Ramadan, bulan dimana umat membayar zakat fitrah, barangkali sudah lama lewat. Tetapi sampai hari ini, setiap mendengar kata "zakat" dikumandangkan, saya selalu teringat puisi Fakhrunnas M.A. Jabbar yang saya temukan di kolong meja guru ketika SMP dulu (kok bisa? entahlah).
sejumlah santri dan sejumlah ustadz
berdebat soal zakat sampai tak tamat-tamat
padahal pelajaran berzakat itu kurikulum wajib tiap saat
maka sang ustadz pun memberi pelajaran pertama:
andai kalian punya harta 1,3 trilun rupiah saja
harta itu dipakai jadi roti, jadi kopi, jadi kursi
jadi baju, jadi nafsu, jadi sapu, jadi babu
jadi apa sejadi-jadi
sepanjang usia seribu bulan
berapakah zakatnya?
para santri pun bermain jari
membilang-bilang sampai letih
tak teliti, diganti para akuntan negeri
tak ke tepi, diimpor ribuan kalkulator canggih
aneh, soal menambah bisa mengali bisa mengurang bisa
kalkulator itu macet saat membagi
di layar monitor terbaca: error
maka sang ustadz pun memberi pelajaran kedua:
andai kalian punyai harta 1,3 triliun rupiah saja
saat-saat lebaran
saat si miskin dan si yatim menebar harapan
berapa persen dari bungan simpanan yang miliaran
tercampakkan buat mereka?
sementara wajah kusam, mulut menganga, tubuh kerontang
baju compang dan dengus nafas tertahan
menanti jam-jam kelaparan
jangan pakai kalkulator bila takut membagi
maka sang ustadz pun memberi pelajaran ketiga :
andai kalian punya harta 1,3 triliun rupiah saja
saat derit derita melata di Palestina, Somalia, Afghanistan
dan Bosnia
ada yang terampas dari nurani saudara-saudara kita
harga diri dan kehormatan si jelita
berapakah peruntukanmu bagi sukarelawan di sana
berapa buat beli senjata dan embarkasi, beli gandum dan roti?
berapa buat rehabilitasi mushalla dan sekolah agama?
berapa buat fi sabilillah?
sejumlah santri dan sejumlah ustadz
berdebat soal zakat sampai tak tamat-tamat
padahal berzakat mata pelajaran wajib sampai lahat.
No comments:
Post a Comment