29 September 2015

Catatan yang tidak demonstran-demonstran amat

Akhir-akhir ini saya sedang berjuang untuk menyelesaikan buku Catatan Seorang Demonstran-nya Soe Hok Gie. Betul, Gie yang itu, yang diperankan Nicholas Saputra. Dulu saya sudah nonton filmnya, dan penasaran bagaimana isi bukunya yang konon legendaris itu.

Kebetulan beberapa pekan silam (dengan memanfaatkan libur kabut asap yang terus diperpanjang macam konflik Israel-Palestina) saya ketemu buku itu di Gramedia. Cetakan ulang, kertasnya lumayanlah. Ada kata pengantar (kalau tidak salah dari Daniel Dhakidae) yang begitu panjang sampai akhirnya saya lompati begitu saja.

Membaca bagian pertama buku ini seperti membaca catatan harian Kapten Haddock dalam tubuh bocah SMP. Penuh kemarahan, kekesalan, sikap masa bodoh terhadap dunia. Gaya bahasanya mungkin memang khas era 1950an.
Senin, 28 Oktober 1957
Aku sudah masuk lagi. Tadi bertemu dengan Si Kodok. Hari ini kami sampai jam ke-3. Enak-enak saja. Tapi 4-5-6 ulangan. Bosan, bosan, aku mau sebetulnya sekolah di alam bebas seperti R. Tagore bilang.
Namun kemarahan Gie ini tampaknya lain. Ia marah sambil mengutip sastrawan, mengamuk sambil merapal syair, sebal seraya menyitir filsuf. Dan 1957 itu usianya masih lima belas tahun. Umur lima belas tahun sudah menyitir Tagore, sedangkan tahun lalu saya lima belas tahun sedang sibuk main Football Manager. Bukan main.

Saya pertama kali membaca buku ini di lobi Hotel Pangeran (sungguh ironis kedengarannya). Sebelum membaca (ini tabiat buruk, jangan ditiru), sampul buku itu saya foto lalu upload ke Facebook dan Instagram. Tapi akhirnya saya pikir-pikir lagi, sombong betul mengunggah-unggah sampul buku berat macam begini ke media sosial. Akhirnya posting itu saya hapus lagi....

Kenapa dihapus? Ya seperti yang saya bilang tadi, Gie umur lima belas sudah menulis marah-marah sambil menyitir Tagore, sedangkan saya umur lima belas baca buku dia lalu pamer ke Facebook. Seumur-umur saya tidak pernah berhasil konsisten bikin catatan harian atau sebangsanya macam Gie. Saya mungkin cuma seorang yang tidak demonstran-demonstran amat, menuliskan catatan yang juga tidak demonstran-demonstran amat.

Tanbihat: Buku itu sampai sekarang belum selesai juga saya baca. Hih.

07 September 2015

"Tulis aja dulu!"

Saya pertama kali mendengar soal Pandji Pragiwaksono sekitar tahun 2009, ketika masih di Malaysia.

Entah bagaimana, saya mendapatkan e-book "Nasional.is.me" yang dia karang (waktu itu masih e-book, sekarang mah udah ada versi cetaknya).

Setelah selintas membaca, saya pikir: "wah keren juga ini orang". Tulisan-tulisannya singkat, padat, tapi bernas. Bang Pandji bicara soal sosial, politik, keindonesiaan, sampai basket dan sepak bola.

Setelah itu saya ikutin terus karya-karya selanjutnya. Mulai dari baca-baca tulisannya di blog, mengunduh album rap dia (Lagu Melayu di album Merdesa sampai sekarang masih masuk playlist kalau bepergian, abis keren sih) dan nonton stand-up comedy. 

Bang Pandji bicara soal keadaan yang terjadi di sekitar dia dan kita semua. Tidak melulu sosial dan politik saja, saya lebih suka menggunakan terma 'kemanusiaan'. Tulisan-tulisannya, lagu-lagunya, serta bit-bit stand-up-nya semua berkisah soal ini.

Dia bicara soal anggota-anggota DPR yang suka tidur waktu sidang (DPR di Merdesa), hidup yang selo (Hidup Itu Main dan Main Itu Hidup di Merdesa), perjalanan keliling Indonesia (buku Nasional.is.me), sampai menyitir pledoi Bung Hatta (Indonesia Free di 32). Banyak lagi karya lain, yang tentunya tak dapat saya sebutkan satu-satu di sini (macem pidato panitia kurban aja kau...)

Jadilah reaksi pertama saya ketika dikabarkan bahwa Bang Pandji akan ngisi acara coaching clinic tentang digital writing di Pekanbaru adalah: "Mantep nih, gak boleh lewat". Nyatanya saya kelupaan dan baru dapat tiket di hari-H. Hahahaha.

Acaranya digelar di salah satu hotel besar di Pekanbaru. Ternyata ada pembicara lain: Raditya Dika dan RAN (itu lho, band yang nyanyi "kau di sini aku di sanaaaaa").

Saya baru dengar RAN baru-baru ini saja, tapi Raditya Dika jelas bukan penulis yang asing. Sebelum Bang Radit sibuk jadi sutradara-cum-pemeran, saya sudah duluan baca Kambingjantan, Cinta Brontosaurus, Manusia Setengah Salmon, sampai yang terbaru Koala Kumal (dimana saya berjam-jam mutar-mutar di Gramedia untuk nemanin Haqi minta tandatangan Bang Radit yang dikerubungi anak-anak SMP yang histeris). Serial Malam Minggu Miko sudah saya tonton habis di YouTube. Sayangnya, kali ini dia ngisi sesi digital video dan peserta gak bisa milih dua sesi sekaligus. Hiks.

Bang Pandji ngisi soal digital writing, bertempat di lobi (sementara yang lain di ruangan). Selama satu jam, dia memaparkan pengalaman dan berbagi tips soal tulis-menulis. Satu tips yang saya ingat benar (dan emang selalu dikoarkan oleh penulis lain) adalah: tulis aja dulu! Jangan khawatir jelek, karena tulisan pertama siapapun pasti akan jelek. Pokoknya, tulis aja dulu.

Masuk sesi pertanyaan. Setelah beberapa kali gagal, akhirnya saya dapat kesempatan. "Bang, kenapa suka nulis tentang sosial politik?"

Dia terdiam sejenak. "Kalau gue nulis tentang cinta-cintaan, wah gue bukan remaja lagi, hahaha..."

Seisi lobi tertawa ngakak. Kemudian Bang Pandji bilang kira-kira gini. "Gue nulis tentang sosial politik karena itu keresahan gue. Tentang Indonesia, karena itu keresahan gue."

Ya, keresehan. Tulisan-tulisannya soal Indonesia memang selalu bernada optimis (mirip @GNFI), namun Bang Pandji menulis seperti itu karean dia resah dengan kondisi sosial politik Indonesia saat ini.

Kemudian dia bilang: "Gue kasih tau nih ya, kalau ada penulis yang tulisannya itu-ituuuu mulu, cinta-cintaaaan mulu, itu hidupnya pasti bokis. Gak mungkin kan ya hidupnya itu cinta-cintaan, galau-galauan mulu, itu pasti bokis."

HAHAHAHAHAHAHA.

Akhirul kalam, akhirnya saya sempat berkodak dengan Bang Pandji selepas acara berakhir.


Oh, dengan Bang Radit juga ada hehehe


Anyway, it was full of fun. Terima kasih setinggi-tingginya untuk Loop Pekanbaru! :D

02 September 2015

Menggantang asap

Pagi ini, kasak-kusuk menyebar di seluruh sudut sekolah. Kabut asap yang makin menjadi-jadi sudah melapisi nyaris semua kaki langit, membuat sekolah kami tampak seperti lokasi salah satu adegan Silent Hill-nya Keiichiro Toyama. Kasak-kusuk menyebar bahwa sekolah akan diliburkan.

"Katanya sampai seminggu," ujar seorang kawan bombastis.

Meliburkan anak sekolah gara-gara persoalan asap ini bukan hal yang tak lazim di Riau. Saya ingat dua tahun lalu, waktu kelas sembilan dan tengah sibuk-sibuknya mempersiapkan UN, kabut asap juga sedang sibuk-sibuknya menggelitik kerongkongan penduduk Riau. Walhasil, sekolah diliburkan sampai dua (atau tiga?) minggu, yang tentu saja disambut gembira bocah-bocah....

Barangkali asap ini memang sudah jadi bagian dari kehidupan penduduk Riau. Saya sepulang dari Malaysia sekitar empat tahun lalu pertama-tama nyaris semaput kalau keluar rumah. Sekarang saya santai main bola di tengah asap. Mungkin lapis-lapis asap itu sudah menyatu dengan tubuh :p

Kebanyakan siswa tentu saja senang mendengar kabar-sekolah-akan-diliburkan (siapa yang gak senang dapat libur tengah pekan?), tapi ternyata ada juga mazhab yang kurang sepakat. Mazhab ini berpendapat bahwa libur berpotensi membuat kantong kering.

"Eeee, kalau libur tak ada dapat uang jajan aku do..."

Namun selepas istirahat pertama jam 10, ada pengumuman. "Semua siswa harap segera ke aula," terdengar TOA menyalak. Kami berkumpul, basa-basi singkat oleh guru, lalu langsung menuju poin utama: hari ini semuanya dipulangkan, besok juga libur. Jumat masuk lagi. Langsung pulang ke rumah, jangan ke sana ke mari, et cetera, et cetera.

HOREEEEE

Sesampainya di rumah saya cek portal berita Riau, ternyata memang benar semua sekolah diliburkan sampai Jumat. Dan Jumat itu, kalau asapnya masih betah bertengger atau malah makin membesar, ya libur diperpanjang. Di sekolah, beberapa kawan yang kampungnya dekat dengan Pekanbaru langsung menggeber motor pulang kampung; di socmed (terutama Path), anak-anak kota langsung ngebut berfoya-foya :p

Saya sih biasa-biasa saja menyikapi libur ini. Selain ada waktu untuk selo (dan mengerjakan makalah Aqidah yang gak selesai-selesai itu), ya memang asap ini mengganggu aktivitas rutin. Dan bisa juga menyelesaikan beberapa hal yang tak kunjung terselesaikan (tsah). Pengukuhan AKSI berlangsung Ahad ini, dan tidak tahu apa yang akan terjadi kalau kota ini masih berasap-asap.

Harapan penduduk Riau supaya pemerintah bisa turun tangan tampaknya justru tampak macam yang digambarkan oleh peribahasa Indonesia lama: seperti menggantang asap. Sia-sia, tidak ada gunanya. Lha pemerintah di Jakarta tampaknya kurang minat mengurusi hal-hal sepele macam asap tahunan ini. Mengharapkan pemerintah daerah? Tuh gubernurnya lagi dikurung di kandang situmbin.

Anyway, saya mau selo dulu. Selamat menggantang asap, tuan dan puan.