18 May 2013

Tentang Khan dan anti-kekerasan

Saya baru selesai membaca Nonviolent Soldier of Islam karya Eknath Easwaran. Buku ini berkisah tentang Abdul Ghaffar Khan, pejuang kemerdekaan India dan disebut-sebut sebagai Gandhi dari Perbatasan. Ia berasal dari suku Pashtun.

Orang-orang Pashtun adalah para pejuang yang keras dan sangat menghargai harga diri mereka. Seperti ditulis Easwaran, seorang Pashtun lebih memilih mati ketimbang dilecehkan. Badal, kewajiban untuk membalas dendam, telah ditanamkan secara keras ke jati diri setiap Pashtun.

Kewajiban balas dendam ini bahkan masuk dalam Pushtunwali, hukum yang digunakan kaum Pashtun untuk memerintah diri mereka sendiri. Mahatma Gandhi menuturkan bahwa di tanah kelahirannya, Gujarat, anak-anak bisa berubah pucat pasi jika mendengar kata Pashtun diucapkan. Kaum ini, yang memerintah diri sendiri di atas genangan darah, selalu dianggap sebagai kaum barbar, liar, dan senang membunuh. Setidaknya begitu menurut para penguasa Raj di Delhi dan London.

Ia putra seorang tuan tanah yang kaya di Utmanzai, nun jauh di Provinsi Perbatasan Barat Laut di Pakistan. Rumah masa kecilnya adalah sebuah oase di tengah gurun: tanah kelahirannya adalah Celah Khyber, pintu gerbang India. Ia lahir dari klan Mohammedsaiz, salah satu klan terkaya dalam suku Pashtun di provinsi tersebut.

Seperti halnya Mahatma Gandhi dan orang-orang India, Ghaffar Khan mengubah orang Pashtun, yang semula selalu menyelipkan revolver di sabuk mereka, menjadi suatu kaum yang bersenjatakan keberanian untuk melawan penjajahan tuan-tuan tanah Inggris.

Ghaffar membentuk Khudai Khidmatgar, "para pelayan Tuhan", tentara antikekerasan profesional pertama di dunia. Khidmatgar, laskar berbaju merah, adalah sebuah kekuatan yang dominan di Perbatasan Barat Laut sampai kemerdekaan India dan Pakistan pada 1947.

Ghaffar menghabiskan hampir setengah hidupnya di balik jeruji besi. Ia adalah murid Mahatma Gandhi yang terbaik, dan seperti gurunya, "Mahatmaji"nya, ia menolak pembagian India dan Pakistan. Ia kemudian dipenjarakan rezim militer Pakistan, bebas, masuk, bebas, masuk, bebas, masuk, sampai kewafatannya pada 1988, dalam usia 98 tahun.

Sungguh ironis, Gandhi dibunuh seorang ekstrimis Hindu karena menduganya pro-Muslim, sementara Khan dipenjarakan dan dibungkan rezim Islam dengan cap pro-Hindu. Sungguh ironis untuk Sang Mahatma Hindu dan Sang Fakir Miskin, yang telah memperjuangkan kemerdekaan tanpa menumpahkan darah setetes pun, dibungkam oleh negara yang dimerdekakannya.

Kisah kewafatan Khan adalah epik tersendiri. Zia Ul Haq, diktator militer paling keras sepanjang sejarah Pakistan, bersikeras datang ke upacara pemakamannya, meskipun Zia sendiri yang memenjarakan dan membungkam Khan. Empat puluh ribu orang Pakistan mengantar jenazah Khan ke Jalalabad di Afganistan, melintasi Celah Khyber. Padahal saat itu terjadi perang di tanah Afgan. Para tentara setuju melakukan gencatan senjata.

Khan adalah seorang pendamai, bahkan ketika ia sudah berbentuk jasad mati dan diarak dalam peti. Itulah wajah Islam yang sebenarnya. Nonviolent. Antikekerasan. Satyagraha. Perlawanan pasif.

Pertanyaannya: apakah ormas-ormas dengan embel-embel Islam di Indonesia mau mengikuti jejak Ghaffar Khan? Berhenti menyerang mereka yang sepaham dengan ideologinya dan mempromosikan kedamaian? 

They did not represent the religion itself, they just want to show to the world how their ideologies works. Hanya mereka sendiri yang bisa menjawabnya. Mungkin hari ini, atau nanti. Atau tidak untuk selamanya.

15 May 2013

Haflah takhrij dan Wiji Thukul

Seperti lazimnya sekolah-sekolah lain, Al-Fityah pun menggelar perpisahan untuk murid kelas 9 yang akan tamat pada akhir semester ini. Namun, di sini, tempat bahasa Arab dijunjung "karena merupakan bahasa surga", kami menyebutnya haflah takhrij.

Nah, seperti juga lazimnya para junior kelas 8 dan 7 di sekolah lain, kami diharuskan membuat semacam persembahan terakhir buat para senior. Bukan, saya tidak bermaksud mengenai persembahan kambing gemuk dan apel busuk a la Habil dan Qabil, yang menyebabkan terbunuhnya Habil.

Persembahan ini adalah sebuah persembahan kesenian, show of force, tempat menunjukkan kreativitas tertinggi dan seni nan adiluhung. Di situ kami dinilai lewat kaca mata seni. Dan tambahan lagi, adalah suplemen nilai mata pelajaran Seni Budaya jika persembahan kami dapat memuaskan sang guru seni.

Masalah drama cukup membuat kami senewen. Mengingatkan sejarah antara "ikhwan kelas 8 Al-Razi dan pentas kesenian" tidak terlalu mengesankan, kami berniat membuat sebuah persembahan kesenian yang lain dari yang lain, yang tak lazim, the unique one. Akhirnya, mengingat haflah takhrij ini digelar pada bulan Mei, kami (tepatnya saya) memilih satu tema: reformasi.

Nah, saat sedang merancang naskah, mata saya tertumbuk pada satu puisi dari Wiji Thukul. Wiji, yang telah belasan tahun diciduk tentara dan tak pernah kembali, yang puisi-puisinya menggoyahkan rezim Cendana sampai mangkrak, sampai sekarang masih menjadi penyair favorit saya. Tempo menurunkan edisi khusus mengenai pria cadel itu, dan saya menemukan puisinya yang paling terkenal, berjudul Peringatan. 

jika rakyat pergi
ketika penguasa pidato
kita harus hati-hati
barangkali mereka putus asa
kalau rakyat bersembunyi
dan berbisik-bisik
ketika membicarakan
masalahnya sendiri
penguasa harus waspada
dan belajar mendengar
bila rakyat sudah berani mengeluh
itu artinya sudah gawat
dan bila omongan penguasa
tidak boleh dibantah
kebenaran pasti terancam
apabila usul ditolak 
tanpa ditimbang
suara dibungkam 
kritik dilarang
tanpa alasan
dituduh subversif dan
mengganggu keamanan
maka hanya adu satu kata:
lawan!