Juventus adalah timnya para pria berbudi pekerti, pionir industri, Yesuit, konservatif dan para borjuis kaya, sementara Torino adalah timnya para pekerja, buruh migran dari provinsi tetangga, warga kelas bawah dan kaum miskin. -- Mario SoldatiAlessandro Antonelli barangkali tak pernah menyaksikan laga Juventus kontra Torino, karena sang arsitek sudah keburu wafat pada 18 Oktober 1888, jauh sebelum kedua klub itu berdiri. Dan mungkin, ia tak akan pernah mengira bahwa bangunan yang dirancangnya di pusat kota Turin, Mole Antonelliana, akan menjadi nama pertandingan yang mempertemukan dua klub yang saling bertetangga: Juventus dan Torino.
Ya, nama Derby della Mole diambil dari Mole Antonelliana, sebuah bangunan setinggi 167 meter di pusat kota Turin, Italia. Gedung ini dibangun mulai tahun 1863 setelah unifikasi Italia, dan selesai pada tahun 1889. Dinamakan begitu untuk menghormati Antonelli sang arsitek, bangunan ini awalnya merupakan sebuah sinagog (tempat ibadah untuk penganut Yahudi) dan kini menjadi Museo Nazionale del Cinema, sekaligus diklaim sebagai museum tertinggi di dunia.
Juventus, si nyonya tua kekasih Italia, hadir ke muka bumi pada akhir tahun 1897 dengan nama Sport Club Juventus oleh sekelompok murid dari Massimo D’Azeglio Lyceum, sebuah sekolah kelas atas pada masa itu di Turin. Dua tahun kemudian, mereka mengganti nama menjadi Foot-Ball Club Juventus, dan bergabung dengan Kejuaraan Sepak Bola Italia pada tahun 1900. Tak perlu waktu lama untuk mengangkat trofi: pada 1905, Juventus mengarak trofi juara liga di lapangan Velodromo Umberto I.
Namun, kehadiran Torino tak semulus pendahulunya. Torino lahir dari pemberontakan. Pada tahun 1906, ketika beberapa staf Juventus mempertimbangkan opsi pemindahan Juve ke luar kota Turin, presiden Alfredo Dick nyata-nyata menyatakan ketidaksenangannya. Bersama beberapa pemain inti, pria Swiss ini angkat kaki dari tim yang masih dalam kondisi euforia pasca-juara, dan membentuk Foot-Ball Club Torino pada 3 Desember 1906 di sebuah tempat pembuatan bir.
Alfredo mengajak beberapa pemain dari Football Club Torinese, salah satu klub sepak bola paling tua di Italia, untuk bergabung. Maka terbentuklah Torino seperti yang kita kenal sekarang ini: sebuah klub yang lahir dari pemberontakan, khas kelas pekerja. Kelak, pemecahan model inilah yang mengilhami pembentukan FC United of Manchester nun di Inggris Raya sana, menolak modernisasi yang dibawa Malcolm Glazer ke Manchester United dan mempertahankan konservatisme lewat pemberontakan.
Torino adalah klub Eropa yang tergolong tradisional. Mereka mempunyai basis suporter yang kuat di dalam kota Turin sendiri, kebanyakan dari kelas pekerja yang tak segan-segan menghamburkan duit mereka untuk membeli satu tiket pertandingan Granata ke Stadio Olimpico di Roma sana hanya untuk bersorak menyemangati klub berlogo banteng itu.
Sementara Juventus, dengan citra elegan dan industrialis mereka, justru lebih banyak didukung di bagian lain Italia: fakta membuktikan bahwa laga-laga tandang Juve di kota-kota selatan dan Sisilia lebih banyak diminati ketimbang di Turin itu sendiri. Perbandingan antara Torino dan Juventus adalah ekuivalen versi Italia dari perbandingan Manchester United dan Manchester City: dimana United lebih banyak mengumpulkan dukungan dari luar Manchester, sementara City didukung para Mancunian asli dari dalam kota Manchester.
Derby della Mole, barangkali, bukan derby yang dikenal dengan keganasannya. Intensitas kericuhan derby tak terlalu sering meskipun tak mengurangi taraf ‘panas’nya. Derby ini tak sekasar Derby della Capitale atau Derby della Madonnina yang lazim kita dengar berita-berita psywar di lapangan hijau atau baku bacok di tribun suporter.
Derby della Mole tak pernah jadi derby penentu scudetto atau pertandingan penentuan untuk saling jegal. Ia bersifat lembut saja. Namun, sekali lagi, ini Italia, Bung. Setiap derby disambut dengan tempik sorak yang riuh, bahkan terkadang melewati garis nalar dan kesopanan.
Tentu kita ingat Il Grande Torino. Skuad terhebat sepanjang masa yang pernah dimiliki Torino, Busby Babes versi Italia utara, digawangi delapan pemain Italia paling orisinil di masanya: pemain muda bertalenta Franco Ossola; sayap kiri Pietro Ferraris; sayap cepat Romeo Menti, trio Alfredo Bodoira, Felice Borel dan Guglielmo Gabetteo dari sang “musuh” Juventus; serta duet rekrutan dari Venezia, Ezio Loik dan Valentino Mazzola, yang kelak mengemban ban kapten di bahunya.
Il Grande Torino, tim setengah dewa yang memborong lima gelar juara nasional antara tahun 1942 hingga 1949, dan menjadi tulang punggung tim nasional Italia jauh sebelum konsep “Juvetalia” dikenal orang. Takdir tak dapat ditolak: semua punggawa tim ini tewas dalam kecelakaan Superga pada 4 Mei 1949.
Celakanya, kecelakaan ini digunakan suporter Juventus selama bertahun-tahun untuk merendahkan Torino. Bertahun-tahun setelah kecelakaan mau itu lampau, adalah hal biasa untuk melihat beberapa suporter Juventus merentangkan tangan mereka, membuat gestur meniru sayap pesawat terbang seperti selebrasi gol ala Vincenzo Montella ketika announcer stadion mengumumkan nama-nama pemain Torino. Dan ketika sang announcer telah selesai menyebutkan nama-nama pemain Torino, suporter Juve akan serentak menghentikan gestur pesawat terbang dan bersorak ramai-ramai: “Boom! Superga!”
Hal ini terjadi selama bertahun-tahun, sehingga membuat tifosi garis keras Torino membalas tak kalah ganasnya: memparodikan tragedi Heysel. Mereka menyoraki pemain Juventus dengan sorakan penuh dendam “Grazie Liverpool!” atau “give us another Heysel” jika sang pemain menggiring bola dekat tribun tempat mereka duduk. Saling menertawakan kecelakaan ini tak pernah bisa dihentikan.
Derby della Mole telah menunjukkan bahwa efek derby ini tak hanya bergaung di langit-langit Olimpico di Torino atau Juventus Stadium, tapi juga menimbulkan kemarahan-kemarahan yang dipendam, dendam-dendam yang disimpan di hati suporter kedua klub. Luka masa lampau disimpan dalam-dalam, sebagai pengingat untuk diturunkan ke anak cucu.
Garis batasnya sangat tegas: ini Juventus, itu Torino. Syal putih hitam Juve berbalas kibaran bendera banteng Torino. Kami punya Juventus Stadium, silakan pakai Olimpico di Torino. Satu provokasi dilawan dengan satu ledekan lainnya. Garis batas semakin mengencang.
Mole Antonelliana tetap berdiri tegak di situ, tanpa pernah tahu bahwa ia adalah simbol sebuah rivalitas yang membelah Turin antara hitam-putih dan marun.