Akhir-akhir ini saya sedang berjuang untuk menyelesaikan buku Catatan Seorang Demonstran-nya Soe Hok Gie. Betul, Gie yang itu, yang diperankan Nicholas Saputra. Dulu saya sudah nonton filmnya, dan penasaran bagaimana isi bukunya yang konon legendaris itu.
Kebetulan beberapa pekan silam (dengan memanfaatkan libur kabut asap yang terus diperpanjang macam konflik Israel-Palestina) saya ketemu buku itu di Gramedia. Cetakan ulang, kertasnya lumayanlah. Ada kata pengantar (kalau tidak salah dari Daniel Dhakidae) yang begitu panjang sampai akhirnya saya lompati begitu saja.
Membaca bagian pertama buku ini seperti membaca catatan harian Kapten Haddock dalam tubuh bocah SMP. Penuh kemarahan, kekesalan, sikap masa bodoh terhadap dunia. Gaya bahasanya mungkin memang khas era 1950an.
Saya pertama kali membaca buku ini di lobi Hotel Pangeran (sungguh ironis kedengarannya). Sebelum membaca (ini tabiat buruk, jangan ditiru), sampul buku itu saya foto lalu upload ke Facebook dan Instagram. Tapi akhirnya saya pikir-pikir lagi, sombong betul mengunggah-unggah sampul buku berat macam begini ke media sosial. Akhirnya posting itu saya hapus lagi....
Kenapa dihapus? Ya seperti yang saya bilang tadi, Gie umur lima belas sudah menulis marah-marah sambil menyitir Tagore, sedangkan saya umur lima belas baca buku dia lalu pamer ke Facebook. Seumur-umur saya tidak pernah berhasil konsisten bikin catatan harian atau sebangsanya macam Gie. Saya mungkin cuma seorang yang tidak demonstran-demonstran amat, menuliskan catatan yang juga tidak demonstran-demonstran amat.
Tanbihat: Buku itu sampai sekarang belum selesai juga saya baca. Hih.
Kebetulan beberapa pekan silam (dengan memanfaatkan libur kabut asap yang terus diperpanjang macam konflik Israel-Palestina) saya ketemu buku itu di Gramedia. Cetakan ulang, kertasnya lumayanlah. Ada kata pengantar (kalau tidak salah dari Daniel Dhakidae) yang begitu panjang sampai akhirnya saya lompati begitu saja.
Membaca bagian pertama buku ini seperti membaca catatan harian Kapten Haddock dalam tubuh bocah SMP. Penuh kemarahan, kekesalan, sikap masa bodoh terhadap dunia. Gaya bahasanya mungkin memang khas era 1950an.
Senin, 28 Oktober 1957
Aku sudah masuk lagi. Tadi bertemu dengan Si Kodok. Hari ini kami sampai jam ke-3. Enak-enak saja. Tapi 4-5-6 ulangan. Bosan, bosan, aku mau sebetulnya sekolah di alam bebas seperti R. Tagore bilang.Namun kemarahan Gie ini tampaknya lain. Ia marah sambil mengutip sastrawan, mengamuk sambil merapal syair, sebal seraya menyitir filsuf. Dan 1957 itu usianya masih lima belas tahun. Umur lima belas tahun sudah menyitir Tagore, sedangkan tahun lalu saya lima belas tahun sedang sibuk main Football Manager. Bukan main.
Saya pertama kali membaca buku ini di lobi Hotel Pangeran (sungguh ironis kedengarannya). Sebelum membaca (ini tabiat buruk, jangan ditiru), sampul buku itu saya foto lalu upload ke Facebook dan Instagram. Tapi akhirnya saya pikir-pikir lagi, sombong betul mengunggah-unggah sampul buku berat macam begini ke media sosial. Akhirnya posting itu saya hapus lagi....
Kenapa dihapus? Ya seperti yang saya bilang tadi, Gie umur lima belas sudah menulis marah-marah sambil menyitir Tagore, sedangkan saya umur lima belas baca buku dia lalu pamer ke Facebook. Seumur-umur saya tidak pernah berhasil konsisten bikin catatan harian atau sebangsanya macam Gie. Saya mungkin cuma seorang yang tidak demonstran-demonstran amat, menuliskan catatan yang juga tidak demonstran-demonstran amat.
Tanbihat: Buku itu sampai sekarang belum selesai juga saya baca. Hih.