23 December 2013

Review: 99 Cahaya di Langit Eropa (2013)

Singkat saja, karena saya memang tak pernah suka panjang-panjang.

Saya sudah membaca novelnya, dan memang apa yang ditayangkan film ini tak begitu jauh dari kenyataan. Novelnya sendiri dibuka dengan prolog dan epilog - jujur saja, saya tak pernah suka novel yang dibuka dengan kenangan masa lalu. Saya kira novel ini semacam karangan bebas saja, tak dimaksudkan sebagai novel sastrawi berat yang mendayu-dayu.

Film yang paling menarik untuk dikritik tentu saja film yang diangkat dari sebuah novel. Dan saya kira, film ini sudah cukup baik dalam menjalankan peran adaptasinya dari sebuah novel.

99 Cahaya di Langit Eropa menyuguhkan latar keislaman. Latar perjalanan hidup seorang Hanum yang dikisahkan mendapat beasiswa ke Wina, Austria, diceritakan dengan latar kota khas Eropa yang eksotis. Penggambaran film ini sebenarnya cukup baik: menampilkan berbagai sudut kota dan secara adil membagi perhatian antara tram-tram kota dan perumahan sederhana para imigran. Meskipun berlatar di cukup banyak tempat, namun ia tak dipenuhi oleh detil-detil yang tak perlu.

Yang paling saya sayangkan adalah ketiadaan - jika tidak dibilang sangat kurang - dialog bahasa asing dalam film ini. Dalam buku aslinya, Fatma diceritakan dapat  berbahasa Jerman yang cukup fasih (ia mendapat nilai pemuncak di kursusnya, jika Anda ingat-ingat). Namun di film, Fatma 95% berbahasa Indonesia. Anaknya, Ayse (yang digambarkan sudah SD, padahal di buku masih gadis kecil), juga berbahasa Indonesia. Saya kira ini mengurangi jiwa "asing" di film ini. Plot-plot digambarkan di Wina yang mayoritas berbahasa Jerman, namun tak ada dialog lengkap dalam bahasa Jerman. Stefan sang ateis Austria pun dengan fasih mencampur adukkan bahasa Jerman, Inggris dan Indonesia. Khan sang staf doktoral dari India degan fasih berbahasa Indonesia. Jika film ini tidak bisa dibilang film asal kejar setoran, maka ini adalah film yang dialognya dikerjakan setengah hati.

Satu hal yang saya soroti adalah kehadiran Fatin Shidqia. Tanpa bermaksud untuk menyakiti siapapun, tapi apa maksudnya ini? Rangga dan Hanum turun dari bukit (yang saya lupa namanya) lalu begitu saja bertemu Fatin? Tak bisakah sutradara menemukan improvisasi yang lebih mengena ketimbang "koinsidensi yang tak sengaja"? Adegan Fatin itu pun saya kira tak lebih dari pesanan sponsor semata.

Kesan dakwah di film ini pun terasa agak hambar dengan pemeran utamanya, Acha Septriasa, hanya sekali tampak mengenakan jilbab, yaitu saat berkunjung ke Masjid Wina. Film ini diklaim sarat dengan syiar Islam, namun tak ada sama sekali syiar dari pemeran utamanya. Semoga film selanjutnya mengubah cara pandang saya terhadap muatan dakwah di film ini.

Secara umum, film ini dikemas dengan apik, namun tak lepas dari cacat. Angkat topi untuk usaha sutradara dan para pemerannya yang sanggup jauh-jauh syuting nun di Austria sana.

Saya masih menunggu film lanjutannya yang tampaknya cukup seru: Stefan si ateis pembayar asuransi 80 euro ditabrak mobil.

8/10 untuk film ini.

No comments:

Post a Comment