07 December 2014

Mourinho, Einstein, dan sepak bola defensif

Jose Mourinho meninggalkan lapangan Stadium of Light hari itu dengan wajah kecewa.

“Pertandingan yang keras, cukup sulit,” ujarnya pada wartawan yang mewawancarainya. Hari itu, 29 November 2014, Chelsea, pemuncak sementara klasemen Premier League, ditahan imbang tanpa gol oleh tuan rumah Sunderland asuhan Gus Poyet.

Mou pantas kecewa. Diego Costa, gelandang andalannya, bermain buruk di laga ini. Ia beruntung tak diusir wasit Kevin Friend karena tekel tanpa ampunnya ke kaki bek The Black Cats, John O’Shea. The Special One – julukannya – memutuskan untuk mengganti sang pengatur serangan berpaspor Spanyol itu dengan Oscar pada 15 menit terakhir laga.

Taktik tim  pada pertandingan ini sangat manjur untuk meredam lini serang Chelsea yang digalang Didier Drogba. Gelandang Lee Cattermole bukan saja sukses dalam membayang-bayangi Cesc Fabregas, namun juga dapat menghalangi serangan The Blues secara keseluruhan. Costa yang frustasi sempat menghantam mulut Wes Brown dengan sikunya ketika berebut bola lambung, menyebabkannya mendapat kartu kuning.

Skor berakhir kacamata dan Chelsea tetap menjadi penguasa klasemen sementara dengan 36 poin dari 15 pertandingan, selisih tiga dengan penguntit terdekat: Manchester City. Poyet sendiri nyaris menjadi orang pertama yang berhasil mengalahkan Chelsea tiga kali beruntun. Sebelumnya, ia memimpin Sunderland mengalahkan klub London biru ini dua kali, kandang dan tandang, pada musim sebelumnya.

Terlepas dari kekecewaannya, ada omongan menarik yang keluar dari mulut Mou. “Banyak orang yang senang mengkritik tim yang bermain defensif, tetapi saya takkan melakukannya,” kata Mou.

“Untuk menjadi sebuah tim yang bermain defensif dengan bagus, Anda harus melakukannya dengan baik, dan mereka (Sunderland) melakukannya dengan sangat baik.”

Omongan ini bukanlah tanpa arti. Mou, pragmatis asal Setubal ini, dikenal sebagai seorang pelatih yang gemar menggunakan taktik defensif.

Musim pertamanya menangani Chelsea pada 2004-05, skuat asuhan Mou kekurangan seorang playmaker murni. Namun, ia mengakalinya dengan menembok rapat-rapat pertahanan Chelsea yang kala itu dijaga pemain-pemain seperti Ricardo Carvalho dan Paulo Ferreira.

Hasilnya, skuat itu mencetak rekor Premier League untuk jumlah kebobolan paling sedikit dengan lima belas gol, selain catatan tak terbantahkan lain: poin terbanyak sepanjang sejarah liga, dengan 95 poin.

Beranjak lima tahun selanjutnya, Mou kini memegang tampuk Inter Milan. Skuat I Nerazzurri yang dipegangnya berhasil mencetak keunggulan 3-1 melawan Barcelona di laga pertama semifinal Liga Champions 2009-10. Laga kedua di Camp Nou, Mou dengan brilian memerintahkan Javier Zanetti untuk memalang gawang selama 90 menit, membuat frustasi bahkan para pemain sekelas Xavi Hernandez, Zlatan Ibrahimovic, dan Lionel Messi. Barcelona hanya mampu melesakkan satu gol lewat – ironisnya – bek Gerard Pique. Inter melaju ke partai final dengan mengantongi agregat 3-2, dan Mou menyebutnya sebagai “kekalahan paling indah dalam hidup saya.”

Taktik “1-0 and kill the game” ala Mou bukan tak banyak dikritik. Pelatih tim nasional Denmark Morten Olsen adalah salah satu yang paling vokal menyerang kengototan Mou dalam memainkan sepak bola bertahan.

“Bayangkan jika semua orang bermain sepak bola seperti Mourinho. Itu pasti akan membosankan, dan kemudian saya takkan menonton pertandingan lagi,” serang gelandang bertahan Anderlecht yang sudah menukangi Denmark sejak 2000 itu.

Kritik pun tak cuma datang dari sejawat pelatih. Michael Owen, eks penyerang Liverpool, menulis kolom di Daily Telegraph, membandingkan gaya Chelsea di bawah Mou dengan Liverpool pimpinan Brendan Rodgers, yang sudah mencetak hampir seratus gol sejak rezim Rodgers dimulai.

“Chelsea memainkan dua full-back yang tak pernah keluar dari garis tengah lapangan; dua center-half yang diperintahkan untuk berdiri di posisi yang sama selama sembilan puluh menit; dan dua holding midfielder yang mempunyai posisi tetap untuk melindungi para center-half itu,” tulis Owen dengan sedikit bombastis.

“Seorang visioner sepak bola adalah yang menambah laju permainan, mencari kesempurnaan dengan menyerang, dan memainkan sepak bola kreatif yang menghibur kita,” sambungnya.

Serangan dan hantaman bertubi-tubi terhadap Mou itu mungkin ada benarnya. Olsen adalah seorang sepuh sepak bola nan dihormati; Owen pada masa mudanya adalah salah satu talenta juru gedor terhebat yang pernah dimilik The Three Lions (tentu saja sebelum ia bergabung dengan Stoke-nya Toni Pulis).

Namun lihatlah Mou. Ia maju terus dengan sepak bola bertahannya. Barangkali Owen benar dengan menggambarkannya menyuruh para center-half untuk tegak sikap sempurna 90 menit di posisinya, namun sekali lagi: Mou akan maju terus.

Suka atau tidak, sejatinya sejarah telah membuktikannya sebagai seorang defensive master. Dengan mengusung konsep sepak bola yang kerap dicap membosankan, bagaimanapun Mou telah meraih tujuh gelar di empat negara berbeda dalam rentang waktu sebelas tahun. Ia juga mengantarkan tim-tim yang diasuhnya ke total delapan semifinal Liga Champions – prestasi yang bahkan tak bisa dilakukan dalam waktu sesingkat kurang dari satu dekade oleh Sir Alex Ferguson, yang digambarkan oleh Owen sebagai contoh paripurna dari seorang “visioner sepak bola”.

Mou sendiri cuma menanggap singkat kritikan dan cacian terhadap taktik anti-football-nya itu. Di kursi ruang pers Stadium of Light, Mou dengan santai menjawab: “Ada banyak Einsten-nya sepak bola di luar sana yang enggan mengaku bahwa mereka harus memuji tim yang bermain defensif.”

Frasa “Einsten-nya sepak bola” (footballing Einsteins) yang dilontarkan Mou sudah barang tentu menunjuk mereka yang kerap mengkritik taktik defensif dalam sepak bola, termasuk juga dirinya.

Mungkinkah itu Olsen? Bisa jadi. Ataupun Owen? Hmm.....