Di atas kertas, setiap laga tandang ke Artemio Franchi bukanlah sesuatu yang mudah bagi setiap tim. Musim ini, tuan rumah Fiorentina tak terkalahkan oleh siapapun kecuali PAOK Thessaloniki di Liga Europa. Juventus tentu saja paham akan rekor superior La Viola ini saat tiba bertamu pekan lalu, yang berakhir dengan kemenangan 2-1 buat tuan rumah.
Hasil mengecewakan di Firenze ini tercatat sebagai kekalahan keempat Si Nyonya Tua pada Serie A musim ini, setelah sebelumnya tunduk pada Inter, Milan, dan Genoa, semuanya di kandang lawan. Meskipun tak sampai menggusur posisi mereka sebagai capolista, namun kekalahan ini sepatutnya menjadi sebuah peringatan sekaligus pertanyaan buat sisi putih-hitam kota Turin ini: apa ada yang salah dengan Juve?
Mari sedikit kembali ke dua musim lalu, ketika Allegri baru tiba di Juventus. Di musim pertamanya, Allegri memimpin Juventus menjuarai liga dengan selisih tujuh belas poin dari Roma dan mengantar mereka ke partai puncak Liga Champions pertama sejak 2003, hasil yang dianggap banyak orang sedikit banyak dapat meredam setiap elemen keraguan atas pengangkatan dirinya, mantan pelatih Milan, untuk menukangi Alvaro Morata dkk.
Menilik pada rekor internasionalnya yang terhitung lebih impresif ketimbang pendahulunya Antonio Conte, tak mengherankan bila beberapa orang sempat menaruh harap Allegri suatu hari akan dapat membawa mereka kembali ke status yang telah lama mereka mimpikan: kembali ke jajaran elit sepak bola Eropa.
Tapi perlu diingat pula bahwa Allegri membawa gayanya sendiri. Ia outsider, tiba dari luar tanpa kaitan sedikit pun dengan Juventus sebelumnya. Sepak bola yang ia mainkan terbukti lebih beragam dari era Conte. Musim ini, Juve memainkan 3-5-2 sebanyak tiga belas kali, disusul 4-3-1-2 dan 4-3-3, masing-masing dua kali, dan 4-4-2 dan 4-3-2-1 masing-masing sekali. Sebagai perbandingan, di musim terakhir Conte, tak sekalipun ia berpaling dari 3-5-2 di starting eleven.
Seperti yang dikatakan kapten Claudio Marchisio saat sang allenatore baru tiba pada musim panas 2014: “Ia membuat kami mengerti pentingnya tak terpaku pada satu formasi: kami punya sederet kualitas yang memungkinkan kami berganti identitas di tengah pertandingan.”
Materi pemain yang dimiliki Conte dan Allegri juga patut diperhatikan di sini. Skuat Conte yang dimotori Arturo Vidal, Paul Pogba, dan Andrea Pirlo sukses besar secara domestik, namun tak dapat bersaing di pentas kontinental. Allegri, dengan stok talenta yang lebih berlimpah dalam bentuk Paulo Dybala, Miralem Pjanic, dan Gonzalo Higuain, dapat mempertahankan hegemoni yang telah dibina Conte sebelumnya.
Tapi untuk menang, filosofi pragmatis yang diterapkan pada sebuah skuat transisi harus benar-benar diterjemahkan dengan mulus dan tanpa cela. Di sinilah letak kegagalan Allegri: dengan banyaknya formasi yang ia mainkan, dengan beragamnya eksperimennya di lapangan, ia tak mampu untuk menciptakan suatu karakter permainan yang solid, yang mampu menciptakan kesinambungan dari pertandingan ke pertandingan.
Talenta yang melimpah di lini tengah sejauh ini justru berubah menjadi liabilitas. Melihat Marchisio dan Stefano Sturaro bermain tanpa inspirasi selama sebagian besar pertandingan kontra Fiorentina pekan lalu tak dapat pula dibantu bahwa kelemahan Juventus yang paling mudah dieksploitasi lawan adalah rentannya lini tengah mereka melakukan kesalahan-kesalahan individual yang sebenarnya dapat terelakkan. Kepergian Pogba, seperti yang diakui Giorgio Chiellini sendiri, “ia pemain yang terlalu besar untuk tiba-tiba hilang.”
Suara-suara yang meminta Allegri lebih banyak memainkan Daniele Rugani seakan tak digubris sang bos: trio Andrea Barzagli, Leonardo Bonucci, dan Chiellini ibarat tembok tebal tanpa fondasi yang sekali-kali dapat ditembus pemain lincah seperti Federico Bernadeschi dan Milan Badelj: nama pertama berperan krusial dalam menciptakan gol pembuka La Viola lewat Nikola Kalinic, yang kedua menenggelamkan harapan Juventini dengan gol kedua yang mengunci pertandingan.
Ini tidak berarti bahwa Juventus sedang berada dalam kondisi krisis luar biasa: jauh sekali dari itu. Mereka masih duduk nyaman di puncak, masih menyambung nafas di Coppa Italia, dan masih berpeluang menggapai mahkota juara Liga Champions musim ini. Roma, Napoli, bahkan Lazio sekalipun, masih harus bertarung satu sama lain di peringkat bawah untuk dapat mengudeta Sang Nyonya Tua dari singgasananya.
Namun, untuk tim sekelas mereka yang tengah mengejar scudetto keenam berturut-turut -- pencapaian yang akan meletakkan mereka di pelataran sejarah emas Serie A sebagai salah satu tim terbaik sepanjang masa -- Juve-nya Allegri dapat dikatakan masih terlalu inkonsisten dan sering berpuas diri sebelum pertandingan.
Allegri harus dapat menemukan keseimbangan di lini belakang dan tengah, sumber sebagian besar masalah tim musim ini. Ia dapat membangkucadangkan (atau melego secara permanen) gelandang-gelandang yang hanya akan menjadi beban pada tim, seperti Hernanes dan Sturaro, dan memberikan peluang lebih banyak kepada nafas-nafas segar seperti Mario Lemina, Marko Pjaca, atau bahkan rekrutan baru Tomas Rincon.
Kebingungan yang melingkupi lini depan juga harus dapat diselesaikan segera. Eksplosivitas Gonzalo Higuain hanya akan dapat dipertahankan dengan dukungan otak serangan brilian dari Paulo Dybala dan Miralem Pjanic. Juventus kini berada di peringkat ketiga liga bila menurut produktivitas: dilampaui Napoli dan Roma. Musim lalu, skuat yang hampir sama mencetak 85 gol sepanjang musim, berselisih total 15 gol dari pesaing terdekat Napoli.
Pada akhirnya, apapun masih bisa terjadi sebelum bulan Mei. Pengalaman musim lalu seharusnya mengajarkan Juventus bahwa pemuncak liga bisa saja tergelincir akibat inkonsistensi dan complacency. Namun, bila musim lalu Napoli yang berada di posisi ini, kini mereka sendiri yang harus mewanti-wanti dan memperingatkan diri sendiri untuk tak terjatuh ke lubang yang sama.
Pertama tayang di Super Soccer Indonesia.
No comments:
Post a Comment