07 December 2018

Diaspora

Ia datang sedikit terlambat.

Kami berjanji pukul lima tepat, dan sekarang lima menit sudah lampau. Aku melihatnya muncul tergesa-gesa dari tangga stasiun kereta bawah tanah. Berhati-hati ia melangkah menyeberangi jalanan yang centang-perenang oleh mobil dan manusia. Dari balik kaca kafe, kulambaikan tangan padanya. Dengan gesit ia melambai balik, lalu mendorong pintu kaca. Sosoknya segera saja muncul di hadapanku.

“Ah, Scotsman. Maafin orang Indonesia yang hobi ngaret ini.”

Aku tersenyum. Enam tahun sudah aku mendengar panggilan itu dari sudut telepon atau membacanya dari layar kaca. Hari ini aku mendengarnya secara langsung dari mulutnya; aksen pekat trans-Atlantik itu masih lekat.

“Kamu udah pesan?”

“Udah. Caramel macchiato.”

Kali ini kami sama-sama tergelak. Minuman itu, yang sering diledeknya sebagai “kopi pabrikan Starbucks”, adalah lelucon internal kami. Aku tahu ia tak pernah menyukainya. Mungkin ia memesannya hanya untuk meledekku saja.

“Gimana perjalanan pulang?”

“Lancar. Aku justru kaget pas sampai di sini.”

“Kalian mendarat di terminal baru itu?”

“Iya dong.”

“Om dan Tante?”

“Sehat-sehat. Sedang reuni gila-gilaan dengan sahabat-sahabat lama.”

“Farhan?”

Kuangkat bahu. “Masih sedang berusaha menerima kenyataan.”

Ia hanya tersenyum simpul. Ia betulkan pashmina-nya yang sedikit masai, lalu mengeluarkan telepon genggam dari tasnya.

“Aku gak nyangka kamu akhirnya pulang ke Indonesia.”

“Tau nih. Aku juga gak percaya di awal-awal.”

“Gue pikir kalian bakal tinggal permanen di Edinburgh.”

Ah, “gue” pertama yang keluar dari mulutnya. Jakarta tentu saja sudah mengubah lidahnya.

“Gue juga.”

Ia tergelak. “Lu gak pas pakai gue-gue-an. Stick to your roots, please.”

Oh, I wish I have one.”

Aku tak berbohong kalau kubilang aku tak punya akar. Ia tahu itu, karena ia juga tak punya. Entah kalau ia sudah menganggap Jakarta, kota tempat tinggalnya enam tahun terakhir, cukup untuk dipanggil sebagai "tempat asal".

Aku masih ingat sore menjelang musim panas saat kami kelas 6 SD. Ann Arbor, kota kecil tempat tinggal kami, sedang bersemi.

Itu hari terakhir sekolah untuk tahun itu, seingatku. Kami berjalan pulang dari sekolah. Hanya kami berdua.

"So, are you really going back to Indonesia?" tanyaku.

"Iya," jawabnya pendek.

"Terus kamu tinggal di mana nanti?"

"Jakarta."

Ia tak riang hari itu. Mungkin karena hari terakhir sekolah. Mungkin karena ia ingat bahwa ia takkan kembali ke ruang-ruang hangat Lakewood Elementary.

Aku sama sekali tak tahu, jadi aku hanya bisa meneka-neka. Selain itu, saat itu aku dua belas tahun.

"Semuanya ikut? Your brother?"

"Iya."

"Kenapa gak pulang ke Jogja?"

"Kok ke Jogja?" tembaknya kembali.

"I don't know. Kamu gak bakal tinggal sama Datuk dan Nenek?"

"Mungkin nggak."

"Tapi kalian bakal ke Jogja kan?"

Ia hanya melengos. Aku tak ingat kenapa aku bertanya seperti itu, tapi perjalanan jalan kaki itu hening sampai kami tiba di depan rumahnya. Ia hanya melemparkan senyum di muka apartemen mahasiswa lima lantai tempat keluarganya tinggal.

Tanpa "see you later" seperti biasanya; atau janji untuk bertemu di ayunan Happy Hollow sebentar sore.

See you later itu juga tak ada seminggu kemudian, ketika aku melihatnya tersipu-sipu malu sambil merona di ruang tunggu bandara O'Hare, menggendong tas sekolah yang ia gendong saat perjalanan pulang sekolah terakhir bersamaku.

Itu kali terakhir aku melihatnya, sampai siang jelang sore, di kafe ini.

"Jadi, Scotsman, how's Indonesia for you?"

Aku kembali menatapnya setengah tercenung. Gadis dua belas tahun yang murung dari Ann Arbor itu kini sudah jadi seorang perempuan dewasa sepenuhnya.

"Eh..."

"Espresso lu udah dingin nih. Sejak kapan Brits hobi ngopi?" katanya dengan sedikit terkikik.

"Aku gak Brits-Brits banget lah. Ketularan Ayah aja hobi ngopi."

Aku menuju barista untuk memesan segelas green tea. Ketika kembali, kulihat ia sedang melihat keluar jendela. Panas masih membahang di jalanan luar.

"Ah iya, gimana kuliahmu?"

Ia melirikku sejenak, lalu melengos. "Membosankan."

Kutatap ia dengan wajah menginterogasi. "Membosankan?"

"Kuliahnya sih menantang. Lu tau sendiri dari dulu gue pengen masuk kampus itu. Suasananya aja yang...."

Kalimatnya menggantung di udara.

"......lu kenapa sih harus pakai pulang segala?"

"Keluargaku pulang semua, ngapain aku sendiri di sana?"

Ia melengos lagi, lalu menghela nafas. "Ya kalau pulang, kuliahnya deketan sama gue gitu dong."

Aku tergelak. "Ntar kamu tersaingi. Kemungkinan besar kita sejurusan kalau di sana, lho."

Matanya membulat. "Kemungkinan? Emangnya lu bakal ngambil jurusan selain hukum?"

"Kok yakin banget?"

"Dari kecil gue udah tahu lu senang ngomong. Ya masuk hukum lah, masa peternakan?"

Aku tergelak lagi, lalu mencoba mengalihkan topik. "Kamu gak berubah dari dulu ya."

"Yah, gue gini-gini aja sih," katanya pelan. Wajahnya berubah menyelidik. "Are you still the old you?"

"Aku sebenarnya gak mau pulang," ucapku pelan.

Ia balas dengan senyuman tipis, lalu menengadah menatap langit-langit. "Gue tau...."

"Dan aku gak punya siapa-siapa di sana. Terakhir kali aku tinggal di sana pas bayi."

"Lu gak punya kedekatan emosional sama sekali dengan kota itu," tukasnya cepat.

"Betul."

Ia hanya diam, matanya menatap lurus padaku. "Mengerikan rasanya harus mulai ke kota kelahiran sebagai orang asing," sambungku.

"Tapi itu pilihan lu kan?"

"Iya."

"Do your trust your gut?"

Aku mengangkat bahu, lalu menyeruput habis green tea. "At this point, I don't know what and who I can trust."

Ia menggeleng pelan. Di luar, senja jatuh cepat-cepat.

(bersambung, kalau niat)