18 August 2013

Pragmatisme seorang Jose Mourinho

Jose Mourinho, pria Portugis bermulut besar itu adalah sosok yang kontroversial, sekaligus pragmatis. Kontroversial, karena sering melontarkan sinisme setara Piers Morgan dan keangkuhan selevel Hitler, sekaligus pragmatis, karena gaya bermainnya.

Tiga musim pertama Chelsea di bawah Mourinho adalah masa kelam bagi para pengagum sepak bola agresif. Kepragmatisan Mou, yang memakai prinsip '1-0 dan matikan permainan', hampir pasti akan membuat begawan sepak bola menyerang semacam Zdenek Zeman akan tertelan cerutu tembakaunya sendiri.

Musim 2006-07 adalah musim Premier League yang paling rendah rataan golnya, dengan rataan 2,45 gol. Chelsea hanya kalah tiga kali musim itu dan menutup pertahanan mereka rapat-rapat dengan hanya kemasukan 24 gol musim itu.

Padahal saat itu mereka mempunyai barisan tengah berkualitas dunia di diri Frank Lampard dan sosok penggedor prima dalam jiwa Didier Drogba. Jika saja Mou mau sedikit melonggarkan kebijakan pragmatisnya, saya tak akan ragu menyebut mereka berpeluang besar menggeser Manchester United dari tahta juara musim itu.

Musim ini, saat Mou kembali ke Stamford Bridge sebagai hamba Roman Abrahamovich yang kesekian, ancang-ancang bahwa ia akan kembali menerapkan pragmatisme khasnya segera menguat. Pragmatisme ini sempat membuat suporter Chelsea berdebar-debar melihat pertahanan, dan akhirnya memakan korban pertama: kekalahan perdana dari Everton.

Menariknya, Mourinho sendiri tidak menyangkal kepragmatisan yang diterapkan kepada tim-tim yang ia pimpin. Dalam sebuah wawancara dengan FourFourTwo Australia beberapa tahun lalu, ia menggambarkan dirinya sebagai pragmatis tulen yang mengedepankan kebersamaan tim.
I prepare my team to go to a football match, not to do something special, but to make the difference. We prepare ourselves to go there as a group, to succeed. Football is a team sport, I was always a collaborative sport man. Of course, I admire people from individual sports but, for me, the collective sports were always my dream and especially sports like football, which is about 11 men at the same time thinking the same thing, working for the same goal. And I’m much more for that. What really pleases me is to see a collective performance and the group reaching an objective.
Di satu sisi, saya salut dengan konsistensi Mou untuk bermain pragmatis, yang telah ia terapkan sejak duduk di kursi kepelatihan Porto, satu dekade silam. Pragmatisme yang sama ia bawa ke Stamford Bridge, San Siro, Santiago Bernabeu, dan kini kembali ke the Bridge. 

Namun, di lain sisi, sebagai pemuja Zemanlandia dan pertandingan khas Britania yang penuh adu fisik dan baku serang, dapat saya katakan bahwa Chelsea belum bisa juara musim ini dengan hanya mengandalkan pragmatisme Mou. Fernando Torres dan kawan-kawan tampaknya harus sedikit berani berkreasi sendiri di mulut gawang, tanpa memedulikan pragmatisme pelatih mereka di pinggir lapangan.

No comments:

Post a Comment