05 October 2018

Mencari mastautin

Jika orang di kampus -- entah itu kawan baru, dosen pengampu, atau penjaga kantin -- bertanya "kamu dari mana?", sejauh ini saya sukses kebingungan untuk menjawab.

Biasanya saya menjawab sekedarnya, "dari kota ini". Namun jawaban itu biasanya akan disusul, "SMA berapa?". Akan membingungkan bila saya sebutkan nama SMA saya, karena memang ada kembarannya yang serupa di kota ini. Jika saya menyebut lengkap keterangan kotanya, maka yang bertanya biasanya bertambah bingung. "Kamu dari sini tapi SMA di sana?"

Sebenarnya tidak tepat jika saya mengatakan diri berasal dari kota ini Ya, saya lahir di sini, dan menghabiskan empat tahun pertama kehidupan saya di sini. Saya punya kenang-kenangan tentang kota ini: tentang jalan-jalannya, tentang warung-warungnya, tentang pasar-pasarnya. Nenek dan kakek saya tinggal di sini; saya masih bisa pulang ke rumah nenek saya di tepi laut tiap minggu bila lapang.

Tapi saya tidak pernah besar di kota ini. Saya tidak bersekolah di SMP maupun SMA-nya. Saya tidak belajar bermotor di jalan-jalannya, menonton bola di stadion-stadionnya. Saya tumbuh dan besar di seberang dan menjadikan kota ini seperti serdadu Belanda ketika turun dari Tapanuli ke Bukittinggi: tempat vakansi. Dalam sembilan belas tahun umur saya saat ini, ini tahun kelima saya tinggal di kota ini.

Saya tumbuh dan besar di kota sana. KTP saya yang tidak siap-siap itu (sudah dua tahun, demi Toutatis!) akan bertanda kota sana. Orang tua saya bekerja dan tinggal di kota sana. Saya bersekolah SMP dan SMA di kota sana Sahabat-sahabat saya di sana, meskipun tentu sekarang sudah angkat kaki ke kampus masing-masing. Namun jika saya menyebut saya "dari kota sana", maka percayalah kalau hubungan saya dengan kota itu lebih rumit dari pada yang bisa saya jelaskan dengan singkat.

Kota sana sudah terlalu sering saya tinggalkan sehingga hubungan saya dengan kota itu niscaya lebih kebal daripada sekedar "tempat asal". Saya meninggalkannya empat tahun untuk tinggal di kota lain, lalu setahun untuk di kota demikian. Karena sudah terlalu sering, maka saya bertanya-tanya apakah saya memang berasal dari sana.

Saya tak dapat menyebut saya berasal dari negeri ini, kampung ibu saya, atau dari negeri itu, kampung ayah saya. Saya tak punya hubungan apapun dengan tempat-tempat itu, selain kunjungan-kunjungan bila berlibur. Saya tak dapat mengklaim saya dari negeri lain, ataupun negeri demikian, tentu saja tidak. 

Lagipula jika saya menyebut saya "dari kota sana" maka saya akan dianggap seakan-akan perantau di kota sini. Saya bukan perantau. Saya "pulang" dari tempat yang saya selalu anggap "tempat pulang". Saya hafal kedua jalananan kota dan bisa merasa tersesat di keduanya.

Ada yang menyebut bahwa kamu berasal dari tempat kamu SMA. Bisa jadi. Tapi itu akan sulit bagi saya karena saya sekolah di dua kota yang terpisah samudera. Ada yang mengangsurkan bahwa kamu berasal dari tempat kamu lahir. Kalau begitu saya dari kota sini. Ada pula yang berargumen bahwa kamu berasal dari tempat kamu tumbuh besar. Saya tumbuh besar di kota sana, atau mungkin di mana-mana; bagaimana kalau saya ajukan kalau saya berasal "dari Internet" atau "dari rak baca di kamar saya"?

Label adalah hal yang unik. Hanya manusia yang mampu melabeli satu sama lain, dan hanya manusia pula yang bingung ketika harus melabeli dirinya sendiri. Ada yang begitu ekstrem merekatkan label-label itu pada dirinya sehingga seakan mabuk dilamun olehnya, ada yang begitu ragu menyandangnya sampai berusaha berontak dari segalanya. Ia urusan jati diri, kebanggaan, sampai ego yang berbaur jadi satu.

Dua bulan sudah berlalu sejak saya pertama kali menginjakkan kaki di sini. Masih ada tentunya perkenalan-perkenalan yang belum langsai, sehingga saya masih harus mengangsurkan tempat saya berasal kepada orang baru yang akan saya kenal. Saya menyadari bahwa saya tidak punya kemewahan untuk tahu di mana tempat asal saya;

Dalam perkenalan selanjutnya, mungkin saya hanya akan mengatakan bahwa saya "tidak dari mana-mana." Atau biar lebih filosofis: "sedang mencari tempat asal saya; semoga saja di sini."

Anda, dari mana?

No comments:

Post a Comment