21 October 2017

Tentang narkotika: sebuah esai

Sidang perdana Parlemen Remaja 2017 di Gedung DPR; saya di meja pimpinan

Satu kematian adalah sebuah tragedi. Sejuta kematian hanyalah statistik.

Pepatah lama Rusia itu rasanya cukup sesuai untuk menggambarkan kondisi persebaran narkotika di Indonesia. Menurut data Badan Narkotika Nasional tahun 2016, setidaknya 5,9 juta rakyat Indonesia diketahui pernah atau sedang menggunakan satu atau lebih jenis narkotika yang terlarang secara hukum. Pada satu kesempatan, Presiden Joko Widodo menyebutkan bahwa sekitar lima belas ribu orang pemuda dan remaja Indonesia setiap tahunnya mati karena narkotika. 

Namun, hingga saat ini Indonesia masih belum memiliki pendekatan yang sesuai untuk menghadapi potensi krisis narkotika di masa yang akan datang. Kita bisa mengirimkan bandar narkoba berpaspor asing ke hadapan regu tembak atau membakar narkotika sitaan di alun-alun kota, tapi yang diperlukan dalam memerangi narkoba adalah sebuah pendekatan komprehensif dalam bidang sosial, ekonomi, politik, kesehatan, hingga keamanan nasional. Bila narkoba masih beredar bebas di sekolah, perumahan, dan lingkungan masyarakat Indonesia, maka perjuangan tersebut masih jauh dari kata selesai.

Bila berbicara tentang narkoba dan generasi muda, misalnya, angka dan statistik boleh berupa-rupa, namun gagasan utama di baliknya adalah betapa besar bahaya yang disimpan oleh narkotika pada generasi ini. Dengan lebih dari setengah populasi Indonesia berusia di bawah 30 tahun, Indonesia harus dapat melindungi generasinya yang akan datang,  yang diperkirakan akan mengalami demographic bonus pada periode 2025 hingga 2035. Bahaya yang mengancam generasi ini tidak lain dan tidak bukan adalah kecanduan, kejahatan, dan hal-hal yang menyangkut narkotika dan macam-ragamnya.

Dewan Perwakilan Rakyat, sebagai lembaga legislatif yang mewakili suara rakyat dalam alam demokrasi Indonesia, memangku kepentingan dan kekuasaan yang besar dalam merumuskan sebuah pendekatan strategis untuk melindungi generasi muda Indonesia dari ancaman narkoba. Dengan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan yang dimiliki, DPR seharusnya dapat memainkan peran penting dalam upaya ini. 

Dalam esai ini, saya mengusulkan dua pendekatan utama yang dapat ditempuh oleh DPR, bekerja sama dengan pemangku kepentingan negara lain, dalam melindungi generasi muda Indonesia dari ancaman narkoba. Dua ide utama tersebut adalah mengakhiri pendekatan kriminalistik dan mulai memperlakukan krisis narkoba sebagai sebuah krisis kesehatan masyarakat. 
Dalam studi-studi mengenai narkoba, terdapat dua macam pendekatan yang umum dikenal. Salah satunya adalah pendekatan tough on crime yang kriminalistik. Ini berarti negara memandang narkoba selayaknya kejahatan pidana besar yang tak terampunkan. Pendekatan seperti ini diterapkan oleh negara-negara seperti Amerika Serikat dengan retorika War on Drugs-nya, atau di Filipina akhir-akhir ini, dengan kebijakan-kebijakan keras Presiden Rodrigo Duterte. 
Indonesia, pada tahap tertentu, sudah memiliki salah satu hukum narkotika paling keras di dunia. UU Narkotika memperbolehkan hukuman mati pada pengedar narkoba. Namun ini tak mengurangi keagresifan beberapa aparat negara, mulai dari Kepala BNN Jenderal Budi Waseso yang mengusulkan agar penjara yang memuat narapidana narkoba dikelilingi buaya, harimau, dan ikan piranha, hingga Presiden Widodo sendiri yang tak menutup kemungkinan perintah tembak di tempat untuk para pengedar narkoba.
Sayangnya, retorika kriminalisasi yang keras ini tidak hanya kontraproduktif dalam upaya memerangi narkoba. Bahkan, bisa saja menyebabkan efek-efek samping yang tak diinginkan dan justru menghambat kemajuan gerakan anti-narkotika.
Ambil contoh hukuman mati terhadap pengedar narkoba, misalnya. Indonesia adalah salah satu dari 58 negara di dunia yang masih menggunakan hukuman mati dalam undang-undang kriminalnya, sementara 103 negara lain telah menghapuskannya secara total. Tidak mengejutkan bahwa pada tahun-tahun terakhir, hampir seluruh terpidana mati di Indonesia tersangkut kasus peredaran atau penyelundupan narkotika, dan sebagian dari mereka merupakan warga negara asing.
Namun, mengirimkan para pengedar narkoba ke hadapan regu tembak bukanlah solusi yang efektif. Hukuman mati tidak dapat dikoreksi ulang karena bersifat final dan berdampak langsung, sehingga menutup kemungkinan memperbaiki kesalahan dalam sistem peradilan yang mungkin terjadi. Tambahan pula, posisi Indonesia di kancah mancanegara dapat terlihat buruk: kita tentunya ingat akan krisis diplomatik yang sempat terjadi ketika kasus Bali Nine yang menggemparkan pada awal tahun 2015. 
DPR dapat mengakhiri hukuman mati untuk pidana narkotika dengan merevisi UU No 35 tahun 2009, seperti pada Pasal 116 ayat 2, Pasal 118 ayat 2, dan Pasal 119 ayat 2.
Memasukkan para pemakai narkoba ke dalam penjara pun merupakan sebuah kebijakan yang salah. Secara nasional, 70% dari seluruh narapidana didakwa karena kejahatan terkait narkoba. Indonesia tidak hanya memiliki hukum yang keras dalam urusan penyelundupan narkoba, namun juga dalam pemakaian narkoba, meskipun itu hanya dalam kadar yang amat kecil.
Kriminalisasi pemakaian narkoba dalam jumlah massal memiliki efek samping yang tak terelakkan: penjara yang semakin penuh dan potensi krisis HIV/AIDS di dalam penjara. Kondisi Lembaga-Lembaga Pemasyarakatan seringkali buruk, sempit, pengap, dan tanpa kebutuhan-kebutuhan mendasar untuk hajat hidup manusia. Memenjarakan seseorang itu sendiri sudah berarti memporak-porandakan keluarga dan lingkungan, karena stigma dan pola pikir masyarakat terhadap orang banduan masihlah amat negatif.
 
Juga menurut Buehler, sekitar 30 persen kematian di dalam penjara diakibatkan oleh HIV/AIDS yang berasal dari jarum suntik bekas yang beredar secara bebas di balik jeruji. Tidak mengherankan bahwa hampir setengah dari korbannya merupakan para remaja dan pemuda usia produktif 18 hingga 35 tahun. 
Dengan hak angket dan interpelasi, DPR dapat menuntut pemerintah untuk mengakhiri pendekatan kriminalistik yang kontraproduktif ini. DPR dapat memilih untuk mengalihkan formasi APBN untuk memperbaiki kondisi Lembaga Pemasyarakatan dan menuntut pemerintah untuk berhenti mendakwa lebih banyak narapidana narkoba yang sebenarnya dapat direhabilitasi. 
Lalu, bila pendekatan kriminal tak dapat dilakukan, apa yang harus dilakukan?
Jawabannya adalah mulai memperlakukan krisis narkoba sebagai masalah kesehatan masyarakat. Saat ini di Indonesia, jauh lebih mudah untuk mendapatkan narkoba ketimbang mendapatkan rehabilitiasi narkoba.  Pecandu narkoba, sebagian besar dari mereka merupakan generasi muda, yang berniat untuk mendapatkan rehabilitasi seringkali terhalang oleh fasilitas yang tidak memadai, kompetensi yang tak cukup, hingga masalah-masalah lain yang pada akhirnya menghambat. 
DPR dapat bekerja sama dengan pemerintah untuk memfokuskan semula pekerjaan Badan Narkotika Nasional, lembaga yang bertanggungjawab dalam pemberantasan narkotika, untuk meninggalkan pendekatan kriminal menuju pendekatan kesehatan masyarakat. 

Itu berarti membuka dan memperluas jaringan klinik-klinik rehabilitasi, memperluas akses pada naloxone untuk mereka yang beresiko terkena overdosis, dan memulai kembali program pertukaran jarum suntik bersih untuk menghindari peredaran virus mematikan seperti HIV/AIDS.
Kampanye anti-narkoba kepada generasi muda juga harus diintensifkan. Dalam hal ini, program-program ekstrakurikuler dan olahraga di sekolah terbukti menjadi salah satu solusi yang efektif untuk mencegah remaja untuk terlibat dalam narkoba. DPR harus mempertimbangkan lebih banyak waktu untuk siswa dan siswi sekolah terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang positif, baik akademik maupun non-akademik. 
Pemakai dan pengedar narkoba berhak untuk mendapatkan bantuan dan perlindungan dari negara apabila mereka berniat untuk bertobat dan mengakhiri kegiatan mereka untuk kembali ke masyarakat dengan bersih. Memenjarakan mereka bukanlah solusi, namun rehabilitasi tentu saja akan sangat membantu. 
Hari depan Indonesia adalah hari depan yang berlayar di antara dua karang. Di satu sisi, kita harus dapat mencegah generasi muda kita agar tak terpengaruh oleh bahaya besar narkotika. Di sisi lain, dengan tangan terbuka kita harus menerima kembali mereka yang memiliki masa silam yang gelap, dan merangkul mereka bersama menuju hari depan yang lebih cerah. 

Referensi:
Tanbihat: Esai ini merupakan salah satu syarat utama untuk lolos mengikuti kegiatan Parlemen Remaja 2017 yang diselenggarakan oleh Sekretariat Jenderal DPR pada beberapa waktu silam. Saya, bersama tiga siswa tingkat SMA/MA lain, terpilih mewakili Provinsi Riau dalam acara pendidikan politik yang berlangsung selama satu pekan ini. 

Setjen DPR menghimpun kumpulan esai dari anggota-anggota delegasi yang terpilih, namun sirkulasinya dapat dikatakan cukup terbatas. Saya memilih untuk mengunggahnya di sini agar dapat dibaca dan diingat oleh khalayak. 

17 August 2017

Alphonso Davies: dari kamp pengungsi ke Piala Emas

-- bagaimana keramahtamahan Kanada menyelamatkan talenta emas asal Liberia ini

Alphonso Davies punya tendangan keras yang spektakuler. Instingnya tajam merebut bola dari bek-bek yang kebingungan. Ia melesat tanpa kesulitan, membobol ruang-ruang sempit maupun lapang yang tersedia. Umpan-umpan yang dikirimkan dari lini tengah ia upayakan untuk dieksekusi dengan sebaik mungkin, entah itu ia kirim ke depan atau olah sendiri jadi gol.

Bagi mereka yang sekilas menonton gerak lincahnya, Davies tampak seperti pemain sayap jebolan akademi sepak bola bergengsi yang telah mengaduk-aduk lapangan rumput sejak kecil benar. Ada benarnya: ia bergabung dengan akademi lokal di kota tempat ia tumbuh besar di Edmonton, Alberta. Ia telah menyarungkan seragam Kanada U15 saat baru berusia 13 tahun. Ia bergabung dengan akademi Vancouver Whitecaps pada tahun berikutnya.

Usia muda Davies juga dapat menarik perhatian. Ia adalah pemain Major League Soccer pertama yang dilahirkan di milenium 2000an kala menjalani debut untuk tim utama Whitecaps musim lalu. Tapi ia bukan yang termuda: Freddy Adu masih memegang rekor itu kala menjalani debut bersama DC United saat berusia 14 tahun pada Mei 2004. Ia pemain termuda yang bergabung dengan tim nasional Kanada untuk Piala Emas CONCACAF 2017 di Amerika Serikat. Tak lama, ia memecahkan rekor pencetak gol termuda kala menjebol gawang Guyana Perancis dua kali dalam partai pembuka, dan menyelamatkan muka The Canucks dengan satu gol penyeimbang di laga kedua kontra Kosta Rika.

“Pada usia 15 tahun, saya bahkan tak dapat menatap mata seseorang secara langsung,” ujar Paul Dalglish, pelatih Ottawa Fury, salah satu rival Whitecaps. “Dan dia keluar (bermain di lapangan) dan melesat (melewati) para pemain dengan gaya yang amat mengesankan. Sinarnya bersinar terang.”

Namun, yang paling utama, kisah mencuatnya seorang Alphonso Davies adalah sebuah kisah yang sangat Kanada sekali.

Kanada, negeri asal Owen Hargreaves dan Justin Trudeau ini, terkenal di pentas dunia karena keramahtamahannya yang tak mengenal warna. Bila Amerika Serikat terkenal sebagai land of the free yang menekankan etos individualisme dan kebebasan klasik, maka Kanada menawarkan perlindungan dan keamanan bagi kaum dan etnis yang tertindas di seluruh dunia. Tak terbilang lagi beragam-macam kelompok tertindas korban konflik yang diizinkan masuk ke perbatasan negeri bersimbol daun maple ini untuk beroleh keamanan dan membina hidup baru. Para pengungsi dari Asia, Afrika, Timur Tengah, dan Amerika Selatan, semuanya telah merasakan kehangatan negeri yang berbatas Kutub Utara ini.

Kala Eropa dan Amerika Serikat diaduk krisis pengungsi dalam lima tahun terakhir sebagai dampak dari perang sipil tak berkesudahan di Suriah, dan dikompori pula oleh kebangkitan gerakan-gerakan konservatif dan ultranasionalis yang berkampanye anti-imigrasi, Perdana Menteri Trudeau berdiri di gerbang bandar udara untuk menyambut keluarga para pengungsi Suriah. Di antara negara-negara Barat, Kanada telah menerima dan merelokasi hampir lima puluh ribu pengungsi Suriah pada akhir 2016, jumlah yang hanya dapat disaingi oleh Turki atau Jerman.

Keluarga Davies adalah salah satu dari mereka yang beruntung merasakan kehangatan Kanada dan penduduknya. Orang tuanya, Victoria dan Debeah, melarikan diri dari amukan perang saudara di Liberia dan tinggal selama beberapa lama di kamp pengungsi Buduburam di negeri tetangga, Ghana.

“Kehidupan pengungsi itu seperti (seseorang) meletakkanmu di kontainer dan menguncinya,” ujar Davies dalam sebuah wawancara video yang diproduksi Whitecaps.

Keluarganya kemudian mendapatkan visa pengungsi di Kanada saat Davies berusia lima tahun. Mereka berpindah-pindah tempat tinggal sebelum menetap di Edmonton, tempatnya memulai karir sepak bola usia dini.

“Perjalanan (saya) amat panjang: melarikan diri dari perang, hidup di kamp pengungsi. Tiba di Kanada adalah hal yang kami imlikan sebagai sebuah keluarga,” ujar Davies.

Davies mendapatkan kewarganegaraan Kanada hanya sebulan sebelum pagelaran Piala Emas dimulai. Kebahagiannya melebihi kabar bahwa para pencari bakat klub elit di Eropa, termasuk Manchester United, sudah memulai memantau gerak-gerak kakinya.

“Adalah sebuah kebanggaan untuk menyebut diri saya sebagai seorang warga negara Kanada,” ujarnya selepas mengucap sumpah kewarganegaraan.

Tiga gol dalam dua laga kompetitif tingkat benua sudah menunjukkan bahwa ia tak hanya bangga, namun juga lapar dan antusias untuk membuktikan kualitas dirinya pada negara yang dengan lapang dada dan ringan tangan menerima keberadaannya. Bila menilik sejarah dan juga gerak-gerak lincah kakinya, maka Alphonso Davies bisa saja menjadi pemain besar dunia pada  generasinya.

Pertama tayang di Football Tribe Indonesia.

21 July 2017

Mengevaluasi gerak-gerik transfer West Ham United

--- seberapa besar ancaman The Hammers di musim depan?

Seperti orang Semenanjung Balkan yang tegas dan efektif pada umumnya, Slaven Bilic tak suka bertele-tele. Namun, setelah musim 2016-17 yang sulit buat West Ham United asuhannya, ia tampaknya tak bergerak cukup cepat untuk mengamankan jasa-jasa pemain yang diperlukannya pada bursa transfer musim ini.

Sejauh ini, The Hammers telah merekrut free agent Pablo Zabaleta, meminjam Joe Hart dari Manchester City, dan merogoh 24 juta paun untuk mendatangkan Marko Arnautovic dari Stoke City. Kecuali Alvaro Arbeloa yang dilepas dan Enner Valencia yang dijual ke Tigres, tak ada nama besar yang meninggalkan Olympic Stadium sejauh ini.

West Ham sendiri tentu tak perlu jauh-jauh melongok untuk mengingat bahwa tim mereka membutuhkan reformasi total. Bermain di luar Upton Park buat kali pertama, mereka berjuang keras untuk bertahan di papan tengah Liga Premier, bahkan terjebak di zona degradasi pada Oktober. Peruntungan mereka di Eropa tak pula terlalu cemerlang setelah disepak keluar tim debutan Rumania Astra Giurgiu di putaran play-off seawal bulan Agustus.

Kehilangan penyerang bintang Dimitri Payet yang pulang kampung ke Marseille pada bursa transfer Januari tentu saja hanya menambah sakit kepala bagi Bilic, yang tak mendapat bantuan memadai dari manajemen yang tengah bersibuk pula mengurus kepindahan penuh di stadion baru. Hanya Michail Antonio dan Manuel Lanzini yang dapat dikatakan menopang mereka pada paruh kedua musim, termasuk kemenangan tipis 1-0 atas Tottenham Hotspur di bulan Mei.

Finis di peringkat sebelas boleh jadi hasil terbaik yang dapat diharapkan suporter The Hammers. Bilic sendiri pantas mendapatkan sedikit pujian karena ketenangannya menghadapi masalah-masalah yang menimpa skuatnya, terutama sekitar transfer Payet.Namun, pada bursa transfer kali ini, ia tampaknya tak cukup bergigi untuk membangun ulang ruang gantinya.

Kedatangan Zabaleta untuk memperkuat lini belakang dan talenta Hart (yang kian memudar) di bawah tiang gawang jelas patut diapresiasi, namun masalah utama The Irons terletak di lini tengah dan depan.Ruang mesin yang terlalu bertumpu pada Lanzini, seiring dengan menurunnya permainan kapten Mark Noble dan badai cedera yang kerap kali singgah, dapat menjadi problem utama di musim depan. Mendatangkan Arnautovic masih akan belum mampu menyelesaikan masalah yang nyaris kelewat kronis ini.

Pun di lini depan, kemandulan luar biasa yang mereka perlihatkan musim lalu tampaknya masih belum akan terselesaikan andai Bilic gagal mendatangkan satu striker bintang yang mampu mencetak 15 sampai 20 gol tiap musimnya. Upaya membawa pulang Jermaine Defoe masih prematur, pun usaha ambisius untuk mendatangkan Daniel Sturridge. Striker paling produktif milik The Hammers musim lalu adalah Andy Carroll dengan tujuh gol: tentu saja hanya Tuhan dan Bilic yang tahu mengapa Andy Carroll masih bermain sepak bola.

Kondisi keuangan West Ham sendiri tampaknya lumayan stabil untuk mendatangkan satu atau dua nama besar lain, karena David Gold dan David Sullivan, dua pemegang saham utama, telah menjadikan klub yang nyaris bangkrut tujuh tahun lalu ini menjadi tim dengan pendapatan ketujuh terbesar di Liga Premier. The Guardian mencatat bahwa West Ham memiliki utang bersih sebesar 67 juta paun dan defisit 17.2 juta paun pada bursa transfer kali ini. Sebagai perbandingan, Chelsea defisit nyaris 60 juta. Huddersfield Town defisit 37.4 juta. West Ham masih dapat dibilang pada zona aman.

Tanpa pembelian besar-besaran pada sisa bursa transfer yang akan segera berakhir ini, sulit untuk melihat bagaimana West Ham akan bersaing di liga musim depan. Bilic harus bekerja lebih cepat dan efisien, tentu saja, untuk mengembalikan tim ke jalur yang pernah ia inginkan dulu: kontestan zona Eropa. Bila tak tercapai dalam satu-dua musim ini, sorakan I’m Forever Blowing Bubbles tak akan kedengaran begitu ramah lagi di telinga.

Pertama tayang di Football Tribe Indonesia.

Orang Inggris dan balet Tchaikovksy di pedalaman Swedia

--- mimpi-mimpi Östersunds FK di tengah gemerlap Eropa

Ketika wasit Juan Martinez Munuera meniup peluit akhir di Jämtkraft Arena malam itu, ia baru saja mengakhiri sebuah pertandingan bersejarah, bagian dari sebuah dongeng yang sedang ditulis.

Tuan rumah Östersunds baru saja mengalahkan tamu mereka, raksasa Turki Galatasaray, dua gol tanpa balas di leg pertama putaran kualifikasi kedua Liga Europa UEFA 2017-18. Di hadapan lima ribu penonton setia mereka, gol-gol Saman Ghoddos dan Jamie Hopcutt sudah cukup untuk memastikan sang tamu pulang ke Istanbul dengan tangan kosong.

Namun yang lebih mengagumkan lagi, inilah kali pertama Östersund tampil di pentas Eropa. Jalan mereka menuju Liga Europa mungkin adalah salah satu yang paling menarik untuk disimak pada musim ini. Bagaimana bisa mereka melakukannya?

Östersunds sendiri bukanlah tim yang tenar-tenar amat. Bila kita berbicara soal sepak bola Swedia, maka yang tersebut mungkinlah sang legenda Zlatan Ibrahimovic dan Henrik Larssen atau tim-tim yang sudah jamak muncul di Liga Champions seperti Malmö FF, pemegang sembilan belas titel nasional. Tak ada yang akan langsung terlintas berpikir soal tim yang bermarkas di wilayah Jämtland, nun jauh di utara negeri.

Kisah mereka bermula pada 1996, tak lebih dari dua dekade lampau. Östersunds FK berdiri setelah bergabungnya tiga klub lokal di wilayah Jämtland, yaitu Östersund FF, Ope IF, dan IFK Östersund. Dari ketiga tim itui, IFK Östersund adalah yang tertua, telah berdiri sejak 1908. Ketiganya boleh pula disebut tim semenjana, karena tak satupun dari mereka pernah berprestasi di luar kota berjuluk vinterstaden (kota bersalju) ini.

Tim yang baru berdiri ini memulai hidup mereka di kasta ketiga sepak bola Swedia, Division 2, pada 1997. Adalah Daniel Kindberg, sang direktur sepak bola yang kini menjabat ketua klub, yang memulai perubahan. Seawal tahun 2000, ia menjalin kontak dengan Swansea City, yang saat itu masih bermain di kasta-kasta bawah di Inggris. Hubungan inilah yang di kemudian hari terbukti krusial dalam membantu perjalanan Östersund menuju kasta tertinggi.

Salah satu buah kerjasamanya dengan The Swans adalah menambahkan cita rasa Britania ke tim pedalaman Swedia ini. Graham Potter tiba untuk mengisi kursi pelatih kepala pada Desember 2010. Östersund baru saja terdegradasi ke kasta keempat musim sebelumnya. Potter, mantan bek tengah Southampton yang menghabiskan sebagian besar karirnya di kasta bawah sepak bola Inggris ini, memabawa angin segar --- dalam bentuk yang tak diduga semua orang.

“Jika yang kami lakukan hanyalah bermain sepak bola, maka itu hal yang semua pemain merasa nyaman untuk dilakukan,” jelas Potter dalam sebuah wawancara dengan Daily Mail. “Jika Anda ingin membina mereka sebagai manusia, Anda harus menghadapkan mereka dengan pengalaman yang tak membuat nyaman.”

Berkolaborasi dengan Kindberg, pria asal Solihull ini membangun tim sepak bola layaknya memimpin sebuah sanggar seni nyentrik. Setiap musim, Östersund menyelesaikan paling tidak satu proyek kesenian. Itu boleh jadi menyelenggarakan pameran seni, menulis buku, atau membuat pertunjukan teater. Seluruh komponen klub terlibat: koreografer dan pelatih seni serius diterbangkan untuk melatih sekumpulan atlet di pedalaman Swedia yang dingin menari-nari mengikuti musik klasik.

Potter menerapkan kebijakan nyentrik ini dari pengalaman. Ia tahu betul bahwa ia perlu membuat perbedaan di kota kecil ini. Östersund terletak lebih dari tiga ratus mil di utara ibu kota Stockholm, dan mereka bermain di divisi empat. Tak ada yang dapat menarik pemain bertalenta ke pertandingan yang hanya dihadiri lima ratus orang paling banyak, dan dengan cuaca dingin mencucuk tulang. “Ini hampir samar bedanya dengan hilang akal,” ujarnya mengenang masa-masa awal. “Kami harus kreatif mencari pemain.”

Ia terhubung dengan Östersund lewat Graeme Jones, mantan rekan setimnya yang bekerja sebagai asisten Roberto Martinez di Swansea, Everton, dan kini di tim nasional Belgia. Pada musim pertamanya, ia mengangkat mereka ke kasta ketiga. Hanya perlu semusim bagi mereka untuk mencapai Superettan, kasta kedua sepak bola Swedia. Jämtkraft Arena, kandang baru mereka yang berkapasitas 8,500 orang, dibuka pada bulan Juli 2007. 

“Kami pernah berperan dalam pertunjukan teater, kami sudah pernah melukis, kami sudah pernah menari, dan kami sudah pernah bernyanyi. Saya bagian dari seluruhnya dan tak ada yang makin mudah,” ujar Hopcutt, gelandang Inggris yang bergabung pada 2012. Tahun lalu, para pemain dan pelatih mempertunjukkan modern dance diiringi Swan Lake, Op. 20, salah satu mahakarya ballet yang digubah maestro Rusia Peter Tchaikovsky.

Di lapangan, filosofi Potter diterjemahkan menjadi sebuah permainan yang cepat namun beradab dan penuh determinasi. Mereka bertahan tiga musim di Superettan sebelum mencapai promosi ke Allsvenskan, kasta tertinggi. “Ini sangat besar,” ujar Potter, “karena tiba-tiba mereka dapat menonton Malmo, IFK Goteborg, dan AIK (tiga tim besar Swedia) di kota mereka sendiri. Benar-benar mengasyikkan.”

Sementara mereka mengejar mimpi-mimpi di kasta tertinggi, Östersund tak melupakan misi yang membuat mereka klub yang berbeda. Dengan tibanya banyak pengungsi dari wilayah konflik di Suriah dan negara Timur Tengah lainnya ke Swedia, para pemain melayani anak-anak pengungsi dengan program membaca buku dan bermain bola bersama.

Musim lalu, perdana di Allsvenskan, Östersund finis di peringkat delapan dari enam belas tim: sangat mengagumkan untuk tim yang masih bermain di kasta ketiga tepat dua dekade lalu. Kindberg sang ketua malah tak sepakat. Kala diwawancarai koran nasional Aftonbladet, ia berujar eksplosif. “Finis di peringkat delapan itu sangat memalukan. Kami akan memenangi Allsvenskan.”

Yang mengesankannya, seperti gerakan balet mereka yang lincah dan tanpa putus, Östersunds seakan tak peduli dengan tantangan besar yang mereka hadapi. Anak-anak asuh Potter juga memenangkan Piala Swedia musim lalu setelah mengalahkan Norrkoping, juara bertahan liga, di final. Titel pertama mereka berbuah satu tiket di Liga Europa musim ini, mempertemukan mereka dengan Galatasaray.

“Mudah untuk mengatakan, ‘mereka tak akan dapat melakukan itu di kasta tertinggi Swedia’, atau ‘mereka takkan dapat melakukannya melawan Galatasaray’,” ujar Potter. “Adalah tugas kami untuk membuktikan betapa salahnya sikap seperti itu ketika kami mendapatkan kesempatan seperti ini. Dalam sepak bola, Anda membutuhkan kisah seperti kami untuk menunjukkan apapun bisa terjadi.”

Pertama tayang di Football Tribe Indonesia.

19 July 2017

Bersusah-payah menggantikan Gianluigi Buffon

-- tentang sederet deputi Santo Gigi dan kisah-kisah mereka

Gianluigi Buffon mungkin adalah salah satu kiper paling awet sepanjang sejarah sepak bola modern.

Sejak ia mulai berjaga di bawah gawang Juventus pada musim panas 2001, Iraq telah diinvasi dan ditinggalkan oleh Amerika Serikat, presiden Indonesia telah berganti tiga kali, dan berpuluh-puluh pemain telah silih berganti menyarungkan dan melepaskan seragam putih-hitam Bianconeri. Namun Santo Gigi tetap setia dengan sarung tangannya dan sosoknya yang meneduhkan, selalu siap siaga untuk melompat menghalau bola atau memberi komando pada rekan-rekannya.

Di sela-sela itu, Buffon mengoleksi lebih dari 600 penampilan untuk Juventus dan 169 buat tim nasional Italia, menempatkannya bersama nama-nama besar yang legendaris. Ia telah memenangkan satu Piala Dunia, tampil di tiga final Liga Champions, bahkan menghabiskan semusim di Serie B. Untuk ukuran seorang pesepakbola, karirnya adalah definisi dari sebuah keparipurnaan.

Tentu saja, setiap akhir musim, beriringan dengan satu gelar scudetto lain yang ia persembahkan ke muka publik Juventus Stadium atau penghargaan individual yang ia rengkuh sendiri, selalu ada pembicaraan mengenai pengganti potensial untuk sang juru selamat.

Ketika Buffon bergabung ke Juventus dari Parma pada 2001 (dan memecahkan rekor transfer dunia untuk seorang kiper), Juve memiliki dua kiper lain, yaitu Michelangelo Rampulla dan Fabian Carini. Keduanya segera saja tahu bahwa posisi mereka sudah tergeser oleh lelaki yang menjalani debut Serie A-nya ketika berusia tujuh belas tahun ini: Rampulla pensiun pada musim selanjutnya dan Carini ditukar ke Inter dengan Fabio Cannavaro pada 2004.

Pada musim panas 2002, Juventus secara khusus membeli Antonio Chimenti dari Lecce untuk menjadi letnan Buffon. Buat kali pertama, manajemen tim merasakan bahwa Buffon akan bertahan lama dan memutuskan untuk membangun tim di sekeliling sang kiper. Pada periode ini, Antonio Mirante, mantan kiper utama Parma yang kini menjaga gawang Bologna, juga bertugas sebagai pelapis ketiga.

Tantangan serius pertama untuk takhta Buffon terjadi pada musim 2005-06. Di musim terakhir Juve di Serie A sebelum keputusan kontroversial untuk menurunkastakan mereka pada musim selanjutnya, Buffon mengalami cedera bahu setelah berbenturan dengan Kaka dalam laga pramusim Trofeo Luigi Berlusconi. Milan meminjamkan kiper Christian Abbiati sebagai kompensasi.

Abbiati-lah deputi Buffon pertama yang nyaris selevel dengannya. Dengan bantuan si botak ini, Juventus bertahan mengarungi beberapa bulan pertama Serie A sebelum Buffon kembali pada November, namun komplikasi cedera selanjutnya membuat Gigi tak dapat pulih sepenuhnya sampai Januari. Abbiati kembali ke Milan pada akhir musim setelah mencatatkan 27 penampilan dan membantu memenangkan satu scudetto yang kemudian dianulir.

Di Serie B, tak ada yang dapat menentang solidnya posisi Buffon sebagai kiper utama, namun ia kembali terkena cedera pada musim kedua Juve kembali ke Serie A pada September 2008. Deputinya saat itu, kiper Austria Alex Manninger, menjaga gawang Juventus sampai bulan Februari 2009. Dan pada titik ini, performa Manninger dan cedera Buffon tampaknya menjadi kali pertama Juventus merasa ragu dengan masa depan sang santo.

Pada Mei 2009, ketika hari-hari Claudio Ranieri tampaknya tinggal sedikit di Olimpico, Buffon dan bek Mauro Camoranesi dilaporkan berang dengan performa buruk tim (termasuk seri 2-2 di kandang Lecce). Ia meninggalkan stadion selepas pertandingan tanpa berbicara dengan siapa-siapa. Kontan saja, rumor transfer menggelegak dengan sederet nama seperti Edwin van der Sar, Pepe Reina, bahkan Manninger sendiri dikaitkan dengan pos penjaga gawang utama Bianconeri. Bukan rahasia kalau tim-tim Inggris macam Manchester United dan Chelsea telah lama mencoba merayunya dengan gaji berlipat-lipat lebih tinggi.

Buffon akhirnya bertahan dengan menandatangani kontrak baru hingga 2013. (Dan Ranieri, tentu saja, dipecat). Manninger bertahan di Juve hingga 2012, dan terakhir bermain untuk Liverpool. Ia tak pernah sekalipun melampaui level permainan Gigi.

Setelah naiknya Andrea Agnelli ke tampuk presiden dan Antonio Conte sebagai pelatih kepala, posisi Buffon semakin tak tergoyahkan. Conte menunjuk Buffon sebagai kapten Juve dan memberikannya keleluasaan penuh untuk mengendalikan ruang ganti dengan sorot matanya yang tenang dan suaranya yang meneduhkan.

Di bawah gawang, pendahulu Conte, Luigi Delneri, memberinya deputi terbaik yang pernah ia miliki dalam bentuk Marco Storari. Storari, pria tinggi besar dengan jambang lebat dan antusiasme menggelegak, adalah purwarupa kiper kelas dua yang hampir sempurna: ia bermain untuk Napoli dan Milan namun menghabiskan musim-musim yang panjang dipinjamkan ke tim-tim kasta bawah.

Pengalaman Strorari membuatnya dapat diandalkan pada saat-saat krusial. Siapapun tak akan dapat melupakan double save tendangan Rodrigo Palacio dan Mauro Icardi yang ia buat kontra Inter di akhir musim 2014-15, ketika Juve telah memastikan gelar juara dan Buffon diistirahatkan jelang final Liga Champions. Tak heran bila Buffon memberikan ucapan selamat jalan yang hangat pada Storari kala ia dilepas.

Selepas Storari, Norberto Neto tak membuat begitu banyak dampak karena masanya di Juventus begitu singkat. Sederet nama beken macam Mattia Perin, Salvatore Sirigu, dan Gianluigi Donnarumma, tak pernah mendekat ke pintu masuk Juventus Stadium.

Namun, seiring dengan kedatangan Wojciech Szczesny pada bursa transfer ini, Juventus mungkin pada akhirnya menemukan jawaban dari pertanyaan mereka tentang pengganti Buffon. Sederet deputi, dari kelas dunia sampai cap teri, tak berdaya untuk menyodok Santo Gigi dari takhtanya. Szczesny, di sisi lain, boleh dikatakan telah memiliki pengalaman yang panjang bersama Arsenal.

Buffon sendiri barangkali sudah boleh mengistirahatkan sarung-sarung tangannya yang super itu.

Pertama tayang di Football Tribe Indonesia.

Memangnya berapa harga yang pantas buat Jack Wilshere?

--- kala pemain mentah berharga selangit, yang medioker terbawa dilema

Fans Arsenal boleh saja menertawakan tawaran Sampdoria seharga enam juta paun untuk Jack Wilshere, gelandang binaan mereka yang baru saja pulang kampung setelah dipinjamkan ke Bournemouth musim lalu.

Mudah sebenarnya melihat mengapa Arsenal dapat dengan cepat mementahkan tawaran tim Serie A ini. Di satu sisi, ia pemain termuda yang menjalani debut profesional untuk tim London Utara ini sepanjang sejarah klub, gelandang dengan visi permainan kreatif dan insting mematikan di puncak performanya, dengan total 34 caps untuk tim nasional Inggris.

Melegonya ke tim asal Genoa ini seharga total tujuh setengah juta paun? Bila Anda bukan seorang pendukung mazhab trickle-down economics yang mengagung-agungkan austerity, pastilah Anda sinting karena baru kalah judi.

Namun bila melongok sisi lain, Wilshere adalah seorang pemain overrated yang digadang-gadang untuk hal-hal yang terlalu besar oleh pers dan dirinya sendiri. Ia tak pernah berhasil memacakkan dirinya sebagai gelandang kelas dunia setaraf Andres Iniesta atau Andre Pirlo. Posisinya semakin tergusur oleh talenta-talenta muda lain, baik di Arsenal atau tim nasional Inggris. Fakta bahwa ia tak sekalipun bermain di tim utama Arsenal musim lalu tak banyak membantunya.

Jika Anda berusia dua puluh lima tahun dan menemukan diri Anda bermain bersama Bournemouth, mungkin Anda sebaiknya menerima tawaran Sampdoria itu atau angkat kaki bermain bisbol, macam yang dilakukan mantan bintang college football Tim Tebow.

Ini seharusnya membuat kita berpikir: bila pemain mentah berusia bawah dua puluh tahun kini dihargai lebih dari pemain termahal dunia sepuluh tahun lalu, berapa harga yang harus dibanderol untuk bintang-bintang terlampau matang atau mantan (calon) pemain bintang yang gagal bersinar macam Wilshere?

Ambil contoh lain: Javier “Chicharito” Hernandez. Penyerang Meksiko ini tampak akan menjadi the next big thing kala berseragam Manchester United, namun sinarnya langsung terpendam ketika dipinjamkan ke Real Madrid. Ia terpaksa hijrah ke Bayer Leverkusen dan mengalami musim kedua yang sulit, terancam tergusur oleh talenta-talenta muda lain meski ia salah satu striker paling prolifik sepanjang sejarah Liga Premier dan pencetak gol terbanyak tim nasional Meksiko.

Seperti Wilshere, Hernandez dapat dibilang sudah melewati masanya. Usianya malah 29 tahun, empat tahun lebih tua daripada Wilshere. Empat-lima musim masih dapat dijalaninya di liga Eropa sebelum mungkin gantung sepatu atau hijrah ke klub berkocek tebal di Amerika Serikat, Rusia, atau Timur Tengah. Pun seperti Wilshere, ia mendapat banyak tawaran dari tim-tim Eropa lain yang ingin memanfaatkan jasanya selagi tersisa. West Ham United, salah satunya.

Berapakah harga yang pantas untuk seorang Wilshere atau Chicharito? Bila Wilshere dilego ketika pada puncak performanya -- katakanlah tiga atau empat tahun lalu -- mungkin dialah yang akan memecahkan rekor transfer dunia, bukan remaja mentah macam Kylie Mbappe atau Anthony Martial. Bila Chicharito angkat kaki dari United tepat setelah Fergie pergi, mungkin kini ia adalah bomber utama sebuah tim menengah-ke-atas macam Everton atau Ajax Amsterdam.

Bursa transfer sepak bola internasional akhir-akhir ini semakin menunjukkan betapa kejamnya perputaran uang membasuh habis karir seorang pemain. Harga-harga transfer sensasional melampaui digit-digit yang pernah dianggap wajar dan normal masih akan terus berkembang, dengan tren membeli remaja-remaja dengan talenta ajaib dan membayarnya dengan kontrak besar kini makin populer.

Paul Pogba, tanpa pengalaman mumpuni namun penuh sensasi, dibeli dengan harga 105 juta euro tahun lalu; sepuluh tahun sebelumnya, pada 2006, Chelsea membayar 43 juta euro pada Milan untuk Andriy Shevchenko, kapten tim nasional Ukraina dengan pengalaman dua belas tahun sepak bola profesional, dan itu adalah transfer termahal tahun itu.

Umur semakin nisbi dan pengalaman semakin tak berharga di mata para pelatih, pencari bakat, dan manajer bisnis yang bekerja di bawah tekanan untuk menggali lebih dalam nilai komersial dari seorang remaja mentah 19 tahun. Dan mereka yang terlampau matang atau telah melewati masa kadaluarsa itu bakal makin semakin tergusur, sampai pada suatu hari nanti hidup tak lagi memberi kesempatan dan mulai menghitung-hitung peluang, makin lama makin sempit.

Barangkali Wilshere memang harus menerima saja tawaran Sampdoria itu. Hitung-hitung liburan gratis semusim di Italia: toh dia bakal cedera juga, bukan?

Pertama kali tayang di Football Tribe Indonesia.

17 July 2017

Replika FC Hollywood itu ada di Turin

--- mengapa mimpi-mimpi Juventus dapat mengorbankan diri mereka sendiri

Untuk ukuran sebuah tim yang memenangkan scudetto enam kali berturut-turut dan tampil dalam dua final Eropa dalam lima musim terakhir, tak ada yang meragukan posisi Juventus sebagai salah satu penghuni kasta elit sepak bola Eropa saat ini.

Tapi ini juga tim yang sama yang telah mengalami pasang surut drama dan konflik dalam tubuh sendiri yang kadang mengorbankan talenta-talenta terbaik di dalamnya. Antara mimpi dan ambisi Bianconeri untuk kembali ke posisi mereka sebelumnya, tersimpan peraduan-peraduan ego yang nyaris mustahil ditangani pelatih hebat atau kapten karismatik manapun, kenang-kenangan sejarah yang terbentur dengan realisasi masa kini.

Bila Anda salah satu dari penggemar Juventus atau pengamat kasual calcio yang tak dapat memahami moral dan logika di sebalik keputusan melego bek andalan Leonardo Bonucci ke musuh bebuyutan Milan, percayalah bahwa Anda tak sendiri. Itu hanyalah puncak dari gunung es pencarian jati diri sebuah tim yang tak kurang hebat pencapaiannya di lapangan, namun tak dapat pula mengendalikan pasang-surut emosi di ruang ganti.

Perlahan-lahan, La Vecchia Signora dapat menjadi korban dari ambisi mereka sendiri.
Konflik dan drama internal yang sekali-sekali tersisip di antara raihan-raihan trofi itu tak pelak mengingatkan kita pada satu era dan sebuah tim yang hampir sama modelnya: Bayern Munich pada akhir 1980-an dan awal 1990-an, periode yang menyematkan gelar FC Hollywood pada mereka. Juventus-lah yang paling dekat mereplikasi era dan tim itu.

Paralel yang sedia ada sebenarnya tak begitu mengejutkan. Bahkan lebih dari satu dekade setelah keputusan kontroversial untuk memindahkastakan Alessandro Del Piero dan kawan-kawan ke Seri B akibat skandal calciopoli yang masyhur itu, Juventus tampaknya masih belum menyelesaikan pencarian jati diri mereka yang sebenarnya.

Jika boleh kita membagi sejarah modern tim kebanggaan kota Turin ini seperti kalender Masehi terbagi dua, maka yang ada adalah Juventus Sebelum Degradasi dan Juventus Setelah Degradasi.

Juventus Sebelum Degradasi adalah tim yang percaya diri akan kemampuan kaki-kaki pemain mereka, yang yakin akan status mereka terpacak kuat sebagai aristokrat sepak bola Benua Biru. Ini adalah tim yang diberkahi pemain-pemain macam Del Piero, Michel Platini, Fabrizio Ravanelli, Roberto Baggio, Gianluca Vialli, dan Zinedine Zidane. Ini adalah pasukan yang diasuh oleh Giovanni Trappattoni dan Marcelo Lippi. Ini adalah klub yang tak pernah menengok ke belakang dan meragukan bahwa hari depan adalah milik mereka.

Tapi Juventus Setelah Degradasi adalah Juventus yang sedikit berbeda. Ini adalah tim yang sedikit demi sedikit berusaha untuk menggapai kembali kejayaan lama mereka, namun tak punya konsep yang jelas akan apa yang bakal mereka lakukan ketika kejayaan itu mendekat. Ini adalah tim yang beringas melindas enam scudetto dalam enam musim. Ini adalah tim-nya para penyintas, para survivor. Tak ada yang mempertanyakan loyalitas Gianluigi Buffon, Giorgio Chiellini atau Claudio Marchisio. Tapi bahkan trio legenda itu tak kuasa mengambil kendali ruang ganti yang silih berganti disinggahi bintang (dan calon bintang) berbanderol selangit: Arturo Vidal, Paul Pogba, Alvaro Morata.

Kondisi Juventus saat ini sedikit sebanyak mengembalikan ingatan kita pada Bayern Munich. Setelah periode yang begitu sukses pada 1970an, dimana mereka mengemas tiga trofi European Cup berturut-turut dan merajai Bundesliga tanpa kesulitan berarti, awal dekade 1980an adalah masa-masa sulit bagi tim kebanggaan Bavaria ini.

Paul Breitner dan Karl-Heinz Rummenigge adalah dua motor utama yang menggerakkan mesin-mesin Bayern pada tahun-tahun itu. Berjuluk FC Breitnigge, kesuksesan mereka di paruh pertama 1980an tak sebersinar skuat yang merajai Eropa beberapa tahun sebelumnya. Dibayang-bayangi kesulitan finansial, beberapa musim berlalu tanpa kemenangan berarti sampai duo itu pecah dengan pensiunnya Breitner.

Pada titik ini, banyak suporter Bayern yang merasa bahwa kejayaan lama mereka mustahil direplikasi. Skuat 1970an era Franz Beckenbauer, tersukses di Jerman pascaperang dan membantu memotori Die Mannschaft kampiun Piala Dunia di kandang sendiri pada 1974, hanya bakal terjadi sekali dalam beberapa dekade.

Kenyataannya, Munich memborong lima gelar Bundesliga berturut-turut pada akhir 1980an, sekaligus lolos ke dua final Eropa. Tibanya Jupp Heynckes sempat memperbarui mimpi untuk kembali berjaya di Eropa, namun justru faktor di luar lapangan yang lebih mewarnai skuat Die Roten pada masa-masa itu. Para punggawa Bayern lebih acap muncul di kolom gosip daripada olahraga. Tingkah-polah mereka lebih menunjukkan sebuah grup selebritis ketimbang serikat atlet menggocek bola.

Bayern membutuhkan waktu yang tak sedikit untuk melepas stigma itu dari identitas mereka. Yang mereka lakukan tak sedikit: mendatangkan kembali pelatih-pelatih berdisiplin tinggi macam Heynckes, membina dan membeli pemain-pemain berkarakter pemimpin yang tenang macam Philip Lahm dan Bastian Schweinsteiger, hingga mengubah budaya korporat mereka untuk menjadi lebih ramah dan modern. Lihatlah mereka kini: tempat begitu banyak tim sepak bola dari penjuru dunia berkiblat untuk belajar.

Kita mengenal banyak ragam tim yang tak dapat mengendalikan ambisi mereka sendiri hingga mengorbankan diri sendiri. Mimpi-mimpi boleh tinggi, tapi revolusi terpendam di ruang ganti, kursi kepelatihan yang acap berderik, hingga manajemen yang tak fasih menerjemahkan visi dapat menghambat laju tim itu sendiri. Butuh seorang pelatih yang liat, manajemen yang berdedikasi, dan rombongan pemain yang berwatak untuk membentuk sebuah tim pemenang yang tak kisruh luar-dalam.

Dan saat ini bolehlah kita katakan Juventus sebagai FC Hollywood in the making. Rumor yang berhembus, Bonucci angkat kaki selepas hubungannya yang memburuk dengan tim, konon berpuncak pada pertengkaran  dengan Dani Alves saat turun minum final Liga Champions.

Terbuktilah bahwa semakin kencang laju Dybala dan kawan-kawan untuk memanjat tangga-tangga dan mengembalikan kejayaan lama Sang Kekasih Italia ini, maka semakin rentan pula terperosok pada pertelingkahan-pertelingkahan kecil yang dapat merembet kemana-mana.

Bagi sebuah tim yang tengah mencari cara untuk memacakkan sebuah jati diri baru sebagai elit Eropa, amat rentan Juventus terbenam ke potensi menjadi FC Hollywood versi replika. Semoga saja, demi permainan yang indah ini, hal itu tak terjadi.

Pertama tayang di Football Tribe Indonesia.

16 July 2017

Bertengkar juara di ruang sidang

--- di Romania, berebut gelar juara liga tak hanya di lapangan bola

Pemain dan pelatih Viitorul Constanta tak mendapat kabar soal keputusan bersejarah itu secara langsung. Mereka sedang terbang pulang dari Lausanne, Swiss, tempat mereka baru saja dikalahkan tim Perancis Marseille dalam sebuah laga persahabatan pramusim.
   
Namun, saat mendarat di rumah, para penumpang tahu bahwa mereka baru saja disahkan sebagai kampiun Romania. Court of Arbitration of Sports, lembaga arbitrasi olahraga dunia yang (kebetulan) berkedudukan di Lausanne, baru saja memenangkan mereka atas rival terdekat, FCSB, dalam gugatan hukum siapa seharusnya yang menjadi juara Liga I Romania.

Kisah bagaimana juara sebuah liga bisa ditetapkan oleh pengadilan hukum bermula bulan Mei silam, ketika Liga I Romania menutup tirainya.

Untuk sedikit konteks: Liga I memiliki dua putaran berbeda. Musim reguler melibatkan empat belas tim yang masing-masing mendapatkan jatah 26 pertandingan. Enam tim teratas lolos ke championship round, sedangkan sisanya bertarung untuk tetap berada di kasta tertinggi di relegation round. Tim yang mendapatkan poin terbanyak di championship round otomatis berstatus juara liga, sedang dua tim terbawah pada relegation round terdegradasi ke Liga II.

Viitorul Constanta, tim yang didirikan dan dimiliki oleh mantan legenda Romania Gheorghe Hagi ini, berhasil memuncaki championship round dengan koleksi 44 poin dari lima kemenangan, tiga seri, dan dua kekalahan. Namun, rival terdekat mereka, FCSB, juga mengoleksi 44 poin dari enam kemenangan, dua seri, dan dua kekalahan.

Viitorul pada awalnya ditetapkan sebagai juara karena memiliki rekor head-to-head yang lebih baik. Namun, FCSB menolak penetapan tersebut. Argumen mereka adalah rekor head-to-head pada dua pertemuan mereka di musim reguler, bukan hanya pada saat championship round saja, juga harus dihitung. Dalam skenario ini, FCSB yang akan menjadi juara liga.

Kedua tim pada akhirnya bersepakat untuk membawa pertengkaran mereka ke meja CAS di Lausanne. Lembaga kuasi-yudisial ini terkenal menangani kasus-kasus doping di olahraga dan keanggotaan sebuah negara pada konfederasi. Namun, kewenangan mereka juga ada pada kasus perseteruan penafsiran peraturan sebuah federasi sepak bola nasional, seperti halnya pada kasus Viitorul vs FCSB yang intinya merupakan gugatan terhadap peraturan Federasi Sepak Bola Romania.

Menariknya, ini bukan kali pertama juara liga Romania ditentukan oleh pengadilan internasional. Pada musim 2010-11, CAS mementahkan gugatan atas status Otelul Galati sebagai juara, setelah sebelumnya tim tersebut mendapatkan satu keputusan kemenangan WO atas Pandurii Targu-Jiu.

Kedua tim yang terlibat dalam gugatan ini boleh dibilang mempertaruhkan kebanggaan masing-masing. Viitorul Constanta adalah klub yang masih muda, didirikan oleh mantan legenda Real Madrid, Barcelona, dan Galatasaray Gheorghe Hagi pada 2009. Mereka terkenal karena pembinaan usia dini mereka yang mumpuni; dalam waktu kurang dari satu dekade, anak-anak binaan mereka melesat ke kasta tertinggi.

Di sisi lain, FCSB merupakan reikarnasi dari FC Steaua Bucuresti, tim tersukses dan paling bersejarah di Romania. Pada masa rezim komunis, Steaua adalah semacam Bayern Munich versi Romania: didukung oleh angkatan darat dan dihuni para pemain bintang macam kiper Helmuth Duckadam, Anghel Iordănescu, dan Hagi sendiri. Mereka merupakan satu-satunya tim Romania yang berhasil memenangkan European Cup (versi lama Champions League) pada 1986, mengalahkan Barcelona-nya Bernd Schuster lewat adu penalti di Sevilla.

 Pada akhirnya, keputusan CAS berpihak pada Viitorul, yang mengangkat trofi juara liga pertama mereka. Sepak bola, setidaknya di Romania, ternyata tak hanya ditentukan oleh sepakan-sepakan kaki atau cetakan-cetakan gol saja: ia juga dapat ditentukan lewat silat lidah dan adu otak di ruang sidang.

14 July 2017

Chuck Blazer: warisan sang pelanggar dan pelapor

-- wafatnya figur paling unik dalam sejarah sepak bola Amerika Serikat

Chuck Blazer, mantan Sekretaris Jenderal CONCACAF dan anggota Komite Eksekutif FIFA yang terkenal atas perannya dalam membongkar skandal korupsi di tubuh FIFA, telah wafat di kediamannya di New Jersey pada malam Rabu (12/7), Waktu Pantai Timur Amerika Serikat.

Blazer, 72 tahun, adalah sosok paling unik dalam sejarah perkembangan sepak bola modern di Amerika Serikat. Kisahnya adalah kisah bagaimana seorang soccer dad di wilayah pinggiran New York dapat mendaki tangga-tangga administrasi sepak bola seraya meraup keuntungan pribadi menuju puncak kekuasaan pengurusan permainan indah ini di benua Amerika.

Ia adalah orang yang membawa Piala Dunia 1994 ke Negeri Paman Sam, namun ia juga meraup jutaan dolar dari kontrak-kontrak bodong dan tipu-tipu perdagangan tiket. Ia orang yang membantu pemerintah federal Amerika Serikat untuk membongkar salah satu kasus korupsi terbesar dalam sejarah olah raga, dan ia juga orang yang sama yang mengaku bersalah atas 10 dakwaan pencucian uang, suap, korupsi, dan penipuan pajak di pengadilan federal New York.

Sebagai sekretaris jenderal CONCACAF, konfederasi yang meliputi wilayah Amerika Utara, Tengah, dan Karibia, dari 1990 hingga 2011, Blazer bertugas sebagai deputi Jack Warner, presiden konfederasi dari Trinidad dan Tobago. Keduanya menjalankan konfederasi tersebut bagaikan keluarga Corleone versi lebih memalukan: selama bertahun-tahun, tak kurang dari 20 juta dolar dibayarkan ke akun pribadi Blazer untuk mendukung gaya hidupnya yang tak kurang mewahnya.

Dan Blazer tak pernah segan membuka mulutnya (yang dihiasi janggut putih tebal serupa Santa Claus) atau aset-asetnya yang lain kepada dunia. Figurnya yang eksentrik dapat ditemui berjalan-jalan di sekitar kota New York dengan Segway. Ia tinggal di Trump Tower di tengah distrik bisnis Manhattan, dimana ia memiliki satu apartemen untuknya dan satu apartemen untuk kucing-kucingnya. Itu semua berasal dari sepuluh persen komisi yang ia dapat dari seluruh pendapatan CONCACAF dari kontrak televisi, iklan, dan lain sebagainya: tak heran kalau julukannya semasa hidup adalah “Mr. Ten Percent”.

Seperti orang-orang kaya culas lainnya, Blazer enggan membayar pajak: segala penghasilannya dicuci ke pulau-pulau terpencil di Karibia. Inilah yang mulai membuat aparat federal Amerika Serikat gerah. FBI dan IRS (dinas pajak federal) mencokoknya pada 2011 kala ia tengah mengendarai scooter di tengah kota New York menuju sebuah restoran mewah.

Dalam plot twist yang lebih serupa naskah film Hollywood, FBI dan IRS mengubah Blazer menjadi seorang mata-mata dan whistleblower untuk mengungkap skandal korupsi yang lebih besar di tubuh FIFA, dengan ganti tak akan menangkapnya. Ia adalah pelanggar dan pelapor dalam satu tubuh.

Dengan bantuan deposisi Blazer, aparat federal menangkap sembilan eksekutif FIFA pada tahun 2015. Penangkapan ini (dan mulutnya yang terus menyerocos) membantu menjungkalkan bos lamanya, Warner, dan Presiden FIFA Sepp Blatter dari kursi masing-masing. Ia dilarang terlibat dalam sepak bola selama seumur hidup oleh FIFA pada Juli 2015.

Bagi beberapa pihak, ia takkan dipandang dengan begitu positif. “Kami telah memberinya kartu merah dalam Piala Dunia (yang penuh) penipuan,” ujar Richard Weber, ketua penyidik kriminal IRS.

Dan insan sepak bola Amerika akan mengenangnya dengan rasa bingung. “Ia melakukan banyak hal untuk olahraga ini,” ujar Bruce Arena, pelatih kepala tim nasional Amerika Serikat. “Terlepas dari segala hal soal korupsi di FIFA, ia orang yang baik,” ujarnya.

Pertama tayang di Football Tribe Indonesia.

12 July 2017

Jalan runyam Meksiko di Piala Emas

Berbicara soal sepak bola di Amerika Utara dan Tengah, tak ada nama yang lebih besar ketimbang tim nasional Meksiko. Amerika Serikat boleh saja maju pesat dengan nama-nama besar yang mengerumuni Major League Soccer-nya, atau Kosta Rika memukau dengan kisah Cinderella-nya di Brazil tiga tahun lalu, namun kiblat sepak bola di wilayah ini masihlah negeri asal Cuahtemoc Blanco ini.

Hukum yang sama masih berlaku pada gelaran partai pembuka Piala Emas CONCACAF 2017 awal pekan lalu.     José de Jesús Corona dan kawan-kawan tiba di Amerika Serikat dengan status juara bertahan. Dua tahun silam, mereka merengkuh Piala Emas ketujuh sepanjang sejarah Para Pendekar Aztek, sekaligus mengukuhkan posisi mereka di atas rival sewilayah terdekat, para Yankees tuan rumah, yang baru mengoleksi lima gelar.

Tapi El Tri tak berangkat dari Mexico City dengan optimisme penuh. Sebelumnya, pasukan elit mereka, dipimpin pengoleksi ratusan penampilan macam Andres Guardado dan adik-beradik dos Santos, pulang dari Piala Konfederasi FIFA di Rusia dengan dibantai tim lapis kedua Jerman di perempatfinal. Pelatih kepala Juan Carlos Osorio mendapatkan pelarangan enam laga dari FIFA karena mengasari wasit, yang juga berlaku di Piala Emas.

Materi tim yang dibawa di Piala Emas memang bukan yang paling superior. Tiada nama yang familiar bagi penikmat bola dunia seperti halnya penyerang Javier Hernandez atau kiper Guillermo Ochoa. Dari dua puluh tiga pemain yang dibawa, seluruhnya berasal dari Liga MX, kompetisi domestik Meksiko, kecuali penyerang Erick Torres dari Houston Dynamo di MLS. Hanya enam pemain yang telah mencatatkan penampilan dua digit untuk tim nasional.

Hal ini dapat dimaklumi karena bagi publik Meksiko, negara yang telah dua kali menjadi tuan rumah Piala Dunia, tak menganggap Piala Emas cukup besar pamornya. Seperti halnya tetangga mereka Amerika Serikat, Meksiko telah rutin menjadikan kompetisi ini sebagai batu peloncat bagi pemain-pemain muda dan domestik. Tujuh dari 23 pemain tercatat berusia 23 tahun ke bawah.

Bagaimanapun, masalah mengekor tim ini kemana-mana jelang pagelaran tahun ini. #FueraOsorio, tanda pagar yang menyeru pemecatan sang pelatih kepala, bertebaran di media sosial. Tak kurang dari dua mantan pelatih tim nasional, Hugo Sanchez dan Ricardo La Volpe, mendesak federasi untuk menyingkirkan lelaki yang tak pernah terkalahkan di kualifikasi Piala Dunia seumur hidupnya ini.

Osorio, orang Kolombia yang pernah melatih New York Red Bulls dan Sao Paulo ini, terkenal karena senang merotasi skuatnya dan menerapkan taktik yang tak ortodoks: memberinya julukan El Recreacionista, sang pembongkar-pasang. Taktik itu bekerja di awal -- mereka mengalahkan Amerika Serikat di kualifikasi Piala Dunia -- namun gagal total di dua turnamen kompetitif sejauh ini, Copa Centenario tahun lalu dan Piala Konfederasi.

“Orang Meksiko senang berpikir bahwa tim nasional mereka lebih baik dari keadaan sebenarnya,” tulis kolumnis Mark Zeigler di San Diego Union-Tribune. Sulit untuk menyalahkan mereka, karena sepak bola telah mengalir di urat nadi Negeri Aztek sejak dulu kala. Melihat orang Kolombia berkacamata macam Osorio mengacak-ngacak metode permainan tim nasional tanpa hasil yang jelas membuat banyak pengamat dan suporter tak puas hati.

Tapi setidaknya, kemenangan 3-1 di partai pembuka atas El Salvador dapat membuat sang pelatih kepala untuk bernafas lega, setidaknya buat sejenak. Elias Hernandez, sang pahlawan kemenangan yang kini jadi buah bibir walaupun telah dipinggirkan tim nasional sejak lama, menegaskan solidaritas tim yang kini ditangani asisten Luis Pompilio Páez itu. “Kami di sini untuk (merebut) piala,” ujar Hernandez pasca-laga di San Diego itu.

Sang asisten pelatih sepakat. “Kami meninggalkan stadion dengan kepala tegak, namun kami juga harus belajar untuk mengendalikan emosi,” ujar Páez. Performa mereka boleh dibilang memuaskan, namun pertahanan yang digalang kapten Hugo Ayala akan jadi pekerjaan rumah besar di sisa turnamen. "Kami adalah tim yang kebobolan terbanyak di Piala Konfederasi,” aku Páez. “Itu adalah resiko menjadi pasukan yang ambisius, pasukan yang menciptakan banyak peluang gol.”

Hedgardo Marín mencetak gol pembuka buat Meksiko di menit kedelapan, namun dibalas dua menit kemudian oleh pemain El Salvador Nelson Bonilla. Jual-beli serangan dan adu strategi ofensif tingkat tinggi terjadi sebelum Hernandez mencetak lagi di menit ke-30. Kemenangan mereka dikunci oleh gol Orbelin Pineda sepuluh menit setelah awal babak kedua.

Meksiko akan menghadapi Jamaika dan Curacao di dua pertandingan sisa Grup C pada 13 dan 16 Juli. Menghadapi Curacao mungkin bukan masalah buat tim berperingkat enam belas FIFA ini, namun Jamaika, runner-up edisi 2015, dapat merepotkan jalan mereka yang telah runyam untuk mempertahankan trofi, merengkuh gelar kedelapan dan mempertegas posisi mereka sebagai tim terbesar di belahan benua Amerika Utara.

“Ini adalah sekumpulan pemain muda yang belum pernah menghadapi turnamen bersama-sama, dan mereka harus tetap belajar,” pungkas Páez. “

Pertama kali tayang di Football Tribe Indonesia.

10 July 2017

Rooney, Ferguson, dan cara bersilang untuk pulang

Walaupun mencapai sukses sebagai pelatih di Manchester United, Sir Alex Ferguson tak akan pernah melupakan kota kelahirannya, Glasgow. “Kami berpeluang untuk bermain di final Liga Champions 2002 di Glasgow,” tulis Fergie di autobiografinya, Alex Ferguson, My Autobiography, “Itu sangat istimewa, (berkesempatan) bermain di kota tempat lahir saya melawan Real Madrid.”

“Kota tempat lahir saya”, tulis Ferguson. Ia tumbuh sebagai putra seorang asisten pembuat kapal di Govan, sebuah distrik kelas pekerja di barat daya kota terbesar di Skotalandia ini. Ibrox, kandang tim raksasa Rangers, terletak dekat dengan tempat tersebut

Saat masih bocah, Ferguson menonton final Piala Champions 1960 di Hampden Park, di mana Real Madrid mengalahkan Eintracht Frankfurt dengan skor telak, 7-3. “Hampden Park disesaki 128.000 orang waktu itu. Jaraknya tiga atau empat mil, tetapi setidaknya kami bisa naik bus,” tulis Fergie. “Ada beberapa orang yang lewat dengam mobilnya, lalu anak-anak menumpang mobil mereka dengan membayar ongkos enam pence per orang. Itulah cara lain untuk pergi dan kembali dari stadion.”

Ferguson tumbuh mendukung Rangers. Ia memulai kariernya bersama Queens Park, sebuah tim amatir yang bermarkas di Hampden Park, kandang tim nasional Skotlandia. Ia sempat keluar dari Glasgow untuk bermain dengan St. Johnstone dan Dunfermline, namun kembali ke kota itu setelah direkrut Rangers pada 1967. Kembali ia pergi untuk meniti karier kepelatihan, pertama di Aberdeen, lalu tim nasional Skotlandia, kemudian berlabuh dan menjadi kaisar hebat di Manchester United.

Ia bisa saja kembali ke Glasgow dan Hampden Park dengan menumpang mobil dengan enam pence seperti yang ia lakukan setengah abad silam. Tetapi ia tak hendak melakukannya sambil menyarung jas hitam berlogo dua singa simbol kota Manchester itu. Ia ingin datang terhormat membawa skuatnya sebagai seorang petarung.

“Saya merasa luar biasa karena saya berpeluang kembali ke Hampden Park (pada final Liga Champions Eropa 2002), bisa mengantar United ke lapangan yang keramat itu,” tulisnya.

Namun sejarah mencatat bahwa Ferguson tak pernah berhasil membawa Ruud van Nistelrooy dan kolega ke Glasgow dan bertarung di partai final, karena langkah mereka telah dimatikan oleh Bayer Leverkusen di semifinal dengan perbedaan setipis kulit: 3-3, dan tim Jerman itu unggul dengan keuntungan gol tandang. Leverkusen sendiri harus takluk atas Real Madrid di partai puncak.

Dan sampai ia selesai menjabat pelatih Setan Merah pada 2013 lalu, Ferguson tak mencapai mimpinya untuk menjulang tinggi Si Kuping Besar di rumput Ibrox maupun Celtic Park, stadion lain di Glasgow. Ia justru memenangi kompetisi paling bergengsi di benua biru itu buat kedua kalinya di Stadion Luzhniki di Moskow pada Mei 2008, ratusan kilometer jauhnya dari timur Glasgow.

Salah satu anggota pasukan Ferguson yang memenangkan Liga Champions di Luzhniki itu adalah Wayne Mark Rooney, sang nomor 10, kapten Manchester United. Seperti Ferguson, Rooney bukanlah seorang Mancunian, sebutan untuk orang Manchester asli. Ia berasal dari Liverpool, nun beberapa kilometer dari barat Manchester. Seperti Ferguson pula, ia memiliki hubungan yang runyam nan menarik dengan tempat kelahirannya.

Naiknya Rooney ke belantika sepak bola dunia dimulai dari lapangan-lapangan buram Copplehouse Boys dan Liverpool Schoolboys, dua tim yang diperkuatnya kala kecil. Tapi yang melambungkan namanya adalah Everton, salah satu dari dua tim di kota Liverpool.

Everton membina Rooney dari usia sembilan hingga delapan belas tahun. Rumput-rumput Goodison Park adalah saksi ketajaman seorang juru gedor muda yang digadang-gadang para suporter setia sebagai juru selamat kedua setelah era sang legenda, Dixie Dean.

Tapi takdir menentukan bahwa hubungan Rooney dengan Everton dan kota Liverpool tak berjalan seperti halnya Ferguson dengan Rangers dan kota Glasgow. Bila Ferguson berpatah hati karena tak dapat pulang ke Glasgow untuk membanggakan kampung halamannya, maka Rooney meninggalkan Liverpool untuk mematahkan hati kampung halamannya.

Rooney adalah orang yang mencetak delapan gol untuk mengantarkan tim junior Everton ke final FA Youth Cup dan menyibakkan kaus “once a Blue, always a Blue”, membuat ribuan Evertonians berharap Goodison Park akan kembali menyaingi jumlah banyaknya Anfield disambangi pawai piala.

Tapi ia juga orang yang sama yang meminta dijual pada Agustus 2004 meski Everton menawarkannya perpanjangan kontrak dan akhirnya dilego ke Manchester United dengan nilai transfer termahal untuk seorang bocah yang bahkan belum genap dua puluh tahun.

Ferguson, di satu sisi, tak pernah merupakan seorang pemain sepak bola yang benar-benar hebat. Ia mencoba menebus itu dengan berkarya di luar dan membanggakan mereka dengan piala-pialanya di tanah seberang perbatasan.

Di sisi lain, Rooney adalah tempat ribuan Merseysiders berbaju biru pernah bertaruh harapan, namun ia tak pernah merasa Goodison Park cukup besar untuk menampung ambisi-ambisinya dan ia memutuskan untuk berkarya di luar. Bila Ferguson tak pernah mampu meniti jembatan, Rooney memutuskan untuk membakarnya.

Rooney, menariknya, berusaha untuk kembali dan berekonsiliasi setelah dua kali mencium lambang United kala melawan The Toffees di Goodison Park. Sang kapten timnas Inggris yang mulai tersisih ini menegaskan bahwa Everton hanyalah satu-satunya tim yang akan dibelanya selain United; mengingatkan kita pada janji Lionel Messi dan Newell’s Old Boys, tim yang membesarkan La Pulga di Argentina.

Baju biru Everton kembali ia sarungkan pada Agustus 2015 untuk laga testimonial Duncan Ferguson. Dua bulan kemudian, ia kembali mencetak gol di Goodison. Tapi, tak seinci pun tubuhnya bergerak untuk merayakan.

Ferguson, mantan bosnya, tak pernah kembali ke Rangers setelah kariernya yang panjang di United. Tapi rakyat Glasgow, para pekerja galangan kapal, para penjaga pub, ayah dan anak yang bersorak di Ibrox, tetap menyanjungnya sebagai putra mereka kala menyaksikan tim United yang ia asuh berjaya di kancah domestik dan internasional. Ia memegang Freedom of the City of Glasgow, penghargaan tertinggi yang bisa diberikan kota itu padanya. Begitulah caranya ia pulang.

Masih perlu waktu yang panjang untuk menggapai kembali puja dan hormat yang pernah diletakkan penggemar Everton dan warga kota Liverpool pada pundak Rooney. Namun, dengan memakai kembali panji-panji tim masa kecilnya, ia telah berada di jalan yang benar. Seriuh apapun warna kisahnya, Rooney telah menakar sendiri caranya untuk pulang.

Kemarin malam (9/7), Wazza, panggilan hangat untuk Rooney, menepati janji rekonsiliasinya dahulu. Ia kembali pulang, berlabuh di kota Liverpool. Meninggalkan kotanya dahulu untuk menjelajah negeri guna meraih gelar dan gelimang popularitas, sang bocah 18 tahun telah resmi kembali secara utuh, jiwa dan raga, untuk Everton, sebagai seorang pria matang berusia 31 tahun.

Pertama tayang di Football Tribe Indonesia.

09 July 2017

Balada David Beckham dan waralaba bola di Miami

Di tengah derasnya masuk aliran dolar Amerika ke Liga Primer Inggris, dunia sepak bola Negeri Paman Sam itu justru disambangi orang Inggris tulen dengan gaya rambut man bun dan kaki-kaki lincah bak kilat: David Beckham.

Pada awal bulan Juni 2017 lalu, Dewan Kota Miami-Dade County telah menyetujui penjualan tiga acre tanah milik pemerintah kota kepada sekumpulan investor yang diwakili oleh Beckham. Tanah ini akan melengkapi rancangan tapak sebuah stadion sepak bola baru di kota terbesar di negara bagian Florida ini, sekaligus mempermulus langkah Beckham untuk mendirikan tim sepak bola profesional pertama di Miami.

Sebelum bertanya-tanya bagaimana Beckham dapat berubah dari gelandang-separuh-selebritis menjadi Silvio Berlusconi baru di belantara Florida, maka kita harus pertama-tama melihat klausul kontrak yang ia tandatangani dengan Los Angeles Galaxy pada 2007. Seperti yang dilansir oleh The Guardian, Beckham menyetujui klausul yang memberikannya hak untuk memulai sebuah tim waralaba Major League Soccer dengan tanda harga 25 juta dolar.

Enam tahun kemudian, Beckham memilih Miami sebagai tempatnya membangun sebuah tim baru dari nol. Ia menggandeng Simon Fuller, rekan bisnisnya yang juga pencipta waralaba American Idol, untuk mewujudkan sebuah tim profesional di wilayah metropolitan yang juga mencakup Fort Lauderdale dan West Palm Beach dengan total penduduk enam juta orang ini.

Langkah Beckham (yang dengan unik dinamakan Miami Beckham United) adalah pertama-tama membuka konsultasi dengan MLS, liga sepak bola profesional Amerika Utara. Seiring dengan langkah MLS untuk memperbesar jumlah tim dari 20 menjadi 24 pada 2020, Beckham mencapai kesepakatan dengan komisioner liga Don Garber untuk mengunci pendirian sebuah tim ekspansi pada Februari 2014.

“Siapa yang tak ingin bermain dan tinggal di Miami?” tanya Beckham retoris dalam sebuah jumpa pers. “Saya tahu kota ini telah siap untuk sepak bola (profesional).”

Beckham tak salah dengan pernyataannya yang terakhir. Seperti halnya kota-kota besar di Amerika, Miami adalah kota yang haus akan olahraga. Miami Heat, kala masih diperkuat LeBron James, adalah salah satu tim besar NBA. Miami Marlins dulunya bernama Florida Marlins dan cukup diperhitungkan di MLB. Jangan pula lupakan Miami Dolphins di NFL. Yang kurang benar-benar hanyalah tim sepak bola profesional, dan tak ada yang lebih layak untuk menjalankannya di Miami selain salah satu gelandang terbaik yang pernah dihasilkan oleh tanah Inggris.

Miami adalah wilayah metropolitan keenam terbesar di Amerika Serikat, dengan populasi muda-mudi. Tak kurang pula faktor besarnya populasi kaum Hispanik Amerika, salah satu demografi terbesar penonton sepak bola di benua ini, meyakinkan MLS akan perlunya sebuah tim di pantai selatan Florida.

Proses negosiasi yang alot terjadi antara Beckham dan pemerintah setempat, terutama dalam membangun stadion baru. Salah satu syarat untuk mendapatkan tim MLS baru adalah memiliki stadion sendiri, persyaratan yang menghalang banyak kota kandidat lain seperti Detroit, Nashville, dan Pheonix. Banyak stadion olahraga di Amerika Serikat yang pembangunannya menuai kontroversi karena didanai oleh anggaran pemerintah lokal maupun negara bagian (yang secara langsung merupakan dari para pembayar pajak) untuk sekelompok investor.

Pemerintah Miami sendiri memiliki pengalaman buruk dengan pembangunan fasilitas olahraga baru: mereka membangun dan memiliki American Airlines Arena, kandang Heat, dan masih terpaksa menyubsidinya dengan uang publik. Namun, Beckham dan grup investornya berhasil mengamankan kesepakatan setelah tarik-ulur kepentingan dengan pemerintah lokal Miami, terutama setelah memastikan tak ada sepeser pun uang pembayar pajak akan keluar untuk membangun stadion baru ini.

Stadion baru tim yang masih tak bernama ini akan berkapasitas 25,000 orang dan dibangun di tepi Sungai Miami. Henry Grabar dari Slate memujinya sebagai “kesepakatan pembangunan stadion terbaik di Amerika”, terutama karena pilihan grup investor itu untuk tidak membangun gedung parkir dan alih-alih mengoptimalkan transportasi publik. Pemilihan tempat di pusat kota Miami juga dinilai tepat karena booming populasi dan ekonomi yang dalam lima tahun terakhir di wilayah tersebut.

Berkat pada klausul pada kontrak lamanya bersama Galaxy, Beckham hanya harus membayar 25 juta dolar expansion fee pada operator liga, ketimbang nominal sekitar 150 juta dolar yang harus dibayarkan peminat-peminat lain.

“Ini adalah proyek yang amat pribadi bagi saya,” ujar Beckham pada kesempatan lain. Ia telah berencana untuk mendatangkan pelatih top kelas dunia, pemain-pemain berpengalaman dengan bumbu Eropa dan sebuah akademi usia dini. “Saya ingin membangunnya seperti tim saya sendiri.”

Safe standing: mari (kembali) berdiri di stadion

Tribun berdiri di Anfield?

Lou Brookes kehilangan saudaranya, Andrew, dalam Tragedi Hillsborough. Itu petaka yang menyeramkan: sembilan puluh enam pendukung Liverpool, yang pada hari itu seharusnya melawan Nottingham Forest pada putaran semifinal Piala FA 1988-89, tewas akibat tribun berdiri yang penuh sesak oleh manusia dipadu dengan kesalahan fatal yang diambil oleh polisi yang bertugas.

Lebih dari tujuh ratus orang lainnya terluka dalam tragedi paling mematikan sepanjang sejarah sepak bola Britania Raya ini. Tragedi itulah yang mendasari Laporan Taylor, yang melarang adanya tribun berdiri di stadion-stadion dua divisi tertinggi liga Inggris. Sampai hari ini, tak ada stadion Premier League maupun Championship Division yang mengizinkan penonton untuk berdiri sambil menonton.

Namun, tak sampai tiga dekade selepas Hillsborough, tribun berdiri kini kembali digulirkan di kancah sepak bola Inggris.

 Adalah Football Supporters’ Federation, sebuah organisasi suporter sepak bola di Inggris dan Wales, yang menggulirkan kembali hal ini. Tujuan utama FSF adalah untuk memperkuat suara suporter sepak bola yang semakin terpinggirkan oleh kuasa korporat di lapangan hijau. Salah satu cara mereka mendapatkan perhatian publik sejak beberapa tahun yang lalu adalah mengembalikan kembali tribun berdiri dalam bentuk safe standing.

Jika Anda memerhatikan kebanyakan tribun berdiri di stadion di Indonesia, maka Anda hanya akan menemukan teras beton tanpa kursi maupun penghalang. Itu adalah bentuk tribun berdiri yang paling kuno: bentuk yang sama yang dipakai di The Kop lama di Anfield, di Hillsborough, dan banyak stadion klasik Eropa lainnya.

Safe standing berbeda. Setiap tingkat teras tribun memiliki penghadang keamanan, dan tiap penonton memiliki zona masing-masing alih-alih bertumpuk di satu deret. Penghadang tersebut memiliki mekanisme pengunci untuk memasang kursi bila diperlukan, misalnya untuk pertandingan level internasional yang tak memperbolehkan penonton berdiri. Bentuk ini disebut rail seat. 

Setiap stadion Bundesliga memiliki bagian safe standing; tribun kuning Borussia Dortmund di Westfalenstadion adalah contoh terbaik. Di Amerika Serikat, San Jose Earthquakes telah memiliki bagian safe standing sejak 2014, dan akan disusul oleh Orlando City, Los Angeles FC, dan Minnesota United dalam waktu dekat.

Safe standing juga sebenarnya telah tiba di Britania Raya. Pada akhir tahun lalu, raksasa Skotlandia Celtic membongkar satu bagian Celtic Park untuk membangun bagian safe standing berkapasitas enam ribu orang. Setidaknya 21 klub anggota Football League memilikinya, hanya karena mereka tak diwajibkan untuk mematuhi Football Spectators Act (UU Penonton Sepak Bola), salah satu buah rekomendasi Laporan Taylor.

Argumen yang mendukung kembalinya tribun berdiri antara lain adalah untuk mengembalikan intensitas dan minat penonton yang dianggap telah lama hilang dari sepak bola Inggris. Tren menunjukkan bahwa jumlah penonton setia di stadion-stadion di Inggris semakin menurun sejak diperkenalkannya konsep all-seater; Sir Alex Ferguson pernah menyebut atmosfer Old Trafford “sepi seperti di pemakaman”.

Survei FSF pada tahun 2012 menunjukkan bahwa 91.1% suporter di Inggris ingin dapat memilih untuk berdiri atau duduk saat menonton di stadion, dan 54% mengatakan akan lebih memilih berdiri. Safe standing akan mengembalikan sorak sorai yang riuh rendah untuk tim.

Tiket untuk tribun berdiri juga akan lebih murah. Lagi-lagi, harga tiket yang terlalu mahal menjadi alasan para penonton untuk enggan datang ke stadion. Rataan harga tiket Premier League musim lalu adalah 54 pounds, sementara tiket berdiri di sebuah pertandingan Bundesliga dapat didapat dengan harga serendah 15 pounds saja.

Premier League telah memulai proses konsultasi dengan pemerintah Inggris soal kemungkinan diterapkannya safe standing, dipelopori oleh ketua eksekutif Richard Scudamore. Tak kurang dari figur seperti pemilik West Ham United David Gold dan bos Arsenal Arsene Wenger yang dikabarkan sepakat dengan ide ini. Sekelompok suporter Chelsea bahkan telah meminta agar Stanford Bridge yang direnovasi agar dilengkapi dengan tribun berdiri.

Namun, tak seperti di Jerman atau Amerika Serikat, akan selalu ada alasan emosional yang membayangi proses kembalinya tribun berdiri. Duka lama Hillsborough tak akan mudah terobati. Liverpool akan menjadi pemain yang penting sekiranya upaya Scudamore terealisasi.

Hillsborough Family Support Group, organisasi yang mewakili kerabat para korban tragedi itu, menentang keras segala upaya untuk membalikkan rekomendasi Laporan Taylor. Everton, tim sesama Merseyside, diperkirakan akan berdiri bersama mereka seandainya Liverpool memutuskan untuk menentang safe standing.

Jalan masih panjang untuk bisa menyaksikan Premier League kembali diwarnai oleh sorak-sorai penonton berdiri di the Kop atau Stretford End. Tapi, dengan percakapan para pemegang kepentingan mulai mengarah ke sana, jalan kembali tribun berdiri tampaknya semakin dekat.

Itu sendiri diakui oleh mereka yang telah merasakannya sendiri: para kerabat Hillsborough. “Saya tahu dia benci (bila harus) duduk,” ujar Brookes tentang Andrew, yang berusia 26 tahun saat wafat.

“Menonton sambil berdiri tak membunuhnya, tapi faktor lain, bisa jadi.”

Pertama tayang di Football Tribe Indonesia.

12 June 2017

Ultras bola cap Amerika

Dalam film Green Street Hooligans, Matt Buckner (Elijah Wood) adalah seorang mahasiswa Harvard yang dikeluarkan karena tersangkut kasus kepemilikan kokain dan pindah ke London, tempatnya mulai terlibat dengan kumpulan hooligans jadi-jadian West Ham United bernama Green Street Elite. Buckner, si orang Amerika, sempat tak diterima di antara para suporter beraksen Cockney itu, namun ia segera saja mulai ikut melayangkan tinju-tinju di jalanan melawan musuh bebuyutan macam Manchester United dan Millwall.

Film tersebut tentulah sebuah karya fiksi, namun hooliganisme yang digambarkan nyata adanya. Inggris memiliki sejarah panjang nan kelam dengan suporter-suporter mabuk yang memanjat pagar stadion dan beradu jotos di kereta bawah tanah.

Hooligans adalah kata yang berakar erat dengan sejarah sepak bola negeri itu. Intensitasnya hanya dapat disaingi negara-negara gila bola lain macam Italia, tempat para ultras berkuasa, atau Rusia, dimana penjahat terorganisir sering menyaru jadi penonton.

Seiring mengglobalnya permainan indah bernama sepak bola, subkultur hooliganisme terbawa pula sampai ke tanah seberang samudera: Amerika Serikat, tempat asal tokoh fiksi Matt Buckner. Dalam beberapa tahun terakhir, dengan animo rakyat Negeri Paman Sam perlahan-lahan beralih menuju lapangan rumput soccer, muncul pula budaya para ultras dan hooligans dengan segala kompleksitasnya.

Kemunculan mereka sebenarnya adalah anomali di tengah kebudayaan suporter olahraga di Amerika pada umumnya. Berbanding terbalik dengan sepak bola yang pernah (dan masih) berbau kekerasan dan berlumur darah di beberapa negara Eropa, kekerasan antar kelompok suporter adalah konsep yang asing bagi Amerika. Ini mungkin dapat dijelaskan dengan mengakarnya konsep individualitas dan tingkat sosio-ekonomi rata-rata penikmat olahraga di sana, yang bisa dibilang lebih baik ketimbang tim-tim sepak bola Eropa yang memiliki basis pendukung di kelas pekerja.

Bisbol, bola basket, bahkan football dimainkan di stadion-stadion modern dengan fasilitas lengkap, penjagaan ketat dan sisi bisnis yang menggiurkan. Kebanyakan tim olahraga Amerika mengutamakan aspek ramah keluarga dan anak dalam sports experience yang mereka jual dan tawarkan. Operator liga berkepentingan untuk menjaga sebaik mungkin citra olahraga mereka, sehingga bisa dibilang fans olahraga Amerika lebih “jinak” bila dibanding dengan Eropa.

Hal ini tentu saja tak mencegah munculnya subkultur hooligans di lapangan bola Amerika. Kisah kelahiran mereka dimulai dari New York City pada awal 1970an, ketika seorang imigran muda asal Genoa bernama Giuseppe “Peppino” Masci dan segerombolan anak muda berdarah Italia mendirikan grup ultras untuk mendukung New York Mets, tim bisbol profesional setempat. Masci, pendukung Sampdoria, segera saja mengumpulkan cukup banyak anggota.

Meskipun pada awalnya hanya berfokus pada bisbol dan football saja, ultras cap New York ini tak dapat pula membendung sebuah badai yang melanda kota itu di tengah dekade 70-an: bergabungnya Pele, legenda sepak bola Brazil, ke New York Cosmos. Ultras Tito Mets, grup pimpinannya, segera beralih junjungan kepada Cosmos, dan bertelingkah dengan kelompok-kelompok lain seperti Ultras Yankees, yang didirikan oleh imigran dari kota Roma yang mendukung Lazio.

Kekerasan tak jarang digunakan: pada tahun 1978, lima fans dan dua polisi terluka setelah baku hantam antara Ultras Tito Mets dan Ultras Yankees pasca-laga eksibisi antara Mets dan New York Yankees, dua musuh bebuyutan di lapangan bisbol. Namun, seiring meredupnya popularitas Cosmos dan NASL, liga tempatnya bernaung, di akhir dekade, kelompok ultras generasi pertama ini ikut meredup.

Seperti zaman, para penggemar garis keras memilih beradaptasi. Untuk menghindari kejara aparat, mereka mengadopsi lebih banyak gaya underground dari kompatriot mereka di tanah Britania, yang mendengungkan konsep casual football. Alih-alih bernyanyi dan bersorak dengan atribut tim mereka, hoodie dan sweater kasual kini jadi pilihan.

Sepak bola profesional kembali ke tanah Amerika pada 1996, dua tahun setelah Rose Bowl di Pasadena, California, menjadi saksi kemenangan Brazil atas Italia di final Piala Dunia lewat duel adu penalti. Major League Soccer bertarung mati-matian untuk menjaga nyala api sepak bola pro pasca-Piala Dunia, dan salah satu upaya yang mereka tempuh justru adalah dengan menggaet kembali para penggemar garis keras.

Dan Margarit mendirikan San Jose Ultras, salah satu kelompok suporter tertua di MLS pada 2003. Mereka pendukung setia San Jose Earthquakes. Meskipun tim yang bermarkas di wilayah San Francisco Bay Area ini boleh dikatakan kurang bersinar dibanding rekan tim senegara bagian mereka, LA Galaxy, namun mereka yang paling vokal.

Terutama karena Margarit pernah menjadi anggota ultras Steaua Bucuresti di Romania, tanah kelahirannya. Dengan lagu dan sorakan mereka, tribun-tribun Avaya Stadium selalu riuh dengan sorakan mereka.

Tapi untuk ukuran mereka yang terbiasa melihat liarnya suporter Eropa, tingkat ketrengginasan kelompok-kelompok macam San Jose Ultras masih begitu jinak, dan tanggapan operator liga justru tak sebanding.

Salah satu chant mereka yang terkenal adalah “I put on my Earthquakes jersey/And a scarf around my neck/Marijuana in my pocket/And a bottle in my pack”. Nyanyian yang lebih mirip gombalan remaja itu sudah cukup untuk membuat tim mereka membuat semacam kode etik fans dan memaksa MLS melancarkan kampanye nasional melawan kata-kata kotor di tribun.

Di satu sisi, MLS membutuhkan penggemar macam mereka untuk menjual citra sepak bola pada warga Amerika. Tak heran kalau gambar-gambar para ultras tanpa baju, bercat muka, dan menyelempangkan syal kerap memenuhi bahan-bahan promosi MLS. Di sisi lain, tampaknya MLS masih belum dapat menemukan formula yang tepat untuk menanggulangi potensi kekerasan yang bisa disebabkan oleh kelompok ini.

Kelompok-kelompok ultras dan hooligans sendiri terpisah-pisah antar garis bahasa dan budaya. Sudah jamak diketahui bahwa demografis terbesar peminat sepak bola adalah kaum Latino Amerika. Di San Jose, misalnya, terdapat kelompok suporter Imperio Sismico yang anggotanya hampir eksklusif merupakan kaum Hispanik. Keadaan yang sama terjadi di Houston Dynamo (Texian Army kontra El Battalion) dan D.C. United (Screaming Eagles melawan La Barra Brava). Kaum Latino, yang punya akar budaya sepak bola lebih kuat sehingga merasa lebih superior, cenderung memisahkan diri dari kelompok-kelompok lain.

Pemisahan antar garis etnik ini bukan hal yang baru, tapi sudah terjadi sejak awal mula. Ingat lagi Ultras Tito Mets yang berbau Italia. Ada pula Polish Ultras, kelompok suporter Chicago Fire yang beranggotakan para pemuda berdarah Polandia yang cukup banyak ditemukan di wilayah Midwestern dan sekitarnya.

Hari depan para ultras dan hooligans cap Yankee ini sebenarnya tidak begitu jelas. Reputasi mereka sebagai penggemar garis keras masih tumbuh dengan perlahan seiring dengan berkembangnya MLS, namun sedikit demi sedikit catatan kekerasan mulai terkumpul, konyol ataupun tidak.

Pada Agustus 2015, kerusuhan terjadi antara suporter New York Red Bulls dan NYC FC, lengkap dengan lelaki-lelaki ber-hoodie menirukan aksen Cockney. “Ini seperti versi buruk dari Green Street Hooligans,” lapor koran nasional The Washington Post. Untuk catatan, kerusuhan ini terjadi di luar sebuah bar di Newark, New Jersey, dan melibatkan lelaki dewasa melempar roti lapis dan tong sampah.

Namun yang cukup serius juga sudah terjadi: seorang fan Portland Timbers memecahkan kaca mobil seorang suporter San Jose pada 2013. Para ultras San Jose membalas dengan memukuli dan merusak mobil sang fan Timbers. Kala San Jose melawat ke Portland, tuan rumah balas mengejek dengan spanduk bernada melecehkan dan hampir pula menyebabkan baku hantam.

Jalan masih panjang bagi para penggemar garis keras ini untuk menancapkan kuku mereka dalam lembar sejarah sepak bola di Negeri Paman Sam. Sederet halangan, berupa-rupa dari ekonomi hingga budaya, masih terbentang untuk mereka.

Tak ada yang lebih berhak menjelaskan tantangannya selain seorang ultras sendiri: Dan Margarit, sang komandan San Jose Ultras asal Rumania itu. “Bagi orang Amerika, sepak bola hanyalah sesuatu yang dinikmati di akhir pekan,” ujarnya dalam suatu wawancara. “Bagi orang Eropa, (sepak bola) adalah jalan hidup.”

Pertama kali tayang di Football Tribe Indonesia.

19 May 2017

Sports of all sorts: interview with LN's athletic director

--- an insider's look at the job of athletic director Mike Penrose as he wraps up his second year at the helm

Often seen working away in his office or roaming the varios athletic complexes at Lawrence North, athletic director Mike Penrose is wrappin up his second year in charge of a major school's athletics. His role wasn't always in athletics, yet he finds himself here today and his journey and tenure are more than meets the eye.

This is your second year as Athletic Director. What do you think of this job? Does it meet your initial expectation?

I love this job. This is something that I’ve been wanting to do since I stopped coaching. I’ve been here for twenty-three years. Lawrence North has been my life. My first eighteen years I was a math teacher, then I was the swim coach, and also helps with the baseball team. Prior to this job I was an assistant principal for three years, and now this is my second year as athletic director.

What part of your job you like the most? Why?

I love watching teams. I love seeing the development of young people. I love the excitement that high school athletics generates. I love seeing how proud kids are representing their school. I enjoy the young people trying to reach their goals, working hard and seeing it paid off. The idea of leading to success down to classrooms and the community, that’s what I like.

Is there anything that surprised you in this job? Something that you wish you knew when you accepted it?

Not really. I knew what I’m getting into, because I worked closely with Dr. Nesbit and Mr. Zeller as a coach, and I supervised several athletic events as assistant principal. I was very prepared in my role based on different experiences I had, as I know ins and outs of what it took to run an athletic department.

How is your working relationship with Mr. Zeller, your assistant director?

Once I got to this job, having Mr. Zeller as somebody I could go to, that was extremely helpful, because he has been an athletic director himself for number of years. Just working with him make the transition very easy.

Dr Nesbit (the district athletic director), was your predecessor in this job. How is your working relation with him?

We worked together for number of years, and we had a really good working relationship. It is very good to have him to be able to call for advices, and also as an advocate for us in the central office.

What has been your biggest challenge so far in this job? How did you resolve it?

Thinking back, I haven’t really faced one. If there is any issue, I tried to work the problem and get a solution that is amicable to all parties.

How is the athletic facility renovations taking your time?

It’s stacking up a lot of time, but we want to make sure we did that right. My time over the last year has really been involved with those types of meetings. We are looking for solutions on how both inside and outside constructions are going to help our student athletes in long term. We still have a lot of things that are in the process.

Last question: Terry Bradshaw or Ben Roethlisberger?

Well, Bradshaw was 4-0 in Super Bowl, and Roethlisberger is 2-1, so I’d have to go with Bradshaw. But Roethlisberger is close second!

An edited version of this interview appeared in the 19 May 2017 edition of North Star, the student newspaper of Lawrence North High School, Indianapolis. This would also my final piece in a year-long stint with the amazing faculty and staff members.

15 May 2017

Mothers of the world, unite!


May 14th is Mother’s Day in the United States. We — me and my host family — celebrated it by getting into our boat, roamed around Geist Reservoir, and had a good dinner in nearby lakefront restaurant.

Throughout social medias, my friends (both Americans and fellow Indonesian exchange students here) almost uniformly posted the pictures of their mother (and exchange mothers, for my fellow exchange students), showing their appreciation to them. Very millennial, I should say: Instagram posts with bunch of tags and Facebook writings with flowery languages? All that is in my news feed.

But what is the real meaning of Mother’s Day, may I ask? Is it just a commercial fiesta of motherhood, or a genuine appreciation with serious concerns to a larger picture of issues?

Before that, of course, let me tell you a story.

I never doubt that I was lucky to born into a great family.

We are middle-class, if you’re using Indonesian standard of economic status. Two working parents with stable job and comfortable house, with kids in good schools. We are not rich, nowhere close, but there is nothing in our social-economic status that bar us from dreaming. All of our relatives, too, are hardworking middle-class folks in the urban society of 21st century Indonesia.

And we’re in majority. I hate to say this, but me and my family is and always part of the privileged majority. We’re Muslims: eighty-five per cent of Indonesians, at least, are Muslims. We never had difficulty to pray in our mosques or access halal food sources. We’re pribumis, a large but abstract Austronesian ethnic group that made up of nearly ninety-five per cent of Indonesians. We are not immigrants like our fellow Chinese, Arabs, or Eurasians: we are native of this land. And of course, we’re part of the middle-class. Kelas menengah, seventy-four million Indonesians that emerged from the post-Soeharto economic boom and shaped the modern state of the country with their political and economic power.

My host mother liked to say that she, a white, middle-class woman from the Midwest, is the least likely category of people that will be pulled off by the police in highways. White privilege, that phrase exists in American social discourse.

In Indonesia, people like me and my family has such privilege.

My mother always rise earlier than anyone in our family. She usually rose at four o’clock in the morning. Since we moved out from our old house to our new one earlier this year, she always walked across the street to the mosque for Subuh prayer. And then she would return to prepare breakfast for us. If she had morning class at campus — which is rare — she would drive me and my sister to our schools. If not, my father would.

And then she have another hour or two before she depart to her campus in downtown Pekanbaru. She usually have classes in 10 am or 2 pm, depending on her (very) flexible schedule. (I always envy those college professors with flexible teaching hours while we kids must suffer of long and boring class hours at school, but that’s the another story). She and my father will then pick us up from school on the evening, and then had dinner together, at home or somewhere else.

My mother often had classes on the weekend, Saturdays and Sundays, but those classes never bar her from spending her time with her family. She still found time for her hobbies: watering her flowers, designing stuff for our new home, whatever that makes her happy.

She found time to wait for my sister’s additional math lessons, to visit relatives across the town with my grandmother, to cash my grandparent’s pension check every first weeks of the month, and to attend parent-teacher conferences at her children’s school. (The latter, sometimes creeps me out, because when you’re 16 you don’t want your parents to know whatever the hell you’re up to at school.)

Also, my mother is a dreamer. She loves to travel to new places. When we’re living in Malaysia, we took a lot of trips during weekends and holidays. She talks a lot about places she had wanted to go: Makkah, of course, but also Europe and the United States.

And she make her children to dream, too. She freed her children to do whatever they want to do in life. Unlike most of Indonesian parents that valued STEM as an ultimate pass to future career opportunities, she and my father never questioned me when I decided to choose social sciences as my concentration in high school.

Both of them are civil engineers by trade with two PhD from abroad: natural scientists of highest degrees, not writers or painters or poets. My freshman year, they forcefully opposed my high school’s principal when the school tried to place me in STEM concentration. Because they know that my talent would only be wasted if I spent three years of high school solving linear equations or chemical reactions. If that’s not a 21st century parenting for you, I don’t know what’s that.

And she also pushed me to go through the exchange student program. She was reluctant at first — of course, every parent will be reluctant to let their teen-age son to go to a foreign land — but like a true college professor and a analytically-minded scientist, she pushed me forward when I began to gain ground. After all, she and my father attended schools in foreign countries, too.

But this is not only the story of my mother, per se. This is a story of women’s role in our modern world. This is a story of gender equality in 21st century. This is a story of the great mothers that shaped our world with their mouths, hands, and brains.

Before I moved here to the United States, I never know what gender equality is. Feminism is not a clear concept for me, at least. I never read Gloria Steinem or Judith Butler. I never even care about it. 

But I know that men and women are supposed to be allowed to do whatever they want to do. I know that it is not right to discriminate by the account of sex. I know that patriarchy is something that must not be defended. But I never know it from literary books or historical accounts. I know it from my own eyes, from my own experiences.

I’m of Minangkabau heritage. Minang people, the settlers of western coast of Sumatera, is the world’s largest matrilineal society. Lands and properties, for Minangs, are passed from mothers and daughters. It is a straight antidote of a patriarchy. The mothers, the bundo kanduangs, are the most powerful part of Minangkabau society. And at the same time, we kept our Islamic faith, with its more patriarchal senses, close to our heart. 

We Minangs never carry our father’s name, as it always our mother’s or from our mother’s line. How Americans and Europeans always carry their father’s last name into their own name is something that completely different, for me. And we Minangs, safe to say, are one of the most prominent ethnic group in Indonesia. We are three of four Founding Fathers of Indonesia, not to forget countless number of businessmen, statesmen, military officers, and whatnots. We holds economic and political power for years and years, often somewhat disproportionate with our small number of population.

Minang women has been government ministers, ambassadors, professors, military generals, religious leaders, business executives, whatever you want. Believe me, in term of success and opportunity, we are probably one of the most gender-equal society in the world. And Indonesia I grew up is a country that allow its women to freely and actively participate in the affairs of the nation.

I was three year-old when Megawati Soekarnoputri’s, our first (and only, to date) president, took power. Powerful women political figures like finance minister Sri Mulyani Indrawati and Surabaya mayor Tri Rismaharini are staples of our political life. Hell, we even require 30% of all House of Representative candidates to be women. What could be worse than that?

Then I moved to the United States and realized that my experience is an exception, not a widely-accepted fact. I was truly shocked when learning about the suffragette movement, the likes of Susan B. Anthony, in my AP US History class. That American women was once fighting, literally with their lives, to get their voice heard inside a political system, is actually staggering for me.

Indonesia has universal suffrage even since our first election in 1955. If anybody — ANYBODY — would try to deny my grandmother, or my mother, or any other Indonesian women access to their ballot box, I’d guarantee them lose their job the next day.

United States has no nationally-mandated full-coverage paid maternity leave, has limited resource to federal funding of women’s health (as Planned Parenthood keep getting attacked from left and right), and still has one of the industrialized world’s broadest gender pay gap.

My mother had three months of paid maternity leave, full coverage. Her — and ours — health insurance, a government-operated single-payer system, guaranteed her health for the rest of her life. She earns almost the same wage as my father, both of them government-employed college professors.

And in political roles, I saw the struggle of American society to elect the first woman president, Secretary of State Hillary Clinton in 2016. You know how that one turned out, right?
I am never an expert on equality. But I experienced it, and I know that other people should, too.

This Mother’s Day, I decide to review back my experience. I had the privilege to spend an amazing year here in the United States. Everything that I had experienced made me socially, politically, and economically more conscious than ever. And of course, in this matter of equality, I’m no longer ignorant like before.

Equality is no longer important: it’s urgent. We need to talk, more than ever, about how our society must be open to a more equal role of men and women. I’m speaking to the mothers and fathers, daughters and sons of the world, that nothing should bar them from achieving what they want in their life. We need to solve the problems that obstruct the girls from achieving what the boys can without any significant difficulties.

My mother never afraid to dream, and she never allow us, her children, to do so. She has her great career ahead of her while raising her two children in a loving family with her husband. She never let her gender to limit her: in fact, it is what empowered her.

We need to talk. We need to be open. We need to debate. We need to discuss. Right now. Right here.