07 December 2015

Review: The Great Debaters (2007)

Denzel Washington being all cool here

Tak banyak film Hollywood yang mengangkat tema mengenai debat dan para pendebat. Hal ini barangkali cukup ironis mengingat Amerika Serikat sendiri adalah negara yang menjunjung tinggi budaya kebebasan berbicara dan berekspresi, dimana debat merupakan salah satu bentuknya. Saya beruntung dapat menonton salah satu diantaranya, yaitu The Great Debaters (2007).

Film ini bercerita tentang Profesor Melvin B. Tolson, seorang penyair dan pelatih tim debat di sebuah perguruan tinggi kecil yang didominasi mahasiswa berkulit hitam bernama Willey College di Texas, Amerika Serikat. Tim debatnya terdiri dari empat orang mahasiswa yang mempunyai latar belakang sangat berbeda satu sama lain.

Tersebutlah James L. Farmer, Jr. (diperankan Denzel Whitaker) seorang bocah jenius yang masuk universitas saat berusia 14 tahun dan putra seorang kulit hitam berpendidikan tinggi, James L. Farmer Sr. (Forest Whitaker, bukan ayah Denzel di dunia nyata); Samantha Booke (Jurnee Smollett), satu-satunya gadis di antara mereka; serta Henry Lowe (Nate Parker) dan Hamilton Burgess (Jermaine Williams). Saat itu tahun 1930an, saat rasisme masih kentara di wilayah selatan Amerika Serikat dan pembunuhan terhadap kaum minoritas kulit hitam oleh warga kulit putih dengan metode lynching (penggantungan) yang kejam masih kerap terjadi.

Dalam kelanjutan plot, aktivisme politik Profesor Tolson yang berusaha mengorganisir kaum petani dan buruh setempat untuk angkat senjata melawan tuan-tuan tanah mereka sempat membuat tim debat yang diasuhnya nyaris kalah sebelum bertanding. Burgess pun terpaksa keluar dari tim atas tekanan orang tuanya yang khawatir dengan pandangan politik Profesor Tolson.

Dengan tiga anggota tersisa, Profesor Tolson masih berusaha untuk mencarikan lawan tanding untuk anak-anak asuhnya ini. Pada akhirnya, mereka diundang untuk berdebat di Oklahoma City University dengan tema kesetaraan sosial dan kesejahteraan untuk kaum kulit hitam. Pada pertandingan ini, tim Wiley secara mengejutkan menang melawan para pendebat Oklahoma yang didominasi mahasiswa berkulit putih. Dalam beberapa pertandingan selanjutnya, Wiley terus mendulang kemenangan demi kemenangan.

Pada fase ini, konflik mulai bermunculan dalam internal tim. Dalam perjalanan pulang dari Oklahoma, mereka berhadapan dengan gerombolan warga kulit putih yang sedang ramai-ramai menggantung seorang lelaki kulit hitam dan membakarnya. Mereka berhasil selamat, tetapi Henry Lowe merasa frustasi, minum alkohol, dan kabur dari tim.

Ketika kembali, Henry membawa seorang gadis; ini mengejutkan Samantha yang sedang jatuh cinta dengan Henry. Samantha sendiri pun akhirnya meninggalkan tim, Keadaan pun akhirnya memaksa Profesor Tolson untuk menunjuk James yang tak berpengalaman menjadi pendebat utama. Wiley pun kalah dalam pertandingan melawan Howard University.

Setelah pulang ke kampus Wiley, Profesor Tolson mendapat surat undangan dari Universitas Harvard, perguruan tinggi paling bergengsi di seluruh Amerika Serikat, untuk mengadakan pertandingan debat. Atas bujukan Profesor Tolson, Samantha dan Henry bergabung kembali dengan tim dan bersiap-siap menghadapi Harvard. Namun, saat tim akan berangkat menuju Harvard, Profesor Tolson memberi tahu mereka bahwa aparat keamanan melarangnya untuk meninggalkan Texas. Jadilah ketiganya berangkat tanpa sang pembimbing menuju Boston.

Tim Wiley menjalani masa-masa sulit selama mempersiapkan diri di Harvard. Mereka saling berbantahan satu sama lain mengenai argument yang akan disampaikan, sehingga membuat Henry sampai keluar dari tim. Akhirnya pada hari pertandingan, Samantha dan James menjadi pendebat melawan dua orang mahasiswa Harvard yang terkenal. Mereka berdebat mengenai ketidakpatuhan sipil, dan James menyampaikan pidato penutup yang mengesankan ribuan orang yang hadir di aula Harvard itu bertepuk tangan dengan gegap gempita. Tanpa sepengetahuan mereka, Profesor Tolson datang ke aula dan menyaksikan anak didiknya mengangkat piala kemenangan mereka. Film ditutup dengan deskripsi apa yang akhirnya terjadi pada para tokoh utama: Profesor Tolson menjadi penyair terkenal, James menjadi tokoh pembela HAM terkenal, dan Henry menjadi pendeta.

Film ini mengangkat tema diskriminasi rasial yang jamak ditemui di wilayah Selatan Amerika Serikat (tempat dimana negara bagian Texas berada) pada paruh pertama abad ke-20. Tema seperti ini sudah banyak ditemui dalam film-film produksi Hollywood, namun baru film inilah yang mengangkat dari sudut pandang ilmu pengetahuan, terkhusus pertandingan debat.

Tokoh Profesor Tolson yang diperankan oleh Denzel Washington tampak dengan baik menjiwai perannya sebagai seorang pendidik sekaligus aktivis politik radikal. Merangkap sebagai sutradara, Washington berusaha memosisikan Tolson sebagai seorang pendobrak yang berusaha mengubah keadaan kaum kulit hitamnya tidak hanya melalui gerakan politik, namun juga dengan pendidikan. Usahanya untuk mencarikan lawan-lawan tanding untuk tim debatnya menggambarkan sosok Melvin B. Tolson di dunia nyata: seorang penyair yang teguh pendirian dan tangguh.

Adegan terbaik dapatlah disematkan pada saat Profesor Tolson dan anak-anak didiknya berhadapan dengan segerombolan warga kulit hitam yang tengah menggantung seorang lelaki hitam. Adegan ini menggambarkan secara jelas dan terang konstruksi sosial di Selatan Amerika Serikat pada masa itu, dimana kaum kulit hitam diperlakukan sebagai warga kulit putih dan menghadapi ancaman penyiksaan dan pembunuhan tiap waktu. Di adegan ini, sutradara Washington dengan berhasil memikat rasa miris penonton. Kelak, di adegan penutup, sang sutradara dengan brilian menautkan kembali peristiwa yang mengerikan ini sebagai bagian dari argument pada penutup James.

Namun, film ini tak kurang pula dari nilai minus. Kisah romantisme antara Samantha dan Henry saya pikir menempati porsi terlalu banyak dalam plot sehingga bisa membuat beberapa penonton teralihkan fokusnya dari plot utama. Andaikan sutradara lebih banyak fokus kepada persiapan tim Wiley dan menerangkan teknis-teknis pertandingan debat pada masa itu (yang sangat berlainan sekali dengan format pada masa kini), saya pikir itu akan lebih baik.

Secara umum, saya sangat puas menonton film ini. Plot yang kuat ditaburi perkataan-perkataan brilian (termasuk kutipan dari St. Augustine yang menjadi favorit saya: an unjust law is no law at all – sebuah hukum yang tidak adil sama saja artinya dengan tidak punya hukum sama sekali) dan penjiwaan yang luar biasa dari para tokoh. Dari 1 hingga 10, saya kira 8 bukan nilai yang berlebihan untuk karya ini.
“I am here to help you to find, take back, and keep your righteous mind” – Melvin B. Tolson to Henry Lowe, when the young Lowe argued his argument.
Tanbihat: Ini film Denzel Washington paling keren yang pernah saya tonton.