Apa motivasi seseorang dalam membeli sebuah klub sepak bola?
Jack Walker, seorang taipan baja asli Blackburn, sejak kecil telah berdiri di teras Ewood Park, menyaksikan Ronnie Clayton dan Bryan Douglas beraksi di lapangan rumput itu. Ia turut serta merayakan kenaikan kasta The Riversiders ke Divisi Satu lama sebagai peringkat kedua Divisi Dua pada musim 1957-58, dan finalis Piala FA 1960. Sang taipan kelak membeli klub masa kecilnya itu, menunjuk Kenny Dalglish sebagai pelatih kepala dan menjuarai Premier League musim 1994-95.
Atau baiklah kita menyimak kisah Bruce Winfield, pemilik Crawley Town yang sederhana dan cuma mengendarai Toyota Prius. Ia menghabiskan ribuan poundsterling untuk menyelamatkan klub nonliga tersebut, hanya karena memori masa silamnya: berdiri di tribun lapangan tua Town Mead mendukung Crawley di Southern League. Winfield sang akuntan tak hendak membiarkan kecintaannya selama 45 tahun terkubur begitu saja oleh kebangkrutan. Ia bekerja keras membayar utang-utang klub dan The Red Devils kini duduk nyaman di League One, kasta ketiga sepakbola Inggris.
Walker dan Winfield adalah contoh paling jelas tentang bagaimana seharusnya bertindak sebagai pemilik tim sepak bola: mencintai, mengabdi dan melayani dengan sepenuh hati.
Seorang pemilik merangkap pecinta sepak bola sejati barangkali sudah jadi barang langka di dunia sepak bola yang semakin kapitalis ini. Boleh kita hitung dengan jari tinggal berapa pemilik yang benar-benar "menjiwai" kepemilikannya terhadap suatu tim sepak bola.
Lihat deretan nama pemilik klub Premier League saat ini: Arsenal dimiliki bersama oleh jutawan Uzbekistan dan Amerika Serikat, Cardiff City tunduk pada perintah pengusaha Malaysia, Fulham digasak warga Pakistan, Hull City dibungkus pengusaha Mesir, Manchester City dikuasai para sheikh Uni Emirat Arab, Southampton dipimpin warga Swiss, dan Chelsea direbut taipan Rusia. Dua puluh atau tiga puluh tahun yang lalu, siapa yang akan menyangka Premier League akan berubah sedemikian rupa?
Globalisasi bukanlah sesuatu yang dapat dihindari, terutama jika kita bicara soal sepakbola yang populer bahkan sampai ke ujung dunia sekalipun. Masuknya modal-modal asing ke tubuh klub sepakbola kebanyakan memang berdampak positif terhadap kondisi finansial klub tersebut. Namun ada sesuatu yang hilang: kecintaan, kesejatian, dan kebanggaan.
Kita tak akan heran jika Bill Kenwright, ketua Everton ikut bersorak bahagia bersama Evertonian biasa saat Steven Pienaar mencetak gol, karena ia memang putra asli Merseyside dan tumbuh besar bersama klub itu. Namun, apa kita pernah melihat Vincent Tan, sang pemilik Cardiff City yang sedikit membingungkan itu, sudi bersorak bersama suporter biasa lain di Cardiff City Stadium? Saya kira, tidak.
Para pemilik asing hanya ada di sana karena mengharapkan profit. Mereka tak memahami kulturnya, dan mereka tak mementingkan apapun selain fulus. Mereka tak punya kecintaan sejati kepada klub di hati mereka. Memerhatikan suporter? Bersorak bersama ultras? Mohon maaf, mereka hanya ingin mengeruk uang Anda.
Menunjuk seorang asing sebagai ketua klub bagaikan sebuah perjudian besar. Apa yang dapat diharapkan dari seorang pengusaha Mesir yang mengganti seenaknya nama klub Anda? Tanyakan kepada suporter Hull City, atau jika menurut nama baru dari Assem Allam sang pemilik, Hull Tigers. Dan tanyakan pula kepada para fans Fulham, apa yang mereka rasakan ketika pemiliknya, Shahid Khan, menegakkan patung Michael Jackson di depan Craven Cottage? Terhina, atau malah berbangga?
Pemilik asing terkadang juga menimbulkan kegilaan. Ahsan Ali Syed, pemilik Racing Santander, punya kisah gila saat duduk di bangku kehormatan tim asal Cantabria itu. Miguel Angel Revilla, pemegang saham minoritas bercerita bahwa "ia tak pernah sekalipun ke pertandingan sepakbola sebelumnya, dan saya duduk di sebelahnya di kotak direktur tanpa pernah berhenti tertawa. Seorang bek mengumpan bola ke belakang menuju penjaga gawang dan ia bertepuk tangan seperti seorang maniak. Ia tak tahu apapun soal sepakbola."
Italia dan Jerman punya tradisi panjang tentang kepemilikan oleh suporter sendiri - paling tidak oleh para pengusaha merangkap suporter sejati. Juventus dimiliki oleh keluarga Agnelli, salah satu industralis Italia termasyhur dan berhasrat tinggi dengan sepak bola. Kegilaan Aurelio de Laurentiis di Napoli tak lebih dari sebuah kesenangan personalnya atas sepakbola. Bundesliga punya aturan yang memastikan tiap klub harus dimiliki tak lain oleh orang-orang Jerman sendiri. Real Madrid dan Barcelona juga menutup pintu rapat-rapat dari investor asing dan menyerahkan sepenuhnya klub kepada para anggota mereka.
Sikap suporter terhadap pemilik asing sendiri kerap terbelah. Di satu sisi, ada yang bergembira menunggu duit kontan dan kucuran dana segar, bahkan kerap menjuluki sang pemilik baru sebagai juru selamat. Tapi sebagian lagi yang menjunjung tinggi tradisi, sejarah dan kebanggaan masa lalu, mencaci sang pemilik tak lebih sebagai tiran baru yang akan memutus kenangan-kenangan lampau dengan kucuran dana surgawi.
Alasan terakhirlah yang mendasari kemunculan banyaknya Supporters Trust di Inggris, atau bahkan membentuk klub sendiri, desertir dari klub asal untuk menjaga kebanggaan dan tradisi. Di Inggris, Swansea City adalah salah satu klub yang dua puluh persen sahamnya dimiliki oleh suporternya sendiri, tergabung dalam Swansea City Supporters Trust. Di liga rendah, tersebutlah nama AFC Wimbledon, Accrington Stanley, Bury, Exeter City dan Portsmouth yang mayoritas atau minoritas sahamnya dipegang oleh suporter mereka sendiri.
Mereka tak hendak menyerahkan klub mereka ke tangan investor asing. Mengutip Goenawan Mohamad, ada “kebanggaan memiliki”. Ada rasa marah karena hak direbut. Suporter bersuara lewat cara mereka sendiri, dan para tiran pemilik klub juga beroperasi dengan milik mereka sendiri.
Sepakbola modern adalah bisnis. Jika klub-klub masih dipegang oleh pemilik asing yang buta terhadap tradisi, nilai moral dan kebanggaan suporter, saya tak akan heran jika kelak ada klub yang mengubah logonya tiap enam bulan.
18 February 2015
Outlandish: multikulturalisme dalam nada
Bicara soal multikulturalisme Eropa dalam konteks ilmu, ah, terlalu umum. Tapi, bagaimana jika multikulturalisme Eropa ditawarkan dalam bentuk hip-hop?
Outlandish menawarkan itu. Didirikan pada tahun 1997 di Brondby, Denmark, grup ini digawangi oleh Lenny Martinez, Isam Bachiri dan Waqas Ali Qadri. Ketiganya dibesarkan oleh kultur Denmark yang liberal dan tumbuh menjadi orang-orang religius, tetapi punya agama sendiri-sendiri. Lenny adalah seorang Katolik kelahiran Honduras dan keturunan Kuba, Waqas seorang Muslim keturunan Pakistan, sementara Isam merupakan Muslim kelahiran Denmark tapi berdarah Maroko.
Meskipun digawangi orang-orang religius, namun musik Outlandish sama sekali tak menyelipkan puja-puji pada Tuhan, seperti yang kita jumpai pada lagu-lagu Maher Zain atau Sami Yusuf yang mendayu-dayu. Outlandish justru menonjolkan pesan-pesan mereka lewat lirik-lirik hip-hop yang keras, kasar, penuh umpatan, namun jujur dan terbuka.
Lagu-lagu Outlandish ditulis dalam bahasa Inggris, tetapi sering juga diselingi lirik-lirik berbahasa Spanyol dari Lenny, yang menambah warna dan cita rasa musik mereka. Selingan-selingan beraroma Latin semakin menonjolkan ciri lintas budaya yang dibawa oleh grup ini. Terkadang, kata-kata Arab juga diselipkan – untuk mengingat bahwa ada dua orang keturunan Timur Tengah di grup tersebut.
Outlandish dengan jujur dan terbuka sering memulai lagu mereka dengan provokatif dan memancing pendengarnya untuk mencermati larik demi larik perkataan mereka. Meskipun lirik-liriknya tak bebas dari kata-kata kotor khas anak jalanan Eropa (dan tampaknya memang tak ada lagu hip-hop modern yang terbebas dari itu), namun jika dicermati, Outlandish membawa pesan yang jelas.
Setiap lagunya punya pesan yang berbeda-beda. Mereka membuat lagu untuk bercerita tentang diri mereka sendiri, tentang dunia yang mereka hadapi tiap hari. Mereka tak melulu membuat lagu-lagu cinta cengeng, tetapi berusaha berkisah soal persoalan-persoalan sosial.
Mano a Mano, misalnya, bercerita soal penolakan mereka terhadap kapitalisme. Walou berkisah soal seorang anak imigran yang ditinggalkan orang tuanya, atau Guantanamo yang menarasikan seorang tahanan teroris di penjara milik Amerika yang telah kadung terkenal itu.
Outlandish tidak membahas soal hal-hal rumit seperti cinta, tapi lebih tertarik membahas soal kemiskinan, kelaparan dan ketidakadilan. Dan di situlah keistimewaan mereaka.
Album pertama mereka, Outland’s Official yang diluncurkan pada tahun 2000, menampilkan dengan baik sisi multikultur ini. Lagu-lagu yang ditampilkan mengandung pesan yang mencerminkan generasi baru Eropa: tumbuh besar di lingkungan liberal, berkembang dengan gaya mereka, tetapi tetap menjunjung tinggi agama. Antara lagu-lagu yang terkenal dari album adalah Walou, Renovadores dan The Bond Between Us, yang kemudian menjadi modal mereka untuk menanjak di kancah musik hip-hop Benua Biru.
Dalam album kedua, Bread & Barrels of Water (2002), Outlandish malah lebih berani lagi.
Mereka menggubah El Moro, yang liriknya bicara soal karakter mereka. Moro, atau Moors, adalah sebutan orang Eropa abad pertengahan untuk kaum Muslim Berber dari Afrika Utara, yang dahulu menguasai Andalusia selama berabad-abad, tapi kemudian terkalahkan dan jadi bangsa tersiksa di bawah para inkuisitor Spanyol. Sampai sekarang, kata tersebut masih kerap digunakan oleh orang-orang Eropa untuk merujuk kaum Muslim dari Afrika Utara. Namun, Outlandish menolak menyematkan sebutan itu kepada Isam seorang (yang memang keturunan Maroko).
Kira-kira begini pesannya: kami semua adalah Moro, kami semua adalah orang yang tersiksa, kaum yang marjinal. Orang-orang Latin seperti Lenny mendapat diskriminasi rasial di Amerika Serikat, sementara para imigran dari anak benua seperti Waqas dipandang rendah di Inggris. Mereka semua adalah Moro, mereka semua keturunan orang tertindas, dan tak ada kata lain yang pas untuk merepresentasikannya. Outlandish dengan pas merepresentasikannya.
Dalam Guantanamo, yang juga ada dalam album kedua, Outlandish berhasil mencuri momen. Dunia yang tengah terkejut oleh serangan 11 September 2001, berusaha mengambil perhatian serius dengan terorisme: dan tentu saja mengetahui soal penjara Guantanamo yang dipakai untuk menahan para narapidana teroris itu. Outlandish dengan baik sekali menarasikan tentang gambaran tanah Kuba yang indah, tetapi kadung tercoreng sebagai tempatnya para teroris.
Dalam album ketiga, Closer Than Veins (2005), trio ini tampaknya berupaya tampil lebih membumi dan religius. Nama albumnya sendiri, yang lebih kurang berarti “lebih dekat daripada urat”, mengingatkan kita akan ayat ke-16 surah al-Qaaf, “dan sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.”
Upaya untuk tampil religius ini tercermin dalam lagu I Only Ask of God, yang tampaknya bercerita tentang seorang hamba yang memerlukan bimbingan Tuhannya. Namun, lagu ini tak menyelipkan puja-puji atau kalimat takbir, tauhid dan tahmid, melainkan sebuah permohonan yang sangat pribadi. I only ask of God, kata mereka. He won’t let me indifferent to the wars.
Outlandish menolak mengikuti arus zaman, dan memilih berdoa dengan gaya mereka sendiri. Mereka memberikan perspektif baru dalam hip-hop. Bahwa musik dapat menjadi sarana untuk menonjolkan multikulturalisme dan menampilkan pesan-pesan perdamaian. Grup ini menunjukkan bahwa musik bersifat universal: lintas budaya, lintas agama dan lintas batas.
Singkat kata pendek cerita, Outlandish adalah multikulturalisme dalam nada.
Outlandish menawarkan itu. Didirikan pada tahun 1997 di Brondby, Denmark, grup ini digawangi oleh Lenny Martinez, Isam Bachiri dan Waqas Ali Qadri. Ketiganya dibesarkan oleh kultur Denmark yang liberal dan tumbuh menjadi orang-orang religius, tetapi punya agama sendiri-sendiri. Lenny adalah seorang Katolik kelahiran Honduras dan keturunan Kuba, Waqas seorang Muslim keturunan Pakistan, sementara Isam merupakan Muslim kelahiran Denmark tapi berdarah Maroko.
Meskipun digawangi orang-orang religius, namun musik Outlandish sama sekali tak menyelipkan puja-puji pada Tuhan, seperti yang kita jumpai pada lagu-lagu Maher Zain atau Sami Yusuf yang mendayu-dayu. Outlandish justru menonjolkan pesan-pesan mereka lewat lirik-lirik hip-hop yang keras, kasar, penuh umpatan, namun jujur dan terbuka.
Lagu-lagu Outlandish ditulis dalam bahasa Inggris, tetapi sering juga diselingi lirik-lirik berbahasa Spanyol dari Lenny, yang menambah warna dan cita rasa musik mereka. Selingan-selingan beraroma Latin semakin menonjolkan ciri lintas budaya yang dibawa oleh grup ini. Terkadang, kata-kata Arab juga diselipkan – untuk mengingat bahwa ada dua orang keturunan Timur Tengah di grup tersebut.
Outlandish dengan jujur dan terbuka sering memulai lagu mereka dengan provokatif dan memancing pendengarnya untuk mencermati larik demi larik perkataan mereka. Meskipun lirik-liriknya tak bebas dari kata-kata kotor khas anak jalanan Eropa (dan tampaknya memang tak ada lagu hip-hop modern yang terbebas dari itu), namun jika dicermati, Outlandish membawa pesan yang jelas.
Setiap lagunya punya pesan yang berbeda-beda. Mereka membuat lagu untuk bercerita tentang diri mereka sendiri, tentang dunia yang mereka hadapi tiap hari. Mereka tak melulu membuat lagu-lagu cinta cengeng, tetapi berusaha berkisah soal persoalan-persoalan sosial.
Mano a Mano, misalnya, bercerita soal penolakan mereka terhadap kapitalisme. Walou berkisah soal seorang anak imigran yang ditinggalkan orang tuanya, atau Guantanamo yang menarasikan seorang tahanan teroris di penjara milik Amerika yang telah kadung terkenal itu.
Outlandish tidak membahas soal hal-hal rumit seperti cinta, tapi lebih tertarik membahas soal kemiskinan, kelaparan dan ketidakadilan. Dan di situlah keistimewaan mereaka.
Album pertama mereka, Outland’s Official yang diluncurkan pada tahun 2000, menampilkan dengan baik sisi multikultur ini. Lagu-lagu yang ditampilkan mengandung pesan yang mencerminkan generasi baru Eropa: tumbuh besar di lingkungan liberal, berkembang dengan gaya mereka, tetapi tetap menjunjung tinggi agama. Antara lagu-lagu yang terkenal dari album adalah Walou, Renovadores dan The Bond Between Us, yang kemudian menjadi modal mereka untuk menanjak di kancah musik hip-hop Benua Biru.
Dalam album kedua, Bread & Barrels of Water (2002), Outlandish malah lebih berani lagi.
Mereka menggubah El Moro, yang liriknya bicara soal karakter mereka. Moro, atau Moors, adalah sebutan orang Eropa abad pertengahan untuk kaum Muslim Berber dari Afrika Utara, yang dahulu menguasai Andalusia selama berabad-abad, tapi kemudian terkalahkan dan jadi bangsa tersiksa di bawah para inkuisitor Spanyol. Sampai sekarang, kata tersebut masih kerap digunakan oleh orang-orang Eropa untuk merujuk kaum Muslim dari Afrika Utara. Namun, Outlandish menolak menyematkan sebutan itu kepada Isam seorang (yang memang keturunan Maroko).
Kira-kira begini pesannya: kami semua adalah Moro, kami semua adalah orang yang tersiksa, kaum yang marjinal. Orang-orang Latin seperti Lenny mendapat diskriminasi rasial di Amerika Serikat, sementara para imigran dari anak benua seperti Waqas dipandang rendah di Inggris. Mereka semua adalah Moro, mereka semua keturunan orang tertindas, dan tak ada kata lain yang pas untuk merepresentasikannya. Outlandish dengan pas merepresentasikannya.
Dalam Guantanamo, yang juga ada dalam album kedua, Outlandish berhasil mencuri momen. Dunia yang tengah terkejut oleh serangan 11 September 2001, berusaha mengambil perhatian serius dengan terorisme: dan tentu saja mengetahui soal penjara Guantanamo yang dipakai untuk menahan para narapidana teroris itu. Outlandish dengan baik sekali menarasikan tentang gambaran tanah Kuba yang indah, tetapi kadung tercoreng sebagai tempatnya para teroris.
Dalam album ketiga, Closer Than Veins (2005), trio ini tampaknya berupaya tampil lebih membumi dan religius. Nama albumnya sendiri, yang lebih kurang berarti “lebih dekat daripada urat”, mengingatkan kita akan ayat ke-16 surah al-Qaaf, “dan sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.”
Upaya untuk tampil religius ini tercermin dalam lagu I Only Ask of God, yang tampaknya bercerita tentang seorang hamba yang memerlukan bimbingan Tuhannya. Namun, lagu ini tak menyelipkan puja-puji atau kalimat takbir, tauhid dan tahmid, melainkan sebuah permohonan yang sangat pribadi. I only ask of God, kata mereka. He won’t let me indifferent to the wars.
Outlandish menolak mengikuti arus zaman, dan memilih berdoa dengan gaya mereka sendiri. Mereka memberikan perspektif baru dalam hip-hop. Bahwa musik dapat menjadi sarana untuk menonjolkan multikulturalisme dan menampilkan pesan-pesan perdamaian. Grup ini menunjukkan bahwa musik bersifat universal: lintas budaya, lintas agama dan lintas batas.
Singkat kata pendek cerita, Outlandish adalah multikulturalisme dalam nada.
Subscribe to:
Posts (Atom)