03 June 2020

Baju, watak, dan pelakon

diterjemahkan secara bebas dari "Why I Call Myself a Socialist" karya Wallace Shawn, seorang aktor dan sosialis berkebangsaan Amerika Serikat, yang pertama kali terbit pada tahun 2011. anda dapat melihat Shawn membacakannya di sini. baca pula wawancara Jason Farbman di Jacobin yang baik untuk memahami latar belakang penulisannya.

Di Panggung Teater

Di kota-kota yang berukuran sedang di Amerika Serikat atau Eropa, Anda biasanya dapat menemukan sebuah teater. Teater ini biasanya terletak di pusat kota: misalnya dekat sebuah alun-alun atau di pinggir seruas jalan besar.

Para pelakon yang tampil rutin di teater-teater macam ini biasanya tinggal di komplek-komplek perumahan yang tenang di pinggir kota tersebut. Tumpuan hidup mereka sehari-hari biasa saja: menyapu halaman, berkendara seputar kota, memasak makan malam, dan kadang-kadang menonton pertandingan olah raga anak-anak mereka.

Namun, pada malam hari, para pelakon yang hidup biasa-biasa saja ini memakai jubah para raja, ratu, dan penyihir. Dari sisi panggung tempat mereka berlakon, meski hanya untuk sementara waktu, mereka melambangkan kebutuhan tergelap dan harapan terluhur umat manusia.

Seorang pelakon memainkan peran yang cukup unik dalam sebuah masyarakat. Para pengusaha tidak perlu bekerja sambil melucuti jas mereka atau menangis di muka orang-orang asing. Para pelakon mesti melakukan hal itu.

Namun, sungguh tak tepat apabila Anda berpikir bahwa para pelakon dapat dengan mudah melakonkan pribadi orang lain. Pada kenyataannya, seorang pelakon hanyalah seorang manusia pribadi yang lebih rela melepaskan lebih banyak kebenaran tentang dirinya sendiri, dibanding orang-orang lain.

Misalnya, seorang pelakon wanita boleh saja bersifat lembut, pemalu, dan tak banyak tingkah. Ia bisa saja seorang manusia pribadi yang tangannya bergetar ketika menuangkan secangkir teh untuk seorang tamu yang berkunjung. Namun, ia bisa saja melakonkan seorang nyonya bangsawan kejam nan dingin, sembari melantunkan sajak-sajak tajam dari abad ke-18.

Tangan si pelakon wanita takkan bergetar pada saat menuangkan segelas coklat di atas panggung. Ia takkan pula bermalu-maluan apabila tengah menyebarkan gosip tentang kawan-kawan terdekatnya. Kemampuan ini bisa saja membuat tetangga si pelakon wanita, yang mungkin belum pernah menontonnya beraksi di panggung, menganggap bahwa tetangga dia kenal tidak akan pernah berkelakuan seperti itu. Tetapi sang tetangga tahu bahwa si pelakon bisa saja kemudian bersikap elegan atau kejam. Saat si pelakon tengah melakonkan perannya, ia hanya tengah mempertunjukkan bagaimana ia bisa saja berkelakuan. Misalnya, bisa saja dia menjadi seorang nyonya yang tinggal di sebuah rumah bangsawan abad ke-18.

Kita bukanlah seperti apa yang dilihat orang lain. Sejatinya kita lebih daripada apa yang dilihat oleh orang lain. Seorang pelakon tahu pasti akan hal itu. Ia tahu bahwa di dalam diri mereka ada seorang penyihir dan seorang raja. Ia tahu bahwa ketika sedang “melakonkan” diri pribadinya dalam kehidupan sehari-hari, ia sedang “melakonkan” sebuah peran, peran yang lebih kurang mirip dengan peran yang ia mainkan di sebuah panggung teater.

Seorang pelakon tahu bahwa ketika ia sedang bermain peran di teater, ia sebenarnya sedang menipu teman-temannya yang hadir menonton. Ia hanya sedang menipu mereka yang hadir lebih sedikit daripada tipuan yang ia perankan di dalam kehidupan nyata. Di atas panggung, ia melepaskan bagian-bagian dirinya yang susah-payah ia sembunyikan di kehidupan nyata. Si pelakon tahu bahwa di kehidupan nyata ia memainkan sebuah peran yang kecil. Pada saat memainkan peran tersebut ia harus berusaha keras untuk menyembunyikan jutaan kemungkinan-kemungkinan yang hidup di dalam diri pribadinya.

Seorang pelakon biasanya dianggap aneh oleh mereka yang bukan-pelakon. Ini bisa disebabkan oleh kebiasaan seorang pelakon “melakukan perjalanan” ke dalam diri pribadinya sendiri. Para pelakon berjalan-jalan ke luar sebuah wilayah kebiasaan yang mereka tampakkan kepada orang-orang di kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, orang-orang agak sedikit bingung apabila melihat mereka.
Sebaliknya, para pelakon juga memandang mereka yang bukan-pelakon dengan kebingungan yang hampir sama. Mereka berpikir: alangkah liyannya kehidupan mereka yang bukan-pelakon! Tak pernahkah mereka merasa sedikit klaustrofobik, karena tak pernah “berjalan-jalan ke luar” wilayah kebiasaan mereka?

Potongan Rambut yang Mustahak

Orang bijak mengatakan bahwa kita semua lahir di dunia dalam keadaan telanjang. Tiap-tiap sebuah hari bermula, banyak di antara kita yang juga dalam keadaan bertelanjang. Keadaan tersebut biasanya terjadi pada momen-momen pendek yang tertangguh, sebelum kita mulai berpakaian.

Pada banyak tradisi agama, para paderi memakai pakaian mereka dengan khidmat seperti sebuah ritual. Polisi, serdadu, petugas pembersih, dan pelayan hotel bangun pagi-pagi, berpakaian, berangkat kerja, membuka loker, melucuti pakaian mereka, dan berpakaian lagi sesuai seragam kerja masing-masing. Para pelakon berangkat ke teater, duduk di ruang rias, dan menyarungkan kostum mereka sesuai peran masing-masing.

Selagi berpakaian, Ia-yang-Berseragam ini mengingat-ingat watak yang akan ia diperankan. Bagaimana ia harus berperasaan. Bagaimana ia harus berbicara. Si pelakon, dalam kostumnya, memandang cermin dan melihat segalanya kembali ke pribadinya sendiri.

Pada waktu si pelakon melangkah ke panggung untuk memulai pementasan, ia sesungguhnya ingin meyakinkan para penonton yang hadir bahwa mereka sedang menonton sebuah kenyataan, bukan sekedar pementasan teater saja. Kostum yang ia pakai, suara yang ia lantunkan, diksi yang ia susun, aksen yang ia tirukan, cara bercakap yang ia gubahkan, semuanya hanyalah alat yang ia gunakan untuk melancarkan kemampuan yang dimiliki oleh tiap-tiap diri penonton.

Sesungguhnya inilah kemampuan istimewa yang dimiliki tiap-tiap manusia. Kemampuan itu ada pada susunan genetik Anda sebagai manusia, dan kewujudannya memungkinkan seorang pelakon menuntaskan tugasnya di atas panggung. Ini adalah kemampuan Anda, seorang manusia pribadi, untuk memercayai apa yang Anda hendaki, dan kebutuhan Anda untuk memercayai sesuatu tentang seseorang yang bukan-diri-Anda.

Orang lain bukanlah diri-Anda. Orang yang bukan diri-Anda akan terus menjadi asing bagi Anda sendiri. Anda tak akan pernah tahu keadaan tentang orang lain yang bukan diri-Anda. Jadi, amat mungkinlah bagi Anda untuk memercayai sebuah imaji-fantasi tentang mereka.

Saya perlu mengaku: saya tak pernah bertemu gen saya. Saya tak pernah melihat gen dari kaca mikroskop. Namun, saya bisa menebak-nebak macam apa gen saya itu sebenarnya. Satu hal yang saya tahu betul, saya amat responsif kepada isyarat-isyarat visual tentang orang lain. Mungkin ini perwatakan manusia sebagai sebuah spesies. Itulah alasan mengapa orang-orang bisa menghamburkan begitu banyak uang untuk merias wajah dan memotong rambut. Itulah alasan mengapa para pelakon biasanya memikirkan kostum mereka dengan amat serius.

Manusia, percaya atau tidak, benar-benar percaya akan isyarat-isyarat visual. Potongan rambut bisa mengisyaratkan banyak hal; ia bisa mengubah dengan dramatis bagaimana Anda memandang diri seseorang.

Sebentuk potongan rambut bisa mengisyaratkan: “Aku pintar, berdisiplin, tepat, dan dinamis”. Sebentuk potongan lain bisa mengatakan: “Aku tak benar-benar pintar, agak malas, tak peduli apa yang terjadi pada diri; aku tak peduli apa yang kau pikirkan tentangku.”

Potongan rambut bisa mengatakan “kupikir seks sebuah topik yang menarik; aku orangnya cukup seru, dan kupikir hidupku cukup hebat”; dan potongan lain dapat mengatakan “aku tak peduli dengan seks; kupikir hidup begitu buruk”

Jika bentuk kepala seseorang menentukan sebuah kepribadian, pakaian menunjukkan peran apa yang dimainkan seseorang dalam sebuah masyarakat. Anda mungkin nyaris tak pernah berpikir betapa cepatnya Anda menghakimi seseorang dari gaya berpakaiannya atau dari model rambutnya; dan juga betapa kuat Anda biasanya berpegang pada penghakiman tersebut. Ketika seorang pemeran melangkah ke panggung dengan pakaian seorang raja, Anda harus mulai percaya bahwa ia benarlah seorang raja.

Seorang pemeran di atas panggung sebenarnya sedang hidup di dalam alam nyatanya sendiri. Ia tahu bahwa sebenarnya memang ada seorang raja di dalam dirinya. Namun ia juga tahu bahwa Sang Nasib telah menjadikannya seorang pemeran, bukan seorang raja dalam arti yang sebenarnya. Sementara itu, para penonton yang melihat si pemeran beranjak pergi dari alam nyata dan hidup dalam sebuah ilusi, sampai gorden panggung diturunkan.

Lebih Pintarkah Anda dari Thomas Jefferson?

Anda dapat mengapresiasi seni berlakon karena Anda mampu berfantasi tentang orang lain, dan Anda mampu (dan mau) memercayai fantasi tersebut. Namun, kemampuan dan kemampuan itu sejatinya juga bermata dua, karena ia dapat menghasilkan penderitaan yang tiada putus bagi umat manusia lain.

Kesengsaraan, atau bahkan marabahaya, dapat terjadi apabila manusia menggunakan kemampuan kita untuk berfantasi ini untuk sesuatu yang lain. Saya gunakan, misalnya, dalam konteks kehidupan percintaan. Seorang lelaki bisa saja menggunakan kemampuannya yang istimewa itu untuk menggambarkan watak dirinya kepada pasangan wanitanya, meskipun penggambaran watak itu sepenuhnya bergantung pada harapan-harapan yang fantastis, bukannya kebenaran.

Anda mungkin tak bisa membayangkan betapa merusaknya kemampuan tersebut apabila digunakan secara menyimpang: misalnya, digunakan untuk menggambarkan watak negatif pada orang-orang yang entah karena apa, Anda anggap rendah. Manusia biasa melakukan ini pada sekelompok orang banyak yang bahkan belum pernah ia temui langsung. Namun manusia dapat pula melakukan kemampuan ini pada orang atau sekelompok orang yang cukup kita kenal.

Mengapa Anda melakukannya? Kadang-kadang kemampuan ini dikeluarkan hanya untuk membuat diri Anda merasa lebih baik; misalnya untuk menebus sesuatu hal yang pernah Anda lakukan atas diri mereka, atau membikin halus sesuatu hal yang Anda rencanakan atas diri mereka di masa depan.
   
Jujur saja, mungkin Anda tak pernah bisa mengatakan bahwa Thomas Jefferson tak pernah benar-benar kenal dengan orang-orang yang berkulit hitam.

Masalah Tuan Jefferson adalah ia tak tahu bagaimana cara ia akan hidup tanpa para budak kulit hitamnya. Namun, Anda takkan pernah bisa membikin diri Anda melihat Tuan Jefferson sebagai seorang pribadi tanpa hati, tanpa rasa adil, dan kejam karena memperbudak manusia yang sama derajatnya macam ia. Padahal, Tuan Jefferson sendiri mengabaikan bukti-bukti nyata yang ada di depan matanya (pada saat ia hidup) dan memilih untuk menggunakan kemampuannya untuk percaya bahwa orang-orang Afrika itu tak sederajat dengan diri-pribadinya.

Seorang sejarawan dapat saja menulis sebuah buku sejarah politik tentang umat manusia, hanya dengan mencatat peristiwa-peristiwa di mana umat manusia percaya pada suatu hal tentang umat manusia lain dalam waktu-waktu yang berlainan. Tentu saja, fantasi-fantasi ini hampir selalu musykil sifatnya.
Setelah berjalan sekian lama, seorang pengamat yang jeli akan dapat menangkap satu pola. Ambillah bangsa-bangsa yang selalu dianggap liyan oleh peradaban: orang Afrika, orang Yahudi, orang Meksiko, orang homoseks, kaum perempuan. Selepas sekian kurun, akan ada yang sadar bahwa mereka yang dianggap liyan itu sebenarnya tak lebih lain daripada orang-orang lain. Ternyata mereka juga punya kemampuan tertentu. Ternyata saya tak begitu suka pada sekelompok kecil—mereka terlalu pintar, misalnya.

Kesadaran tersebut akan selalu datang dari arah yang sama. Sejatinya, cara manusia belajar tentang sekelompok manusia yang lain daripada dirinya, hampir sama dengan cara para pelakon di atas panggung menyadari hubungan mereka dengan diri-pribadi mereka di dunia nyata. Seseorang bisa jadi Lebih dibanding apa yang dilihat orang lain.

Umat manusia pada umumnya cukup mampu untuk meninjau kembali fantasi-fantasi mereka di masa lalu dan bergerak melampauinya. Kadang-kadang, manusia melakukannya dengan bangga. “Ah ya, saya tahun lalu mencoblos Barack Obama; setelah itu kami pergi berlibur ke Vietnam.” “Kami pergi ke pembacaan puisi Octavio Paz bersama kawan-kawan kami, keluarga Goldstein, dan kami bersua Ellen DeGeneres dan Portia de Rossi di sana—mereka orang-orang hebat!”

Dan tentu saja, tidak banyak yang tahu bahwa fantasi Anda sekaranglah yang membikin Anda sendiri agak kerepotan.

Apakah Anda lebih cerdas daripada Thomas Jefferson? Bisa jadi tidak. Jadi, beginilah situasi manusia sekarang: begitu gampang melihat ilusi yang dipercaya oleh orang-orang yang hidup seratus tahun lalu, sepuluh tahun lalu, atau satu tahun lalu; namun sering kali tak sadar dan tak dapat menembus ilusi-ilusi yang dipercayai oleh keluarga, teman, orang-orang di sekitar, pada masa yang kiwari.

Memilih Bayi di Pasar Antarabangsa

Pada setiap harinya, sekitar 400,000 bayi lahir ke dunia. Sebagian bayi lahir dengan rusak tanpa dapat diperbaiki. Mereka lahir dengan kondisi seperti itu akibat kondisi hidup para ibu yang melahirkan mereka: kurang gizi, air tercemar, bahan kimia misterius yang menyerang masuk ke dalam tubuh dan membungkus rapat gen-gennya.

Namun, kenyataan yang paling mengerikan adalah kebanyakan dari bayi-bayi yang lahir tiap harinya ke atas dunia semuanya sehat-sehat belaka. Sejatinya tiada yang salah dengan mereka. Setiap bayi itu sudah siap untuk berkembang menjadi seorang manusia pribadi yang penuh-seluruh: yang di masa depan, kepintaran, kecerdasan, selera estetik, dan perasaan cintanya pada orang lain akan membuat dunia tempat yang lebih baik. Setiap bayi yang lahir sehat itu siap menjadi insan yang bangun tidur dengan bahagia pada pagi hari. Mereka bahagia karena mereka tahu akan menghabiskan hari itu melakukan sesuatu yang membikin mereka bahagia, mengerjakan kerja yang mereka suka. Mereka lahir dengan segala perangkat genetika yang lengkap.

Namun, apabila mereka tengah berkulat di samping ibu-ibu yang melahirkan mereka, celakanya para bayi itu tak tahu apa yang akan terjadi atas diri mereka.

Saat Uni Soviet masih berjaya dan Rencana Pembangunan Lima Tahun mereka masih berlaku, para perencana pembangunan negara berusaha untuk menentukan apa yang harus terjadi atas tiap-tiap bayi yang lahir di Soviet. Para perencana akan menghitung berapa orang yang kelak dibutuhkan untuk menjadi manajer perekonomian; berapa banyak peneliti; berapa banyak pekerja pabrik. Berdasarkan perencanaan ini, para pemimpin Soviet akan mengatur negaranya dalam rangka menyalurkan jumlah orang yang tepat pada kategori yang tepat. Dewasa ini, Sang Tangan-tak-Terlihat melaksanakan fungsi tersebut untuk dunia yang berputar pada mekanisme pasar antarabangsa. 

Sering saya perhatikan bahwa banyak orang pada angkatan saya—yang lahir pada saat Perang Dunia Kedua berkecamuk—terobsesi dengan imaji kereta-kereta tiba di stasiun Auschwitz dan para perwira SS menyambut penumpang kereta yang tiba tersebut dengan melakukan “seleksi”. Beberapa penumpang kereta tersebut akan disortir menjadi buruh pabrik, yang akan hidup selama tenaga masih melekat pada badan mereka; sementara sisa penumpang yang lain akan langsung dikirim ke kamar gas.

Mekanisme pasar antarabangsa juga melakukan “seleksi” semacam ini. Sang Pasar memilih sekelompok kecil bayi-bayi yang istimewa, yang lahir pada bagian tertentu pada sebuah kota tertentu pada sebuah negara tertentu. Bayi-bayi tersebut akan dapat menghidup sebuah penghidupan yang teristimewakan. Ada yang akan menjadi ilmuwan, ada yang akan menjadi bankir. Ada yang akan pegang komando angkatan perang, ada yang akan memerintah negara-negara, ada pula yang akan mengumpulkan harta kekayaan luar biasa banyaknya. Bayi-bayi yang lain akan ada pula yang menjadi kaum intelektual, para guru, atau para seniman, yang bayarannya tentu lebih rendah. Seluruh anggota pada kelompok bayi-bayi istimewa ini akan mendapatkan peluang untuk mengembangkan isi pikiran dan membikin nyata bakat mereka.

Pasar yang sama, mekanisme yang sama, akan menyortir bayi-bayi yang lain dan menstempel label pada mereka. Sang Pasar akan membuang mereka ke liang-liang gulita jauh di bawah, di mana cara-cara membesar dan jalan-jalan penghidupan tertentu sedang menunggu mereka.

Jika Sang Pasar memerlukan beberapa ratus pekerja di pabrik-pabrik elektronik, beberapa ratus bayi akan distempel label “pekerja pabrik” dan dilemparkan ke liang-liang tempat mereka semestinya berada. Apabila tiba saatnya bayi-bayi ini sudah siap dan cukup umur untuk bekerja, mereka akan pelan-pelan merangkak keluar dari liang-liang tempat mereka dibesarkan. Ia akan berdiri di gerbang-gerbang pabrik elektronik di India, Tiongkok, atau Meksiko, tempatnya berdiri di tempat kerja selama enam belas jam per hari. Ia akan tidur di bedeng pabrik itu. Ia tidak akan diizinkan untuk banyak bicara pada buruh yang lain. Ia harus minta izin jika ingin ke kamar kecil. Ia akan digoda dengan rayuan-rayuan menjurus dari para bosnya. Ia akan menghirup udara kotor dari usia muda sampai tua, dari pagi sampai petang, hingga udara tersebut membikin paru-parunya meradang sampai ia mampus di usia muda.

Dan ketika ia sudah mampus, seseorang pelawat yang datang berziarah ke pemakamannya akan dengan enak mengenang bahwa si buruh yang sudah mampus ini mendedikasikan hidupnya pada pekerjaannya, bukan untuk membikin untung dirinya sendiri, namun untu khajat hidup orang banyak, seperti seorang perawat di rumah sakit. Sang pelawat akan lupa bahwa bila seorang perawat bekerja untuk membikin untung seorang pesakit, si buruh yang sudah mampus ini bekerja untuk membikin untung para majikannya.

Si buruh yang sudah mampus itu, yang awalnya berasal dari bayi-bayi yang telah dipilih oleh Sang Pasar untuk melakukan pekerjaannya selama hidupnya, telah mendedikasikan waktu, tenaga, pikiran, dan segala-galanya untuk meningkatkan hajat hidupnya. Ia hidup dan mati untuk tujuan tersebut. Dan tidak akan ada yang berpikir bahwa apabila ia lahir, ia sebenarnya kekurangan bakat alamiah yang dapat saja menjadikannya seorang pemain biola, atau seorang konduktor musik, atau seorang yang setara dengan Beethoven.

Satu-satunya alasan si buruh yang sudah mampus itu bekerja di pabrik, bukannya di balai filharmonik, bukanlah bahwa ia kekurangan bakat alamiah, namun karena Sang Pasar membutuhkan tenaga kerja, dan jadilah ia salah satu di antaranya.

Setelah semua bayi yang lahir ke dunia selesai disortir, lunas diseleksi pada kategori-kategori yang berbeda, mereka akan dipakaikan kostum yang bermacam ragam. Selepas mereka tahu bentuk kostum yang mereka pakai, tiap-tiap pribadi mereka diberikan aksen berbicara, watak kepribadian, dan jenis-jenis tubuh tertentu. Wajah-wajah mereka akan mulai mirip—atau dimirip-miripkan—dengan watak kepribadian mereka, yang seragam dengan kostum yang dipakaikan.

Para bayi yang telah berkostum ini akan segera paham peran yang akan ia mainkan, dan mereka akan mencari pasangan untuk beranak-pinak, dan memakaikan kostum yang sama pada anak-anak mereka seiring zaman bergerak.

Maut yang Damai

Saya kebetulan mendapatkan peran untuk menjadi seorang bohemian yang setengah makmur. Saya tak kere-kere amat, tapi juga tak kaya-kaya amat.

Pada saat saya keluar rumah dan berjalan di sebuah hari yang cerah, saya memakai seragam bohemian saya. Saya bisa saja melewati seorang polisi berperut gendut yang sedang patroli; seorang profesor bergaya serabutan dan berjas usang; pasangan muda berpakaian necis yang sibuk mengejar rapat selanjutnya; mahasiswa hukum dan seni rupa.

Saya juga bisa melewati orang-orang yang biasanya berada di belakang layar, yang hanya akan tampak jika mereka mendekat sedikit. Kasir toko yang warna bajunya bertabrakan; gelandangan dengan aksen yang aneh dan kelakuan yang kelabakan; supir truk sampah yang berperut bundar dan senantiasa menyeringai; pembantu rumah tangga yang menyelinap keluar dari rumah majikannya untuk pergi ke toko.

Saya, bohemian ini, tak akan melihat apa-apa. Saya tak akan berpikir apa-apa. Saya tak akan bereaksi apa-apa dengan apa yang saya lihat, karena saya sepenuhnya percaya. Lebih tepatnya, saya percaya saja. Saya percaya kostum-kostum itu, watak-watak itu.

Pada satu waktu, sementara seorang wanita berlari ke dalam toko, saya akan bisa melihat apa yang terjadi, macam seorang pria yang sedang tenggelam melihat garis pantai dengan untuk kali terakhir. Saya bisa merasakan berteriak: “Berhenti! Berhenti! Tak ada semua ini yang nyata! Ini cuma fantasi! Ini hanya teater! Orang-orang yang berkostum ini bukanlah seperti yang Anda pikirkan! Aksen mereka palsu, air muka mereka kodian! Takkah kau lihat? Ini semua hanyalah---”

Gelap. Pikiran saya gelap seketika, dan saya kembali ke tempat saya berdiri tadi. Si pembantu rumah tangga keluar dari toko, selesai berbelanja, dan bergegas kembali ke rumah majikannya. Sekali lagi saya melihatnya hanya sebagai seorang pelakon yang sedang bermain peran. Saya melihatnya sebagai seorang manusia yang bekerja sebagai pembantu. Si pembantu tak akan pernah bisa hidup seperti hidup yang telah saya hidupi, atau mencapai kehidupan yang telah saya capai—mungkin karena ia tak cukup pintar. Si pembantu haruslah jadi seorang pembantu. Ia lahir untuk jadi seorang pembantu. Si gelandangan pastilah sudah jadi gelandangan sejak awalnya, karena memang ia dilahirkan untuk jadi gelandangan. Warna pakaian si kasir toko itu tak pernah tak bertabrakan. Ia tak pernah memakai warna yang pas. Ia selalu memakai kaus pink dan celana hijau yang saling bertabrakan itu.

Saya menghabiskan tiap detik hidup saya menggunakan kemampuan untuk berfantasi, yang telah diberikan ketika saya lahir. Saya hidup seperti Thomas Jefferson, yang hidup dalam ilusinya karena tak mampu menghadapi kebenaran tentang budak-budak yang ia miliki. Kemampuan saya untuk percaya bahwa dunia ini adalah sebuah panggung pertunjukan yang besar memberi saya peluang untuk tidak mengingat momen-momen ketika para bayi itu mati semati-matinya, dan saya selamat dari jerat kematian.

Sang Pasar melempar bayi-bayi yang menjadi pembantu rumah tangga ke dalam jurang tempat mereka dipelihara, dan membuat para bayi itu terjerat selama hidup mereka. Saya melihat itu semua terjadi, tapi saya tak dapat mengingatnya kini. Tapi, rasanya cukup menyenangkan melihat dunia memperlakukan saya dan si pembantu rumah tangga dengan adil dan setara—meski semu.

Rasanya benar-benar adil, jika Anda pikir. Jika saya mencuri sebuah mobil, saya akan dihukum penjara. Jika si pembantu mencuri sebuah mobil, dia akan dihukum penjara. Jika saya berkendara di jalan tol, saya membayar uang tol. Jika si pembantu berkendara di jalan tol, dia membayar uang tol. Jika saya melamar sebuah pekerjaan, saya akan menghadapi serangkaian ujian. Jika si pembantu melamar sebuah pekerjaan, dia akan menghadapi serangkaian ujian. Kami berdua bersaing dengan setara untuk hal-hal yang kami inginkan. Saya bisa hidup dengan berpikir bahwa semuanya sudah adil belaka.

Jika Anda lihat kenyataannya, jika Anda lihat orang-orang lain yang berpapasan dengan Anda di jalanan, sesungguhnya semua itu tidak dapat tertanggungkan. Tiada yang dapat dibenarkan jika minat dan bakat bayi dan anak-anak kecil dirampas dan diputuskan.

Hal-hal seperti inilah yang biasanya tak mampu saya pikirkan. Para pekerja pabrik, para pembantu rumah tangga, para kasir toko, dan para supir truk juga biasanya tak memikirkan hal ini. Mereka sibuk memerankan peran mereka secara konsisten dan meyakinkan. Mengapa? Mereka percaya sesuatu tentang diri mereka sama dengan cara saya percaya sesuatu tentang diri mereka: hanya itulah yang dapat mereka kerjakan, dan mereka tak akan bisa melakukan apapun selain apa yang sedang dan sudah mereka kerjakan.

Itulah yang dibikin percaya oleh semua manusia, sehingga kita bisa hidup dan menghidupi kehidupan kita secara damai bersama-sama. Namun, itulah maut yang damai.

Para pelakon memahami kekosongan yang tak terhingga di dalam diri tiap-tiap manusia: watak yang tak mereka mainkan, kelakuan yang tak mereka tampilkan. Para guru sekolah bisa melihat semua itu tiap-tiap hari. Anak didik mereka di bangku belakang sampai depan bisa bernyanyi, menari, mengolah bola, berhitung, melukis, dan berpikir. Sang bayi yang kini sedang berseragam gelandangan sebenarnya bisa saja menjadi seorang ahli biologi, dokter, penyair, badut sirkus, atau ahli kajian Yunani Kuno.

Jika pertunjukan yang sedang Anda tonton adalah sebuah ilusi, maka pembagian nasib dan pekerjaan yang dilakukan oleh dunia sekarang sesungguhnya secara moral tak dapat dipertanggungjawabkan. Manusia—saya, Anda, kita semua—harus bisa belajar bagaimana caranya untuk membagi rata seluruh tugas yang harus dikerjakan.

Kostum-kostum, seragam-seragam itu, pada nyatanya salah dan harus Anda buang. Dari sinilah Anda memulai kembali dengan telanjang.

15 April 2020

Catatan dari pandemi

Sudah begitu lama saya tidak menulis di blog ini.

Kalimat di atas bukan untuk mengiba-ibakan diri sebagai seorang penulis yang gagal, namun mungkin dapat diterima sebagai sebuah kenyataan bahwa menulis bukan (semoga tidak) lagi menjadi bagian besar dari hidup saya. Reflektif saja, tapi kenyataan.

Dalam satu-dua tahun terakhir saya lebih banyak mengekspresikan pemikiran saya lewat berbicara (debat, MUN, peradilan semu dan serentetan lainnya) atau meracau (tentu saja di Twitter). Perlu saya akui bahwa saya terlalu malas untuk kembali menulis sebuah tulisan yang layak disebut tulisan; entah karena terlalu banyak berbicara, terlalu banyak meracau, atau seimbang keduanya.

Mungkin karena sekarang waktu saya tersita untuk hal-hal yang tidak terlalu benar memerlukan urusan tulis-menulis; atau bahkan mungkin karena kuliah saya di fakultas hukum sudah menyita banyak "jatah menulis" yang sudah sedikit itu. Bisa jadi, tapi menurut saya ini alasan yang mengiba-iba juga.

Ah, saya tidak tahu. Terlalu banyak yang perlu dipikirkan akhir-akhir ini, yang biasanya berakhir dengan keputusan untuk menunda berpikir tentangnya; lalu kemudian menyesali lagi (seraya berpikir) kenapa perlu ditunda untuk memikirnya. Ini sudah macam plot film yang mengada-ada.

Pada waktu tulisan ini diterbitkan, saya sudah berdiam diri di rumah selama 1 bulan. Kampus ditutup karena pandemi Covid-19 yang menerjang Indonesia tanpa ampun. Pada intinya saya tidak berkeberatan untuk tinggal dan duduk diam saja di rumah (sebagai seorang yang sering merasa tidak perlu betul berkeramaian), namun saya pikir perintah berkurung macam begini perlahan-lahan berdampak juga kepada akal-budi manusia sehat. Tidak ada masyarakat yang bisa dikurung lama-lama, saya rasa, tapi demi pertimbangan darurat kesehatan masyarakat tentu rebahan dan makan-tidur-nonton saja di rumah dapat dijadikan poin penting dalam kontribusi pribadi dalam menyelamatkan dunia.

Selama pandemi ini saya tidak banyak beraktivitas, namun bukan berarti saya tidak berkurang pula melakukan sesuatu yang berarti. (Hidup satu-dua tahun terakhir telah mengajarkan saya bahwa kata "aktivitas" dan "faedah" adakalanya tidak selalu berkaitan). Mungkin baik pula kiranya jika saya gambarkan sedikit masa-masa karantina di mata seorang mahasiswa gabut yang diliburkan pemuda harapan bangsa (tapi belum jadi stafsus) ini.
  1. Saya bangun lebih siang dari biasanya dan tidur lebih lewat dari biasanya. Ini bukan kebiasaan baru, tapi sejak kuliah dan hidup sendiri saya selalu berusaha untuk bangun pagi. (Andai saja kelas-kelas pagi yang saya lewati karena ketiduran itu bisa diminta refund uang kuliah). Oleh karena perkuliahan kebanyakan digantikan tugas daring (atau malah tidak kuliah sama sekali; ini satu hal lagi yang dapat dimintakan refund uang kuliah) maka saya tidak perlu repot-repot menyetel alarm pagi; toh Subuh juga saya dibangunkan oleh azan dari masjid yang hanya sepeminuman teh dari kamar saya. Meskipun orang bilang bangun siang tidak baik untuk kesehatan, namun saya merasa bahwa nasihat tersebut mungkin agak kurang relevan di masa orang bisa dapat virus mematikan dari jabatan tangan. Dalam kata lain: YOLO.
  2. Saya lebih banyak minum kopi. Dua minggu setelah karantina dimulai saya membeli French press dan menyetok ground coffee setengah lusin kantong, oleh karena stok kopi dan mesinnya tidak serta saya bawa pulang ke rumah saat perintah pulang tiba. Hal ini memancing beberapa orang berkomentar menanyakan bahwa saya mahasiswa atau bukan; kalau benar mahasiswa kok punya mesin kopi? Menurut saya pertanyaan sebegini adalah bukti stigmatisasi (bah!) bahwa mahasiswa hanya boleh minum kopi sasetan saja; buktinya saya masih minum kopi dari kantin kampus; tapi tentu saja kampus tak buka sekarang.
  3. Saya membeli banyak buku (lewat toko buku daring) dan sedang bersusah-payah mengangsur membacanya, oleh karena alasan di bawah.
  4. Saya mulai berlangganan Netflix. Sejauh ini saya sudah menyelesaikan Sex Education (sitkom anak SMA tentang.... seks, tentu saja) dan Ugly Delicious (eksplorasi kokiseleb Dave Chang tentang budaya makan-makan); serta tengah separuh jalan dalam La Casa de Papel dan beberapa film dokumenter mantap yang saya temukan pada kanal ini. Setelah tiga tahun, ternyata sebuah pandemi menjadi alasan yang kuat untuk kembali ke jeratan setan kapitalisme ala original content programming.
Begitu saja hidup selama berkurung di rumah. Tidak benar-benar spesial, namun tidak dapat dikatakan tidak luar biasa karena kita sedang hidup di tengah-tengah satu-satunya peristiwa global yang membuat dunia berhenti sama sekali. Siapa yang tahu kalau kita bisa menyelamatkan dunia dengan tinggal di rumah saja? Mungkin studio-studio film tak perlu menghamburkan duit banyak untuk mereka-reka narasi manusia super.

Saya akan mencoba lebih banyak menulis di blog ini, dengan bahasa Indonesia (ini salah satu resolusi 2020: menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan beradab). Mungkin saya akan mengirim beberapa buah pemikiran ke kanal-kanal tertentu, jika mereka cukup sudi untuk menerbitkannya. Saya kira banyak yang akan menyambut nasib di tempat sampah blog ini, namun macam kata orang Barat: one step of a time.  Saya hanya ingin mengembalikan menulis menjadi kegiatan manasuka yang laissez-faire, seperti beberapa tahun lalu. Tanpa tekanan, tanpa prestise, mungkin tak dibaca banyak orang, tapi yang penting saya menulis. Sedikit-sedikit, bolehlah.