![]() |
Sedang menghasut-hasut. Kredit: Analisa Medan |
Menarik juga mengingat kalau ini adalah kali kedua saya ke Medan dalam tahun ini. Januari lalu saya ke kota ini bersama ayah saya untuk ikut tes masuk NUS, yang tentu saja gagal itu. Meski gagal masuk NUS saya tidak banyak menggerutu pada Medan sendiri, karena sebelumnya saya belum pernah ke kota ini. Hitung-hitung sekalian jalan-jalan.
Kami berangkat Kamis pagi dari Padang. Saya berangkat bersama Bang Hardi Taher, staf GLAM WMID yang kebetulan juga pernah tinggal lama di Medan. Ia naik kereta bandara dari stasiun Simpang Haru dan saya naik dari stasiun Tabing menuju BIM -- ya, Padang punya kereta bandara sekarang, serupa Jakarta dan Medan. Penerbangan kami berjalan lancar dan kami tiba di Kualanamu setelah jatuh tengah hari, lalu berlanjut dengan naik Damri.
Saya tidak tahu kami turun di mana; atas petunjuk Bang Hardi, kami makan siang di sebuah restoran ayam penyet dekat Stadion Teladan. Setelah makan kami berlanjut jalan ke Pusat Penelitian Kelapa Sawit di Jl. Katamso. Saya belum pernah ke PPKS ini, dan awalnya saya kira ini cuma lembaga riset biasa. Rupanya bangunannya bergaya mewah kolonial Belanda -- warisan sejarah Medan sebagai pangkalan utama perkebunan kolonial di Sumatera Timur.
Tidak hanya itu, PPKS ini juga lumayan mantap untuk ukuran lembaga penelitian dan mempunyai perpustakaan yang lengkap, termasuk mengandung koleksi-koleksi tua. Itulah yang sedang dijajaki Bang Hardi agar koleksi tua tersebut dapat turut didigitalisasi dan dipublikasikan di platform Wikimedia. Kami menemui pejabat yang bertanggungjawab atas urusan ini dan setelah cengkerama-cengkerama sebentar, kami berlanjut ke hotel. Tak banyak yang dilakukan pada malam harinya itu, terutama karena hujan lebat mengguyur Medan.
Keesokan harinya kami menuju kampus UMSU yang terletak lumayan jauh juga dari hotel tempat kami menginap. Kami disambut oleh Pak Arifin, kepala perpustakaan yang antusias, dan Gina, koordinator kegiatan WikiLatih setempat. Memang acara kali ini diselenggarakan oleh prakarsa relawan perpustakaan kampus, dan Pak Arifin yang ternyata juga nyambi sebagai redaktur di koran Analisa ini amat antusias menjamu kami berdua dan bertanya-tanya perihal Wikipedia.
WikiLatih UMSU digelar dalam dua hari, dan pada hari pertama itu diikuti delapan orang peserta, semuanya mahasiswa. Mereka cukup antusias dalam mengikuti pelatihan dan berhasil dengan baik (untuk taraf pemula) menciptakan artikel-artikel baru di Wikipedia bahasa Indonesia. Karena standar yang diminta oleh Wikimedia memang menggunakan Visual Editor yang mirip Microsoft Word itu, mau tidak mau saya (saya saja, karena Bang Hardi lumayan familiar dengan VE) mau tidak mau menggunakannya. Padahal sebagai pengguna lama saya paling tidak suka dengan VE, hahaha.
Yang paling saya kagumi dari Medan adalah kultur kedai kopinya. Saya tidak tahu sebelum ini, tapi Bang Hardi memberi tahu bahwa kebanyakan kedai kopi di sini menyuguhkan kopi Gayo khas Aceh, dan banyak yang buka sampai tengah malam. Di Padang jarang saya temukan kedai kopi yang buka sampai tengah malam -- kehidupan malam di sana memang payah sih :p. Selepas acara kami balik sebentar ke hotel dan kemudian saya menyusulnya ke kedai Mocha Khupi di Jl. Aman, dekat Teladan. Mi Acehnya markotop dan es kopinya lumayan menyegarkan. Waktu kami pulang nyaris tengah malam, Medan masih terang benderang; gerobak masih tegak dan orang masih berkeliaran.
Hari kedua peserta WikiLatih lebih banyak dan termasuk dosen-dosen pula. Pelatihan berjalan lancar dan pesertanya tidak kalah aktif dibanding hari pertama. Favorit saya adalah ketika ada yang menulis artikel Wikipedia tentang sinamot, hantaran nikah orang Batak yang mahalnya jarang kira-kira itu. Ada pula yang menulis tentang sudako, omprengan khas Medan yang legendaris (bunyi dan bentuknya) itu. Seperti kebanyakan orang yang baru tahu Wikipedia boleh disunting, para peserta tak ayal terkaget-kaget tentang begitu banyaknya informasi yang masih belum ada di Wikipedia.
Selepas acara kami bergerak ke Gardenia, sebuah restoran taman di Padang Bulan, dekat kampus USU. Di sana kami menemui komunitas Wikipedia Medan, yaitu yang beberapa bulan lalu mengikuti WikiLatih yang sama (di UMSU memang edisi kedua di Medan) dan beberapa peserta dari UMSU yang tertarik untuk mengembangkan Wikipedia dalam bahasa Mandailing. Salah satu peserta menawarkan gagasannya untuk mengisi Wikipedia Mandailing (yang masih di Incubator) dengan konten-konten adat dan sejarah. Gagasan ini baik sekali saya kira. Ia juga melempar ide menulis tentang artikel-artikel tentang hantu dan misteri dalam masyarakat Mandailing, sehingga Wikipedia-nya kelak akan punya khazanah parbegu paling lengkap di Indonesia. Ini malah sangat baik sekali :p
Lawatan singkat ke Medan ini berakhir hari Minggu. Saya pulang sendiri ke Padang -- Bang Hardi berencana pulang keeseokan harinya, dan saya punya kelas Senin pagi. Perjalanan lancar sampai ketika saya disuruh naik ke atas pesawat Lion Air, lalu berputar-putar di landasan pacu selama setengah jam, kemudian ruang pilot bersenandung gembira: kami harap para penumpang agar turun kembali ke terminal karena kerusakan mesin. Kami baru naik lagi ke pesawat (yang berbeda) pukul empat, molor tiga jam dari jadwal awal. Saya baru tiba di Padang pukul enam dan di Air Tawar pukul tujuh. Bah!
Kunjungan kali ini lumayan berkesan bagi saya. Medan (dan Sumatera Utara pada umumnya) sangat potensial untuk dijadikan basis komunitas permanen Wikipedia di luar Jakarta setelah Padang dan Yogya. Dengan beragam-macam bahasa yang dicakapkan di provinsi ini, ada khazanah berlimpah yang perlu dieksplorasi dan diangkat satu-satu ke Wikipedia. Saya sendiri tercengang-cengang ketika mengobrol dengan seorang dosen sastra Indonesia UMSU yang menerangkan tentang kompleksitas hubungan bahasa Batak dan bahasa-bahasa lainnya seperti Angkola, Mandailing, Karo, Pakpak, dan sebagainya.
Bicara tentang UMSU, saya sangat kagum dengan perpustakaannya. Terus terang saya iri melihat keaktifan relawan perpustakaan dan kenyamanan dalam ruangnya. Bangku-bangkunya nyaman walaupun ruangannya masih sempit, tapi saat saya di sana sedang ada proyek perluasan ruangan juga. Ada pojok BI, Perancis, Inggris, sampai India -- tentu dengan sponsor dari kedutaan dan konsulat negeri-negeri itu. Yang paling saya iri adalah ketika Pak Arifin menceriterakan bahwa perpustakaan ini buka sampai malam dan jumlah pengunjung mereka bisa sampai seribu orang sehari. Sementara itu, sebuah perpustakaan tertentu di sebuah perguruan tinggi di Bukit Karamuntiang.... ah sudahlah.
Saya sangat menyukai Medan sebagai satu kota. Terlepas dari apapun yang saya tidak sepakati akan Gubernur Jenderal Eddy Rahmayadi (hahahaha), saya kira Medan amat baik dalam hal memelihara masa lalunya. Meskipun saya tidak banyak ke objek wisata (Istana Maimun, rumah Tjong A Fie dan resto Tip Top sudah saya jelajahi pada lawatan sebelumnya) di sana, namun saya menikmati benar naik kereta (sebutan orang Medan akan sepeda motor) di pusat kota dan melihat gedung-gedung peninggalan Belanda dimanfaatkan dengan baik. Kotanya nyeni-nyeni sedap, begitu pula kopi dan kulinernya, begitulah kira-kira.
Kurang-lebih ini satu lawatan yang menyenangkan. Semoga saya diperkenankan untuk lebih banyak berkunjung ke kota-kota lain di Indonesia untuk mengajarkan Wikipedia. Asal disuruh, saya berangkat :p
Tanbihat: Karena Pak Arifin seperti yang saya sudah ceritakan juga menjabat redaktur di Analisa, salah satu koran terbesar di Medan, maka beliau ikut membawa serta wartawannya untuk meliput. Liputan lokalnya bisa dibaca di sini.