25 September 2013

Membedah siasat Semen Padang selepas Piala AFC

Setelah peluit panjang tanda akhir pertandingan yang ditiupkan wasit Mehtab Hossain membahana di atas Stadion Haji Agus Salim pada 24 September silam, saya mulai berpikir: okay, what’s next?

Semen Padang telah membuat pemirsa sepak bola Indonesia bangga sepanjang musim ini. Kiprah mereka yang sensasional di Liga Prima musim lalu – menjuarai liga dengan delapan dari pesaing terdekatnya Persebaya – dan lolos ke Piala AFC sebagai salah satu dari wakil Indonesia di tengah karut-marut konflik yang menghantam sepak bola ibu pertiwi, jelas tak mudah disaingi sembarang klub.

Klub berjuluk Kabau Sirah ini melenggang tanpa pernah kalah di fase grup, hal yang belum pernah dilakukan klub Indonesia manapun di pentas Asia. Setelah gol telat Vendry Mofu ke gawang Kitchee di leg kedua babak 16 besar, SP berpeluang besar untuk melampaui prestasi mereka di Piala Winners Asia 1992, dimana mereka terhenti di perempatfinal oleh Yokohama F. Marinos. Sayang, gol gelandang pengganti Ryuji Sueoka ke gawang Jandia Eka Putra di Calcutta tanggal 17 September silam, ditambah ketidakmampuan skuat besutan Pak Haji Suhatman Imam mengalahkan sang tamu di Agus Salim pada leg kedua, akhirnya menutup asa klub kebanggaan warga Kota Padang ini untuk menjadi klub Indonesia pertama yang melaju ke semifinal kompetisi Asia.

Banyak yang perlu dibenahi Semen Padang untuk menghadapi partai final Liga Prima 2013 dan Liga Super Indonesia tahun depan. Meskipun Kabau Sirah mendapat wild card untuk melenggang langsung ke partai final IPL – sementara sepuluh lainnya harus bertempur di babak play-off dan semifinal – partai final jelas tidak pernah menjadi hal yang mudah. Apalagi menghadapi persaingan keras di ISL musim depan, Semen Padang harus mulai berbenah agar tak dipecundangi klub-klub “tradisional” seperti Persipura, Persib, Arema, Sriwijaya dan Persebaya, yang terkenal memiliki skuat yang relatif dalam dan basis dukungan yang kuat.

Dari sisi teknis, Semen Padang harus mulai memerhatikan lini depan. Edward Junior Wilson sudah dipastikan hampir angkat kaki dari Padang. Padahal Mak Itam, demikian ia dipanggil publik Agus Salim, adalah mesin gol utama SP dalam tiga musim terakhir. Memang masih ada talenta lain seperti Titus Bonai (orang satu ini lebih dikenal sebagai pengumpan ketimbang perusak), M. Nur Iskandar atau si serbabisa Hendra Bayauw, tetapi menggantikan seorang penyerang utama bukanlah hal yang mudah. SP harus belajar dari tetangganya di Riau, PSPS Pekanbaru, yang langsung limbung (mereka terjun ke Divisi Utama musim ini) setelah ditinggal mesin gol utama mereka, Herman Dzumafo. Alternatif pengganti Mak Itam – jika pun SP memang harus mencari penggantinya – antara lain Patrich Wanggai, kompatriot Titus Bonai di timnas SEAG 2011, yang dapat memformulasikan partnership ala Papua nan di lini depan. Atau SP juga dapat mendatangkan Djibril Coulibaly dari Barito Putera, yang berkarakter mirip dengan Edward, sama-sama perusak untuk level nasional. Jika tak bisa mendatangkan kedua striker di atas, mungkin SP boleh menjajal produk Semen Padang U21 atau memantau dari timnas level usia dini.

Di lini tengah, SP harus mengambil perhatian khusus terhadap Kakanda Elie Aiboy. Sang kapten lawas dari Papua ini tampaknya sudah mulai menurun kondisinya, hal yang wajar mengingat usianya tak lagi muda. Kebijakan pelatih Suhatman yang terus menurunkannya sejak menit pertama tampaknya menutup peluang para gelandang muda lain untuk menjajal tim utama. Saya tidak terlalu banyak menaruh harapan bagi gelandang yang hanya bisa bermain penuh selama 60 menit, dan saya kira tak ada salahnya jika SP mulai memikirkan pengganti baru di posisi sang kapten yang mulai menua. Masih banyak gelandang dalam tim, seperti Jajang Paliama, Riky Akbar Ohorella atau Hendra Adi Bayauw yang mampu memenuhi tuntutan ala Suhatman, atau siapapun yang kelak menjadi pelatih kepala. Sisanya, Esteban Vizcarra dan Yu Hyun-Koo telah beraksi luar biasa musim ini, dan tak ada salahnya klub mengganjar perpanjangan kontrak. Oh ya, Vendry Mofu, sang pencetak gol telat kesayangan publik Padang itu, juga tampaknya harus diamankan dari godaan fulus klub-klub ISL musim depan.

Lini pertahanan sendiri sebenarnya tak terlalu bermasalah. David Pagbe dan Novan Setyo Sasongko bekerja keras sepanjang musim ini, begitu juga Hengky Ardiles. Sedikit gangguan kecil mungkin muncul dalam wujud Wahyu Wijiastanto. Eks pemain Persiba Bantul ini dipuji-puji sebagai salah satu bek masa depan Semen Padang mengingat posturnya yang tinggi besar, menguntungkannya dalam duel udara. Namun sesungguhnya “kebesaran” ini tak terlalu menguntungkan SP: Wahyu terlihat lebih kerap kehilangan bola-bola bawah dan terlambat melakukan tekel di area pertahanannya sendiri, apalagi lawan yang dihadapi berpostur kecil. Hal ini pula yang saya duga membuatnya jarang terlihat lagi di timnas. Seharusnya SP sudah bisa mengantisipasi hal ini dengan mempersiapkan pelapis bagi Wahyu sang tunggak gadang, dengan kriteria mampu menghadang bola atas dan bola bawah dengan sama baiknya.

Salah satu keuntungan yang bisa dimanfaatkan manajemen SP adalah otot finansial kuat yang tidak bisa dinikmati oleh klub lainnya. Semen Padang saat ini dibawah kendali PT. Kabau Sirah Semen Padang (KSSP) yang didanai penuh oleh PT. Semen Padang, sebuah korporasi semen tertua di Indonesia dan mempunyai dana yang cukup besar. Ini terbukti dengan kesuksesan SP mengarungi liga musim ini tanpa kesulitan finansial berarti, di kala klub-klub pesaingnya satu demi satu dihantam badai tunggakan gaji. Kita tentu ingat “kecelakaan” yang menimpa Persibo Bojonegoro, kompatriot Kabau Sirah di Piala AFC musim ini, yang mengandalkan dana seadanya untuk mengarungi kompetisi Asia. “Kekayaan” ini disiratkan oleh kredo antik yang kerap diulang-ulang suporter di tribun: “selagi Bukit Karang Putih berasap, Semen Padang takkan bubar!”

Hal lain yang harus dibenahi oleh SP dalam menghadapi musim baru adalah dengan mengganti pelatih kepala itu sendiri. Peran Pak Haji Suhatman Imam selaku nakhoda tim begitu dominan musim ini, sehingga membuat publik hampir lupa bahwa pelatih kepala yang sebenarnya adalah Jafri Sastra. Kapasitas Pak Haji Suhatman sebenarnya hanyalah sebatas direktur teknik: namun jangan heran jika ia yang lebih dominan dalam mengatur dan memberi instruksi bagi para pemain di lapangan ketimbang Jafri yang lebih banyak duduk manis di bangku cadangan. Rilis resmi klub tak terlalu menjawab keheranan publik mengapa pelatih zaman lawas ini yang dipercaya mengendalikan klub.

Padahal Pak Haji Suhatman tak punya lisensi pelatih A AFC sampai saat ini, tapi Jafri justru punya. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada sang legenda lawas, tentu akan jauh lebih baik jika Semen Padang memilih salah satu dari dua pelatih ini, atau jika memang manajemen berkeras tidak menginginkan Jafri menduduki posisi pelatih kepala, mereka harus mempertimbangkan untuk memakai pelatih yang lebih muda, mengingat ada banyak pelatih berkualitas di luar sana.

Alternatif untuk bangku kepelatihan SP – jika pun memang harus ada – mungkin adalah Nil Maizar. Meskipun pelatih timnas di Piala AFF 2012 itu kini menjadi calon anggota DPR-RI dari salah satu partai yang dipimpin orang yang sama-sama berkumis dengannya, tak ada salahnya manajemen mempertimbangkan sang anak jati Payakumbuh kembali mengendalikan Kabau Sirah sekiranya ia kurang beruntung di pesta demokrasi tahun depan. Pilihan lainnya mungkin adalah membujuk Indra Sjafri untuk lengser dari kursi pembina timnas U19, sesuatu yang tak terlalu mustahil andai saja timnas U19 binaannya tak mampu bersinar cemerlang di Piala AFC tahun depan dan ia didepak PSSI; sesuatu yang lumrah dilakukan federasi sepak bola kita yang tercinta ini.
Opsi terakhir mungkin adalah menggunakan pelatih asing, sesuatu yang sebenarnya bisa saja dilakukan SP mengingat kemampuan finansial mereka. Simon McMenemy, eks bos timnas Filipina dan Arcan Iurie, kini pelatih Perseman Manokwari, mungkin bisa dijajal. Ingat pula bahwa SP dulu promosi ke Liga Super 2009-10 atas peran seorang pelatih asing, tak lain dan tak bukan adalah Iurie.

Dari sisi nonteknis, stadion dan suporter patut kita nomorsatukan dalam bedah siasat ini. Stadion Azwar Anas di Katapiang, Padang Pariaman, di luar kota, yang diimpi-impikan suporter tampaknya belum akan siap dalam waktu dekat (menurut komisaris utama Toto Sudibyo, stadion tersebut baru akan siap dalam 3-4 tahun, dan sampai saat ini memang belum ada tanda-tanda realisasinya), jadi lebih realistis jika SP memperbaiki Stadion Agus Salim. Jangan sampai kondisi stadion milik Pemerintah Kota Padang itu menjadi batu penjegal SP untuk lolos verifikasi ke Liga Super musim depan: SP pernah punya pengalaman dengan hal renovasi stadion ini sehingga memaksa mereka untuk mengungsi hingga ke Stadion Muhammad Yamin di Sijunjung, lebih kurang dua ratus kilometer jauhnya.

Jika manajemen benar-benar serius untuk membenahi stadion di tengah kota ini, tentu klub harus mencari stadion alternatif untuk menggelar laga kandang. Wacana menjadikan Stadion Utama Riau atau Stadion Kaharuddin Nasution di Pekanbaru sebagai kandang sementara mungkin bisa digulirkan lagi sementara Stadion Agus Salim diperbaiki. Namun opsi pindah kandang ke luar Padang tentu hanya bisa diaktifkan seandainya saja Pemkot Padang dan manajemen SP mencapai kata sepakat untuk memperbaiki stadion usang itu.

Hal terakhir yang patut diperhatikan oleh manajemen klub adalah suporter. Banyak suporter lokal Padang yang merutuk manajemen saat harga tiket untuk laga kandang Piala AFC melambung selangit. Basis suporter SP, baik dari kubu The K’mers atau Spartacks adalah para pelajar sekitar Padang yang tentu saja tak berkocek tebal. Mungkin klub bisa mulai menjual tiket terusan musiman atau memberi diskon tertentu untuk menarik penonton, mengingat stereotip “they only come when they win” yang kerap menjadi bahan debat di antara para suporter Kabau Sirah di dunia maya. Kedua kelompok saling tuduh bahwa stadion hanya penuh saat SP menghadapi lawan-lawan besar, dan kosong pada saat klub melawan klub-klub “kecil”.

Hal ini tentu perlu dihindari, dan klub harus lebih memerhatikan lagi kedamaian kocek para suporternya. Jangan lupakan pula jaringan suporter Padang yang tersebar ke seluruh penjuru Nusantara. Pengalaman pulang kampung ke Padang satu atau dua kali setahun tentu akan dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh mereka untuk menonton tim kesayangan beraksi di kandang sendiri, dan tentu tidak baik membuat mata para perantau terbelalak dengan mahalnya harga tiket.

Pada akhirnya, semua ini kembali ke meja rapat para direksi dan manajemen klub. Jikapun Bukit Karang Putih masih tetap berasap, namun jika manajemen tidak mulai mendengar suara-suara orang yang mencintai klub dengan setulus hati, tampaknya berat untuk Semen Padang kembali berjaya. Alangkah baiknya jika para pemangku kepentingan mulai mendengarkan suara-suara yang menginginkan “pembedahan” di dalam tubuh klub, mengingat SP akan berlaga di ISL musim depan, bahkan tak tertutup pula kemungkinan kembali bermain di kompetisi Asia sebagai wakil Indonesia jika sukses menggondol trofi IPL musim ini.

13 September 2013

Seni, selera, Cherybelle

Saya sering kebingungan melihat orang-orang berdebat mengenai musik favorit mereka.

Pernah, di suatu Subuh buta, sudah ada dua orang, sebut saja A dan B. Si A ini fans berat Cherrybelle, dan si B adalah pendukung garis keras JKT48.

B: "Eh, selera lo enggak banget, suka Ceribel yang jiplakan SNSD itu! Alay!"
A: "Daripada kalian, sok keJepang-Jepangan. Pakai tim reserve segala. Wota girlband norak!"
B: "Jaga mulut lu ya! JKT48 itu bukan girlband, tapi idol group. Lu tau, blah blah blah..."
A: "Alaaah, banyak omong lo. Wota keringetan!"
B: "Dasar fan Ceribel alay tukang jiplak!"
A: "Lo norak!"
B: "Lo plagiat!"

Gitu terus sampai kiamat.

Bagaimana Anda bisa menentukan seorang pemusik itu yang terbaik?

Bagi saya, seni itu relatif.

Musik didesain untuk menghibur, dan sangat tergantung atas respon di telinga para pendengarnya.

Atas dasar apa The Beatles disebut sebagai band terbaik sepanjang masa? Semua penggemar Coldplay pasti akan menyebut lagu-lagu Chris Martin cs sebagai yang terbaik. Seluruh penggemar Metallica pasti akan merespon keras jika para pengagum Nirvana petantang-petenteng keliling London dan mengklaim mereka sebagai band terbaik dunia.

Musik didesain untuk menghibur, tetapi dapat berubah menjadi kekacauan di tangan mereka yang mengkultuskannya.

04 September 2013

Memilih gubernur

Hari ini pemilihan gubernur Riau.

Sebenarnya saya tak terlalu berminat melihatnya, namun saya disuruh bolak-balik ke TPS yang dekat masjid itu.Keluarga saya bukanlah keluarga politik, dalam artian ada anggota keluarga kami yang berafiliasi ke partai politik tertentu. Mana ada PNS berpartai.

Akhirnya, saya memutuskan mengamati saja proses 'pesta demokrasi' ini. Pertama, saya pergi ke TPS dekat masjid. Di sana TPS 46. Kondisi tenang-tenang saja. Proses berlangsung monoton, tanpa intervensi dari para saksi. Oh ya, harus saya catat bahwa ada lima pasangan yang berlaga dalam pemilihan gubernur kali ini, dan tentu saja ada lima saksi setiap TPS.

Mungkin mereka takut melihat seorang polisi berseragam lengkap, dengan kacamata hitam dan pistol di pinggang.

Lalu saya pergi ke TPS di lapangan voli belakang rumah. Di sana kondisi tak setenang TPS dekat masjid. Para saksi dan warga sekitar silih berganti menginterupsi para panitia pemilihan. Ibu-ibu yang siaga di belakang tenda siap bertepuk dan berkomentar tiap Pak Ketua Panitia membacakan nomor urut yang dicoblos. Memang, komunal sekali.

Hari ini sekolah libur. Besok masuk lagi. Sementara para cagub dan cawagub yang terhormat, yang balihonya memenuhi segala penjuru mata angin sedang berdebar-debar menunggu hasil penghitungan suara, rakyatnya duduk tenang di rumah sambil menonton TV.

Mungkin memang lebih enak jadi rakyat biasa, tak perlu jadi politisi.