05 October 2013

Merendah diri ala Indra Sjafri

Sepak bola adalah permainan lelaki. Kita tak menampik bahwa memang ada perempuan yang bermain sepak bola, tetapi sejatinya, sepak bola memang awalnya dimainkan oleh kaum Adam.

Maka tak heran jika kita melihat lapangan sepak bola kerap kali dipenuhi pemain jatuh bergelimpangan kena tekel lawan, lutut-lutut robek, adu mulut dengan wasit dan sebagainya, karena sepak bola memang berjiwa maskulin. Sepak bola disimbolkan seperti Hercules: kasar, agresif dan penuh keringat.

Karena kaum Adam rata-rata mempunyai ego yang besar, maka tak jarang kita menemukan pertembungan ego dalam permainan ini, baik di dalam maupun luar lapangan. Kita telah sering mendengar Jose Mourinho menyombongkan kehebatan timnya tapi esoknya Madrid kalah ditekuk Sporting Gijon, atau Joey Barton yang petantang-petenteng di Twitter musim lalu, mengatakan QPR takkan degradasi ke Championship Division padahal nyatanya musim ini mereka terbenam ke sana.

Pertunjukan penuh ego ini tak pernah berujung, karena memang maskulinitas tak pernah lepas dari namanya ego. Ego pada lelaki tak pernah mengenal usia, suku dan bangsa. Dan pada dunia sepak bola yang keras ini, muncullah seseorang bernama Indra Sjafri.

Pria berkumis melintang kelahiran Painan, setengah abad silam ini memang bukan siapa-siapa. Seperti lazimnya anak lelaki Minang pada masa itu, ia memilih merantau ke Padang, ibu kota Sumatera Barat, yang berjarak hampir seratus kilometer dari kampung halamannya. Di sana ia bergabung dengan PSP Padang, klub sepak bola kebanggan penduduk Kota Bingkuang saat itu.

Di PSP, Sjafri muda terpanggil masuk tim Pra-PON mewakili Sumatera Barat pada tahun 1985. Ia seangkatan dengan Rudy William Keltjes, eks pemain timnas era 80-an dan pemenang medali emas sepak bola PON untuk Kalimantan Timur tahun lalu. Ketika itu, hati kecilnya berontak melihat banyaknya pemain yang punya kemampuan individu di atas rata-rata, namun tersia-siakan dan sulit mendapat tempat untuk membela Merah Putih di kancah internasional.

Sakit hati Sjafri muda akhirnya ia lampiaskan pada karir selanjutnya. Pria yang pernah menjadi kepala kantor pos ini memutuskan untuk jadi pelatih sepak bola, obsesinya sejak lama.

Setelah meraih lisensi A, ia pun mulai bergerilya ke pelosok-pelosok negeri. Ia telah mengunjungi tak kurang dari 43 daerah untuk mencari pemain-pemain muda berbakat. Saat ia melatih timnas U16, ia sampai harus ke Muara Teweh, sebuah kota kecil di Kalimantan sana, untuk mencari pemain muda untuk timnya.

Ia menunjukkan kesabarannya dan kecintaannya kepada sepak bola sejak diberi tugas menangani tim nasional pada tahun 2010. Ia rela merogoh koceknya sendri pada masa-masa kelam konflik sepak bola Indonesia untuk mengakomodasi perjalanannya mencari pemain muda potensial di seluruh penjuru Nusantara.

“Pemain terbaik anak bangsa di langit pun pasti akan saya cari. Kecuali naturalisasi. Saya tidak mau itu. Kita ini bangsa besar yang punya potensi selangit,” ujarnya pada suatu ketika.

Ketika pelatih timnas lainnya sibuk mengejar Jose Mourinho, ia justru sibuk bekerja keras, seperti teladan sosok The Special One itu. "Kerja keras dan tak takut menerima tantangan. Itu yang membuat saya mengidolakan Mourinho. Itu yang saya coba tiru," ujarnya. Ia menempa Evan Dimas Darmono cs dengan seluruh jiwa dan raganya. Ia juga tak ragu menjuluki anak asuhnya Skuat Garuda Jaya, meskipun banyak orang yang mencibirnya. Namun, ia maju terus.

Ia membuat semua orang Indonesia yang menyaksikan partai final Piala AFF U19 di Sidoarjo terharu karena tangisannya setelah Ravi Murdianto menepis sepakan eksekutor Vietnam, Pham Duc Huy. Saat pengalungan medali, para pemain Indonesia menyalami dan mencium tangan pelatihnya. Nilai-nilai keluhuran dan kerendahan hati yang ditanamkannya pada para remaja berbalut seragam tim nasional ini tampaknya telah meresap sepenuhnya ke relung hati mereka yang terdalam.

Apa komentar pertama sang pelatih saat ditanya para awak media?

“Ini kemenangan milik bangsa”.

Indra Sjafri dan timnya menunjukkan kepada kita bahwa masih ada light at the end of the tunnel. Betapapun kuat arus kapitalisme ke dalam dunia sepak bola yang kita cintai, ini, akan tetap ada orang yang benar-benar mengabdikan hidupnya untuknya, karena kecintaan yang telah mendarah daging.

Sebentar lagi Piala AFC U19 akan dimulai di Jakarta. Indra Sjafri dan timnya akan bertempur lagi melawan tim yang jauh lebih menantang ketimbang yang mereka hadapi di Sidoarjo beberapa pekan silam.

Kita tak akan tahu bagaimana prestasi Indonesia nantinya, tapi saya bisa memastikan bahwa kita akan tetap melihat kerendahan hati seorang Indra Sjafri di pinggir lapangan, dan respek luar biasa dari para pemainnya yang diwujudkan dalam bentuk mencium tangan sang pria tua keras hati itu.

Jika Liverpool punya spirit of Shankly, maka Indonesia punya spirit of Sjafri.

Pertama tayang di Suara Supporter.

No comments:

Post a Comment