21 January 2017

Juventus dan transformasi lambang klub sepak bola modern

Nyonya Tua macam apa logonya edgy begini

Transformasi lambang klub Italia Juventus akhir pekan lalu menciptakan sensasi yang tak biasa di antara kalangan penggemar, pengamat, maupun fans sepak bola pada umumnya. Tim kebanggaan kota Turin itu meninggalkan lambang tradisional yang telah mempopulerkan mereka ke seluruh dunia, perisai putih-hitam Old French dengan elemen banteng putih dan mahkota hitam, dan menggantinya dengan versi yang lebih modern: dua huruf J hitam dengan tulisan ‘Juventus’ di atasnya.

Pergantian lambang yang bisa dibilang mengejutkan ini menggemparkan dunia sepak bola internasional. Keberanian manajemen Juventus di bawah Presiden Andrea Agnelli untuk mendobrak tradisi, tidak hanya di kalangan klub Italia namun juga di pentas Eropa. Lambang yang baru ini, dirancang oleh firma asal Milan Interbrand dan akan muncul di seragam tim mulai musim depan, memperkenalkan desain yang lebih minimalis dan modernis.

Perubahan ini terasa amat berani bila mengingat status Juventus, barangkali satu-satunya klub yang masih tegak mempertahankan pamor Serie A di tengah menurunnya kualitas dan persaingan yang amat keras dari tim-tim Premier League dan La Liga. Dengan gelar La Fidanzata d’Italia --- kekasih Italia --- yang memberikan mereka status hampir seperti Bayern Munich pada dunia sepak bola Jerman, keputusan Juve untuk mendobrak tradisi dengan lambang minimalis ini tentu tak pelak membuat tak sedikit suara kritis maupun suportif melayang.

“Logo pada klub sepak bola sangat penting karena ia mewakili semangat klub, dalam sebuah media yang mudah dan bisa diingat para suporternya,” ujar ilustrator dan perancang sepak bola Fajar Ramadhan, yang mengasuh situs blog khusus desain Indonesia Fantasy Kit Designer.

Semangat klub biasanya ditafsirkan dengan karakter, slogan, warna, atau ciri pada lambang-lambang klub. Kalangan penggemar sepak bola tentu familiar dengan lambang Real Madrid dengan warna putih bersih dan mahkota kerajaannya; Liverpool dengan tulisan “You’ll Never Walk Alone” dan liverbird-nya; Ajax Amsterdam dengan kepala pahlawan Yunani Kuno-nya. Dalam kasus Juventus, lapis putih-hitam yang ikonik itu tentu saja tak dapat terpisahkan dari identitas La Vecchia Signora.

Selain identitas individual, kebanggaan wilayah (kota, wilayah, sampai negara) juga dapat menjadi salah satu ciri khas. Roma dengan logo serigala menyusuinya menghormati masa lalu Kekaisaran Romawi, Paris Saint-Germain dengan stilasi Menara Eiffel.

Tak jarang pula dua tim berbagi karakter: Manchester United dan Manchester City, misalnya, berbagi kapal layar abad ke-20 di lambang masing-masing untuk mengenang kuasa industrial dan perdagangan yang pernah berjaya di Greater Manchester. Juventus dan rival sekotanya, Torino, sama-sama menaruh banteng di lambang mereka untuk menghormati simbol kuno kota Turin, tuan rumah keduanya.

Klub memang berlomba-lomba untuk menggambarkan sejarah dan identitas mereka pada lambang yang tertera pada kaus dan perlengkapan yang dikenakan oleh para pemain di lapangan, namun tak banyak perubahan yang terjadi pada lambang klub-klub elit Eropa pada beberapa dekade terakhir.

Ini mungkin salah satunya disebabkan oleh tradisi klub sepak bola yang hanya menggunakan lambang mereka di partai-partai penting, dengan kaus-kaus edisi khusus. Sampai akhir 1970-an, tak jarang kita menemukan kaus tim sepak bola yang sepenuhnya polos, hanya dengan warna tim dan nomor punggung. Pun pada masa ini, klub-klub mudah saja mengganti lambang hampir setiap musim.

Namun dengan merebaknya komersialisasi sepak bola, baik di dalam maupun luar lapangan, klub mulai berlomba-lomba untuk menggambarkan sejarah dan identitas mereka pada lambang, yang kemudian dicetak pada segala jenis perlengkapan mulai dari kaus hingga kaus kaki. Tak sedikit pula lambang yang diukir begitu rumit dan detail: Anda bisa lihat lambang Arsenal, Chelsea, dan Everton pada era sebelum Premier League dan membandingkan dengan logo mereka saat ini yang terasa amat simpel.

Memasuki abad ke-21, dengan melimpahnya uang berputar --- baik itu dari kursi penonton di stadium maupun sofa empuk di ruang tamu --- ke ruang-ruang manajemen tim, nilai seni dan estetika tak luput pula ikut beradaptasi. Suporter dari berbagai penjuru dunia mengenali klub-klub Eropa dari lambangnya yang berwarna unik dan berkarakter artistik, meskipun tak banyak yang benar-benar menyimpang dari konvensi tradisional. Bila melihat transformasi lambang Roma, salah satu pesaing utama Juve di Serie A, beberapa tahun silam, fans tentu tak dapat membedakan versi lama dan baru, karena keduanya hampir bisa dibilang mirip. Malah beberapa klub gagal menyesuaikan diri dengan transformasi mereka sendiri: Everton di Premier League adalah contoh utama yang masuk kategori ini.

Namun Juventus membawa transformasi ini ke tahap yang lebih modern. Dengan Agnelli di tampuk kekuasaan, dengan latar belakang marketing-nya di Ferrari dan beberapa perusahaan keluarga lainnya, visi sang presiden adalah untuk membawa Juventus selangkah lebih maju, baik di dalam maupun luar lapangan, dengan logo baru ini.

Menurut Fajar, langkah Juve ini terhitung cukup brilian. “Mereka benar-benar memberikan sesuatu yang segar, yang bahkan belum dipikirkan oleh klub sepak bola lain. Mereka membuat logo yang bisa masuk ke semua aspek, yag secara estetika bisa diaplikasikan di semua media dan tidak hanya yang berhubungan dengan sepak bola saja.”

Kalimat terakhir sepertinya memang akurat dengan visi klub sendiri. “Kami harus menjadi lebih mainstream, lebih pop,” ujar Agnelli dalam sebuah konferensi pers. “Kami memiliki target baru yang bukan suporter sepak bola pada umumnya: generasi millenium, wanita, dan anak-anak.” Yang diterjemahkan oleh slogan marketing dari klub, dengan video yang diunggah ke akun Twitter resmi klub: life is a matter of Black and White. Hidup adalah urusan hitam atau putih, dua warna tradisional Juve.

Dengan cepatnya roda globalisasi bergulir dan munculnya pasar-pasar baru untuk sepak bola Eropa di negara-negara seperti Cina dan Amerika Serikat, identitas baru yang segar dan menarik tentunya harus menjadi pertimbangan bagi setiap manajemen klub bola, di mana saja termasuk Indonesia. Tak sulit pula memprediksi bahwa lambang yang segar, mudah diingat, dan berkarakter akan menjadi tren di kalangan klub-klub sepak bola papan atas internasional untuk menjangkau basis dukungan (dan tentu saja, uang) baru di segala penjuru dunia. Bila lambang baru Juventus terbukti sukses dan populer, tentu saja mereka akan menjadi pedoman utama bagi gelombang ini, semacam trend setter.

Seperti kata Fajar, “logo Juventus sudah pada level yang berbeda.”

Pertama kali tayang di Super Soccer Indonesia pada Januari 2017.

19 January 2017

Apa ada yang salah dengan Juventus, Mister Allegri?

Di atas kertas, setiap laga tandang ke Artemio Franchi bukanlah sesuatu yang mudah bagi setiap tim. Musim ini, tuan rumah Fiorentina tak terkalahkan oleh siapapun kecuali PAOK Thessaloniki di Liga Europa. Juventus tentu saja paham akan rekor superior La Viola ini saat tiba bertamu pekan lalu, yang berakhir dengan kemenangan 2-1 buat tuan rumah.

Hasil mengecewakan di Firenze ini tercatat sebagai kekalahan keempat Si Nyonya Tua pada Serie A musim ini, setelah sebelumnya tunduk pada Inter, Milan, dan Genoa, semuanya di kandang lawan. Meskipun tak sampai menggusur posisi mereka sebagai capolista, namun kekalahan ini sepatutnya menjadi sebuah peringatan sekaligus pertanyaan buat sisi putih-hitam kota Turin ini: apa ada yang salah dengan Juve?

Mari sedikit kembali ke dua musim lalu, ketika Allegri baru tiba di Juventus. Di musim pertamanya, Allegri memimpin Juventus menjuarai liga dengan selisih tujuh belas poin dari Roma dan mengantar mereka ke partai puncak Liga Champions pertama sejak 2003, hasil yang dianggap banyak orang sedikit banyak dapat meredam setiap elemen keraguan atas pengangkatan dirinya, mantan pelatih Milan, untuk menukangi Alvaro Morata dkk.

Menilik pada rekor internasionalnya yang terhitung lebih impresif ketimbang pendahulunya Antonio Conte, tak mengherankan bila beberapa orang sempat menaruh harap Allegri suatu hari akan dapat membawa mereka kembali ke status yang telah lama mereka mimpikan: kembali ke jajaran elit sepak bola Eropa.

Tapi perlu diingat pula bahwa Allegri membawa gayanya sendiri. Ia outsider, tiba dari luar tanpa kaitan sedikit pun dengan Juventus sebelumnya. Sepak bola yang ia mainkan terbukti lebih beragam dari era Conte. Musim ini, Juve memainkan 3-5-2 sebanyak tiga belas kali, disusul 4-3-1-2 dan 4-3-3, masing-masing dua kali, dan 4-4-2 dan 4-3-2-1 masing-masing sekali. Sebagai perbandingan, di musim terakhir Conte, tak sekalipun ia berpaling dari 3-5-2 di starting eleven.

Seperti yang dikatakan kapten Claudio Marchisio saat sang allenatore baru tiba pada musim panas 2014: “Ia membuat kami mengerti pentingnya tak terpaku pada satu formasi: kami punya sederet kualitas yang memungkinkan kami berganti identitas di tengah pertandingan.”

Materi pemain yang dimiliki Conte dan Allegri juga patut diperhatikan di sini. Skuat Conte yang dimotori Arturo Vidal, Paul Pogba, dan Andrea Pirlo sukses besar secara domestik, namun tak dapat bersaing di pentas kontinental. Allegri, dengan stok talenta yang lebih berlimpah dalam bentuk Paulo Dybala, Miralem Pjanic, dan Gonzalo Higuain, dapat mempertahankan hegemoni yang telah dibina Conte sebelumnya.

Tapi untuk menang, filosofi pragmatis yang diterapkan pada sebuah skuat transisi harus benar-benar diterjemahkan dengan mulus dan tanpa cela. Di sinilah letak kegagalan Allegri: dengan banyaknya formasi yang ia mainkan, dengan beragamnya eksperimennya di lapangan, ia tak mampu untuk menciptakan suatu karakter permainan yang solid, yang mampu menciptakan kesinambungan dari pertandingan ke pertandingan.

Talenta yang melimpah di lini tengah sejauh ini justru berubah menjadi liabilitas. Melihat Marchisio dan Stefano Sturaro bermain tanpa inspirasi selama sebagian besar pertandingan kontra Fiorentina pekan lalu tak dapat pula dibantu bahwa kelemahan Juventus yang paling mudah dieksploitasi lawan adalah rentannya lini tengah mereka melakukan kesalahan-kesalahan individual yang sebenarnya dapat terelakkan. Kepergian Pogba, seperti yang diakui Giorgio Chiellini sendiri, “ia pemain yang terlalu besar untuk tiba-tiba hilang.”

Suara-suara yang meminta Allegri lebih banyak memainkan Daniele Rugani seakan tak digubris sang bos: trio Andrea Barzagli, Leonardo Bonucci, dan Chiellini ibarat tembok tebal tanpa fondasi yang sekali-kali dapat ditembus pemain lincah seperti Federico Bernadeschi dan Milan Badelj: nama pertama berperan krusial dalam menciptakan gol pembuka La Viola lewat Nikola Kalinic, yang kedua menenggelamkan harapan Juventini dengan gol kedua yang mengunci pertandingan.

Ini tidak berarti bahwa Juventus sedang berada dalam kondisi krisis luar biasa: jauh sekali dari itu. Mereka masih duduk nyaman di puncak, masih menyambung nafas di Coppa Italia, dan masih berpeluang menggapai mahkota juara Liga Champions musim ini. Roma, Napoli, bahkan Lazio sekalipun, masih harus bertarung satu sama lain di peringkat bawah untuk dapat mengudeta Sang Nyonya Tua dari singgasananya.

Namun, untuk tim sekelas mereka yang tengah mengejar scudetto keenam berturut-turut -- pencapaian yang akan meletakkan mereka di pelataran sejarah emas Serie A sebagai salah satu tim terbaik sepanjang masa -- Juve-nya Allegri dapat dikatakan masih terlalu inkonsisten dan sering berpuas diri sebelum pertandingan.

Allegri harus dapat menemukan keseimbangan di lini belakang dan tengah, sumber sebagian besar masalah tim musim ini. Ia dapat membangkucadangkan (atau melego secara permanen) gelandang-gelandang yang hanya akan menjadi beban pada tim, seperti Hernanes dan Sturaro, dan memberikan peluang lebih banyak kepada nafas-nafas segar seperti Mario Lemina, Marko Pjaca, atau bahkan rekrutan baru Tomas Rincon.

Kebingungan yang melingkupi lini depan juga harus dapat diselesaikan segera. Eksplosivitas Gonzalo Higuain hanya akan dapat dipertahankan dengan dukungan otak serangan brilian dari Paulo Dybala dan Miralem Pjanic. Juventus kini berada di peringkat ketiga liga bila menurut produktivitas: dilampaui Napoli dan Roma. Musim lalu, skuat yang hampir sama mencetak 85 gol sepanjang musim, berselisih total 15 gol dari pesaing terdekat Napoli.

Pada akhirnya, apapun masih bisa terjadi sebelum bulan Mei. Pengalaman musim lalu seharusnya mengajarkan Juventus bahwa pemuncak liga bisa saja tergelincir akibat inkonsistensi dan complacency. Namun, bila musim lalu Napoli yang berada di posisi ini, kini mereka sendiri yang harus mewanti-wanti dan memperingatkan diri sendiri untuk tak terjatuh ke lubang yang sama.

Pertama tayang di Super Soccer Indonesia.

07 January 2017

Karena jara nusim dingin tak sama dengan scudetto

Juventus mengakhiri paruh pertama Serie A musim 2016-17 dengan duduk nyaman di puncak klasemen, mengoleksi 42 poin dari empat belas kemenangan dan tiga kali kalah. Terpaut empat poin dari pesaing utama mereka, Roma, sudah cukup untuk mengamankan skuat Massimiliano Allegri titel campione d’inverno: juara musim dingin.

Setelah menikmati libur musim dingin hampir dua minggu lamanya, kasta tertinggi sepak bola Italia itu akan kembali digelar akhir pekan ini. Dengan skuat yang kembali bugar dari badai cedera dan strategi yang telah dirancang ulang matang-matang, tentu saja yang berada di dalam pikiran para pelatih tim di bawah Sang Nyonya Tua adalah bagaimana cara mengudeta sang juara dari tampuknya; meskipun itu hanya juara musim dingin.

Sejarah menunjukkan bahwa itu tak mudah, meski masih ada harapan. Dalam sepuluh musim terakhir, dimulai dari kemenangan Inter Milan di 2006-07, diselipi satu kemenangan Milan (di bawah Allegri) sampai kembalinya Juventus berkuasa, tim yang pergi berlibur pada musim dingin saat berada di puncak klasemen hampir selalu tetap berada di sana sampai musim berakhir.

Perhatikan kata hampir, karena musim lalu, Napoli asuhan Maurizio Sarri sukses mendobrak tradisi itu. Memanfaatkan kekalahan pemuncak klasemen Inter Milan dari Sassuolo di kandang sendiri, Partenopei mencuri peringkat pertama dengan menghancurkan Frosinone dan bertahan di sana sampai libur musim dingin tiba. Kali terakhir mereka menjadi juara musim dingin adalah musim 1989-90: Diego Maradona membawa mereka memenangkan scudetto kedua (dan sejauh ini, terakhir) di akhir musim. Kado yang manis untuk pelatih Sarri, yang secara kebetulan berulang tahun di tanggal yang berdekatan.

Sayang, status juara itu berubah jadi abu hanya setelah enam pekan. Di pekan ke-25, gol telat Simone Zaza memaksa Gonzalo Higuain dan kawan-kawan kembali ke peringkat kedua. Juventus merengkuh titel juara mereka untuk kali kelima berturut-turut, sementara Napoli harus berpuas diri menjadi campione d’inverno pertama dalam dua belas tahun yang gagal mengangkat Coppa Campioni d’Italia, trofi berukir emas itu.

Wajar bila Allegri, pada musim keduanya menukangi tim asal Turin itu, memilih berhati-hati kala bicara soal juara. “Saya tak peduli dengan rekor,” ucapnya. “Saya hanya tertarik menjadi pemimpin klasemen pada akhir musim.” Mungkin juga ia teringat akan pengalamannya kala membawa Milan juara, lima tahun lalu: Zlatan Ibrahimovic dkk takluk 1-0 atas Roma di rumah sendiri pada partai terakhir sebelum libur musim dingin. Sedikit menggoyahkan kepercayaan diri mereka, walau tak sampai menggugat status juara di akhir musim.

Tak seperti musim lalu, Juventus terhitung melewati paruh pertama musim ini dengan lancar. Telah duduk di puncak klasemen sejak pekan kelima dan tak pernah tergoyahkan lagi, wajar saja bila Paulo Dybala dkk mulai merasa bahwa scudetto keenam berturut-turut tak jauh lagi dari jangkauan tangan.

Terutama bila kita melihat faktor pesaing mereka. Praktis, satu-satunya tim yang masih bisa menyaingi mereka adalah Roma, yang kini terpaut empat angka. Pasukan ibu kota ini, dimotori Radja Nainggolan dan disokong eksplosivitas Edin Dzeko, barangkali masih bisa memanfaatkan satu-dua celah taktis maupun strategis Allegri, yang tampak begitu mudah dieksploitasi oleh Milan di Piala Super Italia musim lalu.

Napoli, dengan sepenuh ketajaman Dries Mertens (atau kembalinya Arkadiusz Milik sekalipun), masih belum mampu menyeimbangkan ritme, tempo, dan konsistensi mereka. Ini adalah tim yang dapat mencukur Internazionale tiga gol tanpa balas, kemudian ditahan imbang oleh Fiorentina sama kuat tiga gol.
Fakta bahwa mereka berjarak tiga poin dari Roma, alias tujuh poin jauhnya dari Juventus, tak pula membantu mereka. Mereka tampaknya justru harus lebih mewaspadai Lazio dan Milan --- yang terakhir tengah berada dalam histeria memenangkan trofi pertama dalam lima tahun --- yang sewaktu-waktu dapat mengudeta satu tempat di fase play-off Liga Champions musim depan, yang kini tengah mereka duduki.

“Musim ini masih panjang,” ujar bek Bianconeri Daniele Rugani. “Kami masih punya dua pertandingan untuk dimainkan dari paruh pertama, dan juga seluruh paruh kedua.” Juventus memang baru memainkan 17 pertandingan musim ini di kala pesaing-pesaingnya sudah satu laga lebih banyak. Ditunda hingga 8 Februari, pasukan Allegri justru mungkin akan menganggapnya sebagai berkah terselubung, mengingat yang harus mereka lawan adalah Crotone, penghuni papan bawah.

Roma, sebaliknya, diperkirakan tak akan memulai musim dengan mulus-mulus saja. Sabtu nanti, mereka harus menghadapi Genoa di Stadion Luigi Ferraris, tempat Napoli dan Juventus sama-sama telah terpeleset, baik itu kala menghadapi Genoa maupun penghuninya yang satu lagi, Sampdoria. Spalletti pun tak akan dapat memainkan pemain sayap berpengaruh Mohammad Salah yang membela tim nasional Mesir di Piala Afrika, disusul cedera yang masih mengikat Thomas Vermaelen dan Kostas Manolas di ruang dokter tim.

Pun Napoli, mereka harus menjamu Sampdoria, yang walaupun hanya duduk di papan tengah namun sudah berpengalaman menjungkalkan Inter dan Torino. Sarri tentu saja berharap dapat mengeksploitasi lawan berat yang bakal dihadapi sang rival dapat mempersempit jurang tiga poin di antara mereka. Tapi, tamu mereka sendiri masih harus dijaga ketat: musim ini, Sampdoria hampir saja menahan imbang Roma di Olimpico jika saja tak ada sepakan penalti Francesco Totti di extra time.

Justru Juventus, sang campione d’inverno, yang mendapat jadwal lumayan mudah, yaitu menjamu peringkat ke-15 Bologna. Kehilangan trofi Supercoppa dari Milan tentu akan dibalas penuh oleh skuat Bianconeri. "Kami selalu pulih langsung setelah kalah, dan saya harap setelah kekalahan kami dari Milan di Supercoppa, yang cukup menyakitkan, kami akan kembali ke lapangan dengan baterai tercas penuh,” ujar Rugani.

Meskipun secara historis sang juara musim dingin bakal menemui jalan mudah mengangkat gelar juara di akhir musim, namun Juventus tentu saja tak mau terjungkal seperti halnya mereka sendiri menjungkalkan Napoli musim silam. Baterai yang tercas penuh, tentu saja, adalah persiapan yang sebaik-baiknya.

Pertama kali tayang di SuperSoccer Indonesia.