15 April 2020

Catatan dari pandemi

Sudah begitu lama saya tidak menulis di blog ini.

Kalimat di atas bukan untuk mengiba-ibakan diri sebagai seorang penulis yang gagal, namun mungkin dapat diterima sebagai sebuah kenyataan bahwa menulis bukan (semoga tidak) lagi menjadi bagian besar dari hidup saya. Reflektif saja, tapi kenyataan.

Dalam satu-dua tahun terakhir saya lebih banyak mengekspresikan pemikiran saya lewat berbicara (debat, MUN, peradilan semu dan serentetan lainnya) atau meracau (tentu saja di Twitter). Perlu saya akui bahwa saya terlalu malas untuk kembali menulis sebuah tulisan yang layak disebut tulisan; entah karena terlalu banyak berbicara, terlalu banyak meracau, atau seimbang keduanya.

Mungkin karena sekarang waktu saya tersita untuk hal-hal yang tidak terlalu benar memerlukan urusan tulis-menulis; atau bahkan mungkin karena kuliah saya di fakultas hukum sudah menyita banyak "jatah menulis" yang sudah sedikit itu. Bisa jadi, tapi menurut saya ini alasan yang mengiba-iba juga.

Ah, saya tidak tahu. Terlalu banyak yang perlu dipikirkan akhir-akhir ini, yang biasanya berakhir dengan keputusan untuk menunda berpikir tentangnya; lalu kemudian menyesali lagi (seraya berpikir) kenapa perlu ditunda untuk memikirnya. Ini sudah macam plot film yang mengada-ada.

Pada waktu tulisan ini diterbitkan, saya sudah berdiam diri di rumah selama 1 bulan. Kampus ditutup karena pandemi Covid-19 yang menerjang Indonesia tanpa ampun. Pada intinya saya tidak berkeberatan untuk tinggal dan duduk diam saja di rumah (sebagai seorang yang sering merasa tidak perlu betul berkeramaian), namun saya pikir perintah berkurung macam begini perlahan-lahan berdampak juga kepada akal-budi manusia sehat. Tidak ada masyarakat yang bisa dikurung lama-lama, saya rasa, tapi demi pertimbangan darurat kesehatan masyarakat tentu rebahan dan makan-tidur-nonton saja di rumah dapat dijadikan poin penting dalam kontribusi pribadi dalam menyelamatkan dunia.

Selama pandemi ini saya tidak banyak beraktivitas, namun bukan berarti saya tidak berkurang pula melakukan sesuatu yang berarti. (Hidup satu-dua tahun terakhir telah mengajarkan saya bahwa kata "aktivitas" dan "faedah" adakalanya tidak selalu berkaitan). Mungkin baik pula kiranya jika saya gambarkan sedikit masa-masa karantina di mata seorang mahasiswa gabut yang diliburkan pemuda harapan bangsa (tapi belum jadi stafsus) ini.
  1. Saya bangun lebih siang dari biasanya dan tidur lebih lewat dari biasanya. Ini bukan kebiasaan baru, tapi sejak kuliah dan hidup sendiri saya selalu berusaha untuk bangun pagi. (Andai saja kelas-kelas pagi yang saya lewati karena ketiduran itu bisa diminta refund uang kuliah). Oleh karena perkuliahan kebanyakan digantikan tugas daring (atau malah tidak kuliah sama sekali; ini satu hal lagi yang dapat dimintakan refund uang kuliah) maka saya tidak perlu repot-repot menyetel alarm pagi; toh Subuh juga saya dibangunkan oleh azan dari masjid yang hanya sepeminuman teh dari kamar saya. Meskipun orang bilang bangun siang tidak baik untuk kesehatan, namun saya merasa bahwa nasihat tersebut mungkin agak kurang relevan di masa orang bisa dapat virus mematikan dari jabatan tangan. Dalam kata lain: YOLO.
  2. Saya lebih banyak minum kopi. Dua minggu setelah karantina dimulai saya membeli French press dan menyetok ground coffee setengah lusin kantong, oleh karena stok kopi dan mesinnya tidak serta saya bawa pulang ke rumah saat perintah pulang tiba. Hal ini memancing beberapa orang berkomentar menanyakan bahwa saya mahasiswa atau bukan; kalau benar mahasiswa kok punya mesin kopi? Menurut saya pertanyaan sebegini adalah bukti stigmatisasi (bah!) bahwa mahasiswa hanya boleh minum kopi sasetan saja; buktinya saya masih minum kopi dari kantin kampus; tapi tentu saja kampus tak buka sekarang.
  3. Saya membeli banyak buku (lewat toko buku daring) dan sedang bersusah-payah mengangsur membacanya, oleh karena alasan di bawah.
  4. Saya mulai berlangganan Netflix. Sejauh ini saya sudah menyelesaikan Sex Education (sitkom anak SMA tentang.... seks, tentu saja) dan Ugly Delicious (eksplorasi kokiseleb Dave Chang tentang budaya makan-makan); serta tengah separuh jalan dalam La Casa de Papel dan beberapa film dokumenter mantap yang saya temukan pada kanal ini. Setelah tiga tahun, ternyata sebuah pandemi menjadi alasan yang kuat untuk kembali ke jeratan setan kapitalisme ala original content programming.
Begitu saja hidup selama berkurung di rumah. Tidak benar-benar spesial, namun tidak dapat dikatakan tidak luar biasa karena kita sedang hidup di tengah-tengah satu-satunya peristiwa global yang membuat dunia berhenti sama sekali. Siapa yang tahu kalau kita bisa menyelamatkan dunia dengan tinggal di rumah saja? Mungkin studio-studio film tak perlu menghamburkan duit banyak untuk mereka-reka narasi manusia super.

Saya akan mencoba lebih banyak menulis di blog ini, dengan bahasa Indonesia (ini salah satu resolusi 2020: menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan beradab). Mungkin saya akan mengirim beberapa buah pemikiran ke kanal-kanal tertentu, jika mereka cukup sudi untuk menerbitkannya. Saya kira banyak yang akan menyambut nasib di tempat sampah blog ini, namun macam kata orang Barat: one step of a time.  Saya hanya ingin mengembalikan menulis menjadi kegiatan manasuka yang laissez-faire, seperti beberapa tahun lalu. Tanpa tekanan, tanpa prestise, mungkin tak dibaca banyak orang, tapi yang penting saya menulis. Sedikit-sedikit, bolehlah.

No comments:

Post a Comment