25 May 2014

Kemana para penyerang lokal kita?

Konon, kunci kesuksesan persepakbolaan di sebuah negara adalah pembinaan pemain muda yang berkelanjutan. Dan lini serang adalah lini yang paling krusial untuk pembinaan.

Namun, sepanjang sejarah sepak bola Indonesia, klub-klub kasta pertama lebih suka menggunakan jasa penyerang asing untuk klub mereka. Tak heran, jika para penyerang lokal kerap terpuruk, atau bahkan tergilas sama sekali oleh para juru gedor asing yang datang berbondong-bondong memenuhi liga.

Mari kita mulai dari era Divisi Utama, sejak nama itu mulai dipakai sebagai nama kasta tertinggi sepak bola Indonesia.

Sejarah mencatat, dalam tiga musim terakhir penyelenggaraan Divisi Utama Liga Indonesia sebagai kasta tertinggi sepak bola negeri ini, anugerah pencetak gol terbanyak selalu jatuh kepada mereka yang bukan warga Indonesia dan bukan ditempa oleh jaringan pembinaan pemain muda Indonesia: Cristian Gonzales, saat itu masih warga negara Uruguay, memborong titel pencetak gol terbanyak dari musim 2005 hingga 2007-08, semuanya bersama Persik Kediri.

Dan yang [tak] lebih mengejutkan, hanya ada empat pemain asli Indonesia yang ditempa oleh pembinaan pemain muda Indonesia selama 14 tahun Divisi Utama sebagai kasta tertinggi: Peri Sandria, Kurniawan Dwi Yulianto dan Ilham Jaya Kesuma (yang merebutnya dua kali).

Selebihnya? Diborong antara para penyerang Afrika seperti Alain Mabenda dan Sadissou Bako, para juru gedor Amerika Latin seperti Oscar Aravena dan Jacksen F. Tiago, atau bahkan jatuh kepada seorang Eropa, dalam rupa Dejan Gluscevic.

Ketidakberdayaan para juru gedor lokal untuk menembus hegemoni striker impor dari luar selama era Divisi Utama pun berbanding lurus dengan kualitas lini serang timnas pada era yang sama. Setelah penyatuan Galatama dan Perserikatan menjadi Divisi Utama pada tahun 1994 sampai turun pangkat jadi kasta kedua 2008, tim nasional senior setidaknya telah bermain di empat fase grup Piala Asia dan tujuh Piala AFF.

Dalam empat kesempatan berlaga di fase grup Piala Asia (dari 1996 hingga 2007), Indonesia “cuma” mencetak sembilan gol. Kita bahkan tak mencetak  sebiji gol pun di fase grup Piala Asia 2000, meskipun menggelontorkan 18 gol di babak kualifikasi!

Dalam ukuran Piala AFF, Indonesia mencetak 106 gol dalam tujuh kali penyelenggaraan turnamen itu dalam rentang 1994-2008: dan finis tiga kali sebagai peringkat kedua. Itu berarti kita mencetak rata-rata 15.14 gol setiap turnamen. Dibandingkan dengan – katakanlah –Malaysia (yang mengemas 64 gol dari 7 keikusertaan, rataan 9.14), jelas memang para penyerang kita lebih produktif, setidaknya pada rentang itu.

Namun patut diingat: pada rentang yang sama merajalelanya penyerang asing sebagai pencetak gol terbanyak di Divisi Utama, para penyerang Malaysia cukup bisa mengimbangi pengaruh penyerang asing di liga mereka sendiri. Enam pemain lokal berbeda berhasil menjadi pencetak gol terbanyak Liga Super Malaysia antara 1994 hingga 2008, dengan Mohd Hashim Mustapha masih menjadi pemegang rekor pencetak gol terbanyak dalam satu musim dengan 25 gol bersama Kelantan FA pada musim 1994.

Memasuki era Liga Super Indonesia, Boaz Solossa memang menjadi pencetak gol terbanyak di musim pertama, 2008-09. Namun patut dicatat, Cristian Gonzales sama tajamnya: orang Uruguay ini mencetak gol dengan jumlah yang sama dengan Boaz. Selain itu, di antara para pemain yang berhasil mencetak 10 gol ke atas, jumlah gol yang dicetak pemain asing (214 gol) jauh lebih banyak daripada gol yang dicetak pemain lokal (104 gol).

Ketimpangan itu berwujud selisih 110 gol!

Pun di musim selanjutnya, penyerang asing masih mendominasi daftar pencetak gol terbanyak. Aldo Barreto menjadi pemuncak dengan 19 gol berseragam Bontang FC, sementara cuma ada dua pemain lokal yang mampu menembus batas 15 gol: Boaz di Persipura dan Muhammad Isnaini di PSPS Pekanbaru (Cristian Gonzales masih berpanji Uruguay saat musim berakhir). Pencetak gol terbanyak sang juara, Arema, pun bukan orang lokal, melainkan Noh Alam Shah dari Singapura.

Hal ini berkorelasi dengan prestasi Indonesia di kancah internasional. Alfred Riedl membawa lima penyerang ke Piala AFF 2010: Gonzales, Johan Juansyah, Irfan Bachdim, Bambang Pamungkas dan Yongki Aribowo. Gonzales mencetak 18 gol, Juansyah hanya mencetak tiga gol untuk Persijap di musim 2009-10, Bepe dengan 14 gol, Bachdim tak main di ISL dan Yongki dengan tujuh gol di Persik Kediri.

Secara kolektif, Indonesia membawa lima penyerang dengan total 42 gol di liga. Jika dibandingkan dengan Malaysia, misalnya, mereka membawa empat penyerang: Norshahrul Idlan Talaha, Safee Sali, Izzaq Faris Ramlan dan Ashaari Shamsuddin. Idlan mencetak 11 gol untuk Kelantan di musim sebelumnya, Safee dengan 12 gol untuk Selangor, Izzaq belum bermain di Liga Super dan Ashaari dengan 18 gol untuk Terengganu. Malaysia membawa empat penyerang yang mencetak 41 gol di liga lokal mereka sendiri.

Fakta kelak memang berbicara di lapangan. Kuartet Malaysia memborong 8 gol selama turnamen, sementara lima penyerang Indonesia hanya bisa membungkus tujuh gol.

ISL pada musim-musim berikut pun masih mempertontonkan kedigdayaan penyerang asing dibanding penyerang lokal. Boaz memenangi sepatu emas musim 2010-11 dengan 22 gol, tetapi bahkan tak ada pemain lokal yang menembus setidaknya 15 gol. Beto Goncalves memuncaki tabel pencetak gol pada musim selanjutnya dengan 25 gol, dan cuma enam penyerang lokal yang mampu mencetak 10 gol ke atas (dibanding 18 pemain asing). Di liga “tetangga pemberontak”, Liga Prima, Ferdinand Sinaga memang merebut sepatu emas dengan 15 gol, tetapi hanya tiga pemain Indonesia yang mampu menembus 10 gol (dibanding empat pemain asing).

Ketimpangan produktivitas antara pemain asing dan lokal masih terasa hingga Liga Super musim lalu. Memang sudah ada tiga penyerang lokal yang menembus 15 gol musim lalu dan Boaz Solossa kembali menjadi pemuncak dengan 25 gol, tetapi jumlah pemain asing yang sama-sama mencetak 15 gol ke atas adalah dua kali lipat dari jumlah pemain lokal. Bahkan jika dihitung memakai ukuran “pemain Indonesia yang dibina di klub Indonesia”, musim lalu hanya menyisakan Boaz sebagai “penyerang Indonesia murni”, karena Sergio van Dijk dan Gonzales jelas hasil naturalisasi.

Dan di Liga Super musim ini, belum ada penyerang lokal yang mampu menembus 10 gol – tetapi Pacho Kenmogne, juru gedor Kamerun milik Persebaya, justru sudah mencetak 11 gol. Lebih ironis lagi, klub macam Semen Padang harus bertumpu pada winger (alih-alih striker) asing seperi Esteban Vizcarra sebagai mesin gol utamanya.

Ketimpangan semacam ini tampaknya masih akan terus berjalan jika tidak ada upaya untuk membenahinya. Berjalannya Liga Super U-21 belum memecahkan masalah. Lihat Aditya Putra Dewa, pencetak gol terbanyak LSI U-21 musim 2008-09 dari PSM Makassar, yang kini terpaksa pergi dari Makassar menuju Persepam Madura United lantaran gaji yang kerap telat dan jarang dimasukkan ke skuat inti. Perhatikan pula Aldeir Makatindu, pencetak gol terbanyak dua musim berturut-turut bersama Persisam U-21 yang kini tersisih karena kehadiran Ilija Spasojevic sebagai bomber utama skuat Pusam.

Sudah saatnya kita memerhatikan lebih jauh lagi masa depan para penyerang lokal. Para penyerang asing sudah terlalu lama mencengkeram di tiap klub Indonesia, sehingga para pelatih lokal yang terpesona oleh bakat mereka memilih untuk melupakan (atau bahkan membuang jauh-jauh) talenta juru gedor lokal.

Barangkali solusinya memang adalah pelarangan pemain asin, seperti yang dilakukan Galatama dulu. Selama era pelarangan pemain asing, Galatama menampilkan talenta-talenta penggedor lokal yang luar biasa, seperti Bambang Nurdiansyah, Ricky Yacobi dan Ansyari Lubis. Hasilnya pun manis: dua kali mendulang medali emas sepak bola di SEA Games.

Melarang sepenuhnya pemain asing memang suatu pil pahit untuk popularitas liga, tapi apa boleh bikin kalau tak hendak melihat para penyerang timnas kepayahan menembus pertahanan lawan di kancah internasional hanya lantaran jarang dimainkan di klubnya sendiri?

11 May 2014

Karena PSPS (ternyata) masih ada

Sejujurnya, saya tak pernah benar-benar bisa menggemari PSPS Pekanbaru, walaupun saya tumbuh besar di kota ini.

Dulu saya beranggapan bahwa level permainan PSPS jauh sekali di bawah Semen Padang – klub yang saya gemari dan imani sedari kecil. Saya tak pernah bisa menganggap PSPS sebagai lawan yang setimpal dengan Kabau Sirah. Sejak saya pindah ke Pekanbaru pada tahun 2003 sekalipun, saya tak pernah menonton langsung pertandingan PSPS di Pekanbaru, atau bahkan untuk sekadar ambil pusing soal hasil-hasil pertandingan terbaru sang Asykar Bertuah.

Namun, manusia memang dilahirkan untuk cepat melupakan. Anggapan ini memudar seiring waktu berjalan.

Dalam tiga tahun terakhir, saya duduk di bangku SMP. Bergaul dengan bermacam-macam orang, juga bermacam-macam afiliasi klubnya. Saya mulai menaruh perhatian terhadap sepak bola lokal – setelah dari dulu dicekoki tontonan liga seberang laut macam Inggris dan Italia – dan menemukan bahwa sepak bola Indonesia adalah tontonan yang sangat menarik. Ada berbagai percampuran budaya di sana. Ada cerminan kehidupan rakyat di sana.

Dan saya, tiap memperkenalkan diri berasal dari Pekanbaru, selalu ditanyai dengan sebaris kalimat berakhiran tanda tanya tiap kali berbicara dengan sesama penggemar sepak bola lokal: “pasti fans PSPS ya?”

Mau tidak mau, dalam beberapa tahun terakhir saya menaruh perhatian khusus terhadap klub yang satu ini. Saya mulai menonton beberapa pertandingan PSPS di televisi – yang sayangnya, tak pernah rutin ditayangkan. Apalagi setelah PSPS terlempar dari kasta tertinggi sepak bola Indonesia, Liga Super Indonesia. Laga-laga mereka tak pernah lagi  ditayangkan televisi nasional – atau bahkan sekedar dikomentari oleh radio lokal Pekanbaru.

Mau tidak mau, satu-satunya cara untuk menyimak langsung tim putih-biru ini adalah dengan menontonnya langsung ke Stadion Kaharuddin Nasution, tempat klub ini berkandang.

Pertama kali saya menonton PSPS bermain langsung di stadionnya adalah beberapa bulan yang lalu, yang saya kira merupakan sebuah keterlambatan yang amat sangat terlambat dari seseorang yang tumbuh dan besar di kota ini. Namun, sekali lagi, better late than never.

Hari ini saya berkesempatan menonton lagi sang Asykar Bertuah. PSPS akan menghadapi PSMS Medan dalam laga lanjutan Divisi Utama Liga Indonesia. Sekedar catatan, kelanjutan kompetisi ini sempat ditunda karena “situasi keamanan yang kurang kondusif menjelang pemilihan umum” (ya, sangat normatif sekali alasannya), dan sejauh ini PSPS sendiri baru main dua kali dengan meraup enam poin penuh, sementara sang tamu Ayam Kinantan masih belum pernah menang.

Ada dua kesimpulan yang saya tarik saat menaiki tangga-tangga berundak Kaharuddin Nasution.

Yang pertama adalah: ini adalah laga yang sebenarnya.

Saya belum pernah menonton sekalipun pertandingan liga Indonesia yang sebenarnya. Di Padang, saya sempat menonton beberapa laga Semen Padang saat mereka masih berkompetisi di kancah Indonesia Premier League, yang semua tahu bahwa meski itu merupakan kompetisi yang (konon) resmi dibawah lindungan PSSI, namun pamornya masih kalah (dengan sangat telak) dan pesaingnya, Indonesia Super League.

Animo masyarakat Padang terhadap laga-laga SP di IPL pun tak sebesar kala SP melawan klub-klub IPL seperti Persib, Persija atau Arema, sebab musababnya SP cuma menghadapi tim recehan selama berkiprah di IPL (kecuali tentu saja, klub alumnus ISL seperti Persibo, PSM dan Persebaya). Kali pertama saya menonton PSPS adalah sebuah latih tanding yang tak ubahnya kancah testing the water saja.

Namun kali ini, saya akan menonton laga liga yang sebenarnya, meski cuma pertandingan Divisi Utama yang notabene merupakan kasta kedua dalam jenjang sepak bola negeri ini.

Kesimpulan kedua: saya akan duduk di tribun VIP barat, persis di samping tribun utara, tempatnya Curva Nord.

Pendukung tim-tim sepak bola Italia  tentulah mengenal tradisi curva dalam kebudayaan sepak bola Italia. Para suporter fanatik yang bergoyang sambil mengibar-ibarkan kaus hitam mereka di udara selama puluhan menit sambil menempati lengkung sempit di utara dan selatan stadion. Mereka kerap disebut ultras, pendukung fanatik suatu klub dengan identitas misterius, mengoarkan yel-yel dan spanduk-spanduk, membentuk koreografi-koreografi menakjubkan, bahkan kadang tak segan untuk baku hantam membela panji klubnya. Belakangan tradisi seperti ini menyeruak masuk ke dalam budaya suporter sepak bola Indonesia, seperti munculnya Brigata Curva Sud yang fenomenal di Sleman.

Dan Pekanbaru juga punya curva-nya sendiri. Kelompok ini dinamai Curva Nord 1955. Sesuai namanya, kelompok ini bermukim permanen di tribun utara Stadion Kaharuddin Nasution.
Sebenarnya PSPS juga mempunyai kelompok suporter yang lain, bernama Asykar Theking. Kelompok ini lebih populer ketimbang Curva Nord karena merupakan kelompok yang diakui resmi oleh klub, dan menempati tribun selatan stadion.

Saat pertama kali saya menonton di Kaharuddin Nasution, saya mendapat tiket VIP Timur yang terletak bersebelahan dengan tribun selatan, tempat kelompok ini berada. Dan saya cukup terkesan akan totalitas dan loyalitas mereka terhadap PSPS.

Namun, ternyata Curva Nord jauh lebih ekspresif dari yang saya bayangkan. Mereka sanggup berputar-putar di tribun utara nan panas itu selama satu setengah jam, beberapa kali bahkan melepas pakaian mereka dan memutar-mutarkannya ke udara. Mereka juga menampilkan spanduk-spanduk, mulai dari yang berbau regionalitas (“CN cabang ini dukung PSPS selalu!”) hingga yang berbau filosofis (ada spanduk CN bertuliskan “marwah Riau” di sepanjang pagar pembatas tribun utara).

Setelah menarik dua kesimpulan di atas, saya duduk di tribun VIP Barat. Terik sore matahari Pekanbaru tampak mulai meredup. Peluit wasit telah disalakkan. Saya ternyata terlambat masuk lima menit.

Saya baru sadar satu hal yang berubah saat pembawa acara meneriakkan kata “PSPS Riau” saat Andre Abubakar menyarangkan gol ke gawang Ayam Kinantan sepuluh menit setelah saya masuk stadion. Ternyata PSPS Pekanbaru kini bukan lagi mewakili Kota Pekanbaru saja, melainkan juga seluruh Riau.

Inilah hebatnya sepak bola. Ia bisa jadi pragmatis dan konservatif dalam rentang waktu yang tak begitu jauh. Dalam kasus PSPS, pergantian nama merupakan sesuatu yang sudah lazim terjadi.

Sejak ISL 2013, PSPS sudah beberapa kali berganti nama. Pertama kali saat klub ini “diselamatkan” oleh Bupati Kampar, yang berjanji memperbaiki kondisi finansial klub. Alhasil, PSPS diboyong keluar dari kota kelahirannya menuju Bangkinang, ibu kota Kabupaten Kampar nun lima puluh kilometer sebelah barat Pekanbaru. Mereka bermain di Stadion Tuanku Tambusai dan mulai menggunakan PSPS Kampar Riau. Artinya mereka bermain sebagai Persatuan Sepak Bola Pekanbaru dan Sekitarnya Kampar Riau [sic].

Namun, masa pengungsian Asykar Bertuah di Bangkinang tak lama. Mereka pulang ke Pekanbaru setelah sang bupati angkat tangan dalam mengatasi masalah finansial. PSPS terpuruk di klasemen ISL – menempati posisi juru kunci, empat kali menang, perbedaan gol -81 dan cuma mengoleksi 17 poin dari total 34 pertandingan. Mereka pun tergusur dari kasta tertinggi.

Setelah naiknya Maman Supriadi sebagai manajer baru PSPS sekitar bulan April tahun ini, PSPS berubah nama lagi menjadi PSPS Riau. Maman – notabene menantu dari Gubernur Riau Annas Maamun – mengganti logo PSPS. Logo lama yang mengandung lambang Kota Pekanbaru diganti dengan lambang warna hijau Provinsi Riau. Tidak ada yang pernah mencatat  alasan jelas dari pergantian nama ini, selain keterangan bahwa Pemerintah Provinsi hanya bersifat mendukung penuh.

Dan sepengamatan saya, Asykar Theking tampaknya belum menerima perubahan logo baru itu. Logo lama dengan lambang Pemerintah Kota masih terpasang di banner mereka. Beda dengan Brigata, yang cepat tanggap dengan memasang logo Pemprov Riau di banner yang bertuliskan “Marwah  Riau”.

Ternyata PSPS memang sudah tak jadi kebanggan Pekanbaru saja, tapi juga Riau secara keseluruhan.

Babak kedua telah berakhir. Sayup-sayup lagu-lagu pop Indonesia berkumandang dari tempat panpel duduk.

Sejenak saya perhatikan ambulans yang disiagakan panpel untuk mengangkut pemain yang cedera. Ada logo Pemprov Riau di sana, tapi minus tulisan PSPS. Wah, menarik juga, pikir saya. Lalu ada tulisan Universitas Riau di samping kanannya. Ini pasti dari RS Unri, saya pikir lagi.

Namun, di bawah tulisan Universitas Riau itu, ada tulisan tegas, ditulis dengan huruf kapital warna merah.

BANTUAN BUPATI ROKAN HILIR, H. ANNAS MAAMUN.

Annas, yang kini menjabat Gubernur Riau, sebelumnya memang menjabat sebagai Bupati Rokan Hilir, sekaligus pemimpin Partai Golongan Karya di provinsi ini. Dan saya perhatikan mobil ambulansnya, masih baru dan berkilau. Tampaknya masih kinclong dari ruang pameran.

Saya putuskan untuk tak memerhatikan ambulans itu, dan melihat gocekan pemain PSPS di lapangan.
Asykar Theking mulai riuh di awal babak kedua. Mereka menyanyikan “kuyakin pasti kau menang” menggunakan irama I Believe I Can Fly-nya R. Kelly. Unik, sekaligus syahdu.

Dan hukum aksi-reaksi memang selalu ada di sepak bola. Sepenanakan nasi setelah Asykar Theking selesai bernyanyi, Curva Nord membalasnya dengan atraksi buka baju dan memutar-mutarkannya ke udara. Eksplosif.

Matahari tinggal sepenggalahan lagi untuk terbenam. Sementara pertandingan masih lama.

Tensi pertandingan makin panas. Pelatih Asykar Bertuah, Philip Hansen Maramis, sudah berkali-kali keluar dari bangku cadangan ke garis pinggir lapangan untuk memberi komando. Hal yang sama juga dilakukan pelatih PSMS, yang saya tidak tahu namanya.

Sekitar menit ke-60, terjadi screamage di gawang PSMS. Entah bagaimana caranya, dua striker PSPS dikerumuni lima hingga enam orang barisan belakang PSMS. Mungkin mereka menerapkan strategi kerubuti-kerubuti-kerubuti, sehingga terjadilah handsball pada salah satu penggalang pertahanan PSMS.

Awalnya PSMS berusaha menampik. Keributan sempat terjadi selama lima menit karena pemain PSMS berusaha untuk meyakinkan wasit bahwa handsball  yang dituduhkan tak pernah terjadi. Namun untungnya, wasit berpendirian teguh. Ia menunjuk titik putih. Novrianto maju, dan dengan tenang menceploskan si kulit bundar ke gawang si Ayam Kinantan. Stadion kontan bergoyang.

Beberapa menit setelah eksekusi penalti itu, kepala salah satu striker PSPS menjadi sasaran gasakan oleh bek PSMS. Mungkin sang bek tak puas dengan penalti yang diberikan wasit. Namun, wasit bergeming. Tak ada tindakan untuk gasakan itu. Namun, saat sang pemain ditarik keluar kira-kira lima menit kemudian, ia mendapat sorakan sinis dari tribun tertutup.

Hah, sepak bola itu memang keras!

Tiga menit berselang setelah ditariknya sang bek tukang gasak itu sebelum terjadi lagi keributan di gawang PSPS. Kiper Adi Candra didorong salah satu penyerang PSMS, menyebabkan bergemuruhnya tribun selatan tempat Asykar Theking bermukim. Sang kiper terjatuh dan tampak kesakitan. Penghuni tribun makin garang, tapi wasit bergeming. Tak ada tindakan.

Baru pada menit delapan puluhan, serangan PSPS membuahkan hasil. Lewat kerja sama lini tengah yang digalang Firman Septiadi dan Ifrawadi, Andre Abubakar berhasil menceploskan bola liar yang beredar di kotak dua belas pas PSMS. 3-1 untuk PSPS.

Setelah gol ketiga, penghuni tribun – baik utara maupun selatan – merasa mulai di atas  angin. Asykar Theking menyanyikan chants-nya yang terkenal retoris, “Siapa Suruh Lawan PSPS?”.

Dan nyatanya, memang PSMS tak memegang kendali lagi dalam sepuluh menit terakhir laga. Stadion bergoyang. CN menyalakan suar dan kembang api.

Satu pertandingan usai sudah. Asykar Bertuah ternyata memang masih ada, dan mereka berjaya.

Perjalanan pulang ternyata lebih sulit ketimbang perjalanan berangkat. Selain konvoi ratusan sepeda motor pendukung PSPS yang mengibarkan bendera biru, warna tradisional mereka. Macet juga terjadi, terutama karena sore itu hanya satu jembatan yang difungsikan: Jembatan Siak I, yang dibangun Belanda puluhan tahun lampau dan populer sebagai Jembatan Leighton.

Jembatan Siak III, yang berwarna kuning cerah dan baru siap dibangun tahun lalu, harus menjalani “perbaikan”. Saya sendiri heran mengapa konstruksi penjajah jauh lebih awet ketimbang jembatan yang dibangun kita sendiri.

Keheranan itu buyar seketika. Saya melihat seorang pendukung PSPS memakai baju kaus biru, dibonceng temannya di atas motor. Bagian belakang kausnya terpatri tulisan, “Ultras No Politica.” Ultras tak berpolitik.

Sejenak pikiran saya melayang lagi ke ambulans yang siaga di bawah tribun tadi. Sungguh kontras dengan tulisan yang terpatri di kaus ini.

Ah, saya menelan ludah. Pahit.

Pada 26 April 2014 yang silam, saya menonton pertandingan PSPS vs PSMS di Stadion Kaharuddin Nasution. Sebenarnya tulisan ini sudah lama selesai, namun terbengkalai begitu saja di folder tulisan. Baru hari ini saya berminat lagi untuk melengkapi dan mengeditnya.

09 May 2014

Pre-exam notes

Tomorrow will be the last day we face the mid-semester test.

I don't always worry about my results. I've do what I can and the rest, I don't care. I've write what they want and I've answered what they ask.

Strange, huh? I don't think so.

I never think examination is a scary thing. The exam did not come to you in a form of mythical creature from a cave or an electrical chair that will punish you. The exam never come to you in form of Joseph Goebbels's S.S. force or Benito Mussolini's fascist youth. The exam is only a piece of written paper, several hour time, a pen and God in your side, nothing less.

I can't fully understand those who feel scared or haunted during the exam. They said exam can make your brain explode and push you to your maximal thinking limit. I offered my sympathy for those who think like that.

Since I'm still a little child, I was teached that exam is a celebration of knowledge. Examinations offered you a kind of celebrative feel: where you can write all what you know in a blank paper for two hours. That's like when you go abroad to gain knowledge and returned home to discuss it with people who are also going abroad to deepen their knowledge. Exam is a feast. In a suitable place, you can feel the exam in the air.

When I was abroad several years ago and studied there, I can't feel the exam in the air. Exams there were very strict and full of discipline. Final year students there must attend preparation class for their final exam everyday, even in the night! Imagine!

Luckily I managed to escape from having my elementary school final exam there. I finished my elementary school here, and enter my junior high school here.

With their so-called idealism and egalitarianism, my teacher has been successfully indoctrinizing bravery to their students heart. Do not underestimate the exam, but at the same time, don't worry to much. Celebrate the exam like when you meet an old friend who has gone for six month. Fear not, they said. Focus to your goal and conquer the exam. After that, celebrate it.

I will face my national exam next year. Unlucky, the exam will be in form of multiple choice, none of them will ask my opinion like essay model questions usually do. No worry, I will conquer it with my style, just like what Sami Yusuf said:

I did not need anyone to show me my way
I did not need, anyone, but you...

08 May 2014

Mereka yang bukan juara di pentas para juara

Para juara haruslah diadu dengan para juara. Setidaknya demikian yang berada di pikiran Gabriel Hanot.

Hanot, seorang mantan bek tengah tim nasional Perancis dengan catatan 12 kali membela Si Ayam Jantan (kemudian mendapat kecelakaan pesawat dan banting setir menjadi redaktur L’Equipe, salah satu harian olahraga terpopuler di Eropa) pertama kali membincangkan gagasan itu dengan kompatriotnya sesama pewarta, Jacques Ferran pada tahun 1948.

Ferran meliput Campeonato Sudamericano de Campeones (“Kejuaraan Juara-Juara Amerika Selatan”) di Santiago, ibu kota Chile. Turnamen ini mempertemukan tujuh tim berbeda dari tujuh negara Amerika Selatan: termasuk River Plate, klub Argentina pemenang Primera Division 1947 dan Nacional, yang memenangi Primera Division Uruguay setahun sebelumnya.

Ia langsung terpukau melihat kompetisi ini. Dalam turnamen berformat round-robin itu, Vasco da Gama (wakil Brasil, sang juara Campeonato Carioca tahun sebelumnya) akhirnya memenangkan kompetisi dengan raihan sepuluh poin dari enam laga: empat kali kalah dan dua kali menang. Vasco terpaksa bersaing ketat dengan River Plate dan Nacional, yang kemudian duduk sebagai peringkat kedua dan ketiga berturut-turut. Ferran langsung kembali ke Perancis untuk menemui Hanot, dan mulai menggagas kompetisi antarklub di Eropa. Saat itu, yang berada di pikiran Hanot dan Ferran adalah kompetisi yang mengadu para juara.

Pada musim panas lima tahun berselang setelah Vasco da Gama menjunjung trofi di Santiago, Wolverhampton Wanderers (yang kini tersuruk di divisi dua Inggris) memulai serangkaian latih tanding ke seluruh dunia. The Wolves menjamu tim-tim macam Racing Club dari Argentina, Spartak Moscow dari Uni Soviet dan akhirnya melawan Budapest Honved dari Hongaria. Tim Honved saat itu bermaterikan pemain dari tim nasional Hongaria, namun terpaksa mengakui keunggulan klub dari West Midlands itu dengan skor 3-2. Pelatih Stan Cullis dan media Inggris dengan pongahnya mendeklarasikan Wolves sebagai “juara dunia”.

Namun, Hanot menyanggah pernyataan pongah Cullis dan pers Britania. “Sebelum kita mengumumkan Wolverhampton adalah klub yang tak terkalahkan,” tulis Hanot berapi-api di korannya, “biarkan mereka berlaga ke Moscow dan Budapest. Dan ada dua klub besar lain: AC Milan dan Real Madrid. Sebuah kompetisi antar juara-juara sedunia, atau paling kurang untuk benua Eropa – lebih besar, lebih berarti dan lebih prestisius ketimbang Piala Mitropa – harus mulai digulirkan.”

Hanot menekankan bahwa kompetisi yang bermain di otaknya saat itu adalah sebuah kompetisi yang mengadu para juara-juara dunia, atau paling kurang, mengadu para juara Eropa. Ia menulis itu di musim panas 1953. AC Milan merupakan klub besar Italia saat itu – merebut scudetto pada musim 1950-51 lewat lesakan 34 gol Gunnar Nordahl – dan mengulanginya kembali dua musim berselang.

Real Madrid juga merebut takhta juara La Liga semusim setelah Hanot menulis kalimat di atas. Dan seperti yang ditulis Hanot, ia menginginkan sebuah turnamen yang “lebih besar, lebih berarti dan lebih prestisius ketimbang Piala Mitropa.” Piala Mitropa adalah turnamen antar klub Eropa Tengah, mempertemukan tim-tim Austria, Hungaria, Yugoslavia dan Hongaria.

Bagi seorang visioner macam Hanot, jelas turnamen itu tak cukup.

Setelah UEFA bersidang pada Maret 1955 dan disahkan sebulan kemudian, Piala Eropa edisi pertama mulai bergulir pada 4 September 1955. Yang menarik adalah, ternyata tak semua dari 16 tim peserta edisi pertama ini yang berstatus “juara”, seperti yang diimpikan Hanot.

Sebut saja Rapid Wien. Klub Austria ini memang menjadi juara Liga Austria musim 1954-55, namun mahkota jatuh ke tangan First Vienna FC pada musim 1955-56, dan Rapid hanya berstatus peringkat tiga. Dengan demikian, Rapid bukanlah “juara” yang diharapkan Hanot untuk diadu.

Demikian pula dengan klub peserta lain, seperti Voros Lobogo, yang kini berganti nama menjadi MTK Budapest FC. Klub ini hanya duduk di posisi dua Liga Hongaria 1955, kalah saing dari Budapest Honved yang mengandalkan Zoltan Czibor, penyerang tajam dengan 20 gol. Kasus yang sama terjadi pada Sporting CP yang turut diundang – sang raksasa Lisbon cuma berakhir di peringkat tiga pada Primeira Divisao 1954-55, di bawah Benfica dan Belenenses.

Dengan demikian, turnamen yang mengadu para juara – seperti yang diimpikan Hanot – telah gagal terlaksana, bahkan di edisi pertamanya. Untungnya di final, Real Madrid sukses menumbangkan Stade de Reims dari Perancis, pemuncak Divisi Satu Perancis 1954-55.

Setelah edisi pertama, Piala Eropa bertransformasi menjadi ajangnya para juara, terutama setelah dihapuskannya sistem undangan pada era 1960an. Selama tiga dekade, klub-klub Eropa harus menjuarai liga negaranya sendiri terlebih dahulu untuk mendapat tiket langsung ke babak final yang berformat gugur.

Namun ada pengecualian bagi para juara bertahan: meskipun mereka tak juara liga, mereka tetap mendapat tempat di kompetisi musim depan. Hal ini terjadi pada musim 1974-75, saat Bayern Munich – kala itu juara bertahan – tergelincir hingga peringkat kesepuluh di klasemen Bundesliga. Saat itu, bahkan mereka tak lolos untuk masuk babak pertama Piala UEFA. Tapi, sang raksasa Bavaria tertolong oleh peraturan yang memungkinkan juara bertahan Piala Eropa untuk lolos otomatis ke kompetisi musim selanjutnya. Jadilah Jerman punya dua wakil di Piala Eropa 1975-76: Bayern dan Borussia Monchengladbach, yang lolos karena status mereka sebagai juara liga.

Pahit untuk Gladbach: mereka notabene juara Bundesliga harus terhenti di perempatfinal oleh Real Madrid, sementara Bayern si peringkat sepuluh melenggang ke Hampden Park, tempat diselenggarakannya final, dimana mereka menggarap Saint-Etienne satu gol tanpa balas. Bayern menjunjung si Telinga Besar untuk kali ketiga berturut-turut.

Memasuki era Liga Champions mulai musim 1992-93, tetap saja para juara liga yang berhak saling bertempur di ajang ini. Namun aturan ini diubah mulai tahun 1997. Para runner-up kini boleh ikut berkompetisi. Tim macam Parma (peringkat kedua Serie A 1996-97) kini berhak mendampingi sang “juara” yang sebenarnya, Juventus. Hasil dari reformasi ini tampak nyata pada musim selanjutnya: Manchester United menjuarai Liga Champions 1998-99 walaupun berada di tangga kedua klasemen Premier League 1997-98, di bawah Arsenal.

Era Liga Champions yang mengglobal telah melunturkan impian sang visioner, Gabriel Hanot, untuk mengadu para juara Eropa. Liverpool dan Manchester United memulai (dan untuk Liverpool, menjuarai) petualangan mereka di musim 2004-05 dari babak kualifikasi ketiga (melawan klub-klub dari Austria dan Romania) sebagai hasil dari ekspansi gila-gilaan untuk memperebutkan si Telinga Besar, padahal kedua klub itu cuma berada di peringkat keempat dan ketiga di liga mereka.

Jangan lupakan pula kasus yang paling anyar: kemenangan Chelsea di final 2011-12 kontra Bayern Munich. Kedua klub ini bahkan bukan juara liga di negara asalnya, dan di era pra-Liga Champions, mereka paling-paling hanya akan dapat jatah berlaga di Piala UEFA atau Intertoto. Namun hari ini, mereka yang notabene “bukan juara” pun dapat dengan leluasa bertarung dengan para juara, bahkan menjuarainya.

Musim ini, kita menyaksikan kehadiran kehadiran satu tim “bukan juara” di Liga Champions: Atletico Madrid. Atletico bahkan tak pernah menyentuh dua besar La Liga sejak tahun 1996. Perputaran uang nan kian menggurita dan kapitalisme yang mencengkeram sampai ke rumput lapangan telah membuat visi Hanot bagai barang purba di museum tua.

Kini segalanya tergantung pada koefisien: semakin banyak koefisien ligamu hei negara anggota, semakin banyak pula wakilmu di liga antarnegara. Siapa yang berkenan menaruh muka pada juara liga Kazakhstan atau Bulgaria jika Anda dapat memutar fulus sebanyak-banyaknya dengan menayangkan laga-laga empat tim Inggris atau Spanyol di putaran grup?

Mengadu para juara-juara kini tinggal kenangan. Gabriel Hanot barangkali kini sedang bertanya-tanya di dalam kuburnya tentang peringkat Atletico musim lalu.