![]() |
Nyonya Tua macam apa logonya edgy begini |
Transformasi lambang klub Italia Juventus akhir pekan lalu menciptakan sensasi yang tak biasa di antara kalangan penggemar, pengamat, maupun fans sepak bola pada umumnya. Tim kebanggaan kota Turin itu meninggalkan lambang tradisional yang telah mempopulerkan mereka ke seluruh dunia, perisai putih-hitam Old French dengan elemen banteng putih dan mahkota hitam, dan menggantinya dengan versi yang lebih modern: dua huruf J hitam dengan tulisan ‘Juventus’ di atasnya.
Pergantian lambang yang bisa dibilang mengejutkan ini menggemparkan dunia sepak bola internasional. Keberanian manajemen Juventus di bawah Presiden Andrea Agnelli untuk mendobrak tradisi, tidak hanya di kalangan klub Italia namun juga di pentas Eropa. Lambang yang baru ini, dirancang oleh firma asal Milan Interbrand dan akan muncul di seragam tim mulai musim depan, memperkenalkan desain yang lebih minimalis dan modernis.
Perubahan ini terasa amat berani bila mengingat status Juventus, barangkali satu-satunya klub yang masih tegak mempertahankan pamor Serie A di tengah menurunnya kualitas dan persaingan yang amat keras dari tim-tim Premier League dan La Liga. Dengan gelar La Fidanzata d’Italia --- kekasih Italia --- yang memberikan mereka status hampir seperti Bayern Munich pada dunia sepak bola Jerman, keputusan Juve untuk mendobrak tradisi dengan lambang minimalis ini tentu tak pelak membuat tak sedikit suara kritis maupun suportif melayang.
“Logo pada klub sepak bola sangat penting karena ia mewakili semangat klub, dalam sebuah media yang mudah dan bisa diingat para suporternya,” ujar ilustrator dan perancang sepak bola Fajar Ramadhan, yang mengasuh situs blog khusus desain Indonesia Fantasy Kit Designer.
Semangat klub biasanya ditafsirkan dengan karakter, slogan, warna, atau ciri pada lambang-lambang klub. Kalangan penggemar sepak bola tentu familiar dengan lambang Real Madrid dengan warna putih bersih dan mahkota kerajaannya; Liverpool dengan tulisan “You’ll Never Walk Alone” dan liverbird-nya; Ajax Amsterdam dengan kepala pahlawan Yunani Kuno-nya. Dalam kasus Juventus, lapis putih-hitam yang ikonik itu tentu saja tak dapat terpisahkan dari identitas La Vecchia Signora.
Selain identitas individual, kebanggaan wilayah (kota, wilayah, sampai negara) juga dapat menjadi salah satu ciri khas. Roma dengan logo serigala menyusuinya menghormati masa lalu Kekaisaran Romawi, Paris Saint-Germain dengan stilasi Menara Eiffel.
Tak jarang pula dua tim berbagi karakter: Manchester United dan Manchester City, misalnya, berbagi kapal layar abad ke-20 di lambang masing-masing untuk mengenang kuasa industrial dan perdagangan yang pernah berjaya di Greater Manchester. Juventus dan rival sekotanya, Torino, sama-sama menaruh banteng di lambang mereka untuk menghormati simbol kuno kota Turin, tuan rumah keduanya.
Klub memang berlomba-lomba untuk menggambarkan sejarah dan identitas mereka pada lambang yang tertera pada kaus dan perlengkapan yang dikenakan oleh para pemain di lapangan, namun tak banyak perubahan yang terjadi pada lambang klub-klub elit Eropa pada beberapa dekade terakhir.
Ini mungkin salah satunya disebabkan oleh tradisi klub sepak bola yang hanya menggunakan lambang mereka di partai-partai penting, dengan kaus-kaus edisi khusus. Sampai akhir 1970-an, tak jarang kita menemukan kaus tim sepak bola yang sepenuhnya polos, hanya dengan warna tim dan nomor punggung. Pun pada masa ini, klub-klub mudah saja mengganti lambang hampir setiap musim.
Namun dengan merebaknya komersialisasi sepak bola, baik di dalam maupun luar lapangan, klub mulai berlomba-lomba untuk menggambarkan sejarah dan identitas mereka pada lambang, yang kemudian dicetak pada segala jenis perlengkapan mulai dari kaus hingga kaus kaki. Tak sedikit pula lambang yang diukir begitu rumit dan detail: Anda bisa lihat lambang Arsenal, Chelsea, dan Everton pada era sebelum Premier League dan membandingkan dengan logo mereka saat ini yang terasa amat simpel.
Memasuki abad ke-21, dengan melimpahnya uang berputar --- baik itu dari kursi penonton di stadium maupun sofa empuk di ruang tamu --- ke ruang-ruang manajemen tim, nilai seni dan estetika tak luput pula ikut beradaptasi. Suporter dari berbagai penjuru dunia mengenali klub-klub Eropa dari lambangnya yang berwarna unik dan berkarakter artistik, meskipun tak banyak yang benar-benar menyimpang dari konvensi tradisional. Bila melihat transformasi lambang Roma, salah satu pesaing utama Juve di Serie A, beberapa tahun silam, fans tentu tak dapat membedakan versi lama dan baru, karena keduanya hampir bisa dibilang mirip. Malah beberapa klub gagal menyesuaikan diri dengan transformasi mereka sendiri: Everton di Premier League adalah contoh utama yang masuk kategori ini.
Namun Juventus membawa transformasi ini ke tahap yang lebih modern. Dengan Agnelli di tampuk kekuasaan, dengan latar belakang marketing-nya di Ferrari dan beberapa perusahaan keluarga lainnya, visi sang presiden adalah untuk membawa Juventus selangkah lebih maju, baik di dalam maupun luar lapangan, dengan logo baru ini.
Menurut Fajar, langkah Juve ini terhitung cukup brilian. “Mereka benar-benar memberikan sesuatu yang segar, yang bahkan belum dipikirkan oleh klub sepak bola lain. Mereka membuat logo yang bisa masuk ke semua aspek, yag secara estetika bisa diaplikasikan di semua media dan tidak hanya yang berhubungan dengan sepak bola saja.”
Kalimat terakhir sepertinya memang akurat dengan visi klub sendiri. “Kami harus menjadi lebih mainstream, lebih pop,” ujar Agnelli dalam sebuah konferensi pers. “Kami memiliki target baru yang bukan suporter sepak bola pada umumnya: generasi millenium, wanita, dan anak-anak.” Yang diterjemahkan oleh slogan marketing dari klub, dengan video yang diunggah ke akun Twitter resmi klub: life is a matter of Black and White. Hidup adalah urusan hitam atau putih, dua warna tradisional Juve.
Dengan cepatnya roda globalisasi bergulir dan munculnya pasar-pasar baru untuk sepak bola Eropa di negara-negara seperti Cina dan Amerika Serikat, identitas baru yang segar dan menarik tentunya harus menjadi pertimbangan bagi setiap manajemen klub bola, di mana saja termasuk Indonesia. Tak sulit pula memprediksi bahwa lambang yang segar, mudah diingat, dan berkarakter akan menjadi tren di kalangan klub-klub sepak bola papan atas internasional untuk menjangkau basis dukungan (dan tentu saja, uang) baru di segala penjuru dunia. Bila lambang baru Juventus terbukti sukses dan populer, tentu saja mereka akan menjadi pedoman utama bagi gelombang ini, semacam trend setter.
Seperti kata Fajar, “logo Juventus sudah pada level yang berbeda.”
Pertama kali tayang di Super Soccer Indonesia pada Januari 2017.