Ia datang sedikit terlambat.
Kami berjanji pukul lima tepat, dan sekarang lima menit sudah lampau. Aku melihatnya muncul tergesa-gesa dari tangga stasiun kereta bawah tanah. Berhati-hati ia melangkah menyeberangi jalanan yang centang-perenang oleh mobil dan manusia. Dari balik kaca kafe, kulambaikan tangan padanya. Dengan gesit ia melambai balik, lalu mendorong pintu kaca. Sosoknya segera saja muncul di hadapanku.
“Ah, Scotsman. Maafin orang Indonesia yang hobi ngaret ini.”
Aku tersenyum. Enam tahun sudah aku mendengar panggilan itu dari sudut telepon atau membacanya dari layar kaca. Hari ini aku mendengarnya secara langsung dari mulutnya; aksen pekat trans-Atlantik itu masih lekat.
“Kamu udah pesan?”
“Udah. Caramel macchiato.”
Kali ini kami sama-sama tergelak. Minuman itu, yang sering diledeknya sebagai “kopi pabrikan Starbucks”, adalah lelucon internal kami. Aku tahu ia tak pernah menyukainya. Mungkin ia memesannya hanya untuk meledekku saja.
“Gimana perjalanan pulang?”
“Lancar. Aku justru kaget pas sampai di sini.”
“Kalian mendarat di terminal baru itu?”
“Iya dong.”
“Om dan Tante?”
“Sehat-sehat. Sedang reuni gila-gilaan dengan sahabat-sahabat lama.”
“Farhan?”
Kuangkat bahu. “Masih sedang berusaha menerima kenyataan.”
Ia hanya tersenyum simpul. Ia betulkan pashmina-nya yang sedikit masai, lalu mengeluarkan telepon genggam dari tasnya.
“Aku gak nyangka kamu akhirnya pulang ke Indonesia.”
“Tau nih. Aku juga gak percaya di awal-awal.”
“Gue pikir kalian bakal tinggal permanen di Edinburgh.”
Ah, “gue” pertama yang keluar dari mulutnya. Jakarta tentu saja sudah mengubah lidahnya.
“Gue juga.”
Ia tergelak. “Lu gak pas pakai gue-gue-an. Stick to your roots, please.”
“Oh, I wish I have one.”
Aku tak berbohong kalau kubilang aku tak punya akar. Ia tahu itu, karena ia juga tak punya. Entah kalau ia sudah menganggap Jakarta, kota tempat tinggalnya enam tahun terakhir, cukup untuk dipanggil sebagai "tempat asal".
Aku masih ingat sore menjelang musim panas saat kami kelas 6 SD. Ann Arbor, kota kecil tempat tinggal kami, sedang bersemi.
Itu hari terakhir sekolah untuk tahun itu, seingatku. Kami berjalan pulang dari sekolah. Hanya kami berdua.
"So, are you really going back to Indonesia?" tanyaku.
"Iya," jawabnya pendek.
"Terus kamu tinggal di mana nanti?"
"Jakarta."
Ia tak riang hari itu. Mungkin karena hari terakhir sekolah. Mungkin karena ia ingat bahwa ia takkan kembali ke ruang-ruang hangat Lakewood Elementary.
Aku sama sekali tak tahu, jadi aku hanya bisa meneka-neka. Selain itu, saat itu aku dua belas tahun.
"Semuanya ikut? Your brother?"
"Iya."
"Kenapa gak pulang ke Jogja?"
"Kok ke Jogja?" tembaknya kembali.
"I don't know. Kamu gak bakal tinggal sama Datuk dan Nenek?"
"Mungkin nggak."
"Tapi kalian bakal ke Jogja kan?"
Ia hanya melengos. Aku tak ingat kenapa aku bertanya seperti itu, tapi perjalanan jalan kaki itu hening sampai kami tiba di depan rumahnya. Ia hanya melemparkan senyum di muka apartemen mahasiswa lima lantai tempat keluarganya tinggal.
Tanpa "see you later" seperti biasanya; atau janji untuk bertemu di ayunan Happy Hollow sebentar sore.
See you later itu juga tak ada seminggu kemudian, ketika aku melihatnya tersipu-sipu malu sambil merona di ruang tunggu bandara O'Hare, menggendong tas sekolah yang ia gendong saat perjalanan pulang sekolah terakhir bersamaku.
Itu kali terakhir aku melihatnya, sampai siang jelang sore, di kafe ini.
"Jadi, Scotsman, how's Indonesia for you?"
Aku kembali menatapnya setengah tercenung. Gadis dua belas tahun yang murung dari Ann Arbor itu kini
sudah jadi seorang perempuan dewasa sepenuhnya.
"Eh..."
"Espresso lu udah dingin nih. Sejak kapan Brits hobi ngopi?" katanya dengan sedikit terkikik.
"Aku gak Brits-Brits banget lah. Ketularan Ayah aja hobi ngopi."
Aku menuju barista untuk memesan segelas green tea. Ketika kembali, kulihat ia sedang melihat keluar jendela. Panas masih membahang di jalanan luar.
"Ah iya, gimana kuliahmu?"
Ia melirikku sejenak, lalu melengos. "Membosankan."
Kutatap ia dengan wajah menginterogasi. "Membosankan?"
"Kuliahnya sih menantang. Lu tau sendiri dari dulu gue pengen masuk kampus itu. Suasananya aja yang...."
Kalimatnya menggantung di udara.
"......lu kenapa sih harus pakai pulang segala?"
"Keluargaku pulang semua, ngapain aku sendiri di sana?"
Ia melengos lagi, lalu menghela nafas. "Ya kalau pulang, kuliahnya deketan sama gue gitu dong."
Aku tergelak. "Ntar kamu tersaingi. Kemungkinan besar kita sejurusan kalau di sana, lho."
Matanya membulat. "Kemungkinan? Emangnya lu bakal ngambil jurusan selain hukum?"
"Kok yakin banget?"
"Dari kecil gue udah tahu lu senang ngomong. Ya masuk hukum lah, masa peternakan?"
Aku tergelak lagi, lalu mencoba mengalihkan topik. "Kamu gak berubah dari dulu ya."
"Yah, gue gini-gini aja sih," katanya pelan. Wajahnya berubah menyelidik. "Are you still the old you?"
"Aku sebenarnya gak mau pulang," ucapku pelan.
Ia balas dengan senyuman tipis, lalu menengadah menatap langit-langit. "Gue tau...."
"Dan aku gak punya siapa-siapa di sana. Terakhir kali aku tinggal di sana pas bayi."
"Lu gak punya kedekatan emosional sama sekali dengan kota itu," tukasnya cepat.
"Betul."
Ia hanya diam, matanya menatap lurus padaku. "Mengerikan rasanya harus mulai ke kota kelahiran sebagai orang asing," sambungku.
"Tapi itu pilihan lu kan?"
"Iya."
"Do your trust your gut?"
Aku mengangkat bahu, lalu menyeruput habis green tea. "At this point, I don't know what and who I can trust."
Ia menggeleng pelan. Di luar, senja jatuh cepat-cepat.
(bersambung, kalau niat)
07 December 2018
27 October 2018
Ke Medan: catatan perjalanan
![]() |
Sedang menghasut-hasut. Kredit: Analisa Medan |
Menarik juga mengingat kalau ini adalah kali kedua saya ke Medan dalam tahun ini. Januari lalu saya ke kota ini bersama ayah saya untuk ikut tes masuk NUS, yang tentu saja gagal itu. Meski gagal masuk NUS saya tidak banyak menggerutu pada Medan sendiri, karena sebelumnya saya belum pernah ke kota ini. Hitung-hitung sekalian jalan-jalan.
Kami berangkat Kamis pagi dari Padang. Saya berangkat bersama Bang Hardi Taher, staf GLAM WMID yang kebetulan juga pernah tinggal lama di Medan. Ia naik kereta bandara dari stasiun Simpang Haru dan saya naik dari stasiun Tabing menuju BIM -- ya, Padang punya kereta bandara sekarang, serupa Jakarta dan Medan. Penerbangan kami berjalan lancar dan kami tiba di Kualanamu setelah jatuh tengah hari, lalu berlanjut dengan naik Damri.
Saya tidak tahu kami turun di mana; atas petunjuk Bang Hardi, kami makan siang di sebuah restoran ayam penyet dekat Stadion Teladan. Setelah makan kami berlanjut jalan ke Pusat Penelitian Kelapa Sawit di Jl. Katamso. Saya belum pernah ke PPKS ini, dan awalnya saya kira ini cuma lembaga riset biasa. Rupanya bangunannya bergaya mewah kolonial Belanda -- warisan sejarah Medan sebagai pangkalan utama perkebunan kolonial di Sumatera Timur.
Tidak hanya itu, PPKS ini juga lumayan mantap untuk ukuran lembaga penelitian dan mempunyai perpustakaan yang lengkap, termasuk mengandung koleksi-koleksi tua. Itulah yang sedang dijajaki Bang Hardi agar koleksi tua tersebut dapat turut didigitalisasi dan dipublikasikan di platform Wikimedia. Kami menemui pejabat yang bertanggungjawab atas urusan ini dan setelah cengkerama-cengkerama sebentar, kami berlanjut ke hotel. Tak banyak yang dilakukan pada malam harinya itu, terutama karena hujan lebat mengguyur Medan.
Keesokan harinya kami menuju kampus UMSU yang terletak lumayan jauh juga dari hotel tempat kami menginap. Kami disambut oleh Pak Arifin, kepala perpustakaan yang antusias, dan Gina, koordinator kegiatan WikiLatih setempat. Memang acara kali ini diselenggarakan oleh prakarsa relawan perpustakaan kampus, dan Pak Arifin yang ternyata juga nyambi sebagai redaktur di koran Analisa ini amat antusias menjamu kami berdua dan bertanya-tanya perihal Wikipedia.
WikiLatih UMSU digelar dalam dua hari, dan pada hari pertama itu diikuti delapan orang peserta, semuanya mahasiswa. Mereka cukup antusias dalam mengikuti pelatihan dan berhasil dengan baik (untuk taraf pemula) menciptakan artikel-artikel baru di Wikipedia bahasa Indonesia. Karena standar yang diminta oleh Wikimedia memang menggunakan Visual Editor yang mirip Microsoft Word itu, mau tidak mau saya (saya saja, karena Bang Hardi lumayan familiar dengan VE) mau tidak mau menggunakannya. Padahal sebagai pengguna lama saya paling tidak suka dengan VE, hahaha.
Yang paling saya kagumi dari Medan adalah kultur kedai kopinya. Saya tidak tahu sebelum ini, tapi Bang Hardi memberi tahu bahwa kebanyakan kedai kopi di sini menyuguhkan kopi Gayo khas Aceh, dan banyak yang buka sampai tengah malam. Di Padang jarang saya temukan kedai kopi yang buka sampai tengah malam -- kehidupan malam di sana memang payah sih :p. Selepas acara kami balik sebentar ke hotel dan kemudian saya menyusulnya ke kedai Mocha Khupi di Jl. Aman, dekat Teladan. Mi Acehnya markotop dan es kopinya lumayan menyegarkan. Waktu kami pulang nyaris tengah malam, Medan masih terang benderang; gerobak masih tegak dan orang masih berkeliaran.
Hari kedua peserta WikiLatih lebih banyak dan termasuk dosen-dosen pula. Pelatihan berjalan lancar dan pesertanya tidak kalah aktif dibanding hari pertama. Favorit saya adalah ketika ada yang menulis artikel Wikipedia tentang sinamot, hantaran nikah orang Batak yang mahalnya jarang kira-kira itu. Ada pula yang menulis tentang sudako, omprengan khas Medan yang legendaris (bunyi dan bentuknya) itu. Seperti kebanyakan orang yang baru tahu Wikipedia boleh disunting, para peserta tak ayal terkaget-kaget tentang begitu banyaknya informasi yang masih belum ada di Wikipedia.
Selepas acara kami bergerak ke Gardenia, sebuah restoran taman di Padang Bulan, dekat kampus USU. Di sana kami menemui komunitas Wikipedia Medan, yaitu yang beberapa bulan lalu mengikuti WikiLatih yang sama (di UMSU memang edisi kedua di Medan) dan beberapa peserta dari UMSU yang tertarik untuk mengembangkan Wikipedia dalam bahasa Mandailing. Salah satu peserta menawarkan gagasannya untuk mengisi Wikipedia Mandailing (yang masih di Incubator) dengan konten-konten adat dan sejarah. Gagasan ini baik sekali saya kira. Ia juga melempar ide menulis tentang artikel-artikel tentang hantu dan misteri dalam masyarakat Mandailing, sehingga Wikipedia-nya kelak akan punya khazanah parbegu paling lengkap di Indonesia. Ini malah sangat baik sekali :p
Lawatan singkat ke Medan ini berakhir hari Minggu. Saya pulang sendiri ke Padang -- Bang Hardi berencana pulang keeseokan harinya, dan saya punya kelas Senin pagi. Perjalanan lancar sampai ketika saya disuruh naik ke atas pesawat Lion Air, lalu berputar-putar di landasan pacu selama setengah jam, kemudian ruang pilot bersenandung gembira: kami harap para penumpang agar turun kembali ke terminal karena kerusakan mesin. Kami baru naik lagi ke pesawat (yang berbeda) pukul empat, molor tiga jam dari jadwal awal. Saya baru tiba di Padang pukul enam dan di Air Tawar pukul tujuh. Bah!
Kunjungan kali ini lumayan berkesan bagi saya. Medan (dan Sumatera Utara pada umumnya) sangat potensial untuk dijadikan basis komunitas permanen Wikipedia di luar Jakarta setelah Padang dan Yogya. Dengan beragam-macam bahasa yang dicakapkan di provinsi ini, ada khazanah berlimpah yang perlu dieksplorasi dan diangkat satu-satu ke Wikipedia. Saya sendiri tercengang-cengang ketika mengobrol dengan seorang dosen sastra Indonesia UMSU yang menerangkan tentang kompleksitas hubungan bahasa Batak dan bahasa-bahasa lainnya seperti Angkola, Mandailing, Karo, Pakpak, dan sebagainya.
Bicara tentang UMSU, saya sangat kagum dengan perpustakaannya. Terus terang saya iri melihat keaktifan relawan perpustakaan dan kenyamanan dalam ruangnya. Bangku-bangkunya nyaman walaupun ruangannya masih sempit, tapi saat saya di sana sedang ada proyek perluasan ruangan juga. Ada pojok BI, Perancis, Inggris, sampai India -- tentu dengan sponsor dari kedutaan dan konsulat negeri-negeri itu. Yang paling saya iri adalah ketika Pak Arifin menceriterakan bahwa perpustakaan ini buka sampai malam dan jumlah pengunjung mereka bisa sampai seribu orang sehari. Sementara itu, sebuah perpustakaan tertentu di sebuah perguruan tinggi di Bukit Karamuntiang.... ah sudahlah.
Saya sangat menyukai Medan sebagai satu kota. Terlepas dari apapun yang saya tidak sepakati akan Gubernur Jenderal Eddy Rahmayadi (hahahaha), saya kira Medan amat baik dalam hal memelihara masa lalunya. Meskipun saya tidak banyak ke objek wisata (Istana Maimun, rumah Tjong A Fie dan resto Tip Top sudah saya jelajahi pada lawatan sebelumnya) di sana, namun saya menikmati benar naik kereta (sebutan orang Medan akan sepeda motor) di pusat kota dan melihat gedung-gedung peninggalan Belanda dimanfaatkan dengan baik. Kotanya nyeni-nyeni sedap, begitu pula kopi dan kulinernya, begitulah kira-kira.
Kurang-lebih ini satu lawatan yang menyenangkan. Semoga saya diperkenankan untuk lebih banyak berkunjung ke kota-kota lain di Indonesia untuk mengajarkan Wikipedia. Asal disuruh, saya berangkat :p
Tanbihat: Karena Pak Arifin seperti yang saya sudah ceritakan juga menjabat redaktur di Analisa, salah satu koran terbesar di Medan, maka beliau ikut membawa serta wartawannya untuk meliput. Liputan lokalnya bisa dibaca di sini.
05 October 2018
Mencari mastautin
Jika orang di kampus -- entah itu kawan baru, dosen pengampu, atau penjaga kantin -- bertanya "kamu dari mana?", sejauh ini saya sukses kebingungan untuk menjawab.
Biasanya saya menjawab sekedarnya, "dari kota ini". Namun jawaban itu biasanya akan disusul, "SMA berapa?". Akan membingungkan bila saya sebutkan nama SMA saya, karena memang ada kembarannya yang serupa di kota ini. Jika saya menyebut lengkap keterangan kotanya, maka yang bertanya biasanya bertambah bingung. "Kamu dari sini tapi SMA di sana?"
Sebenarnya tidak tepat jika saya mengatakan diri berasal dari kota ini Ya, saya lahir di sini, dan menghabiskan empat tahun pertama kehidupan saya di sini. Saya punya kenang-kenangan tentang kota ini: tentang jalan-jalannya, tentang warung-warungnya, tentang pasar-pasarnya. Nenek dan kakek saya tinggal di sini; saya masih bisa pulang ke rumah nenek saya di tepi laut tiap minggu bila lapang.
Tapi saya tidak pernah besar di kota ini. Saya tidak bersekolah di SMP maupun SMA-nya. Saya tidak belajar bermotor di jalan-jalannya, menonton bola di stadion-stadionnya. Saya tumbuh dan besar di seberang dan menjadikan kota ini seperti serdadu Belanda ketika turun dari Tapanuli ke Bukittinggi: tempat vakansi. Dalam sembilan belas tahun umur saya saat ini, ini tahun kelima saya tinggal di kota ini.
Saya tumbuh dan besar di kota sana. KTP saya yang tidak siap-siap itu (sudah dua tahun, demi Toutatis!) akan bertanda kota sana. Orang tua saya bekerja dan tinggal di kota sana. Saya bersekolah SMP dan SMA di kota sana Sahabat-sahabat saya di sana, meskipun tentu sekarang sudah angkat kaki ke kampus masing-masing. Namun jika saya menyebut saya "dari kota sana", maka percayalah kalau hubungan saya dengan kota itu lebih rumit dari pada yang bisa saya jelaskan dengan singkat.
Kota sana sudah terlalu sering saya tinggalkan sehingga hubungan saya dengan kota itu niscaya lebih kebal daripada sekedar "tempat asal". Saya meninggalkannya empat tahun untuk tinggal di kota lain, lalu setahun untuk di kota demikian. Karena sudah terlalu sering, maka saya bertanya-tanya apakah saya memang berasal dari sana.
Saya tak dapat menyebut saya berasal dari negeri ini, kampung ibu saya, atau dari negeri itu, kampung ayah saya. Saya tak punya hubungan apapun dengan tempat-tempat itu, selain kunjungan-kunjungan bila berlibur. Saya tak dapat mengklaim saya dari negeri lain, ataupun negeri demikian, tentu saja tidak.
Lagipula jika saya menyebut saya "dari kota sana" maka saya akan dianggap seakan-akan perantau di kota sini. Saya bukan perantau. Saya "pulang" dari tempat yang saya selalu anggap "tempat pulang". Saya hafal kedua jalananan kota dan bisa merasa tersesat di keduanya.
Ada yang menyebut bahwa kamu berasal dari tempat kamu SMA. Bisa jadi. Tapi itu akan sulit bagi saya karena saya sekolah di dua kota yang terpisah samudera. Ada yang mengangsurkan bahwa kamu berasal dari tempat kamu lahir. Kalau begitu saya dari kota sini. Ada pula yang berargumen bahwa kamu berasal dari tempat kamu tumbuh besar. Saya tumbuh besar di kota sana, atau mungkin di mana-mana; bagaimana kalau saya ajukan kalau saya berasal "dari Internet" atau "dari rak baca di kamar saya"?
Label adalah hal yang unik. Hanya manusia yang mampu melabeli satu sama lain, dan hanya manusia pula yang bingung ketika harus melabeli dirinya sendiri. Ada yang begitu ekstrem merekatkan label-label itu pada dirinya sehingga seakan mabuk dilamun olehnya, ada yang begitu ragu menyandangnya sampai berusaha berontak dari segalanya. Ia urusan jati diri, kebanggaan, sampai ego yang berbaur jadi satu.
Dua bulan sudah berlalu sejak saya pertama kali menginjakkan kaki di sini. Masih ada tentunya perkenalan-perkenalan yang belum langsai, sehingga saya masih harus mengangsurkan tempat saya berasal kepada orang baru yang akan saya kenal. Saya menyadari bahwa saya tidak punya kemewahan untuk tahu di mana tempat asal saya;
Dalam perkenalan selanjutnya, mungkin saya hanya akan mengatakan bahwa saya "tidak dari mana-mana." Atau biar lebih filosofis: "sedang mencari tempat asal saya; semoga saja di sini."
Anda, dari mana?
Biasanya saya menjawab sekedarnya, "dari kota ini". Namun jawaban itu biasanya akan disusul, "SMA berapa?". Akan membingungkan bila saya sebutkan nama SMA saya, karena memang ada kembarannya yang serupa di kota ini. Jika saya menyebut lengkap keterangan kotanya, maka yang bertanya biasanya bertambah bingung. "Kamu dari sini tapi SMA di sana?"
Sebenarnya tidak tepat jika saya mengatakan diri berasal dari kota ini Ya, saya lahir di sini, dan menghabiskan empat tahun pertama kehidupan saya di sini. Saya punya kenang-kenangan tentang kota ini: tentang jalan-jalannya, tentang warung-warungnya, tentang pasar-pasarnya. Nenek dan kakek saya tinggal di sini; saya masih bisa pulang ke rumah nenek saya di tepi laut tiap minggu bila lapang.
Tapi saya tidak pernah besar di kota ini. Saya tidak bersekolah di SMP maupun SMA-nya. Saya tidak belajar bermotor di jalan-jalannya, menonton bola di stadion-stadionnya. Saya tumbuh dan besar di seberang dan menjadikan kota ini seperti serdadu Belanda ketika turun dari Tapanuli ke Bukittinggi: tempat vakansi. Dalam sembilan belas tahun umur saya saat ini, ini tahun kelima saya tinggal di kota ini.
Saya tumbuh dan besar di kota sana. KTP saya yang tidak siap-siap itu (sudah dua tahun, demi Toutatis!) akan bertanda kota sana. Orang tua saya bekerja dan tinggal di kota sana. Saya bersekolah SMP dan SMA di kota sana Sahabat-sahabat saya di sana, meskipun tentu sekarang sudah angkat kaki ke kampus masing-masing. Namun jika saya menyebut saya "dari kota sana", maka percayalah kalau hubungan saya dengan kota itu lebih rumit dari pada yang bisa saya jelaskan dengan singkat.
Kota sana sudah terlalu sering saya tinggalkan sehingga hubungan saya dengan kota itu niscaya lebih kebal daripada sekedar "tempat asal". Saya meninggalkannya empat tahun untuk tinggal di kota lain, lalu setahun untuk di kota demikian. Karena sudah terlalu sering, maka saya bertanya-tanya apakah saya memang berasal dari sana.
Saya tak dapat menyebut saya berasal dari negeri ini, kampung ibu saya, atau dari negeri itu, kampung ayah saya. Saya tak punya hubungan apapun dengan tempat-tempat itu, selain kunjungan-kunjungan bila berlibur. Saya tak dapat mengklaim saya dari negeri lain, ataupun negeri demikian, tentu saja tidak.
Lagipula jika saya menyebut saya "dari kota sana" maka saya akan dianggap seakan-akan perantau di kota sini. Saya bukan perantau. Saya "pulang" dari tempat yang saya selalu anggap "tempat pulang". Saya hafal kedua jalananan kota dan bisa merasa tersesat di keduanya.
Ada yang menyebut bahwa kamu berasal dari tempat kamu SMA. Bisa jadi. Tapi itu akan sulit bagi saya karena saya sekolah di dua kota yang terpisah samudera. Ada yang mengangsurkan bahwa kamu berasal dari tempat kamu lahir. Kalau begitu saya dari kota sini. Ada pula yang berargumen bahwa kamu berasal dari tempat kamu tumbuh besar. Saya tumbuh besar di kota sana, atau mungkin di mana-mana; bagaimana kalau saya ajukan kalau saya berasal "dari Internet" atau "dari rak baca di kamar saya"?
Label adalah hal yang unik. Hanya manusia yang mampu melabeli satu sama lain, dan hanya manusia pula yang bingung ketika harus melabeli dirinya sendiri. Ada yang begitu ekstrem merekatkan label-label itu pada dirinya sehingga seakan mabuk dilamun olehnya, ada yang begitu ragu menyandangnya sampai berusaha berontak dari segalanya. Ia urusan jati diri, kebanggaan, sampai ego yang berbaur jadi satu.
Dua bulan sudah berlalu sejak saya pertama kali menginjakkan kaki di sini. Masih ada tentunya perkenalan-perkenalan yang belum langsai, sehingga saya masih harus mengangsurkan tempat saya berasal kepada orang baru yang akan saya kenal. Saya menyadari bahwa saya tidak punya kemewahan untuk tahu di mana tempat asal saya;
Dalam perkenalan selanjutnya, mungkin saya hanya akan mengatakan bahwa saya "tidak dari mana-mana." Atau biar lebih filosofis: "sedang mencari tempat asal saya; semoga saja di sini."
Anda, dari mana?
11 May 2018
Tentang Tranquility Base yang baru itu
Jika AM (2013) terdengar seperti campuran musik padang pasir dan raungan dendam orang kulit putih, maka album berikutnya dapat digambarkan seperti parade melodi kalah judi di Las Vegas berpadu teriakan kaum idealis bumi bulat bentuknya.
Tranquility Base Hotel & Casino, album terbaru grup asal Inggris ini, memuaskan rasa penasaran para penggemar mereka setelah menunggu selama lima tahun. Promosi album ini terbilang unik, karena tak ada satu single pun yang dirilis sebelumnya; hanya sebuah video pendek di YouTube pada awal April, menunjukkan sampul album yang berputar. Sampul itu dirancang oleh sang vokalis Alex Turner, yang sekaligus berperan sebagai produser buat kali pertama; bekerja dengan James Ford yang telah memproduseri album-album mereka sebelumnya.
Berisi sebelas lagu yang direkam di Los Angeles, Paris, dan London, album ini penuh dengan referensi sains, teknologi, budaya pop, sampai politik. Lagu pertama Star Treatment dibuka dengan kalimat “I just wanted to be one of The Strokes”, sebuah ode bercampur metafora bagi Julian Casablancas dan kawan-kawan. Di sekujur tubuh album ini, mulai dari Leonard Cohen, film Blade Runner, sampai skandal Cambridge Analytica dan Donald Trump dapat kita temui.
Tak ada yang salah dari name-dropping referensi budaya maupun idola, namun faktanya penulisan lirik yang penuh bumbu ala Arctic Monkeys ini tak dapat menyembunyikan kenyataan bahwa secara melodik, album ini tak lebih dari koleksi musik pengiring dansa di lounge hotel. “Aku menyukai gagasan tentang sebuah dunia di bawah tanah, tak harus di Las Vegas tapi di mana saja dalam imajinasiku,” ujar Turner dalam sebuah wawancara dengan Pitchfork, “dan gagasan itu membantuku menulis liriknya.”
Masalahnya, gagasan tentang Vegas itu membuat album ini lebih terdengar seperti Blackstar-nya David Bowie ketimbang Anthems for Doomed Youth garapan The Libertines; lebih gelap dan menyedihkan dari sebagaimana mestinya. Golden Trunk dan Four Out of Five, lagu-lagu yang paling dekat bunyinya dengan nuansa rock menderu ala AM, terkubur oleh sampah-sampah pop eksperimental seperti American Sports dan Science Fiction. Saya bertanya-tanya mengapa maestro komposer John Williams masih harus bersibuk-sibuk mempersiapkan skor lagu untuk Star Wars: The Last Jedi sedangkan She Looks Like Fun ini lebih dari cukup untuk mengiringi adegan duel Skywalker tua dan Kylo Ren.
Yang membuat Arctic Monkeys menyegarkan adalah nada dan melodinya yang karismatik dan menggairahkan. Album ini menunjukkan bahwa melainkan mereka berniat untuk melanjutkan karir musik mereka sebagai kolaborator Frank Ocean atau DJ Khaled, Tn. Turner dan sejawatnya perlu berpikir untuk berhenti bereksperimen.
Subscribe to:
Posts (Atom)