18 February 2015

Outlandish: multikulturalisme dalam nada

Bicara soal multikulturalisme Eropa dalam konteks ilmu, ah, terlalu umum. Tapi, bagaimana jika multikulturalisme Eropa ditawarkan dalam bentuk hip-hop?

Outlandish menawarkan itu. Didirikan pada tahun 1997 di Brondby, Denmark, grup ini digawangi oleh Lenny Martinez, Isam Bachiri dan Waqas Ali Qadri. Ketiganya dibesarkan oleh kultur Denmark yang liberal dan tumbuh menjadi orang-orang religius, tetapi punya agama sendiri-sendiri. Lenny adalah seorang Katolik kelahiran Honduras dan keturunan Kuba, Waqas seorang Muslim keturunan Pakistan, sementara Isam merupakan Muslim kelahiran Denmark tapi berdarah Maroko.

Meskipun digawangi orang-orang religius, namun musik Outlandish sama sekali tak menyelipkan puja-puji pada Tuhan, seperti yang kita jumpai pada lagu-lagu Maher Zain atau Sami Yusuf yang mendayu-dayu. Outlandish justru menonjolkan pesan-pesan mereka lewat lirik-lirik hip-hop yang keras, kasar, penuh umpatan, namun jujur dan terbuka.

Lagu-lagu Outlandish ditulis dalam bahasa Inggris, tetapi sering juga diselingi lirik-lirik berbahasa Spanyol dari Lenny, yang menambah warna dan cita rasa musik mereka. Selingan-selingan beraroma Latin semakin menonjolkan ciri lintas budaya yang dibawa oleh grup ini. Terkadang, kata-kata Arab juga diselipkan – untuk mengingat bahwa ada dua orang keturunan Timur Tengah di grup tersebut.

Outlandish dengan jujur dan terbuka sering memulai lagu mereka dengan provokatif dan memancing pendengarnya untuk mencermati larik demi larik perkataan mereka. Meskipun lirik-liriknya tak bebas dari kata-kata kotor khas anak jalanan Eropa (dan tampaknya memang tak ada lagu hip-hop modern yang terbebas dari itu), namun jika dicermati, Outlandish membawa pesan yang jelas.

Setiap lagunya punya pesan yang berbeda-beda. Mereka membuat lagu untuk bercerita tentang diri mereka sendiri, tentang dunia yang mereka hadapi tiap hari. Mereka tak melulu membuat lagu-lagu cinta cengeng, tetapi berusaha berkisah soal persoalan-persoalan sosial.

Mano a Mano, misalnya, bercerita soal penolakan mereka terhadap kapitalisme. Walou berkisah soal seorang anak imigran yang ditinggalkan orang tuanya, atau Guantanamo yang menarasikan seorang tahanan teroris di penjara milik Amerika yang telah kadung terkenal itu.

Outlandish tidak membahas soal hal-hal rumit seperti cinta, tapi lebih tertarik membahas soal kemiskinan, kelaparan dan ketidakadilan. Dan di situlah keistimewaan mereaka.

Album pertama mereka, Outland’s Official yang diluncurkan pada tahun 2000, menampilkan dengan baik sisi multikultur ini. Lagu-lagu yang ditampilkan mengandung pesan yang mencerminkan generasi baru Eropa: tumbuh besar di lingkungan liberal, berkembang dengan gaya mereka, tetapi tetap menjunjung tinggi agama. Antara lagu-lagu yang terkenal dari album adalah Walou, Renovadores dan The Bond Between Us, yang kemudian menjadi modal mereka untuk menanjak di kancah musik hip-hop Benua Biru.

Dalam album kedua, Bread & Barrels of Water (2002), Outlandish malah lebih berani lagi.

Mereka menggubah El Moro, yang liriknya bicara soal karakter mereka. Moro, atau Moors, adalah sebutan orang Eropa abad pertengahan untuk kaum Muslim Berber dari Afrika Utara, yang dahulu menguasai Andalusia selama berabad-abad, tapi kemudian terkalahkan dan jadi bangsa tersiksa di bawah para inkuisitor Spanyol. Sampai sekarang, kata tersebut masih kerap digunakan oleh orang-orang Eropa untuk merujuk kaum Muslim dari Afrika Utara. Namun, Outlandish menolak menyematkan sebutan itu kepada Isam seorang (yang memang keturunan Maroko).

Kira-kira begini pesannya: kami semua adalah Moro, kami semua adalah orang yang tersiksa, kaum yang marjinal. Orang-orang Latin seperti Lenny mendapat diskriminasi rasial di Amerika Serikat, sementara para imigran dari anak benua seperti Waqas dipandang rendah di Inggris. Mereka semua adalah Moro, mereka semua keturunan orang tertindas, dan tak ada kata lain yang pas untuk merepresentasikannya. Outlandish dengan pas merepresentasikannya.

Dalam Guantanamo, yang juga ada dalam album kedua, Outlandish berhasil mencuri momen. Dunia yang tengah terkejut oleh serangan 11 September 2001, berusaha mengambil perhatian serius dengan terorisme: dan tentu saja mengetahui soal penjara Guantanamo yang dipakai untuk menahan para narapidana teroris itu. Outlandish dengan baik sekali menarasikan tentang gambaran tanah Kuba yang indah, tetapi kadung tercoreng sebagai tempatnya para teroris.

Dalam album ketiga, Closer Than Veins (2005), trio ini tampaknya berupaya tampil lebih membumi dan religius. Nama albumnya sendiri, yang lebih kurang berarti “lebih dekat daripada urat”, mengingatkan kita akan ayat ke-16 surah al-Qaaf, “dan sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.

Upaya untuk tampil religius ini tercermin dalam lagu I Only Ask of God, yang tampaknya bercerita tentang seorang hamba yang memerlukan bimbingan Tuhannya. Namun, lagu ini tak menyelipkan puja-puji atau kalimat takbir, tauhid dan tahmid, melainkan sebuah permohonan yang sangat pribadi.  I only ask of God, kata mereka. He won’t let me indifferent to the wars.

Outlandish menolak mengikuti arus zaman, dan memilih berdoa dengan gaya mereka sendiri. Mereka memberikan perspektif baru dalam hip-hop. Bahwa musik dapat menjadi sarana untuk menonjolkan multikulturalisme dan menampilkan pesan-pesan perdamaian. Grup ini menunjukkan bahwa musik bersifat universal: lintas budaya, lintas agama dan lintas batas.

Singkat kata pendek cerita, Outlandish adalah multikulturalisme dalam nada.

No comments:

Post a Comment