebagai seorang pemain yang mampu membaca permainan, punya fisik tangguh, dapat memproduksi umpan-umpan matang, dan mencetak gol-gol spektakuler. Ia memimpin negaranya di Piala Dunia 1982 dan menjadi Pemain Terbaik Amerika Selatan 1983 berkat permainannya di Corinthians. Tebak jurusan apa yang ia ambil di universitas? Kedokteran!

Lain lagi kisah Steve Palmer. Meski karirnya sebagai bek tak begitu mentereng (legenda lokal buat fans Ipswich Town dan Watford), namun ia mempunyai gelar sarjana dalam bidang software engineering dari Universitas Cambridge, salah satu perguruan tinggi tertua di Inggris yang terkenal dengan mutu dan kualitas lulusannya. Rekan senegaranya Steve Coppell, legenda Manchester United yang terkenal dengan kecepatannya di sayap kanan, punya gelar sarjana sejarah ekonomi dari Liverpool University. Menurut salah satu cerita, ia baru sepakat untuk pindah ke United hanya jika dia diperbolehkan untuk menyelesaikan kuliahnya di Liverpool.

Paul Breitner, orang yang disebut Paolo Maldini sebagai bek kiri terhebat sepanjang sejarah, pada masa-masa awal karirnya pernah enggan menandatangani kontrak lebih dari dua tahun di Bayern Munich. Alasannya, ia sedang kuliah keguruan dan ingin bekerja untuk melayani anak-anak berkebutuhan khusus. Bahkan ketika sedang hangatnya pertentangan antara kapitalis dan komunis lewat Jerman Barat dan Timur, Breitner tidak takut menyuarakan pandangan politiknya dengan terang-terangan membaca buku-buku Mao Zedong, dedengkot komunis dunia.

Graeme Le Saux bahkan punya cerita lain karena kepintarannya. Pemain pujaan Stamford Bridge ini pernah dirumorkan sebagai seorang homoseksual (salah satunya oleh Robbie Fowler) karena gaya hidupnya yang terbilang “lain” dibanding pemain sepak bola pada umumnya. Apa itu? Le Saux belajar di universitas dan rutin membaca The Guardian, koran nasional yang berhaluan kekiri-kirian dan jamak dianggap sebagai bacaannya kaum intelektual di Inggris sana.

Glen Johnson, bek Liverpool dan pemain reguler tim nasional Inggris, punya kisah yang hampir lebih kurang sama dengan kawan saya di atas. Ketika para pemain Inggris menghabiskan waktu mereka di sela-sela padatnya latihan Piala Dunia 2014 di Pantai Copacabana, Johnson membenamkan diri bersama buku-buku pelajarannya. Ia memang tercatat sebagai mahasiswa matematika paruh waktu di Open University. Tahun 2012, ketika ditanya mengenai pelajarannya, Johnson berkata dengan lugas:

I was good at maths at school but I didn’t really think of anything else but football. My teachers used to say, ‘You ain’t going to achieve anything’. So I was thinking, ‘I’ll show you’.
Perhatikan pula otak-otak brilian lain: Slaven Bilic adalah mahasiswa hukum; Shaka Hislop belajar teknik mesin (dan pernah bekerja sebagai intern di NASA); Iain Dowie bergelar sarjana teknik penerbangan; Oleguer Presas merupakan seorang ekonom radikal yang mendukung kemerdekaan Katalan; Radamel Falcao dan Juan Mata adalah mahasiswa jurnalistik.

Pakem dan kebiasaan yang sudah lama ada membuat kita tak terbiasa dengan fakta bahwa sepak bola dan kepintaran sebetulnya dapat bertemu. Namun, pada faktanya, para pemain sepak bola yang pintar dan brilian telah ada dan mewarnai sejarah permainan yang indah ini sejak lama. Mereka memilih jalan seperti itu karena berbagai alasan dan kerap disalahpahami oleh rekan setim dan para suporter. Sejatinya, merekalah yang membuat sepak bola menjadi tak sekadar permainan yang mengandalkan otot, karena mereka ada untuk mengimbangi dengan putaran otak.

Mereka yang memilih meninggalkan ruang kelas dari berlari di lapangan bola barangkali pernah, pada suatu tahap dalam kehidupan mereka, mengalami momen-momen “you ain’t going to achieve anything” seperti Johnson. Mungkin pula sekaranglah saatnya mereka dengan bangga menepuk dada sambil berkata: “I’ll show you!”

Izinkan saya mengutip sepotong fragmen yang menjadi inspirasi ditulisnya artikel ini. Fragmen ini saya kutip dari autobiografi Andrea Pirlo, I Think Therefore I Play. Pirlo, barangkali salah satu pengatur permainan terbaik yang pernah disaksikan umat manusia, menuliskan pengalamannya saat pertama kali dipanggil tim nasional Italia U15:
I was happy to receive a call-up because I got three days off school – let’s just say that my priorities were different back then. I made up for it later on, with catch-up courses undertaken in person: travelling the world with Italy (geography), winning (history), running (PE), getting to know Guardiola (philosophy, art history, and languages: not Spanish but definitely Catalan).
Tanbihat: Esai ini pada awalnya saya kirimkan untuk ditayangkan di portal Pandit Football, namun karena satu atau lain hal ia mangkrak cukup lama. Akhirnya saya putuskan untuk menayangkannya saja di sini. Gambar diambil dari esai di harvardpolitics.com ini.

08 March 2015

Sebuah apologi untuk Cesare Prandelli

Seorang pelatih kepala tim nasional mengajukan pengunduran dirinya sambil menyatakan bahwa ia bertanggungjawab sepenuhnya atas kegagalan tim di Piala Dunia. Seberapa jarangkah hal itu terjadi?

Jarang. Dan Cesare Prandelli melakukannya.

“Secara teknis, semuanya tidak bekerja dengan baik dan saya bertanggungjawab atas itu semua,” tegasnya di hadapan media setelah kekalahan Italia – tim asuhannya – di tangan Uruguay, dalam laga pamungkas Grup D Piala Dunia 2014. Italia tak akan bisa melaju ke putaran selanjutnya, karena hanya menang sekali dan kalah dua kali. Uruguay dan Kosta Rika – dua tim yang mengalahkan Italia – akan menjadi wakil grup ke putaran selanjutnya.

Prandelli tak sedang menyalahkan siapa-siapa. “Ketika sebuah proyek teknis gagal, pelatihlah yang satu-satunya berhak untuk bertanggungjawab,” tegasnya lagi.

Ia tak sedang coba untuk menyalahkan gigitan kanibalis Luis Suarez ke pundak Giorgio Chiellini yang menyebabkan bek Juventus itu terjengkang jatuh ke lapangan rumput. Prandelli menepis kesalahan berada di punggung Mario Balotelli, si bengal temperamental yang ia tarik keluar untuk mencegahnya mendapat lebih banyak kartu kuning. Atau menyalahkan Claudio Marchisio, yang diusir keluar untuk pertama kali sepanjang karirnya sehingga menyebabkan pertandingan menjadi timpang sebelah.

Tidak. Prandelli memutuskan bahwa tanggungjawab berada di punggungnya.

Media-media Italia gencar sekali mengkritik mantan gelandang Atalanta dan Juventus itu setelah kekalahan pahit di Natal. Pada edisi 25 Juni 2014, Gazzetta dello Sport memasang kepala berita “L’Italia a casa: un fallimento”, yang kira-kira bisa diterjemahkan menjadi “Italia pulang: sebuah kegagalan”. Tuttosport malah lebih kejam lagi. Koran ini memasang wajah Prandelli sedang menutup mulutnya dengan wajah sendu, dengan tulisan “BRANDELLI” besar-besar di atasnya. Dalam bahasa Italia, “brandelli” berarti “tercabik-cabik”.

“Ada sesuatu yang berubah setelah saya memperpanjang kontrak. Saya tidak tahu mengapa,” ujar Prandelli.

Mei 2014, Prandelli menandatangani perpanjangan kontrak yang akan mengikatnya selama dua tahun di kursi kepelatihan Azzurri. Ia akan melatih Italia hingga Piala Eropa 2016. Namun, dengan kegagalan Italia di Brazil, pria Brescia ini melupakan jauh-jauh soal kontraknya.

Ada baiknya kita menatap sekilas ke belakang, sebelum kekalahan Italia yang pahit di Natal itu.

Mei 2010, Fiorentina baru saja menyelesaikan musim 2009-10-nya. Mereka berakhir di peringkat kesebelas, tak mendapat tiket ke Eropa. Pemain terpenting La Viola saat itu, Adrian Mutu, tengah tersangkut kasus narkoba. Prandelli menjadi pelatih mereka pada musim itu, melewati rekor Fulvio Bernardini sebagai pelatih dengan masa jabatan terlama sepanjang sejarah Gigliati.

Sekitar bulan itu pulalah Marcelo Lippi tua, veteran pemenang Piala Dunia 2006, memutuskan bahwa ia akan meninggalkan kursi kepelatihan Azzurri setelah Piala Dunia 2010 selesai. FIGC kemudian memutuskan untuk menjejaki jasa Prandelli. Giancarlo Abete, Presiden Federasi, meminta izin Fiorentina untuk mengadakan pembicaraan dengan Prandelli. Kesepakatan pun terteken: Prandelli akan menggantikan Lippi usai Piala Dunia.

Namun, tak pernah disangka-sangka bahwa frasa “usai Piala Dunia” akan datang begitu cepat. Tim Italia asuhan Lippi bahkan tak sanggup melewati hadangan tim-tim sekelas Paraguay, Slovakia, dan Selandia Baru. La Nazionale mengepak koper mereka dari Johannesburg pada 24 Juni 2010, usai ditekuk Slovakia dengan skor 3-2.

Prandelli pun mengambil alih. Ia memutuskan memakai metode meritokratik dalam menyeleksi para pemain. Ia memanggil Antonio Cassano, si bengal lain dari calcio yang tak pernah dilirik Lippi karena kelakuannya untuk masuk skuat Piala Dunia 2010, meskipun ia tengah berada pada puncak performanya.

Pun begitu pula dengan Balotelli. Pria ini tak pernah diperhatikan sekalipun oleh Lippi selama rezimnya, tetapi Prandelli memanggilnya di laga perdananya sebagai pelatih, dan memainkannya. Kelak, Cassano dan Balotelli memimpin Italia yang bertransformasi menjadi kuda hitam paling menakutkan di Piala Eropa 2012, melaju ke final menghadapi sang juara dunia, Spanyol.

Ia menganggap bahwa talenta berada di atas karakter. “Instruksi saya adalah bekerja, bekerja, dan bekerja, dan saya percaya penuh kepada pembangunan kembali [skuat ini],” ujarnya menjelang laga kualifikasi Piala Eropa 2012 melawan Slovenia. Azzurri menang 1-0, dan merebut posisi pemuncak.

Tak mudah bagi Prandelli untuk bekerja di bawah bayang-bayang calcioscommesse yang merebak di segenap penjuru sepak bola Italia pada musim 2011-12. Ia tengah mempersiapkan skuatnya untuk Euro 2012 ketika skandal itu merebak.

Namun, Prandelli berusaha bersikap biasa. Toh ia sudah pernah menghadapi situasi yang sama: menghadapi skandal pengaturan skor. Fiorentina yang ia tangani di musim 2005-06 berhasil berubah dari sekedar tim penghindar degradasi menjadi kuda hitam perebut tiket Eropa, namun apa yang diperjuangkannya – hak berlaga di Liga Champions – dibatalkan karena skandal Calciopoli. Ia tetap bertahan dan musim selanjutnya berhasil merebut tiket ke Piala UEFA.

Prandelli terus tekun mempersiapkan skuatnya menuju Polandia-Ukraina. Ia mengeluarkan Domenico Criscito – bek Zenit St. Petersburg yang diduga terlibat dalam skandal tersebut. “Saya tidak akan membawa Criscito, karena ia tengah berada dalam tekanan yang tidak akan bisa ditanggung oleh seorang manusia,” terang Prandelli.

Prandelli telah membentuk kerangka tim masa depan dengan membawa para pemain muda seperti Mario Balotelli, Fabio Borini, Mattia De Sciglio, Lorenzo Insigne, Ciro Immobile, Marco Verratti dan Stephan El Shaarawy. Ia tak melupakan pula penghormatan kepada para pemain senior seperti Andrea Pirlo dan Gianluigi Buffon, untuk menjamin terjadinya perpindahan generasi yang lancar.

Berbeda dengan Azzurri di bawah Lippi (atau bahkan Roberto Donadoni), Prandelli membawa lebih banyak variasi taktik ke kamp latihan. Ia menggunakan 4-3-3 yang dapat berubah menjadi 3-5-2 secepat kilat, dengan Andrea Pirlo memainkan peran regista yang krusial dalam membuka ruang-ruang serang. Melimpahnya variasi taktik ini memudahkan Prandelli bereksperimen sesukanya: contoh paling akbar adalah laga persahabatan pada bulan November 2012 melawan Perancis, dimana Italia kalah 1-2 setelah memainkan pola tiga penyerang Stephan El Shaarawy, Mario Balotelli dan Antonio Candreva.

Kombinasi antara sistem pemilihan pemain yang meritokratik dengan stok pemain muda yang melimpah, membuat banyak pengamat memberanikan diri untuk memprediksikan bahwa Italia akan melangkah jauh di Brazil. Perpanjangan kontrak Prandelli bulan Mei 2014 pun disambut dengan sorak gembira.

Namun, setelah semua yang terjadi di Brazil – kekalahan dari Kosta Rika dan Uruguay – Prandelli memutuskan untuk bertanggungjawab. Semuanya. Mungkin kata-kata pengunduran dirinya tak sepahit kata-kata pak tua Marcelo Lippi ketika Italia tersungkur di babak yang sama empat tahun silam, namun ia tetap menegaskan rasa tanggungjawabnya atas semua yang telah terjadi.

Dengan tegas Prandelli berucap: “Peringkat kedua di Piala Eropa, ketiga di Piala Konfederasi dan kualifikasi yang diperoleh dengan lancar tidak boleh dianggap remeh.”

Ia bicara soal prestasinya. Mungkin ia bukanlah Lippi yang pernah menjunjung trofi Piala Dunia, namun ia adalah Cesare Claudio Prandelli, pelatih kepala tim nasional Italia, yang bertanggungjawab atas semua yang telah ia lakukan selama mengenakan jas Tricolore.

Maka dengan itu, adalah baik untuk kita memberikan sedikit apologi kepada Prandelli. Mengingat bahwa ia pernah berjasa untuk tim nasionalnya, dan kesediaannya untuk bertanggungjawab atas segala sesuatu yang tiba.

Toh, memberikan apologi tak pernah susah, kan?

18 February 2015

Jack Walker dan balada para pemilik klub sepak bola

Apa motivasi seseorang dalam membeli sebuah klub sepak bola?

Jack Walker, seorang taipan baja asli Blackburn, sejak kecil telah berdiri di teras Ewood Park, menyaksikan Ronnie Clayton dan Bryan Douglas beraksi di lapangan rumput itu. Ia turut serta merayakan kenaikan kasta The Riversiders ke Divisi Satu lama sebagai peringkat kedua Divisi Dua pada musim 1957-58, dan finalis Piala FA 1960. Sang taipan kelak membeli klub masa kecilnya itu, menunjuk Kenny Dalglish sebagai pelatih kepala dan menjuarai Premier League musim 1994-95.

Atau baiklah kita menyimak kisah Bruce Winfield, pemilik Crawley Town yang sederhana dan cuma mengendarai Toyota Prius. Ia menghabiskan ribuan poundsterling untuk menyelamatkan klub nonliga tersebut, hanya karena memori masa silamnya: berdiri di tribun lapangan tua Town Mead mendukung Crawley di Southern League. Winfield sang akuntan tak hendak membiarkan kecintaannya selama 45 tahun terkubur begitu saja oleh kebangkrutan. Ia bekerja keras membayar utang-utang klub dan The Red Devils kini duduk nyaman di League One, kasta ketiga sepakbola Inggris.

Walker dan Winfield adalah contoh paling jelas tentang bagaimana seharusnya bertindak sebagai pemilik tim sepak bola: mencintai, mengabdi dan melayani dengan sepenuh hati.

Seorang pemilik merangkap pecinta sepak bola sejati barangkali sudah jadi barang langka di dunia sepak bola yang semakin kapitalis ini. Boleh kita hitung dengan jari tinggal berapa pemilik yang benar-benar "menjiwai" kepemilikannya terhadap suatu tim sepak bola.

Lihat deretan nama pemilik klub Premier League saat ini: Arsenal dimiliki bersama oleh jutawan Uzbekistan dan Amerika Serikat, Cardiff City tunduk pada perintah pengusaha Malaysia, Fulham digasak warga Pakistan, Hull City dibungkus pengusaha Mesir, Manchester City dikuasai para sheikh Uni Emirat Arab, Southampton dipimpin warga Swiss, dan Chelsea direbut taipan Rusia. Dua puluh atau tiga puluh tahun yang lalu, siapa yang akan menyangka Premier League akan berubah sedemikian rupa?

Globalisasi bukanlah sesuatu yang dapat dihindari, terutama jika kita bicara soal sepakbola yang populer bahkan sampai ke ujung dunia sekalipun. Masuknya modal-modal asing ke tubuh klub sepakbola kebanyakan memang berdampak positif terhadap kondisi finansial klub tersebut. Namun ada sesuatu yang hilang: kecintaan, kesejatian, dan kebanggaan.

Kita tak akan heran jika Bill Kenwright, ketua Everton ikut bersorak bahagia bersama Evertonian biasa saat Steven Pienaar mencetak gol, karena ia memang putra asli Merseyside dan tumbuh besar bersama klub itu. Namun, apa kita pernah melihat Vincent Tan, sang pemilik Cardiff City yang sedikit membingungkan itu, sudi bersorak bersama suporter biasa lain di Cardiff City Stadium? Saya kira, tidak.

Para pemilik asing hanya ada di sana karena mengharapkan profit. Mereka tak memahami kulturnya, dan mereka tak mementingkan apapun selain fulus. Mereka tak punya kecintaan sejati kepada klub di hati mereka. Memerhatikan suporter? Bersorak bersama ultras? Mohon maaf, mereka hanya ingin mengeruk uang Anda.

Menunjuk seorang asing sebagai ketua klub bagaikan sebuah perjudian besar. Apa yang dapat diharapkan dari seorang pengusaha Mesir yang mengganti seenaknya nama klub Anda? Tanyakan kepada suporter Hull City, atau jika menurut nama baru dari Assem Allam sang pemilik, Hull Tigers. Dan tanyakan pula kepada para fans Fulham, apa yang mereka rasakan ketika pemiliknya, Shahid Khan, menegakkan patung Michael Jackson di depan Craven Cottage? Terhina, atau malah berbangga?

Pemilik asing terkadang juga menimbulkan kegilaan. Ahsan Ali Syed, pemilik Racing Santander, punya kisah gila saat duduk di bangku kehormatan tim asal Cantabria itu. Miguel Angel Revilla, pemegang saham minoritas bercerita bahwa "ia tak pernah sekalipun ke pertandingan sepakbola sebelumnya, dan saya duduk di sebelahnya di kotak direktur tanpa pernah berhenti tertawa. Seorang bek mengumpan bola ke belakang menuju penjaga gawang dan ia bertepuk tangan seperti seorang maniak. Ia tak tahu apapun soal sepakbola."

Italia dan Jerman punya tradisi panjang tentang kepemilikan oleh suporter sendiri - paling tidak oleh para pengusaha merangkap suporter sejati. Juventus dimiliki oleh keluarga Agnelli, salah satu industralis Italia termasyhur dan berhasrat tinggi dengan sepak bola. Kegilaan Aurelio de Laurentiis di Napoli tak lebih dari sebuah kesenangan personalnya atas sepakbola. Bundesliga punya aturan yang memastikan tiap klub harus dimiliki tak lain oleh orang-orang Jerman sendiri. Real Madrid dan Barcelona juga menutup pintu rapat-rapat dari investor asing dan menyerahkan sepenuhnya klub kepada para anggota mereka.

Sikap suporter terhadap pemilik asing sendiri kerap terbelah. Di satu sisi, ada yang bergembira menunggu duit kontan dan kucuran dana segar, bahkan kerap menjuluki sang pemilik baru sebagai juru selamat. Tapi sebagian lagi yang menjunjung tinggi tradisi, sejarah dan kebanggaan masa lalu, mencaci sang pemilik tak lebih sebagai tiran baru yang akan memutus kenangan-kenangan lampau dengan kucuran dana surgawi.

Alasan terakhirlah yang mendasari kemunculan banyaknya Supporters Trust di Inggris, atau bahkan membentuk klub sendiri, desertir dari klub asal untuk menjaga kebanggaan dan tradisi. Di Inggris, Swansea City adalah salah satu klub yang dua puluh persen sahamnya dimiliki oleh suporternya sendiri, tergabung dalam Swansea City Supporters Trust. Di liga rendah, tersebutlah nama AFC Wimbledon, Accrington Stanley, Bury, Exeter City dan Portsmouth yang mayoritas atau minoritas sahamnya dipegang oleh suporter mereka sendiri.

Mereka tak hendak menyerahkan klub mereka ke tangan investor asing. Mengutip Goenawan Mohamad, ada “kebanggaan memiliki”. Ada rasa marah karena hak direbut. Suporter bersuara lewat cara mereka sendiri, dan para tiran pemilik klub juga beroperasi dengan milik mereka sendiri.

Sepakbola modern adalah bisnis. Jika klub-klub masih dipegang oleh pemilik asing yang buta terhadap tradisi, nilai moral dan kebanggaan suporter, saya tak akan heran jika kelak ada klub yang mengubah logonya tiap enam bulan.

Outlandish: multikulturalisme dalam nada

Bicara soal multikulturalisme Eropa dalam konteks ilmu, ah, terlalu umum. Tapi, bagaimana jika multikulturalisme Eropa ditawarkan dalam bentuk hip-hop?

Outlandish menawarkan itu. Didirikan pada tahun 1997 di Brondby, Denmark, grup ini digawangi oleh Lenny Martinez, Isam Bachiri dan Waqas Ali Qadri. Ketiganya dibesarkan oleh kultur Denmark yang liberal dan tumbuh menjadi orang-orang religius, tetapi punya agama sendiri-sendiri. Lenny adalah seorang Katolik kelahiran Honduras dan keturunan Kuba, Waqas seorang Muslim keturunan Pakistan, sementara Isam merupakan Muslim kelahiran Denmark tapi berdarah Maroko.

Meskipun digawangi orang-orang religius, namun musik Outlandish sama sekali tak menyelipkan puja-puji pada Tuhan, seperti yang kita jumpai pada lagu-lagu Maher Zain atau Sami Yusuf yang mendayu-dayu. Outlandish justru menonjolkan pesan-pesan mereka lewat lirik-lirik hip-hop yang keras, kasar, penuh umpatan, namun jujur dan terbuka.

Lagu-lagu Outlandish ditulis dalam bahasa Inggris, tetapi sering juga diselingi lirik-lirik berbahasa Spanyol dari Lenny, yang menambah warna dan cita rasa musik mereka. Selingan-selingan beraroma Latin semakin menonjolkan ciri lintas budaya yang dibawa oleh grup ini. Terkadang, kata-kata Arab juga diselipkan – untuk mengingat bahwa ada dua orang keturunan Timur Tengah di grup tersebut.

Outlandish dengan jujur dan terbuka sering memulai lagu mereka dengan provokatif dan memancing pendengarnya untuk mencermati larik demi larik perkataan mereka. Meskipun lirik-liriknya tak bebas dari kata-kata kotor khas anak jalanan Eropa (dan tampaknya memang tak ada lagu hip-hop modern yang terbebas dari itu), namun jika dicermati, Outlandish membawa pesan yang jelas.

Setiap lagunya punya pesan yang berbeda-beda. Mereka membuat lagu untuk bercerita tentang diri mereka sendiri, tentang dunia yang mereka hadapi tiap hari. Mereka tak melulu membuat lagu-lagu cinta cengeng, tetapi berusaha berkisah soal persoalan-persoalan sosial.

Mano a Mano, misalnya, bercerita soal penolakan mereka terhadap kapitalisme. Walou berkisah soal seorang anak imigran yang ditinggalkan orang tuanya, atau Guantanamo yang menarasikan seorang tahanan teroris di penjara milik Amerika yang telah kadung terkenal itu.

Outlandish tidak membahas soal hal-hal rumit seperti cinta, tapi lebih tertarik membahas soal kemiskinan, kelaparan dan ketidakadilan. Dan di situlah keistimewaan mereaka.

Album pertama mereka, Outland’s Official yang diluncurkan pada tahun 2000, menampilkan dengan baik sisi multikultur ini. Lagu-lagu yang ditampilkan mengandung pesan yang mencerminkan generasi baru Eropa: tumbuh besar di lingkungan liberal, berkembang dengan gaya mereka, tetapi tetap menjunjung tinggi agama. Antara lagu-lagu yang terkenal dari album adalah Walou, Renovadores dan The Bond Between Us, yang kemudian menjadi modal mereka untuk menanjak di kancah musik hip-hop Benua Biru.

Dalam album kedua, Bread & Barrels of Water (2002), Outlandish malah lebih berani lagi.

Mereka menggubah El Moro, yang liriknya bicara soal karakter mereka. Moro, atau Moors, adalah sebutan orang Eropa abad pertengahan untuk kaum Muslim Berber dari Afrika Utara, yang dahulu menguasai Andalusia selama berabad-abad, tapi kemudian terkalahkan dan jadi bangsa tersiksa di bawah para inkuisitor Spanyol. Sampai sekarang, kata tersebut masih kerap digunakan oleh orang-orang Eropa untuk merujuk kaum Muslim dari Afrika Utara. Namun, Outlandish menolak menyematkan sebutan itu kepada Isam seorang (yang memang keturunan Maroko).

Kira-kira begini pesannya: kami semua adalah Moro, kami semua adalah orang yang tersiksa, kaum yang marjinal. Orang-orang Latin seperti Lenny mendapat diskriminasi rasial di Amerika Serikat, sementara para imigran dari anak benua seperti Waqas dipandang rendah di Inggris. Mereka semua adalah Moro, mereka semua keturunan orang tertindas, dan tak ada kata lain yang pas untuk merepresentasikannya. Outlandish dengan pas merepresentasikannya.

Dalam Guantanamo, yang juga ada dalam album kedua, Outlandish berhasil mencuri momen. Dunia yang tengah terkejut oleh serangan 11 September 2001, berusaha mengambil perhatian serius dengan terorisme: dan tentu saja mengetahui soal penjara Guantanamo yang dipakai untuk menahan para narapidana teroris itu. Outlandish dengan baik sekali menarasikan tentang gambaran tanah Kuba yang indah, tetapi kadung tercoreng sebagai tempatnya para teroris.

Dalam album ketiga, Closer Than Veins (2005), trio ini tampaknya berupaya tampil lebih membumi dan religius. Nama albumnya sendiri, yang lebih kurang berarti “lebih dekat daripada urat”, mengingatkan kita akan ayat ke-16 surah al-Qaaf, “dan sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.

Upaya untuk tampil religius ini tercermin dalam lagu I Only Ask of God, yang tampaknya bercerita tentang seorang hamba yang memerlukan bimbingan Tuhannya. Namun, lagu ini tak menyelipkan puja-puji atau kalimat takbir, tauhid dan tahmid, melainkan sebuah permohonan yang sangat pribadi.  I only ask of God, kata mereka. He won’t let me indifferent to the wars.

Outlandish menolak mengikuti arus zaman, dan memilih berdoa dengan gaya mereka sendiri. Mereka memberikan perspektif baru dalam hip-hop. Bahwa musik dapat menjadi sarana untuk menonjolkan multikulturalisme dan menampilkan pesan-pesan perdamaian. Grup ini menunjukkan bahwa musik bersifat universal: lintas budaya, lintas agama dan lintas batas.

Singkat kata pendek cerita, Outlandish adalah multikulturalisme dalam nada.