Hari ini saya iseng-iseng ikut lomba blog memperingati ulang tahun suatu pusat perbelanjaan di kota ini, bersama kawan satu ini. Hasilnya terlalu bagus untuk dibilang buruk, tetapi juga terlalu buruk untuk dibilang bagus.
Nah, logika macam apa ini, saya pun kurang tahu. Terserah panitia sajalah. Toh saya ikut bukan untuk jadi juara, melainkan semata untuk mengais pengalaman dan mengejar selembar sertifikat keikutsertaan yang “sakti” itu, hehehe.
Alkisah, pada tentatif acara yang telah dibuatkan jauh-jauh hari oleh panitia, disebutkan bahwa lomba akan dimulai pukul sepuluh teng. Para peserta diharapkan datang sejam lebih awal. Atas azas “waktu adalah uang” dan “tepatilah janjimu” yang terdoktrin di jiwa-jiwa murid Al-Fityah (ceileh), jadilah saya tersuruk-suruk minta izin ke guru bimbel untuk tidak masuk kelas hari ini. Bagian ini lolos, dan sang guru pun mengizinkan.
Nah, sanak, pusat perbelanjaan tempat digelarnya lomba ini terletak sekitar seribu lemparan batu dari daerah tempat tinggal saya. Nasib orang pinggiran. Ketika kami tiba di pusat perbelanjaan tersebut sekitar pukul sembilan – setelah menerobos keramaian kota di pagi Sabtu yang berasap –, ironi pertama menyambut kami.
Tempat lomba masih kosong melompong. Hanya ada para pekerja pembersih yang sibuk merapikan sana-sini, mempersiapkan restoran-restoran yang akan buka jam sepuluh nanti. Sebenarnya saya tidak terlalu terkejut. Bukankah hal ini biasa di negeri yang maskapai penerbangannya bisa menelantarkan penumpang tanpa sebab yang jelas selama delapan jam?
Jadilah kami terpaksa menunggu sekitar satu setengah jam. Untung saja mesin WiFi di tempat perlombaan sudah dihidupkan, dan koneksi Internet nirkabel di sana cukup kencang dan maknyus. Baru sekitar pukul 10.30, para panitia terlihat berdatangan dan sibuk berkejaran dengan sang waktu. Menyiapkan panggung, meja, karpet, serta stand-stand promosi. Kebetulan sponsor utama lomba blog ini adalah salah satu perusahaan penyedia jasa telekomunikasi terkemuka yang bahkan orang-orang di pelosok saja mungkin tahu namanya. Perusahaan penyedia jasa telekomunikasi itu bekerja sama dengan pusat perbelanjaan ini untuk merayakan ulang tahun mereka yang jatuh berbarengan. Salah satu program mereka adalah menggelar lomba blog.
Ironi kedua adalah kecepatan Internet di tempat lomba yang berubah melambat saat peserta mulai berdatangan. Konon panitia mengklaim bahwa mereka sudah menyediakan bandwith untuk Internet nirkabel hingga 50 MB. Tapi tetap saja lelet saat para peserta satu persatu mengakses Internet lewat komputer jinjing dan peranti-peranti telekomunikasi mereka. Panitia pun sibuk mengatur sana-sini untuk memastikan ketersediaan layanan Internet nirkabel untuk sekitar seratusan peserta.
Lho kenapa tidak pakai kabel LAN saja? Cukup stabil, toh? Rupanya, sanak, penyedia jasa layanan komunikasi ini juga merangkap sebagai penyedia jaringan Internet nirkabel yang cukup punya nama di negeri ini. Mana mungkin mereka mau pakai kabel LAN purba zaman baheula itu sementara mereka kampanye besar-besaran untuk jasa Internet nirkabel.
Akhirnya lomba baru dimulai sangat telat, pukul setengah satu siang. Lomba dimulai pas ketika azan Zuhur berkumandang dan jam makan siang. Para peserta sesi pertama (dibagi menjadi sesi pertama dan sesi kedua, mungkin juga ada sesi ketiga. Jumlah peserta membludak, jadi panitia harus membagi per sesi supanya nanti bandwith-nya ndak meledak) tampak gelisah dan memasang wajah memelas.
Ironisnya, segelintir saja yang saya lihat pergi shalat Zuhur di mushalla, yang letaknya tak jauh dari lokasi lomba.
Padahal, – selain anak-anak dari sekolah-sekolah Kristen – muka-muka peserta lomba itu rata-rata Muslim. Banyak juga yang berjilbab. Tapi sampai para peserta sesi pertama selesai sekitar jam setengah tiga, mushalla tampak sepi-sepi saja. Ya sudah, kalau begitu saya berhusnudzan saja seperti yang diajarkan Nabi. Mungkin mereka sedang tidak shalat bagi yang perempuan. Atau para laki-lakinya mungkin merasa lomba blog itu sebagai kesulitan sehingga boleh menjamak shalat. Atau mereka musafir yang jauh datang dari Merauke. Wallahu’alam.
Koneksi Internet nirkabel nan gencar dipromosikan perusahaan penyedia jasa telekomunikasi yang mensponsori lomba ini malah semakin menurun setelah lomba dimulai. Aktivitas kami mengobrak-abrik blog yang baru dibuat itu berkali-kali terhambat dengan koneksi yang hidup-segan-mati-enggan. Tiap lima menit mati. Sambung lagi, harus masuk log menggunakan nama pengguna dan kata laluan yang sapanjang tali baruak. Untunglah tak berlangsung lama, dan satu jam terakhir lomba, Internet nirkabel lancar jaya di tempat lomba itu.
Memasuki detik-detik terakhir lomba, saya iseng-iseng tanya ke salah satu petugas yang ditugaskan untuk membantu para peserta seandainya ada masalah pada koneksi Internet nirkabel. Petugas bertampang kaku itu terkejut sedikit ketika saya lemparkan pertanyaan dengan gaya jurnalistik yang interogatif.
“Mas, kenapa gak pakai kabel LAN aja?”
“Ehm, tahun lalu kami pakai kabel LAN, kata peserta kurang cepat dan lambat.”
Akhirnya setelah melihat wajah petugas yang berubah kurang senang saat ditanya perihal LAN itu, saya langsung ngacir ke meja panitia buat menyerahkan kartu tanda peserta dan menukarkannya dengan sertifikat. Lumayanlah, buat tambah-tambah CV.
Sementara kami bergegas meninggalkan pusat perbelanjaan itu, para peserta (yang jumlah saya kira ratusan) memulai sesi kedua. Bahkan mungkin juga sesi ketiga. Mungkin ketika saya sudah duduk nyaman di rumah, menonton Detective Conan di depan layar komputer jinjing dan menyeruput minuman seperti saat ini, para peserta itu masih berkutat dengan kode-kode HTML dan desain blog. Mungkin saja.
Terlepas dari koneksi Internet nirkabelnya yang pada masa-masa tertentu lebih lambat dari waktu yang diperlukan kepala suku negeri kita untuk mengambil suatu kepentingan strategis negara, secara umum lomba ini cukup menarik. Hadiahnya juga tak tanggung-tanggung, yaitu berupa lembaran uang kertas warna-warni bertandatangan para pejabat negara. Wuah, luar biasa sekali.
Nah, jika pertanyaannya apakah saya mau ikut lagi jika ada lomba sejenis ini di masa depan, saya dengan tegas menjawab: tidak. Saya memutuskan untuk tidak percaya lagi kepada pamflet-pamflet dan brosur-brosur bertuliskan “acara dimulai jam 10.00 WIB”, karena rakyat negeri ini masih belum terbiasa menghargai waktu.
Toh di negeri kita ini, sudah awam suatu maskapai menelantarkan penumpangnya hingga delapan jam di bandara...
19 October 2013
06 October 2013
Cerita tentang Palestina
Dulu saya sering bertanya-tanya: Palestina itu Indonesia sebelah mana?
Salah satu sebabnya adalah karena saya sering menonton program Dunia Dalam Berita TVRI yang sering disetel di rumah kakek di Padang dulu. Penyiarnya kerap menyebut-nyebut soal Palestina dengan gaya yang simpatik.
Sampai suatu hari TVRI menyiarkan gambar seorang tua yang berbadan agak bungkuk, berkeffiyeh hitam dan berbalut jaket lusuh. Ia dikelilingi para pengikutnya, semuanya berjenggot hitam, mengangguk-angguk takzim mendengar pria tua berkeffiyeh itu bicara. Karismatik sekali, pikir saya. Mengalahkan Pak Kapolda Sumbar yang berkumis, yang pernah saya lihat di kantor kakek.
Pria berkeffiyeh itu tampak takzim dan sorot matanya mengendalikan. Di podium tempat ia bicara tertulis "World Economic Forum, Davos, Switzerland". Di papan nama kecil tertulis: "Mr. Arafat."
Itulah perkenalan saya dengan Yasser Arafat dan perjuangan Palestina. Lalu TVRI menyiarkan gambar para pejuang berjenggot jatuh-bangun di padang pasir berdebu, memanggul senapan mesin. Bunyi roket bersahut-sahutan. Di kemudian hari baru saya tahu bahwa itu adalah rekaman para mujahiddin Palestina yang sedang bertempur melawan tentara perbatasan Israel.
"Perkenalan" kedua saya dengan Palestina terjadi saat saat saya di negeri orang beberapa tahun lalu.
Guru agama saya, seorang ustadz muda dari sebuah daerah bernama unik di dekat ibu kota negara itu, kerap kali menyebut-nyebut soal Palestina. Pribadinya yang eksentrik, meledak-ledak dan menyentuh bila berceramah, kerap membawakan tema perjuangan Islam di kelasnya. Ia bercerita tentang Palestina, mulai dari Syeikh Ahmad Yassin, Ismail Haniyeh, PLO, Arafat, Hamas, Jihad Islam, Balfour, hingga Yerusalem yang mistis. Kerap kali ia setelkan video-video perjuangan dan nasyid-nasyid perang. Semacam indoktrinasi jihad yang lunak.
Kebetulan pula saat itu pecah Perang Gaza 2008 dan penyerangan Israel atas misi kemanusiaan Mavi Marmara. Wah, heroik sekali keadaan di sekolah saat itu. Semua orang tampak anti-Semit. Di Indonesia saya dengar orang-orang sudah mulai membakar bendera Israel. Luar biasa panasnya waktu itu. Rasanya kalau ada pesawat gratis ke Palestina, semua orang berebut ikut untuk mengganyang Zionis jahanam itu. Epik sekali.
Pandangan saya kepada Palestina perlahan-lahan berubah setelah mengenal Edward Said. Said, putra saudagar Kristen di Yerusalem dan mengungsi ke Amerika Serikat, lalu menjadi profesor sastra Inggris, terkenal sebagai salah satu aktivis kemerdekaan Palestina yang paling vokal. Bersama Noam Chomsky yang Yahudi, ia sering mengeluarkan komentar-komentar pedas yang kerap bikin merah telinga rezim Tel Aviv.
Said, dan banyak penulis lain yang kerap mengangkat Palestina sebagai objek tulisan mereka, selalu bertutur mengenai Palestina merdeka. Ia mengangkat kisah kamp pengungsi Sabra dan Shatilla, kelahiran Hamas, serta betapa biadabnya serdadu-serdadu Israel. Ia mengeluhkan betapa lemahnya negara-negara Arab yang seolah enggan membantu Palestina dan berlepas tangan, menceburkan diri dalam kolam uang hasil tambang minyak yang melimpah ruah.
Dari Said, saya mendap pemahaman bahwa konflik di Palestina tak sesederhana yang saya kira dahulu. Palestina adalah tanah yang telah diperebutkan puluhan bangsa sejak dahulu kala. Ia tak sesederhana Islam vs Yahudi saja. Ada orang Kristen, Druze, Katolik, Ortodoks dan berbagai macam penganut agama lain di Palestina. Ada orang Kristen yang menentang Israel seperti Said, orang Yahudi yang menentang Israel seperti Chomsky, dan tak kurang pula sebaliknya. Palestina adalah sebuah ironi yang kompleks. Yerusalem, kota suci yang telah ternoda oleh darah selama ribuan tahun, adalah tempat tinggal bagi orang Islam, Yahudi dan Kristen. Menyatukan Palestina tak semudah yang dipikirkan semua orang, karena Palestina adalah rumah bagi segala bangsa. Ummul bilad, ibu dari segala negeri.
Karena itu, bila saya mendengar ada ormas atau individu Indonesia yang berapi-api ingin jihad ke Palestina, saya hanya bisa tersenyum saja. Apalagi jika sampai menjelek-jelekkan Israel dengan kata-kata makian kasar yang tak patut dilontarkan seorang Muslim. Saya hanya bisa tersenyum.
Palestina tidaklah sesederhana yang kita kira, dan hanya orang-orang yang benar-benar mencintainya yang dapat membelanya. Seperti kata guru saya dulu, "Palestina adalah tanah yang dijanjikan, dan Allah hanya menjanjikan mati syahid bagi orang-orang yang benar-benar beriman kepadaNya."
Yasser Arafat, Syaikh Ahmad Yassin, Edward Said, Abdul Aziz Rantissi, dan sebagainya mungkin telah mati, tetapi pemikiran mereka yang menginginkan Palestina merdeka tetap bergaung. Hingga kini.
Salah satu sebabnya adalah karena saya sering menonton program Dunia Dalam Berita TVRI yang sering disetel di rumah kakek di Padang dulu. Penyiarnya kerap menyebut-nyebut soal Palestina dengan gaya yang simpatik.
Sampai suatu hari TVRI menyiarkan gambar seorang tua yang berbadan agak bungkuk, berkeffiyeh hitam dan berbalut jaket lusuh. Ia dikelilingi para pengikutnya, semuanya berjenggot hitam, mengangguk-angguk takzim mendengar pria tua berkeffiyeh itu bicara. Karismatik sekali, pikir saya. Mengalahkan Pak Kapolda Sumbar yang berkumis, yang pernah saya lihat di kantor kakek.
Pria berkeffiyeh itu tampak takzim dan sorot matanya mengendalikan. Di podium tempat ia bicara tertulis "World Economic Forum, Davos, Switzerland". Di papan nama kecil tertulis: "Mr. Arafat."
Itulah perkenalan saya dengan Yasser Arafat dan perjuangan Palestina. Lalu TVRI menyiarkan gambar para pejuang berjenggot jatuh-bangun di padang pasir berdebu, memanggul senapan mesin. Bunyi roket bersahut-sahutan. Di kemudian hari baru saya tahu bahwa itu adalah rekaman para mujahiddin Palestina yang sedang bertempur melawan tentara perbatasan Israel.
"Perkenalan" kedua saya dengan Palestina terjadi saat saat saya di negeri orang beberapa tahun lalu.
Guru agama saya, seorang ustadz muda dari sebuah daerah bernama unik di dekat ibu kota negara itu, kerap kali menyebut-nyebut soal Palestina. Pribadinya yang eksentrik, meledak-ledak dan menyentuh bila berceramah, kerap membawakan tema perjuangan Islam di kelasnya. Ia bercerita tentang Palestina, mulai dari Syeikh Ahmad Yassin, Ismail Haniyeh, PLO, Arafat, Hamas, Jihad Islam, Balfour, hingga Yerusalem yang mistis. Kerap kali ia setelkan video-video perjuangan dan nasyid-nasyid perang. Semacam indoktrinasi jihad yang lunak.
Kebetulan pula saat itu pecah Perang Gaza 2008 dan penyerangan Israel atas misi kemanusiaan Mavi Marmara. Wah, heroik sekali keadaan di sekolah saat itu. Semua orang tampak anti-Semit. Di Indonesia saya dengar orang-orang sudah mulai membakar bendera Israel. Luar biasa panasnya waktu itu. Rasanya kalau ada pesawat gratis ke Palestina, semua orang berebut ikut untuk mengganyang Zionis jahanam itu. Epik sekali.
Pandangan saya kepada Palestina perlahan-lahan berubah setelah mengenal Edward Said. Said, putra saudagar Kristen di Yerusalem dan mengungsi ke Amerika Serikat, lalu menjadi profesor sastra Inggris, terkenal sebagai salah satu aktivis kemerdekaan Palestina yang paling vokal. Bersama Noam Chomsky yang Yahudi, ia sering mengeluarkan komentar-komentar pedas yang kerap bikin merah telinga rezim Tel Aviv.
Said, dan banyak penulis lain yang kerap mengangkat Palestina sebagai objek tulisan mereka, selalu bertutur mengenai Palestina merdeka. Ia mengangkat kisah kamp pengungsi Sabra dan Shatilla, kelahiran Hamas, serta betapa biadabnya serdadu-serdadu Israel. Ia mengeluhkan betapa lemahnya negara-negara Arab yang seolah enggan membantu Palestina dan berlepas tangan, menceburkan diri dalam kolam uang hasil tambang minyak yang melimpah ruah.
Dari Said, saya mendap pemahaman bahwa konflik di Palestina tak sesederhana yang saya kira dahulu. Palestina adalah tanah yang telah diperebutkan puluhan bangsa sejak dahulu kala. Ia tak sesederhana Islam vs Yahudi saja. Ada orang Kristen, Druze, Katolik, Ortodoks dan berbagai macam penganut agama lain di Palestina. Ada orang Kristen yang menentang Israel seperti Said, orang Yahudi yang menentang Israel seperti Chomsky, dan tak kurang pula sebaliknya. Palestina adalah sebuah ironi yang kompleks. Yerusalem, kota suci yang telah ternoda oleh darah selama ribuan tahun, adalah tempat tinggal bagi orang Islam, Yahudi dan Kristen. Menyatukan Palestina tak semudah yang dipikirkan semua orang, karena Palestina adalah rumah bagi segala bangsa. Ummul bilad, ibu dari segala negeri.
Karena itu, bila saya mendengar ada ormas atau individu Indonesia yang berapi-api ingin jihad ke Palestina, saya hanya bisa tersenyum saja. Apalagi jika sampai menjelek-jelekkan Israel dengan kata-kata makian kasar yang tak patut dilontarkan seorang Muslim. Saya hanya bisa tersenyum.
Palestina tidaklah sesederhana yang kita kira, dan hanya orang-orang yang benar-benar mencintainya yang dapat membelanya. Seperti kata guru saya dulu, "Palestina adalah tanah yang dijanjikan, dan Allah hanya menjanjikan mati syahid bagi orang-orang yang benar-benar beriman kepadaNya."
Yasser Arafat, Syaikh Ahmad Yassin, Edward Said, Abdul Aziz Rantissi, dan sebagainya mungkin telah mati, tetapi pemikiran mereka yang menginginkan Palestina merdeka tetap bergaung. Hingga kini.
05 October 2013
Catatan dari kegelapan
Tampaknya tiap hari Pekanbaru akan terus diliputi kegelapan. PLN ini semakin menyebalkan dari hari ke hari. Berdasarkan jadwal pemadaman terbaru yang dirilis, Perusahaan Lilin Negara itu akan memadamkan listrik di tiap tempat di Pekanbaru tiga kali sehari. Sekali mati dua jam.
Artinya warga Pekanbaru akan menghabiskan seperempat hari dalam kegelapan, entah sampai kapan.
Tak ada listrik enam jam sehari berarti tak ada listrik selama 42 jam seminggu dan 168 jam sebulan.
Itu sama dengan mati listrik lima hari penuh sebulan.
Bah.
Mari menyetel Green Day saja. Biar tenang.
Wake me up, when the power outage ends...
Artinya warga Pekanbaru akan menghabiskan seperempat hari dalam kegelapan, entah sampai kapan.
Tak ada listrik enam jam sehari berarti tak ada listrik selama 42 jam seminggu dan 168 jam sebulan.
Itu sama dengan mati listrik lima hari penuh sebulan.
Bah.
Mari menyetel Green Day saja. Biar tenang.
Wake me up, when the power outage ends...
Merendah diri ala Indra Sjafri
Sepak bola adalah permainan lelaki. Kita tak menampik bahwa memang ada perempuan yang bermain sepak bola, tetapi sejatinya, sepak bola memang awalnya dimainkan oleh kaum Adam.
Maka tak heran jika kita melihat lapangan sepak bola kerap kali dipenuhi pemain jatuh bergelimpangan kena tekel lawan, lutut-lutut robek, adu mulut dengan wasit dan sebagainya, karena sepak bola memang berjiwa maskulin. Sepak bola disimbolkan seperti Hercules: kasar, agresif dan penuh keringat.
Karena kaum Adam rata-rata mempunyai ego yang besar, maka tak jarang kita menemukan pertembungan ego dalam permainan ini, baik di dalam maupun luar lapangan. Kita telah sering mendengar Jose Mourinho menyombongkan kehebatan timnya tapi esoknya Madrid kalah ditekuk Sporting Gijon, atau Joey Barton yang petantang-petenteng di Twitter musim lalu, mengatakan QPR takkan degradasi ke Championship Division padahal nyatanya musim ini mereka terbenam ke sana.
Pertunjukan penuh ego ini tak pernah berujung, karena memang maskulinitas tak pernah lepas dari namanya ego. Ego pada lelaki tak pernah mengenal usia, suku dan bangsa. Dan pada dunia sepak bola yang keras ini, muncullah seseorang bernama Indra Sjafri.
Pria berkumis melintang kelahiran Painan, setengah abad silam ini memang bukan siapa-siapa. Seperti lazimnya anak lelaki Minang pada masa itu, ia memilih merantau ke Padang, ibu kota Sumatera Barat, yang berjarak hampir seratus kilometer dari kampung halamannya. Di sana ia bergabung dengan PSP Padang, klub sepak bola kebanggan penduduk Kota Bingkuang saat itu.
Di PSP, Sjafri muda terpanggil masuk tim Pra-PON mewakili Sumatera Barat pada tahun 1985. Ia seangkatan dengan Rudy William Keltjes, eks pemain timnas era 80-an dan pemenang medali emas sepak bola PON untuk Kalimantan Timur tahun lalu. Ketika itu, hati kecilnya berontak melihat banyaknya pemain yang punya kemampuan individu di atas rata-rata, namun tersia-siakan dan sulit mendapat tempat untuk membela Merah Putih di kancah internasional.
Sakit hati Sjafri muda akhirnya ia lampiaskan pada karir selanjutnya. Pria yang pernah menjadi kepala kantor pos ini memutuskan untuk jadi pelatih sepak bola, obsesinya sejak lama.
Setelah meraih lisensi A, ia pun mulai bergerilya ke pelosok-pelosok negeri. Ia telah mengunjungi tak kurang dari 43 daerah untuk mencari pemain-pemain muda berbakat. Saat ia melatih timnas U16, ia sampai harus ke Muara Teweh, sebuah kota kecil di Kalimantan sana, untuk mencari pemain muda untuk timnya.
Ia menunjukkan kesabarannya dan kecintaannya kepada sepak bola sejak diberi tugas menangani tim nasional pada tahun 2010. Ia rela merogoh koceknya sendri pada masa-masa kelam konflik sepak bola Indonesia untuk mengakomodasi perjalanannya mencari pemain muda potensial di seluruh penjuru Nusantara.
“Pemain terbaik anak bangsa di langit pun pasti akan saya cari. Kecuali naturalisasi. Saya tidak mau itu. Kita ini bangsa besar yang punya potensi selangit,” ujarnya pada suatu ketika.
Ketika pelatih timnas lainnya sibuk mengejar Jose Mourinho, ia justru sibuk bekerja keras, seperti teladan sosok The Special One itu. "Kerja keras dan tak takut menerima tantangan. Itu yang membuat saya mengidolakan Mourinho. Itu yang saya coba tiru," ujarnya. Ia menempa Evan Dimas Darmono cs dengan seluruh jiwa dan raganya. Ia juga tak ragu menjuluki anak asuhnya Skuat Garuda Jaya, meskipun banyak orang yang mencibirnya. Namun, ia maju terus.
Ia membuat semua orang Indonesia yang menyaksikan partai final Piala AFF U19 di Sidoarjo terharu karena tangisannya setelah Ravi Murdianto menepis sepakan eksekutor Vietnam, Pham Duc Huy. Saat pengalungan medali, para pemain Indonesia menyalami dan mencium tangan pelatihnya. Nilai-nilai keluhuran dan kerendahan hati yang ditanamkannya pada para remaja berbalut seragam tim nasional ini tampaknya telah meresap sepenuhnya ke relung hati mereka yang terdalam.
Apa komentar pertama sang pelatih saat ditanya para awak media?
“Ini kemenangan milik bangsa”.
Indra Sjafri dan timnya menunjukkan kepada kita bahwa masih ada light at the end of the tunnel. Betapapun kuat arus kapitalisme ke dalam dunia sepak bola yang kita cintai, ini, akan tetap ada orang yang benar-benar mengabdikan hidupnya untuknya, karena kecintaan yang telah mendarah daging.
Sebentar lagi Piala AFC U19 akan dimulai di Jakarta. Indra Sjafri dan timnya akan bertempur lagi melawan tim yang jauh lebih menantang ketimbang yang mereka hadapi di Sidoarjo beberapa pekan silam.
Kita tak akan tahu bagaimana prestasi Indonesia nantinya, tapi saya bisa memastikan bahwa kita akan tetap melihat kerendahan hati seorang Indra Sjafri di pinggir lapangan, dan respek luar biasa dari para pemainnya yang diwujudkan dalam bentuk mencium tangan sang pria tua keras hati itu.
Jika Liverpool punya spirit of Shankly, maka Indonesia punya spirit of Sjafri.
Pertama tayang di Suara Supporter.
Maka tak heran jika kita melihat lapangan sepak bola kerap kali dipenuhi pemain jatuh bergelimpangan kena tekel lawan, lutut-lutut robek, adu mulut dengan wasit dan sebagainya, karena sepak bola memang berjiwa maskulin. Sepak bola disimbolkan seperti Hercules: kasar, agresif dan penuh keringat.
Karena kaum Adam rata-rata mempunyai ego yang besar, maka tak jarang kita menemukan pertembungan ego dalam permainan ini, baik di dalam maupun luar lapangan. Kita telah sering mendengar Jose Mourinho menyombongkan kehebatan timnya tapi esoknya Madrid kalah ditekuk Sporting Gijon, atau Joey Barton yang petantang-petenteng di Twitter musim lalu, mengatakan QPR takkan degradasi ke Championship Division padahal nyatanya musim ini mereka terbenam ke sana.
Pertunjukan penuh ego ini tak pernah berujung, karena memang maskulinitas tak pernah lepas dari namanya ego. Ego pada lelaki tak pernah mengenal usia, suku dan bangsa. Dan pada dunia sepak bola yang keras ini, muncullah seseorang bernama Indra Sjafri.
Pria berkumis melintang kelahiran Painan, setengah abad silam ini memang bukan siapa-siapa. Seperti lazimnya anak lelaki Minang pada masa itu, ia memilih merantau ke Padang, ibu kota Sumatera Barat, yang berjarak hampir seratus kilometer dari kampung halamannya. Di sana ia bergabung dengan PSP Padang, klub sepak bola kebanggan penduduk Kota Bingkuang saat itu.
Di PSP, Sjafri muda terpanggil masuk tim Pra-PON mewakili Sumatera Barat pada tahun 1985. Ia seangkatan dengan Rudy William Keltjes, eks pemain timnas era 80-an dan pemenang medali emas sepak bola PON untuk Kalimantan Timur tahun lalu. Ketika itu, hati kecilnya berontak melihat banyaknya pemain yang punya kemampuan individu di atas rata-rata, namun tersia-siakan dan sulit mendapat tempat untuk membela Merah Putih di kancah internasional.
Sakit hati Sjafri muda akhirnya ia lampiaskan pada karir selanjutnya. Pria yang pernah menjadi kepala kantor pos ini memutuskan untuk jadi pelatih sepak bola, obsesinya sejak lama.
Setelah meraih lisensi A, ia pun mulai bergerilya ke pelosok-pelosok negeri. Ia telah mengunjungi tak kurang dari 43 daerah untuk mencari pemain-pemain muda berbakat. Saat ia melatih timnas U16, ia sampai harus ke Muara Teweh, sebuah kota kecil di Kalimantan sana, untuk mencari pemain muda untuk timnya.
Ia menunjukkan kesabarannya dan kecintaannya kepada sepak bola sejak diberi tugas menangani tim nasional pada tahun 2010. Ia rela merogoh koceknya sendri pada masa-masa kelam konflik sepak bola Indonesia untuk mengakomodasi perjalanannya mencari pemain muda potensial di seluruh penjuru Nusantara.
“Pemain terbaik anak bangsa di langit pun pasti akan saya cari. Kecuali naturalisasi. Saya tidak mau itu. Kita ini bangsa besar yang punya potensi selangit,” ujarnya pada suatu ketika.
Ketika pelatih timnas lainnya sibuk mengejar Jose Mourinho, ia justru sibuk bekerja keras, seperti teladan sosok The Special One itu. "Kerja keras dan tak takut menerima tantangan. Itu yang membuat saya mengidolakan Mourinho. Itu yang saya coba tiru," ujarnya. Ia menempa Evan Dimas Darmono cs dengan seluruh jiwa dan raganya. Ia juga tak ragu menjuluki anak asuhnya Skuat Garuda Jaya, meskipun banyak orang yang mencibirnya. Namun, ia maju terus.
Ia membuat semua orang Indonesia yang menyaksikan partai final Piala AFF U19 di Sidoarjo terharu karena tangisannya setelah Ravi Murdianto menepis sepakan eksekutor Vietnam, Pham Duc Huy. Saat pengalungan medali, para pemain Indonesia menyalami dan mencium tangan pelatihnya. Nilai-nilai keluhuran dan kerendahan hati yang ditanamkannya pada para remaja berbalut seragam tim nasional ini tampaknya telah meresap sepenuhnya ke relung hati mereka yang terdalam.
Apa komentar pertama sang pelatih saat ditanya para awak media?
“Ini kemenangan milik bangsa”.
Indra Sjafri dan timnya menunjukkan kepada kita bahwa masih ada light at the end of the tunnel. Betapapun kuat arus kapitalisme ke dalam dunia sepak bola yang kita cintai, ini, akan tetap ada orang yang benar-benar mengabdikan hidupnya untuknya, karena kecintaan yang telah mendarah daging.
Sebentar lagi Piala AFC U19 akan dimulai di Jakarta. Indra Sjafri dan timnya akan bertempur lagi melawan tim yang jauh lebih menantang ketimbang yang mereka hadapi di Sidoarjo beberapa pekan silam.
Kita tak akan tahu bagaimana prestasi Indonesia nantinya, tapi saya bisa memastikan bahwa kita akan tetap melihat kerendahan hati seorang Indra Sjafri di pinggir lapangan, dan respek luar biasa dari para pemainnya yang diwujudkan dalam bentuk mencium tangan sang pria tua keras hati itu.
Jika Liverpool punya spirit of Shankly, maka Indonesia punya spirit of Sjafri.
Pertama tayang di Suara Supporter.
Subscribe to:
Posts (Atom)