12 July 2013

Tentang jadi kelas sembilan

Kemarin hari pertama saya duduk di kelas sembilan SMP. Atau, bagi sebagian orang yang menganggap kami tak ubahnya anak SD, kelas tiga. Tis'ah. Sembilan.

Kami tak bisa lagi main bola Sabtu pagi. Saya tak akan jadi kuli tinta lagi di majalah sekolah. Kami tidak akan kena semprot lagi kala baris-berbaris menghadap matahari di Jumat pagi. Kami tak berhak atas forum OSIS lagi.

Pagi itu, ada banyak yang memenuhi halaman sekolah yang ditumbuhi tanaman-tanaman hijau yang jarang-jarang dan pasir-pasir konstruksi yang tandus.

Wajah-wajah yang saya kenal, tersenyum gembira bisa bertemu teman-temannya lagi. Mereka tertawa sukacita, barangkali karena mereka merasa merekalah penguasa sekolah ini. Barangsiapa yang tak tahu medan, tanyalah pada mereka. 

Wajah-wajah baru, malu-malu, di pojokan, sambil harap-harap cemas apakah mereka akan betah di sekolah ini. Mereka seperti para Ibnu Batutah yang terdampar di pulau Sumatera: mengembara tak tentu arah, menelisik area sekolah baru dari WC sampai kebun.

Dan beberapa wajah yang saya kenal, beberapa orang tidak hadir. Ada yang saya tidak tahu kabar beritanya, ada pula yang saya tahu sudah pergi meninggalkan kami, ke tempat yang tidak jauh dari sini. Alasannya kami tidak tahu pasti. Dan pengganti-pengganti mereka didatangkan pula dari tempat yang tidak jauh itu.

Ada pula yang pergi tak kembali dan tak ada ganti. Ini sudah hampir mirip lagu dangdut remix.

Ada yang dulu masih rajin menyemburkan asap-asap knalpotnya tiap pagi, kini tak ada lagi. Ada yang dulu tiap hari bau lontong sayur dan pecal semerbak menaungi bumi, kini tak tercium lagi (ya iyalah, mana ada orang jualan lontong siang-siang pas Ramadan).

I realized that this year would be a challenging periode for us. Tahun ini, kami harus menentukan nasib kami sendiri. Sepertinya begitu. Dan akan terus begitu.

No comments:

Post a Comment