02 June 2014

Šimunić dan sebuah perlawanan yang beralasan

Menit ke-90, pukul sembilan malam, 22 Juni 2006. Lima puluh dua ribu suporter memenuhi Gottlieb Daimler-Stadion, kandang VfB Stuttgart. Hari ini  adalah laga terakhir pertandingan fase grup di Grup F, mempertemukan Kroasia dengan Australia. Wasit Graham Poll sedang bersiap-siap untuk waktu tambahan. Skor masih sama kuat, 2-2.

Tensi pertandingan ini sangat, sangat tinggi. Kedua tim masih belum pasti lolos ke putaran selanjutnya: Kroasia harus menang dan Australia tak ingin kebobolan. Darijo Šimić, bek kiri Kroasia, telah menerima kartu kuning kedua di menit ke-85, sementara sayap kanan Australia, Brett Emerton, turut serta terusir dari lapangan dua menit kemudian.

Australia kembali menyerang, kali ini lewat poros Harry Kewell, Tim Cahill, dan Mark Viduka. Bek kanan Kroasia, Josip Šimunić, berusaha untuk menghalang serangan bertubi-tubi pasukan Negeri Kanguru itu. Pemain Hertha Berlin itu pun melancarkan tekel keras, sangat-sangat keras kepada Viduka. Tekel yang tanpa tedeng aling-aling, hingga menyebabkan beberapa komentator menyebutnya sebagai “tekel rugbi”. Wasit Poll segera menghampiri, lalu mengeluarkan kartu kuning dari sakunya.

Itu kartu kuning kedua buat Šimunić. Laga pun berjalan kembali. Waktu tambahan tiga menit.

Ajaibnya, Šimunić tak perlu bersusah-susah keluar dari lapangan. Wasit Poll kembali meneruskan jalannya pertandingan.

Baru menjelang peluit akhir, Poll kembali menghampiri Šimunić. Bek jebolan Australian Institute of Sport itu kembali mendapat kartu kuning dari Poll, karena mantan pemain Hamburger SV itu mendorongnya.

Perlu tiga kartu kuning untuk mengusir Šimunić, namun semuanya sudah terlambat. Skor bertahan 2-2, dan Australia melaju ke putaran 16 besar.

Poll, wasit Inggris itu, lupa bahwa ia sudah memberi kartu kuning pertama kepada Šimunić setengah jam silam, dan memberinya yang kedua tiga menit yang lalu. Poll lupa bahwa selain memberi kartu kuning kedua, tugasnya adalah memberi kartu merah dan memastikan Šimunić keluar lapangan.

Pada titik ini, semua pasti bisa melihat bahwa yang salah di sini adalah Poll. Sebagai pemimpin pertandingan, ia berwenang mengeluarkan kartu kuning dan merah. Namun dalam kasus Šimunić, ia hanya menggunakan separuh kewenangannya: memberi kartu kuning kedua, namun tak memberi kartu merah.

Kisah selanjutnya adalah serangkaian kontroversi. Sebagian suporter Kroasia membenarkan tindakan Šimunić – dan memang, dia memang benar – dan mencerca Poll sebagai wasit pelupa. Sebagian lagi berpendapat bahwa Šimunić, sebagai pemain profesional, seharusnya patuh akan hukum Law of the Game, bahwa dua kartu kuning berarti pengusiran.

Namun, siapa yang rela membayar denda karena mengebut di jalan raya kalau polisinya lupa memberi surat tilang?

Poll mengaku bahwa ia memang bersalah. “Di menit ke-89 saat saya memberikannya kartu kuning, saya mencatat nomor kaus yang benar, tapi dengan nama yang salah,” aku pria asal Hertfordshire itu, “saya justru mencatat bahwa saya memberi kartu kuning pada pemain Australia, Craig Moore [yang bernomor kaus sama dengan Šimunić, 3]. Ini kali pertama kejadian seperti ini selama karir saya selama 26 tahun.”

Pada akhirnya, Poll – yang digadang-gadang untuk jadi pemimpin partai final di Olympiastadion, Berlin nanti – terpaksa angkat koper lebih awal. Kesalahannya terlalu fatal untuk Komite Wasit FIFA, sehingga membuatnya terpojok sedemikian rupa. Sejak saat itu, ia tak pernah memimpin partai-partai di Piala Dunia lagi.

Dan Šimunić? Lantaran Kroasia tersungkur dari Piala Dunia – mereka menempati posisi ketiga Grup F dengan dua poin hasil dua kali seri dan satu kali kalah, hanya lebih baik dari Jepang – ia tak perlu lagi bersua dengan Piala Dunia, setidaknya sampai saat ini. Kroasia tak lolos ke Afrika Selatan 2010.

Apakah Simunic indisipliner? Sejatinya, tidak.

Pada Šimunić, – entah dengan sarkastis atau tidak sadar – ia sebenarnya sedang menuruti perintah sang wasit. Ia tidak berusaha untuk menafsirkan kartu kuning keduanya sebagai sebuah pengusiran.

Dan ia memiliki argumen kuat untuk tidak keluar lapangan: ia tak menerima satu pun kartu merah hingga tiga menit kemudian, saat jumlah kartu kuning sudah ganjil jadi tiga.

Kasus Šimunić terbilang menarik, karena selama ini, mayoritas dari kita menganggap wasit sebagai dewa. Segala tindak-tanduknya adalah wahyu, segala ucapannya adalah sabda. Tak ada yang dapat melawan sang wasit, karena ia pegang tampuk tertinggi dalam suatu pertandingan.

Namun Šimunić, kita boleh bilang bahwa dia melawan. Penolakannya untuk keluar lapangan – meski pada akhirnya ia memang harus keluar – adalah penolakan yang beralasan, a reasonable disobedience.

Šimunić berhasil mematahkan kultus “wasit adalah dewa”, dengan cara yang paling sederhana, sekaligus yang paling kejam: memanfaatkan kesalahan sang dewa.

Tanbihat: Esai pendek ini awalnya diniatkan untuk dikirim ke salah satu media nasional yang punya rubrik mingguan soal sepak bola. Namun karena tak kunjung dibalas, boro-boro diterbitkan, maka saya pajang saja di sini :P