21 February 2014

Mole Antonelliana dan kisah-kisah lain dari Turin

Juventus adalah timnya para pria berbudi pekerti, pionir industri, Yesuit, konservatif dan para borjuis kaya, sementara Torino adalah timnya para pekerja, buruh migran dari provinsi tetangga, warga kelas bawah dan kaum miskin. -- Mario Soldati
Alessandro Antonelli barangkali tak pernah menyaksikan laga Juventus kontra Torino, karena sang arsitek sudah keburu wafat pada 18 Oktober 1888, jauh sebelum kedua klub itu berdiri. Dan mungkin, ia tak akan pernah mengira bahwa bangunan yang dirancangnya di pusat kota Turin, Mole Antonelliana, akan menjadi nama pertandingan yang mempertemukan dua klub yang saling bertetangga: Juventus dan Torino.

Ya, nama Derby della Mole diambil dari Mole Antonelliana, sebuah bangunan setinggi 167 meter di pusat kota Turin, Italia. Gedung ini dibangun mulai tahun 1863 setelah unifikasi Italia, dan selesai pada tahun 1889. Dinamakan begitu untuk menghormati Antonelli sang arsitek, bangunan ini awalnya merupakan sebuah sinagog (tempat ibadah untuk penganut Yahudi) dan kini menjadi Museo Nazionale del Cinema, sekaligus diklaim sebagai museum tertinggi di dunia.

Juventus, si nyonya tua kekasih Italia, hadir ke muka bumi pada akhir tahun 1897 dengan nama Sport Club Juventus oleh sekelompok murid dari Massimo D’Azeglio Lyceum, sebuah sekolah kelas atas pada masa itu di Turin. Dua tahun kemudian, mereka mengganti nama menjadi Foot-Ball Club Juventus, dan bergabung dengan Kejuaraan Sepak Bola Italia pada tahun 1900. Tak perlu waktu lama untuk mengangkat trofi: pada 1905, Juventus mengarak trofi juara liga di lapangan Velodromo Umberto I.

Namun, kehadiran Torino tak semulus pendahulunya. Torino lahir dari pemberontakan. Pada tahun 1906, ketika beberapa staf Juventus mempertimbangkan opsi pemindahan Juve ke luar kota Turin, presiden Alfredo Dick nyata-nyata menyatakan ketidaksenangannya. Bersama beberapa pemain inti, pria Swiss ini angkat kaki dari tim yang masih dalam kondisi euforia pasca-juara, dan membentuk Foot-Ball Club Torino pada 3 Desember 1906 di sebuah tempat pembuatan bir.

Alfredo mengajak beberapa pemain dari Football Club Torinese, salah satu klub sepak bola paling tua di Italia, untuk bergabung. Maka terbentuklah Torino seperti yang kita kenal sekarang ini: sebuah klub yang lahir dari pemberontakan, khas kelas pekerja. Kelak, pemecahan model inilah yang mengilhami pembentukan FC United of Manchester nun di Inggris Raya sana, menolak modernisasi yang dibawa Malcolm Glazer ke Manchester United dan mempertahankan konservatisme lewat pemberontakan.

Torino adalah klub Eropa yang tergolong tradisional. Mereka mempunyai basis suporter yang kuat di dalam kota Turin sendiri, kebanyakan dari kelas pekerja yang tak segan-segan menghamburkan duit mereka untuk membeli satu tiket pertandingan Granata ke Stadio Olimpico di Roma sana hanya untuk bersorak menyemangati klub berlogo banteng itu.

Sementara Juventus, dengan citra elegan dan industrialis mereka, justru lebih banyak didukung di bagian lain Italia: fakta membuktikan bahwa laga-laga tandang Juve di kota-kota selatan dan Sisilia lebih banyak diminati ketimbang di Turin itu sendiri. Perbandingan antara Torino dan Juventus adalah ekuivalen versi Italia dari perbandingan Manchester United dan Manchester City: dimana United lebih banyak mengumpulkan dukungan dari luar Manchester, sementara City didukung para Mancunian asli dari dalam kota Manchester.

Derby della Mole, barangkali, bukan derby yang dikenal dengan keganasannya. Intensitas kericuhan derby tak terlalu sering meskipun tak mengurangi taraf ‘panas’nya. Derby ini tak sekasar Derby della Capitale atau Derby della Madonnina yang lazim kita dengar berita-berita psywar di lapangan hijau atau baku bacok di tribun suporter.

Derby della Mole tak pernah jadi derby penentu scudetto atau pertandingan penentuan untuk saling jegal. Ia bersifat lembut saja. Namun, sekali lagi, ini Italia, Bung. Setiap derby disambut dengan tempik sorak yang riuh, bahkan terkadang melewati garis nalar dan kesopanan.

Tentu kita ingat Il Grande Torino. Skuad terhebat sepanjang masa yang pernah dimiliki Torino, Busby Babes versi Italia utara, digawangi delapan pemain Italia paling orisinil di masanya: pemain muda bertalenta Franco Ossola; sayap kiri Pietro Ferraris; sayap cepat Romeo Menti, trio Alfredo Bodoira, Felice Borel dan Guglielmo Gabetteo dari sang “musuh” Juventus; serta duet rekrutan dari Venezia, Ezio Loik dan Valentino Mazzola, yang kelak mengemban ban kapten di bahunya.

Il Grande Torino, tim setengah dewa yang memborong lima gelar juara nasional antara tahun 1942 hingga 1949, dan menjadi tulang punggung tim nasional Italia jauh sebelum konsep “Juvetalia” dikenal orang. Takdir tak dapat ditolak: semua punggawa tim ini tewas dalam kecelakaan Superga pada 4 Mei 1949.

Celakanya, kecelakaan ini digunakan suporter Juventus selama bertahun-tahun untuk merendahkan Torino. Bertahun-tahun setelah kecelakaan mau itu lampau, adalah hal biasa untuk melihat beberapa suporter Juventus merentangkan tangan mereka, membuat gestur meniru sayap pesawat terbang seperti selebrasi gol ala Vincenzo Montella ketika announcer stadion mengumumkan nama-nama pemain Torino. Dan ketika sang announcer telah selesai menyebutkan nama-nama pemain Torino, suporter Juve akan serentak menghentikan gestur pesawat terbang dan bersorak ramai-ramai: “Boom! Superga!”

Hal ini terjadi selama bertahun-tahun, sehingga membuat tifosi garis keras Torino membalas tak kalah ganasnya: memparodikan tragedi Heysel. Mereka menyoraki pemain Juventus dengan sorakan penuh dendam “Grazie Liverpool!” atau “give us another Heysel” jika sang pemain menggiring bola dekat tribun tempat mereka duduk. Saling menertawakan kecelakaan ini tak pernah bisa dihentikan.

Derby della Mole telah menunjukkan bahwa efek derby ini tak hanya bergaung di langit-langit Olimpico di Torino atau Juventus Stadium, tapi juga menimbulkan kemarahan-kemarahan yang dipendam, dendam-dendam yang disimpan di hati suporter kedua klub. Luka masa lampau disimpan dalam-dalam, sebagai pengingat untuk diturunkan ke anak cucu.

Garis batasnya sangat tegas: ini Juventus, itu Torino. Syal putih hitam Juve berbalas kibaran bendera banteng Torino. Kami punya Juventus Stadium, silakan pakai Olimpico di Torino. Satu provokasi dilawan dengan satu ledekan lainnya. Garis batas semakin mengencang.

Mole Antonelliana tetap berdiri tegak di situ, tanpa pernah tahu bahwa ia adalah simbol sebuah rivalitas yang membelah Turin antara hitam-putih dan marun.

13 February 2014

Semen Padang, PSPS Pekanbaru, dan garis batas yang tersamarkan

Peluit wasit tanda pertandingan berakhir menggema di sudut-sudut Stadion Kaharuddin Nasution, Pekanbaru, pada Sabtu sore, 25 Januari silam. Tuan rumah PSPS Pekanbaru berhasil menahan imbang sang tamu, Semen Padang dengan skor sama kuat 1-1. Awan gelap berarak, mengiringi azan Maghrib yang datang susul-menyusul di sekitar kompleks stadion.

Hawa pertandingan ini bersahabat. Semen Padang, sang juara IPL 2012, datang dari Padang, hampir empat ratus kilometer dari Pekanbaru untuk menjamu sang saudara tua, PSPS yang baru saja terdegradasi dari Liga Super Indonesia musim lalu.

Ini adalah derby Melayu, ucap seorang penonton. Bukan, ini El Clasico ala Sumatera, tampik kawan di sebelahnya.

Tak kurang dari 10,000 orang memadati stadion di bagian utara Pekanbaru itu, dengan berbagai warna dan atribut. Asykar Theking dan Curva Nord – dua kelompok suporter terbesar PSPS Pekanbaru, tanpa henti bersorak dan menggoyang tribun terbuka Kaharuddin Nasution, menyanyikan lagu-lagu untuk menyemangati klub Askar Bertuah. Semen Padang, sang tamu, disambut hangat bak saudara tua yang baru habis berlayar dari negeri yang jauh, tak seperti lazimnya derby-derby lainnya di Indonesia yang kerap dihiasi dengan lontaran batu, amukan pada bus lawan bahkan tawuran antar suporter. Pertandingan ini adalah Liverpool vs Everton ala Sumatera: riuh, panas, tapi tetap bersahabat.

Pekanbaru adalah sebuah kota yang multikultural. Di kota yang dialiri Sungai Siak ini, ada 900,000 orang yang menghuninya. Suku Minangkabau, yang dikenal dengan etos merantaunya, menjadi suku yang dominan di kota ini, dengan membentuk 37,7% persen dari populasi menurut data Bappeda tahun 2008. Kemudian disusul orang Melayu sebesar 26,1% yang mendominasi struktur birokrasi pemerintahan kota, orang Jawa, Batak dan Tionghoa. Orang Minang dari Sumatera Barat – daerah asal Semen Padang – mudah ditemui di kota ini. Umumnya mereka berprofesi sebagai pedagang, meski tak sedikit pula yang terjun di bidang profesional.

Bahasa Minangkabau bukan sesuatu yang tak lazim dipertuturkan di kota ini. Banyaknya jumlah perantau Minang telah menjadikannya sebagai salah satu bahasa pergaulan yang digunakan oleh penduduk kota selain bahasa Melayu dan Indonesia. Ia telah menjadi bahasa yang tak asing, perbendaharaan katanya kerap membaur dengan bahasa Melayu asli. Ungkapan-ungkapan khas anak muda Pekanbaru pun banyak dipengaruhi oleh  kata-kata dalam bahasa Minang. Ia telah membaur laksana masakan Padang yang lazim ditemui di jalanan Pekanbaru.

Secara historis, pembauran ini tak mengherankan, karena Riau dan Sumatera Barat sama-sama pernah menjadi bagian provinsi Sumatera Tengah pada tahun 1950an, dengan pusat pemerintahan di Bukittinggi yang kini menjadi bagian dari Sumatera Barat. Kabupaten Kampar di barat dan Kuantan Singingi di timur Pekanbaru mayoritas penduduknya menganut adat resam yang sama dengan adat di Sumatera Barat, dan berbicara bahasa yang hampir sama dengan penduduk di perbatasan Sumbar. Beberapa tokoh Riau berasal dari daerah-daerah ini, seperti Makmur Hendrik, pengarang cerita silat Panglima Sakai yang populer di Sumatera Barat pada tahun 1990-an.

Dalam hal sepak bola, pembauran dapat dilihat dengan jelas dan kentara. Beberapa kawan asal Sumatera Barat yang saya kenal merupakan anggota Asykar Theking, salah satu kelompok suporter PSPS yang terbesar. Semen Padang sendiri punya dua kelompok suporter yang terbesar – Spartacks dan The K’mers. Yang disebut terakhir merupakan kelompok yang telah hadir sejak tahun 1999 dan merupakan kelompok yang resmi diakui oleh pihak klub. Sementara Spartacks baru hadir tahun 2010, tetapi cukup punya nama di kalangan suporter sepak bola Indonesia, antara lain karena jaringannya di luar Sumatera Barat yang luas dan aktif.

Ketika laga berlangsung, Spartacks turut bersorak di tribun barat stadion bersama Curva Nord – kelompok pendukung PSPS yang mengadopsi gaya ultras di Italia. Baik antara Curva Nord vs Asykar Theking dan Spartacks vs The K’mers punya sejarah rivalitas dan bentrokan yang cukup kentara, dan tak jarang terjadi keributan antar sesama mereka.

Sejarah pertemuan antara Semen Padang dan PSPS sendiri berlangsung tak terlalu kerap. Kabau Sirah berasal dari Galatama, kompetisi yang merupakan ajangnya klub milik perusahaan berduit, sementara PSPS merupakan anggota Perserikatan, kompetisi semiprofesional yang digelar sejak era Belanda. Ketika Liga Indonesia mulai bergulir pada 1994/95 dan Semen Padang berkompetisi di Divisi Utama, PSPS bahkan tak ikut.

Pertemuan pertama kedua tim baru tercatat di musim 1999/2000, yaitu pada 26 Juli 2000 di Pekanbaru, saat pertandingan berlangsung sama kuat tanpa gol. Kedua tim baru bertemu lagi di DU 2002, ketika Semen Padang memuncaki klasemen Wilayah Barat dan PSPS berada di peringkat kelima, terpisah jarak sejauh tujuh poin. Pertemuan kedua klub di Liga Super Indonesia malah lebih telat lagi, yaitu pada musim 2010-11. Kedua klub memang masih bertemu di Piala Indonesia, namun tak sesering rivalitas panas sepak bola lain seperti Persija vs Persib atau Persebaya kontra Arema, lantaran naik-turunnya kedua klub antara kasta pertama dan kedua sepak bola Indonesia.

Terlepas dari semua itu, Semen Padang dan PSPS Pekanbaru tetap ibarat saudara kandung. Faktor banyaknya perantau asal Sumatera Barat di Pekanbaru menjadi semacam jembatan penghubung antara kedua klub. Jaring-jaring pemisah Minang kontra Melayu telah tersamarkan, yang ada kini hanyalah beda afiliasi klub. Banyak warga asal Sumbar dengan syal Semen Padang yang hadir di stadion sore itu duduk sebaris bersama warga Pekanbaru berkostum PSPS. Obrolan bahasa Minang campur Melayu mendominasi udara Rumbai hari itu. Mengutip penulis perjalanan Agustinus Wibowo: “garis batas” telah tersamarkan.

Setelah pertandingan usai, seorang remaja beratribut biru – warna kebanggaan PSPS – menyapa Airlangga Sucipto, ujung tombak Semen Padang. “Ronggo, basuo beko wak di Padang! (Ronggo, sampai bertemu lagi kita di Padang!)”