Sore itu, hujan lebat mengguyur Pekanbaru. Sekitar jam setengah enam, hujan lebat berganti hujan rinai-rinai yang sejuk. Saya sedang dalam perjalanan menuju sebuah acara buka bersama. Di depan bundaran Mal SKA, ada sesuatu yang menarik.
Beberapa orang, yang dari pakaian dan gayanya saya taksir para aktivis Islam yang biasa kita lihat di teras-teras masjid kampus, berdiri menantang hujan di trotoar. Mereka membawa poster-poster dari kertas karton warna-warni bertuliskan "Tolak Kudeta". Salah satu dari mereka membawa kamera SLR, barangkali seksi dokumentasi.
Saya terkesiap sejenak. Kudeta apa yang mereka tolak? Apa walikota kita dikudeta?
Namun, puing-puing kesadaran saya menyatu kembali dalam waktu sepersekian detik. Kombinasi dandanan, pakaian, dan poster-poster yang mereka bawa, membawa saya kepada berita tadi pagi. Mereka bukannya sedang memprotes kudeta yang terjadi di negeri ini, bukan, sama sekali bukan. Mereka sedang memprotes kudeta yang terjadi di negeri nun jauh di sana: Mesir.
Wajah-wajah para demonstran ini tampak letih. Polisi yang berjaga pun tampak letih. Mereka bahkan sebenarnya tidak bisa disebut demonstran karena jumlah mereka terlalu sedikit. Mereka pengunjuk rasa. Namun, dari wajah mereka terpancar keikhlasan, senyum anti-kudeta, tak peduli apakah Jenderal Abdul Fatah as-Sisi, sang menteri pertahanan yang menggulingkan Mursi itu, mendengar suara mereka di kota udik nan panas ini.
Mereka mencerminkan sikap sejati seorang Muslim. Muslim itu bersaudara. Mereka tetap mendukung Mohammad Mursi, doktor teknik yang hafal 30 juz kitab Allah itu. Mursi, dan ratusan aktivis Ikhwanul Muslimin yang menjemput syahid di Maydan Tahrir atau Rab'ah 'Adawiyyah, itu saudara mereka.
Hujan rintik-rintik bertahan hingga azan Maghrib tiba. Kaki langit berubah kuning, diiringi dengungan azan lamat-lamat membubung di udara. Para aktivis tadi perlahan-lahan membubarkan diri, menuju kantong-kantong nasi bungkus dan kotak-kotak air mineral.
Di Kairo, Alexandria, Port Said, Nasr City, Ismailiyya dan di seluruh pelosok negeri Amru ibn Ash itu, jutaan rakyat Mesir yang berang memekik: 'Esqaat el nizam! Turunkan rezim!"
19 August 2013
18 August 2013
Pragmatisme seorang Jose Mourinho
Jose Mourinho, pria Portugis bermulut besar itu adalah sosok yang kontroversial, sekaligus pragmatis. Kontroversial, karena sering melontarkan sinisme setara Piers Morgan dan keangkuhan selevel Hitler, sekaligus pragmatis, karena gaya bermainnya.
Tiga musim pertama Chelsea di bawah Mourinho adalah masa kelam bagi para pengagum sepak bola agresif. Kepragmatisan Mou, yang memakai prinsip '1-0 dan matikan permainan', hampir pasti akan membuat begawan sepak bola menyerang semacam Zdenek Zeman akan tertelan cerutu tembakaunya sendiri.
Musim 2006-07 adalah musim Premier League yang paling rendah rataan golnya, dengan rataan 2,45 gol. Chelsea hanya kalah tiga kali musim itu dan menutup pertahanan mereka rapat-rapat dengan hanya kemasukan 24 gol musim itu.
Padahal saat itu mereka mempunyai barisan tengah berkualitas dunia di diri Frank Lampard dan sosok penggedor prima dalam jiwa Didier Drogba. Jika saja Mou mau sedikit melonggarkan kebijakan pragmatisnya, saya tak akan ragu menyebut mereka berpeluang besar menggeser Manchester United dari tahta juara musim itu.
Musim ini, saat Mou kembali ke Stamford Bridge sebagai hamba Roman Abrahamovich yang kesekian, ancang-ancang bahwa ia akan kembali menerapkan pragmatisme khasnya segera menguat. Pragmatisme ini sempat membuat suporter Chelsea berdebar-debar melihat pertahanan, dan akhirnya memakan korban pertama: kekalahan perdana dari Everton.
Menariknya, Mourinho sendiri tidak menyangkal kepragmatisan yang diterapkan kepada tim-tim yang ia pimpin. Dalam sebuah wawancara dengan FourFourTwo Australia beberapa tahun lalu, ia menggambarkan dirinya sebagai pragmatis tulen yang mengedepankan kebersamaan tim.
Namun, di lain sisi, sebagai pemuja Zemanlandia dan pertandingan khas Britania yang penuh adu fisik dan baku serang, dapat saya katakan bahwa Chelsea belum bisa juara musim ini dengan hanya mengandalkan pragmatisme Mou. Fernando Torres dan kawan-kawan tampaknya harus sedikit berani berkreasi sendiri di mulut gawang, tanpa memedulikan pragmatisme pelatih mereka di pinggir lapangan.
Tiga musim pertama Chelsea di bawah Mourinho adalah masa kelam bagi para pengagum sepak bola agresif. Kepragmatisan Mou, yang memakai prinsip '1-0 dan matikan permainan', hampir pasti akan membuat begawan sepak bola menyerang semacam Zdenek Zeman akan tertelan cerutu tembakaunya sendiri.
Musim 2006-07 adalah musim Premier League yang paling rendah rataan golnya, dengan rataan 2,45 gol. Chelsea hanya kalah tiga kali musim itu dan menutup pertahanan mereka rapat-rapat dengan hanya kemasukan 24 gol musim itu.
Padahal saat itu mereka mempunyai barisan tengah berkualitas dunia di diri Frank Lampard dan sosok penggedor prima dalam jiwa Didier Drogba. Jika saja Mou mau sedikit melonggarkan kebijakan pragmatisnya, saya tak akan ragu menyebut mereka berpeluang besar menggeser Manchester United dari tahta juara musim itu.
Musim ini, saat Mou kembali ke Stamford Bridge sebagai hamba Roman Abrahamovich yang kesekian, ancang-ancang bahwa ia akan kembali menerapkan pragmatisme khasnya segera menguat. Pragmatisme ini sempat membuat suporter Chelsea berdebar-debar melihat pertahanan, dan akhirnya memakan korban pertama: kekalahan perdana dari Everton.
Menariknya, Mourinho sendiri tidak menyangkal kepragmatisan yang diterapkan kepada tim-tim yang ia pimpin. Dalam sebuah wawancara dengan FourFourTwo Australia beberapa tahun lalu, ia menggambarkan dirinya sebagai pragmatis tulen yang mengedepankan kebersamaan tim.
I prepare my team to go to a football match, not to do something special, but to make the difference. We prepare ourselves to go there as a group, to succeed. Football is a team sport, I was always a collaborative sport man. Of course, I admire people from individual sports but, for me, the collective sports were always my dream and especially sports like football, which is about 11 men at the same time thinking the same thing, working for the same goal. And I’m much more for that. What really pleases me is to see a collective performance and the group reaching an objective.Di satu sisi, saya salut dengan konsistensi Mou untuk bermain pragmatis, yang telah ia terapkan sejak duduk di kursi kepelatihan Porto, satu dekade silam. Pragmatisme yang sama ia bawa ke Stamford Bridge, San Siro, Santiago Bernabeu, dan kini kembali ke the Bridge.
Namun, di lain sisi, sebagai pemuja Zemanlandia dan pertandingan khas Britania yang penuh adu fisik dan baku serang, dapat saya katakan bahwa Chelsea belum bisa juara musim ini dengan hanya mengandalkan pragmatisme Mou. Fernando Torres dan kawan-kawan tampaknya harus sedikit berani berkreasi sendiri di mulut gawang, tanpa memedulikan pragmatisme pelatih mereka di pinggir lapangan.
08 August 2013
Lebaran yang sakral
Lebaran adalah hal yang sakral. Di Indonesia, Lebaran dimaknai sebagai hari raya Idul Fitri. Jika ditambahkan embel-embel 'haji' di belakangnya, jadilah ia bermakna hari raya Idul Adha.
Idul Fitri adalah sesuatu yang sakral. Kesakralan hari ini, hari pertama Syawal, adalah sesuatu yang tak terbantahkan, dirayakan oleh segala macam lapisan masyarakat.
Idul Fitri adalah sebuah perayaan. Perayaan keimanan, puncak dari puasa Ramadan sebulan penuh, hari kemenangan yang penuh warna. Idul Fitri adalah yaumul fath, hari kemenangan.
Saya bukanlah seseorang yang berilmu agama tinggi, apalagi bisa mengeluarkan ijtihad berupa-rupa. Maka karena kejahilan saya inilah, saya berusaha memaknai Idul Fitri secara sederhana.
Idul Fitri adalah feast. Berupa-rupa makanan terhidang, yang tak pernah kita lihat sebelumnya. Lontong, opor, ketupat, rendang, gulai, dan berupa-rupa penganan yang jika saya sebutkan satu persatu akan mengubah tulisan ini menjadi daftar menu restoran.
Lebaran juga menjadi sesuatu yang membuat senewen beberapa orang. Indonesia pasca-Soeharto paling riweuh soal penentuan kapan Lebaran. Kadang, ormas-ormas bertikai, beradu argumen yang pintar-pintar, berbuih-buih istilah Arab keluar dari mulut mereka. Semua itu digelar di hadapan hidung bapak menteri agama yang terhormat. Sidang itsbat lebih populer ketimbang sidang vonis koruptor atau eksekusi cambuk.
Ada dua jenis anak Adam yang berbeda cara dalam memaknai Idul Fitri.
Idul Fitri dimaknai damai oleh orang-orang yang berpikir terbuka. Mereka ini kaum yang lapang ati lapang ikua, yang berdebat dengan elegan dan menerima perbedaan tanpa mencacimaki. Merekalah kaum yang patuh atas palu yang diketuk bapak menteri agama saat sidang itsbat. Mereka adalah kaum yang telah sampai kepada kematangan spiritual. Panduan hidup mereka adalah Quran dan Hadits. Terberkatilah orang-orang seperti ini.
Adapun golongan kedua adalah golongan yang memaknai Idul Fitri sebagai sesuatu yang harus diseragamkan. Kaum ini gemar berdebat dan mengeluarkan dalil-dalil pintar yang menyihir audiensnya. Mereka kaum yang merasa bahwa mereka harus memanfaatkan sebaik-baiknya lisan karunia Tuhan. Mereka menjajakan pemikiran mereka dengan vokal dan keras. Tak sedikit dari mereka yang berbeda pendapat dengan pemerintah, lalu berlebaran sehari atau dua hari lebih cepat ketimbang putusan yang diketuk bapak menteri agama yang terhormat. Terberkati jugalah orang-orang ini.
Selamat hari raya Idul Fitri 1434 Hijriyyah kepada semua pembaca blog ini. Bagi yang mudik, mudiklah. Pulang ke haribaan kampung halaman. Tsaaaah.
Saya sendiri baru mudik ke Padang pada hari raya kedua. Huhuhu.
Idul Fitri adalah sesuatu yang sakral. Kesakralan hari ini, hari pertama Syawal, adalah sesuatu yang tak terbantahkan, dirayakan oleh segala macam lapisan masyarakat.
Idul Fitri adalah sebuah perayaan. Perayaan keimanan, puncak dari puasa Ramadan sebulan penuh, hari kemenangan yang penuh warna. Idul Fitri adalah yaumul fath, hari kemenangan.
Saya bukanlah seseorang yang berilmu agama tinggi, apalagi bisa mengeluarkan ijtihad berupa-rupa. Maka karena kejahilan saya inilah, saya berusaha memaknai Idul Fitri secara sederhana.
Idul Fitri adalah feast. Berupa-rupa makanan terhidang, yang tak pernah kita lihat sebelumnya. Lontong, opor, ketupat, rendang, gulai, dan berupa-rupa penganan yang jika saya sebutkan satu persatu akan mengubah tulisan ini menjadi daftar menu restoran.
Lebaran juga menjadi sesuatu yang membuat senewen beberapa orang. Indonesia pasca-Soeharto paling riweuh soal penentuan kapan Lebaran. Kadang, ormas-ormas bertikai, beradu argumen yang pintar-pintar, berbuih-buih istilah Arab keluar dari mulut mereka. Semua itu digelar di hadapan hidung bapak menteri agama yang terhormat. Sidang itsbat lebih populer ketimbang sidang vonis koruptor atau eksekusi cambuk.
Ada dua jenis anak Adam yang berbeda cara dalam memaknai Idul Fitri.
Idul Fitri dimaknai damai oleh orang-orang yang berpikir terbuka. Mereka ini kaum yang lapang ati lapang ikua, yang berdebat dengan elegan dan menerima perbedaan tanpa mencacimaki. Merekalah kaum yang patuh atas palu yang diketuk bapak menteri agama saat sidang itsbat. Mereka adalah kaum yang telah sampai kepada kematangan spiritual. Panduan hidup mereka adalah Quran dan Hadits. Terberkatilah orang-orang seperti ini.
Adapun golongan kedua adalah golongan yang memaknai Idul Fitri sebagai sesuatu yang harus diseragamkan. Kaum ini gemar berdebat dan mengeluarkan dalil-dalil pintar yang menyihir audiensnya. Mereka kaum yang merasa bahwa mereka harus memanfaatkan sebaik-baiknya lisan karunia Tuhan. Mereka menjajakan pemikiran mereka dengan vokal dan keras. Tak sedikit dari mereka yang berbeda pendapat dengan pemerintah, lalu berlebaran sehari atau dua hari lebih cepat ketimbang putusan yang diketuk bapak menteri agama yang terhormat. Terberkati jugalah orang-orang ini.
Selamat hari raya Idul Fitri 1434 Hijriyyah kepada semua pembaca blog ini. Bagi yang mudik, mudiklah. Pulang ke haribaan kampung halaman. Tsaaaah.
Saya sendiri baru mudik ke Padang pada hari raya kedua. Huhuhu.
01 August 2013
Mengapa saya menulis
Bagi saya, menulis adalah pekerjaan mulia. Para penulis adalah the messengers, orang-orang yang mengabdikan dirinya demi mencerdaskan rakyatnya. Tentu kita tahu bahwa ada pepatah kuno don't kill the messenger, dan kita tahu pula bahwa banyak penulis yang dibunuh karena karyanya.
Menulis dalam artian kita mengarang, membuat artikel. Bukan sekadar tulis-menulis benda remeh temeh seperti catatan utang warung kopi. Sejak kecil, saya sering menonton film-film yang tanpa kita sadari, menampilkan unsur-unsur jurnalistik di dalamnya. Jurnalistik, jelas memerlukan skill menulis.
Seperti anak-anak kecil di zamannya, saya menonton The Amazing Spiderman :) Di sana dikisahkan bahwa Clark Kent adalah seorang jurnalis. Pewarta. Reporter. The messenger. Otak saya yang lugu (ceileh) langsung memproses, "jurnalis adalah pekerjaan keren."
Kalau jurnalis bukan pekerjaan keren, mengapa Clark Kent mau repot-repot mengetik lembur, mewawancarai orang, sampai mengejar-ngejar berita ke sana kemari? Kenapa dia menanggalkan ego kesuperheroannya dan memilih kerja sebagai jurnalis? Mengapa dia tidak mengikuti jejak sobatnya saja, Bruce Wayne misalnya, yang jadi industralis kelas wahid?
Jawabannya, karena pekerjaan jurnalis itu keren. Titik. Hanya itu saja yang ada di benak saya waktu itu.
Besar sedikit, saya membaca koran. Media cetak paling merakyat, setidaknya sebelum zaman Internet dan online journalism datang memberangusnya. Kakek saya berlangganan koran Haluan di rumahnya di Padang dulu. Setiap dia sedang berkebun tiap pagi, ada seorang loper koran mengayuh sepeda butut yang sudah oleng sebelah karena beban koran yang menumpuk di sadel belakangnya. Ia menyangkutkan koran yang masih berbau khas percetakan itu ke pagar rumah kakek. Saya selalu berebut untuk membaca koran itu.
Dan karena kesukaan saya membaca koran pulalah, saya beberapa kali masuk koran dalam usia belum genap empat tahun. Hehehe. Tahu kolom khusus yang biasa dipakai para orang tua untuk memajang foto anaknya yang masih balita di sana, berikut ucapan salam (misalnya salam Lebaran Raya atau Lebaran Haji) kepada keluarga yang jauh? Nah, di situ saya muncul.
Saat itu ayah saya masih di Inggris. Saya tampil di kolom khusus balita itu dan tertulis, "salam untuk Papa di Manchester". Di kemudian hari saya pikir lagi: "Emangnya nih koran nyampai distribusinya ke Manchester?" Hehehehe
Dari koran pagi Haluan itu pulalah saya mengenal beberapa kolumnis kondang yang rajin menghiasi koran tebal itu dengan tulisan-tulisan mereka. Temanya variatif. Hari ini profesor A menyajikan mengenai Palestina, besoknya lagi doktor B beropini mengenai HAM, dan besoknya lagi doktorandus C bersilang pendapat dengan keduanya: ia membahas silat Minang.
Kolom favorit saya di Haluan saat itu adalah kolom berbahasa Minang. Ada cerbung Sabai nan Aluih yang legendaris di sana. Mungkin Anda tahu hikayat Sabai nan Aluih yang terkenal itu. Tapi, Sabai nan Aluih yang ada di Harian berbeda sendiri. Ia tak berkisah tentang pertengkaran adat kontra agama atau kawin lari yang lazim kita temukan di novel-novel lama sastrawan Minangkabau. Sabai yang ini bertutur tentang kehidupan sosial rakyat Sumatera Barat saat itu. Dikisahkan bahwa ada dua sahabat di sebuah kampung dekat kota yang rajin maota di kedai kopi kampung mereka. Topik ota mereka variatif dan kaya akan pemahaman sosial. Dua sahabat ini kadang menyindir para tetua adat yang kolot, pak bupati yang kemarin masuk bui karena korupsi, hingga para maling ayam yang kena denda sosial karena menebang pohon pisang wali nagari tempo hari.
Mungkin saya beruntung lahir dan besar di Padang, sebuah kota yang mempunyai akar jurnalistik dan literatur yang sangat kuat. Koran pertama di Indonesia terbit di Padang. Tak terhitung banyaknya sastrawan dan sastrawati besar yang berasal dari Sumatera Barat. Saat saya kecil, industri jurnalistik, wabilkhusus koran, masih menjamur di Padang.
Bapak-bapak di kawasan Pondok di Muaro sering kali saya lihat duduk berbincang dengan kawannya, dengan koran, entah itu Haluan atau Singgalang, di tangan. Kadang sambil menyeruput es durian Pulau Karam yang legendaris itu atau main catur halma. Tapi sesudah gempa 2009, saya dengar bahwa sudah banyak koran-koran kecil yang terpaksa gulung tikar. Sayang sekali.
Selain koran, yang saya baca lainnya adalah Harry Potter. Saya pertama kali bertemu Harry Potter dalam bentuk CD, bukan bukunya. Jadi saya terlebih dahulu tahu tentang Profesor Dumbledore dan asrama Ravenclaw karena menonton filmnya. Bukunya ada, tapi versi Inggris. Ditambah kapasitas otak anak kelas 2 SD, saya tak berminat membaca bukunya. Versi Indonesianya sendiri baru saya baca saat kelas 1 SMP.
Sejak menonton Harry Potter dan Batu Bertuah, saya menganggap buku-buku J.K. Rowling, J.R.R. Tolkien sang pengarang The Lord of the Rings dan C.S. Lewis sang penulis The Chronicles of Narnia sebagai sebuah khazanah ilmu yang baru bisa dipahami setelah bertapa beberapa hari di gua terpencil. Mungkin kedengaran agak lebay, tapi begitulah yang dipahami oleh kami, anak-anak SD pinggiran kota Pekanbaru.
Sejak saat itu saya mengerti bahwa penulis, dan segala pekerjaan yang berhubungan dengan menulis, adalah pekerjaan keren. Tidak lagi samar-samar seperti ketika saya menonton Spiderman meloncat dari bangunan satu ke bangunan lain dan besoknya dia sudah hadir lagi di kantornya selaku wartawan biasa.
Saat saya pindah ke Malaysia, Indonesia sedang dilanda booming buku-buku dakwah romantis seperti buku-buku Habiburrahman El Shirazy. Saya yang polos, menurut saja diajak menonton filmnya di Batam. Pulang dari bioskop saya gagal menangkap apapun dari film tadi.
Saat saya di Malaysia jugalah hadirnya tetralogi Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata. Kami, anak-anak Indonesia di Malaysia, berbondong-bondong menonton filmnya saat ada pemutaran di pesantren kilat Ramadan kami. Yang bisa mengambil iktibar dari film tersebut, diberi hadiah dari ustadzah pembimbing kami. Tak ada yang bisa jawab, selain karena kami terlalu fokus mendengarkan soundtrack film itu yang digubah Nidji, putihnya pasir di pulau Belitong dan potret buram seorang lelaki berwajah Melayu berambut ikal di bagian belakang novelnya.
Sejak saat itu, bahkan sampai hari ini, saya tetap menulis. Paling tidak seminggu sekali, di blog ini, atau di ratusan lembar buku harian yang terserak entah di mana letaknya kini. Saya mengenal blog sebagai tempat menulis yang efektif, sekaligus membuka pergaulan kita dengan banyak orang lain yang sebelumnya tidak kita kenal.
Kebiasaan saya untuk blogwalking, blusukan dari blog ke blog, membaca tulisan-tulisan dan analisis-analisis orang lain mengenai suatu perkara, saya ibaratkan seperti Ibnu Batutah, sang penjelajah Maroko yang pergi ke sana kemari hingga ke tanah Gayo di Aceh untuk membuka cakrawala pengetahuannya.
Karena itulah Islam menganjurkan kita hijrah, bermusafir dari satu tempat ke tempat lain, membuka pikiran kita terhadap hal-hal baru dan tidak membiarkan wawasan kita tidak terkungkung di satu tempat saja. Dan tidak ada cara terbaik untuk merekam suatu perjalanan selain menuliskannya. Sebab itulah kini buku-buku traveling sangat laku. Hehehe.
Ali ibn Abi Thalib pernah berkata, "Ikatlah ilmu dengan menulisnya." Ali ini orang yang luar biasa cerdasnya. Kata Nabi, "kalau ilmu itu ibarat suatu kota, maka Ali inilah gerbangnya."
Pernah mendengar frasa "[masukkan nama pengarang di sini] boleh mati, tapi karya-karyanya tetap hidup"? Nah, jika Qin Shi Huang, kaisar pertama Cina, sampai harus membangun patung-patung terakota yang perkasa demi mengawalnya "menuju keabadian", saya percaya bahwa kita bisa melakukannya dengan mudah tanpa harus memahat patung di pegunungan Shaanxi, yaitu dengan menulis.
Menulis dalam artian kita mengarang, membuat artikel. Bukan sekadar tulis-menulis benda remeh temeh seperti catatan utang warung kopi. Sejak kecil, saya sering menonton film-film yang tanpa kita sadari, menampilkan unsur-unsur jurnalistik di dalamnya. Jurnalistik, jelas memerlukan skill menulis.
Seperti anak-anak kecil di zamannya, saya menonton The Amazing Spiderman :) Di sana dikisahkan bahwa Clark Kent adalah seorang jurnalis. Pewarta. Reporter. The messenger. Otak saya yang lugu (ceileh) langsung memproses, "jurnalis adalah pekerjaan keren."
Kalau jurnalis bukan pekerjaan keren, mengapa Clark Kent mau repot-repot mengetik lembur, mewawancarai orang, sampai mengejar-ngejar berita ke sana kemari? Kenapa dia menanggalkan ego kesuperheroannya dan memilih kerja sebagai jurnalis? Mengapa dia tidak mengikuti jejak sobatnya saja, Bruce Wayne misalnya, yang jadi industralis kelas wahid?
Jawabannya, karena pekerjaan jurnalis itu keren. Titik. Hanya itu saja yang ada di benak saya waktu itu.
Besar sedikit, saya membaca koran. Media cetak paling merakyat, setidaknya sebelum zaman Internet dan online journalism datang memberangusnya. Kakek saya berlangganan koran Haluan di rumahnya di Padang dulu. Setiap dia sedang berkebun tiap pagi, ada seorang loper koran mengayuh sepeda butut yang sudah oleng sebelah karena beban koran yang menumpuk di sadel belakangnya. Ia menyangkutkan koran yang masih berbau khas percetakan itu ke pagar rumah kakek. Saya selalu berebut untuk membaca koran itu.
Dan karena kesukaan saya membaca koran pulalah, saya beberapa kali masuk koran dalam usia belum genap empat tahun. Hehehe. Tahu kolom khusus yang biasa dipakai para orang tua untuk memajang foto anaknya yang masih balita di sana, berikut ucapan salam (misalnya salam Lebaran Raya atau Lebaran Haji) kepada keluarga yang jauh? Nah, di situ saya muncul.
Saat itu ayah saya masih di Inggris. Saya tampil di kolom khusus balita itu dan tertulis, "salam untuk Papa di Manchester". Di kemudian hari saya pikir lagi: "Emangnya nih koran nyampai distribusinya ke Manchester?" Hehehehe
Dari koran pagi Haluan itu pulalah saya mengenal beberapa kolumnis kondang yang rajin menghiasi koran tebal itu dengan tulisan-tulisan mereka. Temanya variatif. Hari ini profesor A menyajikan mengenai Palestina, besoknya lagi doktor B beropini mengenai HAM, dan besoknya lagi doktorandus C bersilang pendapat dengan keduanya: ia membahas silat Minang.
Kolom favorit saya di Haluan saat itu adalah kolom berbahasa Minang. Ada cerbung Sabai nan Aluih yang legendaris di sana. Mungkin Anda tahu hikayat Sabai nan Aluih yang terkenal itu. Tapi, Sabai nan Aluih yang ada di Harian berbeda sendiri. Ia tak berkisah tentang pertengkaran adat kontra agama atau kawin lari yang lazim kita temukan di novel-novel lama sastrawan Minangkabau. Sabai yang ini bertutur tentang kehidupan sosial rakyat Sumatera Barat saat itu. Dikisahkan bahwa ada dua sahabat di sebuah kampung dekat kota yang rajin maota di kedai kopi kampung mereka. Topik ota mereka variatif dan kaya akan pemahaman sosial. Dua sahabat ini kadang menyindir para tetua adat yang kolot, pak bupati yang kemarin masuk bui karena korupsi, hingga para maling ayam yang kena denda sosial karena menebang pohon pisang wali nagari tempo hari.
Mungkin saya beruntung lahir dan besar di Padang, sebuah kota yang mempunyai akar jurnalistik dan literatur yang sangat kuat. Koran pertama di Indonesia terbit di Padang. Tak terhitung banyaknya sastrawan dan sastrawati besar yang berasal dari Sumatera Barat. Saat saya kecil, industri jurnalistik, wabilkhusus koran, masih menjamur di Padang.
Bapak-bapak di kawasan Pondok di Muaro sering kali saya lihat duduk berbincang dengan kawannya, dengan koran, entah itu Haluan atau Singgalang, di tangan. Kadang sambil menyeruput es durian Pulau Karam yang legendaris itu atau main catur halma. Tapi sesudah gempa 2009, saya dengar bahwa sudah banyak koran-koran kecil yang terpaksa gulung tikar. Sayang sekali.
Selain koran, yang saya baca lainnya adalah Harry Potter. Saya pertama kali bertemu Harry Potter dalam bentuk CD, bukan bukunya. Jadi saya terlebih dahulu tahu tentang Profesor Dumbledore dan asrama Ravenclaw karena menonton filmnya. Bukunya ada, tapi versi Inggris. Ditambah kapasitas otak anak kelas 2 SD, saya tak berminat membaca bukunya. Versi Indonesianya sendiri baru saya baca saat kelas 1 SMP.
Sejak menonton Harry Potter dan Batu Bertuah, saya menganggap buku-buku J.K. Rowling, J.R.R. Tolkien sang pengarang The Lord of the Rings dan C.S. Lewis sang penulis The Chronicles of Narnia sebagai sebuah khazanah ilmu yang baru bisa dipahami setelah bertapa beberapa hari di gua terpencil. Mungkin kedengaran agak lebay, tapi begitulah yang dipahami oleh kami, anak-anak SD pinggiran kota Pekanbaru.
Sejak saat itu saya mengerti bahwa penulis, dan segala pekerjaan yang berhubungan dengan menulis, adalah pekerjaan keren. Tidak lagi samar-samar seperti ketika saya menonton Spiderman meloncat dari bangunan satu ke bangunan lain dan besoknya dia sudah hadir lagi di kantornya selaku wartawan biasa.
Saat saya pindah ke Malaysia, Indonesia sedang dilanda booming buku-buku dakwah romantis seperti buku-buku Habiburrahman El Shirazy. Saya yang polos, menurut saja diajak menonton filmnya di Batam. Pulang dari bioskop saya gagal menangkap apapun dari film tadi.
Saat saya di Malaysia jugalah hadirnya tetralogi Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata. Kami, anak-anak Indonesia di Malaysia, berbondong-bondong menonton filmnya saat ada pemutaran di pesantren kilat Ramadan kami. Yang bisa mengambil iktibar dari film tersebut, diberi hadiah dari ustadzah pembimbing kami. Tak ada yang bisa jawab, selain karena kami terlalu fokus mendengarkan soundtrack film itu yang digubah Nidji, putihnya pasir di pulau Belitong dan potret buram seorang lelaki berwajah Melayu berambut ikal di bagian belakang novelnya.
Sejak saat itu, bahkan sampai hari ini, saya tetap menulis. Paling tidak seminggu sekali, di blog ini, atau di ratusan lembar buku harian yang terserak entah di mana letaknya kini. Saya mengenal blog sebagai tempat menulis yang efektif, sekaligus membuka pergaulan kita dengan banyak orang lain yang sebelumnya tidak kita kenal.
Kebiasaan saya untuk blogwalking, blusukan dari blog ke blog, membaca tulisan-tulisan dan analisis-analisis orang lain mengenai suatu perkara, saya ibaratkan seperti Ibnu Batutah, sang penjelajah Maroko yang pergi ke sana kemari hingga ke tanah Gayo di Aceh untuk membuka cakrawala pengetahuannya.
Karena itulah Islam menganjurkan kita hijrah, bermusafir dari satu tempat ke tempat lain, membuka pikiran kita terhadap hal-hal baru dan tidak membiarkan wawasan kita tidak terkungkung di satu tempat saja. Dan tidak ada cara terbaik untuk merekam suatu perjalanan selain menuliskannya. Sebab itulah kini buku-buku traveling sangat laku. Hehehe.
Ali ibn Abi Thalib pernah berkata, "Ikatlah ilmu dengan menulisnya." Ali ini orang yang luar biasa cerdasnya. Kata Nabi, "kalau ilmu itu ibarat suatu kota, maka Ali inilah gerbangnya."
Pernah mendengar frasa "[masukkan nama pengarang di sini] boleh mati, tapi karya-karyanya tetap hidup"? Nah, jika Qin Shi Huang, kaisar pertama Cina, sampai harus membangun patung-patung terakota yang perkasa demi mengawalnya "menuju keabadian", saya percaya bahwa kita bisa melakukannya dengan mudah tanpa harus memahat patung di pegunungan Shaanxi, yaitu dengan menulis.
Subscribe to:
Posts (Atom)