Saat musim libur sepak bola ini, jarang-jarang kita bisa menemukan pertandingan sepak bola sekelas Liga Primer Inggris atau yang selevel dengannya. Yang ada hanyalah serangkaian uji coba, piala dunia usia muda ataut tur-tur klub Eropa ke negara-negara Eropa.
Saya cukup senang saat mendengar Chelsea, Manchester City dan Arsenal datang ke Indonesia, membawa serta pemain-pemain macam Frank Lampard, Edin Dzeko dan Theo Walcott yang selama ini hanya bisa kita lihat di kotak kaca. Dahaga belasan ribu, atau bahkan puluhan ribu penggemar mereka di negeri ini akan terpuaskan melihat para pemain bule itu menggocek bola di rerumputan SUGBK dan menyapa mereka dengan tata bahasa Indonesia yang centang perenang. Saya tidak punya masalah akan hal itu.
Namun, darah saya menggelegak saat mendengar kabar mereka akan berujicoba melawan tim nasional Indonesia. Anak TK sekalipun mengerti bahwa tim nasional satu tingkat lebih tinggi dari klub. Tim nasional adalah tempat berkumpulnya pemain terbaik dari klub-klub dari sebuah negara, kawah candradimuka yang berfungsi sebagai pride of nation.
Dalam Soccernomics, dijabarkan bahwa sepak bola global telah memasuki fase dimana uang bisa mengatur segalanya. Klub dijalankan dengan sistem kapitalis yang luar biasa biadab: mulai dari harga tiket selangit sampai aturan-aturan yang mencekik kreativitas suporter. Anda akan menjadi penguasa sepak bola jika Anda mempunyai uang. Hanya itu saja. Persetan loyalitas, nilai tradisional klub, dan kebebasan berekspresi. Tuan uang mengatur segalanya.
Liga Primer Inggris adalah contoh terkeji dari komersialisasi sepak bola. Anda tentu tahu bahwa para sugar daddy macam Syeikh al-Nahyan di Eastlands dan Roman Abrahamovic di Cobham telah menanamkan pundi-pundi uang mereka dan menguasai tatanan sepak bola global. Anda juga tentu paham bagaimana klub macam Anzhi Makhachkala dan Monaco bisa menggebrak perhatian publik dunia dengan menggaji besar pemain-pemain uzur buangan dari top three.
Timnas Indonesia adalah satu-satunya kehormatan yang masih dimiliki negeri ini. Mempertandingkannya dengan klub-klub arogan dari Eropa? Maaf, saya tidak sudi.
Sesungguhnya, jika kita timbang manfaat dan mudaratnya, akan lebih banyak mudaratnya. Para fan layar kaca yang sok tahu tentu akan semakin besar kepala dan menjelek-jelekkan pemain negerinya sendiri, seperti yang terjadi pada Bambang Pamungkas saat melawan Milan Legends. Para pemain kita tidak pula akan mendapat manfaat berarti terhadap skill dan teknik mereka dengan hanya sekali menjegal Yaya Toure atau Mikel Arteta. Menjadi pemain berteknik bagus adalah anugerah yang hanya bisa didapat dengan kerja keras.
Yang beruntung dari pertandingan anjangsana semacam ini hanyalah para promotor yang memanfaatkan dahaga fans layar kaca yang rela mengeluarkan jutaan rupiah hanya untuk menyaksikan pertandingan timpang sebelah semacam ini. Sungguh tak adil hidup ini.
PSSI sebenarnya bisa mempertandingkan klub-klub Eropa tadi dengan klub-klub lokal Indonesia, seperti saat QPR melawan Persebaya. Pertandingan tersebut akan jauh lebih bermanfaat dan lebih berimbang ketimbang mengumpulkan pemain timnas untuk melawan mereka. Para pemain Eropa itu mendapat lawan yang sepadan statusnya, sekaligus merasakan atmosfer suporter Indonesia yang militan, sesuatu yang tak akan dapat mereka rasakan jika bertanding melawan timnas. Klub vs timnas akan dipadati belasan ribu fans layar kaca postmodern yang bahkan tidak kenal Bert Trautmann atau Paolo Di Canio dan berani-beraninya mengklaim fans sejati hanya setelah membeli kaus-kaus bola palsu yang bisa Anda dapatkan dengan harga miring di lapak-lapak Pasar Tanah Abang.
Timnas lawan klub hanya akan menunjukkan bahwa kita terlalu menghormati mereka, mempertontonkan betapa rendahnya kualitas sepak bola kita. Bung Karno akan menangis dari dalam kuburnya jika tahu bahwa kita sampai harus mengumpulkan pemain-pemain terbaik kita hanya demi melawan klub Eropa dalam pertandingan cari keringat semacam ini. Betapa budak mental kita.
Walaupun timnas kita tidaklah bagus-bagus amat, tapi setidaknya, wahai para pengurus PSSI, tunjukkanlah harga diri. Hanya karena godaan fulus selangit, Anda bisa memperdagangkan timnas kami? Bahkan jika Juventus datang ke Indonesia dan melawan tim nasional kita, saya bersumpah tidak akan menyaksikan mereka bermain. Sebut saya seorang konservatif yang kolot atau ultranasionalis yang chauvinis, tetapi atas nama iman dan akal sehat, saya menolak.
No comments:
Post a Comment