13 June 2015

Antara ruang kelas dan lapangan bola

Salah satu fragmen tak terlupakan dari masa kecil saya adalah bermain sepak bola, walaupun sedari kecil saya sudah sadar bahwa saya tidak akan pernah jadi pemain sepak bola profesional – seperti Luca Toni, idola masa kecil saya. Oleh sebab itulah saya tak pernah ikut SSB atau klub sepak bola apapun untuk mengasah bakat alam – yang memang tidak saya miliki.

Meskipun begitu, saya cukup senang melihat beberapa kawan masuk dan berprestasi di lapangan bola. Mereka dengan serius masuk SSB dan berlatih keras untuk mempersiapkan diri menjelang kompetisi, entah itu di tingkat kota maupun provinsi.
Yang mengusik saya adalah sebuah kenyataan: bahwa tak sedikit orang yang masih menganggap sepak bola itu bernegasi dengan ilmu pengetahuan.

Saya masih ingat satu potongan kecil ketika duduk di bangku sekolah dasar. Teman sekelas saya adalah seorang pemain bola potensial yang cukup bermutu – lari secepat kijang, tendangan geledek, dan postur badan tinggi. Ia adalah tulang punggung kesebelasan sekolah dan sudah memenangi banyak medali mewakili alma mater kami. Tak pelak, bakatnya menuai minat dari pelatih tim kecamatan yang berniat untuk memasukkannya ke dalam tim untuk bertanding di tingkat provinsi.

Namun, yang ia dapatkan dari para birokrat di ruang guru adalah cibiran-cibiran pahit.

“Kau mau jadi pemain bola? Ah, tak usahlah! Lebih baik kau belajar baik-baik, bisa kuliah di universitas!”

Siapapun yang pernah bermimpi untuk menjadi pemain sepak bola profesional saat kecil dan remaja pasti pernah terbentur cibiran serupa: buat apa kau jadi pemain bola? Lebih baik belajar, juara kelas, masuk perguruan tinggi idaman, lulus, lalu dapat kerja dan hidup enak. Buat apa jadi pemain bola?

Namun yang tak pernah kita tanyakan adalah: benarkah ilmu pengetahuan dan sepak bola tak saling sambung? Benarkah menggocek bola artinya harus mengabaikan rumus turunan yang diajarkan guru di papan tulis? Benarkah semua pemain bola yang kita lihat di televisi itu tak ada yang tamat sekolah? Benarkah tak tamat sekolah dan tak berijazah itu buruk? Benarkah bermain bola itu tak dapat menjamin masa depan seperti menjadi PNS? Benarkah ruang kelas dan lapangan bola itu tak dapat wujud seiring selangkah, segendang sepenarian?

Dalam sebuah peradaban yang menghamba-budakkan diri pada selembar ijazah dan melupakan etos dan makna asli pendidikan itu sendiri, bermain bola adalah sesuatu yang dianggap rendah, karena pada kenyataannya memang tak akan pernah menghasilkan selembar ijazah pun. Sepak bola tidak dapat dikaji seperti halnya ilmu roket atau politik; ia tak hadir di ruang-ruang kelas atau dibahas di pidato-pidato profesor. Masyarakat seperti ini akan tumbuh dengan menganggap mereka yang lebih memeras otot dibanding otak adalah kaum marjinal. Second-class. Kaum pariah.

Padahal, dengan zaman yang semakin ligat berputar dan kurun yang semakin mantap menggilas, anggapan-anggapan keliru seperti itu sebetulnya dapat dipatahkan dengan mudah. Lihatlah kini bahwa sepak bola, dan puluhan jenis olahraga lainnya, telah lebih banyak menerapkan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan. Ilmu kedokteran olahraga, penggunaan data dan statistik dalam menganalisis pertandingan, jurnalisme olahraga, sampai perputaran uang yang kian berlimpah di pentas-pentas kompetisi bukanlah sesuatu yang dapat dianggap remeh dibanding ilmu pengetahuan klasik.

Saya dapat menuturkan kepada Anda semua puluhan kisah tentang pemain sepak bola yang tidak hanya lihai memutar kaki mereka di lapangan, namun juga memerah otak di ruang-ruang kelas.

Ambil contoh Socrates (lelaki ini sudah filsuf sejak dari namanya). Gelandang serang berkebangsaan Brasil ini terkenal sebagai seorang pemain yang mampu membaca permainan, punya fisik tangguh, dapat memproduksi umpan-umpan matang, dan mencetak gol-gol spektakuler. Ia memimpin negaranya di Piala Dunia 1982 dan menjadi Pemain Terbaik Amerika Selatan 1983 berkat permainannya di Corinthians. Tebak jurusan apa yang ia ambil di universitas? Kedokteran!

Lain lagi kisah Steve Palmer. Meski karirnya sebagai bek tak begitu mentereng (legenda lokal buat fans Ipswich Town dan Watford), namun ia mempunyai gelar sarjana dalam bidang software engineering dari Universitas Cambridge, salah satu perguruan tinggi tertua di Inggris yang terkenal dengan mutu dan kualitas lulusannya. Rekan senegaranya Steve Coppell, legenda Manchester United yang terkenal dengan kecepatannya di sayap kanan, punya gelar sarjana sejarah ekonomi dari Liverpool University. Menurut salah satu cerita, ia baru sepakat untuk pindah ke United hanya jika dia diperbolehkan untuk menyelesaikan kuliahnya di Liverpool.

Paul Breitner, orang yang disebut Paolo Maldini sebagai bek kiri terhebat sepanjang sejarah, pada masa-masa awal karirnya pernah enggan menandatangani kontrak lebih dari dua tahun di Bayern Munich. Alasannya, ia sedang kuliah keguruan dan ingin bekerja untuk melayani anak-anak berkebutuhan khusus. Bahkan ketika sedang hangatnya pertentangan antara kapitalis dan komunis lewat Jerman Barat dan Timur, Breitner tidak takut menyuarakan pandangan politiknya dengan terang-terangan membaca buku-buku Mao Zedong, dedengkot komunis dunia.

Graeme Le Saux bahkan punya cerita lain karena kepintarannya. Pemain pujaan Stamford Bridge ini pernah dirumorkan sebagai seorang homoseksual (salah satunya oleh Robbie Fowler) karena gaya hidupnya yang terbilang “lain” dibanding pemain sepak bola pada umumnya. Apa itu? Le Saux belajar di universitas dan rutin membaca The Guardian, koran nasional yang berhaluan kekiri-kirian dan jamak dianggap sebagai bacaannya kaum intelektual di Inggris sana.

Glen Johnson, bek Liverpool dan pemain reguler tim nasional Inggris, punya kisah yang hampir lebih kurang sama dengan kawan saya di atas. Ketika para pemain Inggris menghabiskan waktu mereka di sela-sela padatnya latihan Piala Dunia 2014 di Pantai Copacabana, Johnson membenamkan diri bersama buku-buku pelajarannya. Ia memang tercatat sebagai mahasiswa matematika paruh waktu di Open University. Tahun 2012, ketika ditanya mengenai pelajarannya, Johnson berkata dengan lugas:

I was good at maths at school but I didn’t really think of anything else but football. My teachers used to say, ‘You ain’t going to achieve anything’. So I was thinking, ‘I’ll show you’.
Perhatikan pula otak-otak brilian lain: Slaven Bilic adalah mahasiswa hukum; Shaka Hislop belajar teknik mesin (dan pernah bekerja sebagai intern di NASA); Iain Dowie bergelar sarjana teknik penerbangan; Oleguer Presas merupakan seorang ekonom radikal yang mendukung kemerdekaan Katalan; Radamel Falcao dan Juan Mata adalah mahasiswa jurnalistik.

Pakem dan kebiasaan yang sudah lama ada membuat kita tak terbiasa dengan fakta bahwa sepak bola dan kepintaran sebetulnya dapat bertemu. Namun, pada faktanya, para pemain sepak bola yang pintar dan brilian telah ada dan mewarnai sejarah permainan yang indah ini sejak lama. Mereka memilih jalan seperti itu karena berbagai alasan dan kerap disalahpahami oleh rekan setim dan para suporter. Sejatinya, merekalah yang membuat sepak bola menjadi tak sekadar permainan yang mengandalkan otot, karena mereka ada untuk mengimbangi dengan putaran otak.

Mereka yang memilih meninggalkan ruang kelas dari berlari di lapangan bola barangkali pernah, pada suatu tahap dalam kehidupan mereka, mengalami momen-momen “you ain’t going to achieve anything” seperti Johnson. Mungkin pula sekaranglah saatnya mereka dengan bangga menepuk dada sambil berkata: “I’ll show you!”

Izinkan saya mengutip sepotong fragmen yang menjadi inspirasi ditulisnya artikel ini. Fragmen ini saya kutip dari autobiografi Andrea Pirlo, I Think Therefore I Play. Pirlo, barangkali salah satu pengatur permainan terbaik yang pernah disaksikan umat manusia, menuliskan pengalamannya saat pertama kali dipanggil tim nasional Italia U15:
I was happy to receive a call-up because I got three days off school – let’s just say that my priorities were different back then. I made up for it later on, with catch-up courses undertaken in person: travelling the world with Italy (geography), winning (history), running (PE), getting to know Guardiola (philosophy, art history, and languages: not Spanish but definitely Catalan).
Tanbihat: Esai ini pada awalnya saya kirimkan untuk ditayangkan di portal Pandit Football, namun karena satu atau lain hal ia mangkrak cukup lama. Akhirnya saya putuskan untuk menayangkannya saja di sini. Gambar diambil dari esai di harvardpolitics.com ini.